Anda di halaman 1dari 18

Ekonomi Syariah

JAROT MARYONO, S.H., M.H., CTA.


089 505 399 399
adv.jarot@gmail.com
www.pengacarabekasi.net
www.pengacaramurahprofesional.com
Pertemuan Ke-3
HUKUM EKONOMI ISLAM

Landasan Hukum Ekonomi Islam:


1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa : 59)
2. As-Sunnah/Al-Hadits
Hadist Riwayat Ahmad Ibnu Hambal, Abu Dawud, Turmudzi dan Al-Baihaqi:
Secara dialogis, Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Mu'z ibn Jabal,
Rasul : “Dengan pedoman apa engkau akan memutus suatu urusan?”
Mu’az : “Dengan kitabullah”
Rasul : “Kalau tidak ada dalam al-Quran?”
Mu’az : “Dengan sunah Rasulullah”
Rasul : “Kalau dalam sunah juga tidak ada?”
Mu’az : “Saya berijtihad dengan pikiran saya”
Rasul : “Maha Suci Allah yang telah memberikan bimbingan kepada utusan
Rasulnya, dengan satu sikap yang disetujui Rasulnya.
Ekonomi Syariah bagi Perguruan Tinggi Hukum Strata 1 – Penerbit : Dept. Ekonomi & Keuangan Syariah BI
HUKUM EKONOMI ISLAM

Metode Istinbat Hukum di Bidang Ekonomi dan Keuangan Syariah


Istinbat : Daya upaya membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil
Al-Quran atau As-Sunnah/Al-Hadits yang sudah ada.
Metode Istinbat :
1. Ijma’ (konsensus, ijtihad kolektif. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama-ulama
Islam dalam menentukan sesuatu masalah yang belum ada hukumnya.
Inti dari metode ini adalah kesepakatan dari para ulama muslim. -
Syarat-Syarat:
- Adanya jumlah mujtahid (ahli ijtihad) pada suatu masa itu.
- Adanya kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum yang masih
belum jelas
- Kesepakatan tersebut dikemukakan masing-masing oleh mujtahid dalam
suatu pertemuan dengan cara lisan/tertulis kemudian diambil suatu
kesepakatan setelah terjadi kongres tersebut.
- Kesepakatan berdasarkan jumlah kesepakatan terbanyak mujtahid yang
setuju tidak dapat dikatakan ijma’.
HUKUM EKONOMI ISLAM

2. Qiyas : Dalam Bahasa adalah ukuran, yaitu menetapkan suatu hukum


terhadap suatu hal yang tidak diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-
Hadits, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang telah diterangkan
hukumnya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits karena memiliki sebab
yang sama.
Metode dengan qiyas : Menggunakan cara analogi untuk menemukan suatu
hukum dengan disandarkan terhadap hukum yang sudah ada sebelumnya.

Penerapan qiyas di bidang ekonomi syariah salah satunya yaitu:


menentukan status bunga bank, yang mana status bunga bank tersebut
ditentukan berdasarkan paradigma tekstual dengan melihat aspek legal-
formal dan secara induktif pelarangan/pengharaman terhadap riba yang
diambil dari teks nash saja dan tanpa dikaitkan dengan aspek moral
HUKUM EKONOMI ISLAM

3. Istidlal : Penarikan kesimpulan dari dua hal yang berlainan, yaitu menarik
kesimpulan dari adat istiadat yang tidak bertentangan dengan Islam dan
menarik kesimpulan dari hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam
tetapi tidak dihapuskan atau dilarang dalam syariat Islam. Kesimpulan ini
yang kemudian dijadikan hukum Islam.
Contoh:
Pemberian status boleh (ibahah) dari transaksi salam, yang mana ini berbeda
dengan hukum jual beli secara umum yang mensyaratkan bahwa objek jual beli
harus sudah tersedia dan dapat diserahterimakan, sementara salam yang ada
hanya kriteria atau spesifikasinya dan secara riil objek transaksi belum ada.

4. Mashlahah al-Mursalah : Menetapkan suatu hukum terhadap suatu perkara


atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan
syariat.
Contoh:
Pendirian lembaga keuangan syariah atau bank syariah, kolateral pada
pembiayaan mudharabah, intervensi harga, penerapan revenue sharing pada bagi
hasil, penggunaan kartu kredit syariah, larangan dumping, larangan kartel dan
monopoli, larangan spekulasi valas, dsb.
HUKUM EKONOMI ISLAM

5. Istihsan : menetapkan sesuatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah


atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang,
cinta damai dan lain-lain. Diambil sesuatu hukum dalam 2 ketentuan yang
sama besar kepentingannya.
Contoh:
pada penentuan status bunga bank, berbeda dengan penentuan bunga bank
menggunakan metode qiyas, metode istihsan ini dalam menentukan status bunga
bank berdasarkan pada paradigma kontekstual.
Paradigma kontekstual tersebut memahami bunga bank secara deduktif dan
berusaha menilai persangkaan qiyas bunga terhadap keharaman riba dengan
mengambil dan menguji ‘illat secara kontekstual, serta mengkaji status bunga
bank tersebut dari perspektif moral.
Dengan mengambil dan menguji ‘illat, diketahui bahwa riba diharamkan karena
faktor zulm yakni memungut tambahan dari pihak yang berutang, padahal pihak
yang berutang tersebut seharusnya ditolong. Sedangkan bunga pada bank adalah
untuk tijarah atau perniagaan atau mencari keuntungan di antara tiga pihak (pihak
pemilik modal (investor/debitur), pihak yang membutuhkan modal
(pengusaha/kreditur), dan bank sebagai penyedia jasa atau yang menengahi
kedua pihak
HUKUM EKONOMI ISLAM

Kesimpulan:
bahwa antara riba dan bunga bank konteks dan esensinya berbeda, yang mana
riba itu dianggap sebagai kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan
untuk keperluan konsumtif, sedangkan bunga bank kelebihan yang diambil adalah
untuk keperluan produktif, sehingga berdasarkan paradigma kontekstual ini bunga
bank tidak termasuk riba dan hukumnya adalah boleh.

Istihsan banyak dipakai oleh DSN-MUI dalam menetapkan hukum atas akad-akad
yang memiliki konsep dasar darurat (misalnya ditandai dengan adanya kaidah
fikih “kondisi darurat membolehkan sesuatu yang dilarang” dalam suatu fatwa
yang ditetapkan).

Istihsan tidak boleh dilakukan dalam rangka menuruti hawa nafsu, melainkan
boleh dilakukan apabila dilakukan untuk mencapai kemaslahatan umum.
Kaitannya dengan bunga bank, dalam suatu pinjaman itu boleh diterapkan
manakala ada sisi kemaslahatan, dan bunga bank menjadi tidak diperbolehkan
manakala dalam penerapannya terjadi penindasan
HUKUM EKONOMI ISLAM

6. Istishab : Menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang


terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
(apa yang ada pada masa lalu dipandang masih ada pada masa sekarang dan
masa yang akan datang, atau akan terus menetapkan apa yang telah ada dan
meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil yang
mengubahnya).

Contoh:

Penerapan kaidah “pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan”
dalam suatu kasus tanggungan atau utang-piutang.17 Misalnya seorang laki-
laki bernama A mengklaim bahwa seorang laki-laki bernama B memiliki hutang
sebesar Rp 1.000.000,-, akan tetapi B tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang
dimenangkan adalah B karena pada dasarnya B terbebas dari tanggungan
kepada A, kecuali jika A mampu mengajukan buktiyang memperkuat
pengakuan atau klaim bahwa B memang benar memiliki hutang kepada A.
HUKUM EKONOMI ISLAM

7. Urf : Adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan
tetap berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Syarat: - Urf tidak bertentangan dengan suatu hukum yang sudah jelas
dan pasti dalam hukum Islam.
- Urf berlaku terus menerus atau kebanyakan berlaku, dan
- Urf yang dijadikan sumber hukum bagi suatu tindakan sudah ada
pada saat tindakan tersebut dilakukan.
Contoh:
Penetapan status hukum atas transaksi salam atau jual beli dengan sistem
pesanan. Pada dasarnya jual beli harus memenuhi syarat pembeli harus
menerima barang yang dibeli dan penjual harus menerima pembayaran atas
barang yang dibeli oleh pembeli saat transaksi berlangsung.
Lain halnya dalam transaksi jual beli salam, barang yang akan dibeli belum ada
wujudnya atau ada akan tetapi masih dalam bentuk gambarannya saja. Oleh
karena transaksi yang demikian itu sudah menjadi adat kebiasaan dalam suatu
masyarakat dan bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka transaksi jual
beli salam hukumnya diperbolehkan.
HUKUM EKONOMI ISLAM

Fatwa dan Peraturan Perundang-Undangan dalam Bidang Ekonomi &


Keuangan Syariah
Peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi dan keuangan syariah dari tingkat UU
hingga peraturan pelaksana hampir semua memberikan definisi mengenai Prinsip Syariah.

1. UU No. 21 Thn 2008 (Perbankan Syariah) Pasal 1 angka 12


Prinsip Syariah : prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

2. UU No. 40 Thn 2014 (Perasuransian)


3. POJK No. 31/POJK.05/2016 (Usaha Pergadaian) Pasal 1 angka (5)
Prinsip Syariah : ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia

4. POJK No. 15/POJK.04/2015 (Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal)


Prinsip Syariah : Prinsip hukum Islam dalam kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa DSN - MUI.
HUKUM EKONOMI ISLAM

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia adalah otoritas yang diberikan
kewenangan oleh peraturan perundangundangan untuk memberikan fatwa di bidang
ekonomi dan keuangan syariah.

Kedudukan fatwa Dewan Syariah Nasional : Surat Keputusan DSN No. 01 Thn 2000
(Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional), yakni menjadi landasan bagi ketentuan atau
peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia (yang saat ini juga Otoritas Jasa Keuangan atau OJK)

Prinsip Syariah telah menjadi hukum positif karena adanya penunjukan oleh peraturan
perundang-undangan di bidang ekonomi dan keuangan syariah sebagai sesuatu yang wajib
dilaksanakan oleh lembaga ekonomi dan keuangan syariah. Pelanggaran terhadap Prinsip
Syariah Perbankan (termasuk Industri Keuangan Non-Bank / IKNB dan Pasar Modal) akan
mengakibatkan akad-akad yang dibuat menjadi batal demi hukum (null and void)
HUKUM EKONOMI ISLAM

Subjek hukum dalam perspektif fikih muamalah (hkm. Eko. Islam) tidak terlepas dari konsep
akad atau perjanjian dalam hukum Islam.
Akad (perjanjian) yang sah & mengikat haruslah rukun akad (unsur) & syarat akad.
Rukun akad:
1. sîghat al-‘aqd (pernyataan ijab kabul), 2. al-âqidâin (pelaku akad),
3. al-ma’qûd ‘alaih (objek akad), 4. al-maudhu al-‘aqd (akibat hukum/tujuan akad)
Subjek Hukum (Mahkum Alaih) : alâqidâin/pihak yang melakukan akad yg memenuhi
syarat kecakapan (ahliyyah) & kewenangan (wilayah) bertindak didepan hukum (mampu)
1) Manusia/perseorangan & 2) Badan Hukum

I. Manusia atau Perseorangan ( Al-ahwâl al-syakhsiyyah / Natuurlijk persoon )


A.1. Ahliyah (kecakapan Hukum), menurut fukaha (ahli hkm Islam) ada 2 hal pokok:
- Ahliyyatul wujûb : Kecakapan menerima hukum (pasitf),
- Ahliyyatul ada’ : Kecakapan bertindak hukum (aktfif).
A.2. Ahliyah (kecakapan Hukum), menurut fukaha (ahli hkm Islam) ada 4 Tingkatan:
- ahliyyatul wujûb an-naqishah, S.H. berada dlm kandungan ibu;
- ahliyyatul wujûb al-kamilah, S.H. sejak lahir hingga meninggal (menjelang dewasa);
- ahliyyatul ada’ an-naqishah, S.H. ketika berada dalam usia tamyiz (fase
fase perkembangan anak/telah dpt membedakan sesuatu dengan baik : 7-12 tahun)
- ahliyyatul ada’ al-kamilah, S.H. sejak menginjak dewasa hingga meninggal
HUKUM EKONOMI ISLAM

I. Manusia atau Perseorangan ( Al-ahwâl al-syakhsiyyah / Natuurlijk persoon )

B.1. Al-wilayah (perwalian)


Kewenangan/kekuasaan yang diberikan oleh syara’/ Undang-Undang kepada
seseorang untuk melakukan tindakan suatu akad, yang mempunyai akibat
hukum.
- Niyabah ashliyyah:
Kecakapan sempurna & lakukan tindakan hukum utk kepentingan dirinya sendiri.
- Niyabah al-syar’iyyah/Wilayah niyabiyah:
Kewenangan/kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai
kecakapan sempurna utk lakukan tindakan hukum atas nama orang lain.
>> Ikhtiyariyah (memilih menentukan sendiri)
>> Ijbariyah (keputusan/ketetapan hakim)
Syarat Mukallaf :
- Baligh
- Berakal
- Sampai padanya dakwah
HUKUM EKONOMI ISLAM

II. Badan Hukum ( Al-syakshiyyah alhukmiyyah / Rechpersoon )


Badan Hukum = - Kumpulan orang-orang yang melakukan perbuatan hukum (tasharruf)
- Hasil analogi dari keberadaan manusia sebagai subjek hukum.
- Memangku hak dan kewajiban (huqûq wal iltizâmât).
- Dapat dituntut di muka pengadilan.
Meskipun atas nama badan hukum seseorang menjalankan amanah perusahaan,
namun sebagai pertanggungjawaban vertikal tetap dikembalikan kepada amalan individu
masing-masing.
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatstsir: 38)
Unsur Badan Usaha:
1. Kumpulan orang/harta yang diselenggarakan dengan kehidupan yang bebas dari orang-
orang yang membentuknya untuk memastikan kemajuan pekerjaan untuk mencapai
tujuan kebaikan, manfaat umum dan profit semata;
2. Tujuan yang ingin dicapai haruslah melalui badan hukum, baik itu kumpulan orang/harta,
karena jika tidak ada tujuan atau proyek tidak dapat dibentuk badan hukum;
3. Tujuan tersebut dicirikan oleh adanya kontinuitas periode tertentu yang cukup, bahkan
jika badan hukum didirikan dalam periode waktu yang cukup lama;
4. Wajib adanya perkongsian untuk merealisasikan tujuan baik berupa perkumpulan orang/
harta (dibentuknya badan hukum adalah untuk tujuan bersama)
HUKUM EKONOMI ISLAM

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2008 : Kompilasi Hukum


Ekonomi Syariah.
Pasal 1 angka (1):
“Subjek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki
kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban.”
Buku I tentang Subjek Hukum dan Amwal.
Subyek hukum ini memiliki persyaratan yang harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan
pada pasal 2 yang berbunyi:
1) Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam
hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah
menikah.
- orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya
2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan
perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku di setiap Negara muslim.
HUKUM EKONOMI ISLAM

Objek Hukum (Mahkum Bih) :


- Sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh
manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak.
- perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat mengerjakan,
meninggalkan maupun memilih antara keduanya.
- Perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul) yang ketika
disifati dengan hukum taklifi menjadi wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram (tuntutan
mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
- Ulama ushul Fiqh : mahkum bih yaitu sesuatu yang berlaku padanya hokum syara’.
Objek hokum adalah “perbuatan” itu sendiri dan hukum itu berlaku pada perbuatan dan
bukan pada zatnya.
- Hukum syara yang dimaksud, terdiri atas dua macam yaknihukum taklifi dan hukum
wad’i.
- hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf,
- hukum wad’I ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf.
HUKUM EKONOMI ISLAM

UU No. 03 Thn 2006 - Perubahan Atas UU No. 07 Yahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Pasal 49 Huruf (i) :
Perbuatan/kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.

Anda mungkin juga menyukai