Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Kaidah-kaidah Fiqih Selain Yang Lima


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Qawaid Fiqhiyah

Dosen Pengampu: LUTHFI RAZIQ, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh:

Maihatun Hasanah

Mamlu'atul Hasanah

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI'AH

FAKULTAS SYARI'AH

INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH

TAHUN AKADEMIK 2024/2025

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur penulis ucapkan, Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-
Nya atas segala kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT dalam
merampungkan makalah "Kaidah Fiqih Selain yang Lima" ini diharapkan dapat
memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah. Disamping itu, diharapkan juga
dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan, khususnya pada ilmu itu sendiri
terhadap penulis baik pembaca maupun segala pihak.

Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan, oleh


karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan
kritik dan saran tersebut bisa menambah kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis memohon hidayah dan


ma'unah-Nya, karena dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.

Sumenep,01 Januari 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... 2

DAFTAR ISI................................................................................................. ....... 3

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. ....... 4

A. Latar Belakang................................................................................ ..........

B. Rumusan Masalah......................................................................................

C. Tujuan................................................................................ ........................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

A. Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Ekonomi. ............................ .........

B. Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Politik dan Kebijakan Pemerintah

BAB III PENUTUP................................................................................ .... ........ 15

A. Kesimpulan................................................................................ .................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ .......... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam


bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan.
Ahmad Warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau
pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-
nasaq (metode atau cara). Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu
kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli) yang mengelompokkan masalah-
masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah
atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan)
hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalahmasalah
yang serupa dengan suatu kaedah.

Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa


menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi,
sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-
problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.

B. Rumusan Masalah

1. Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Ekonomi

2. Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Politik dan Kebijakan Pemerintah

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Ekonomi

2. Untuk Mengetahui Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Politik dan


Kebijakan Pemerintah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Ekonomi

Qowaid fiqhiyyah mengikat berbagai hukum cabang yang


bersifat praktis dengan berbagai dhawabith, yang menjelaskan bahwa
setiap hukum cabang tersebut mempunyai satu illat/rasio legis dan segi
keterkaitan, meskipun obyek dan temanya berbeda-beda. Qowaid
fiqhiyyah terdiri dari kaidah fiqih yang umum dan kaidah fiqih yang
khusus, dan salah satu kaidah fiqih yang khusus yaitu kaidah yang
berhubungan dengan masalah ekonomi (muamalah), kaidah-kaidah
tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kaidah pertama:
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Maksud kaidah ini adalah
bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti
jual beli, sewa menyewa, gadai kerjasama (mudharabah dan musyarakah)
perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti
mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba. Transaksi merupakan
langkah awal dalam memulai sebuah bisnis, yang kemudian dari transaksi
tersebut lahirlah perikatan dan seterusnya. Kaidah ini kemudian dapat
dihubungkan dengan kaidah lainnya yang memiliki maksud yang sama
hanya saja redaksi yang berbeda yakni:
“Pada dasarnya hukum bermuamalah adalah sah dan hukum bertransaksi
adalah mengikat pihak-pihak yang bertransaksi.”
Dapat dipahami bahwa dalam berinteraksi baik dalam bidang ekonomi
maupun dalam bidang muamalah lainnya adalah sah. Dan bagi setiap pihak
yang bertransaksi memiliki hukum yang mengikat bagi pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Melalui kontrak para pihak yang
bertransaksi memiliki ikatan tersendiri dan konsekwensi hukum tersendiri
dalam menjalankan isi perjanjian yang telah dibuat dan disepakati di awal.
Terkait dengan perikatan maka kaidah selanjutnya dapat dijadikan
landasan.
2. Kaidah kedua:
“Suatu transaksi pada dasarnya harus dilandasi kerelaan kedua belah pihak
dan hasilnya adalah sah dan mengikat kedua belah pihak terhadap diktum
yang ditransaksikan.”
Landasan kaidah tersebut adalah al-Quran Surat An-Nisa ayat 29 yang
artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

5
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.

Kaidah tersebut terkait dengan sahnya sebuah transaksi yang dilakukan


oleh para pihak. Kerelaan dalam transaksi oleh kedua belah pihak
merupakan sebuah prinsip bagi sahnya transaksi tersebut. Tidak sah suatu
akad/transaksi apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa atau juga merasa tertipu. Menurut jumhur ulama sebuah akad yang
dilakukan dengan cara paksaan maka akad tersebut fasid. Setelah akad
menjadi sah dengan didahului kerelaan masing-masing pihak, maka akibat
hukum dari sahnya akad tersebut adalah munculnya perikatan. Antara
kedua belah pihak tercipta suatu ikatan yang timbul dari tindakan mereka
dalam membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Misalnya sebuah bengkel
dan seorang pemilik mobil berjanji bahwa pihak bengkel sanggup
memperbaiki mobil rusak milik pemilik mobil. Di sini antara keduanya
muncul perikatan, bahwa pihak bengkel mempunyai kewajiban atas
perbaikan terhadap mobil yang rusak tersebut dan mempunyai hak
sejumlah uang yang diperjanjikan. Sedangkan pihak pemilik mobil
mempunyai hak membayarkan sejumlah uang jasa kepada bengkel dan
mempunyai hak baiknya mobil dari bengkel.
3. Kaidah ketiga:
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain
tanpa izin si pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual
atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya.
Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual. Bila dalam transaksi
penjual yang tidak berhak melakukan transaksi atas suatu objek yang
kemudian hari dapat mendatangkan masalah, maka kaidah ini dapat
dipergunakan untuk menarik dan menuntut kembali hak si pembeli dalam
transaksi di awal.
4. Kaidah keempat:
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

Akad yang batal dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena
itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak.
Kembali merujuk lagi pada kaidah-kaidah sebelumnya bahwa adanya
perikatan ketika kerelaan-dan unsure-unsur perikatan antara kedua pihak
atau lebih terpenuhi.

6
Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga
keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga
dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram
oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan
lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan
syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
5. Kaidah kelima:
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang
telah dilakukan lebih dahulu” Seperti telah dikemukakan pada kaidah
sebelumnnya bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum
terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi,
berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta
milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta memberikan izin
kepadanya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap
sebagai perwakilan dari si pemilik harta. Contohnya adalah akad wakalah
yang diberlakukan di Bank Syariah.
6. Kaidah keenam:
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak
berjalan bersamaan”.
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah
mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di
pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak
ada di pasaran. Maksud dari kaidah ini bahwa upah tanggungan (ganti
rugi) dari suatu barang, tidak dapat dikumpulkan pada seorang dalam
kejadian peristiwa yang sama. Sewa Yang dimaksud dalam kaidah ini
adalah ganti terhadap manfaat barang, sedangkan tanggungan (ganti rugi)
adalah kewajiban mengganti kerugian dari suatu barang yang
dimanfaatkan. Misalnya seorang tukang sol sepatu (penjahit sepatu), ia
boleh menahan jahitan atau sepatu yang dipesan sampai dilunasi upah yang
akan diberikan, jika tidak ada syarat adanya penundaan pembayaran.
Dengan cara ini apabila seseorang menahan barang tersebut dan kemudian
rusak, ia tidak mengganti karena kerusakan itu dan ia tetap masih berhak
atas upah. Contoh lainnya bila seseorang menyewa mobil untuk membawa
keluarganya , tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-
barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat.
Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut diluar kesepakatan
uang sewa di awal.
7. Kaidah ketujuh:
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”

Kaidah di atas diambil dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Aisyah RA: Suatu ketika ada seorang lelaki yang membeli budak, dan ia

7
mempekerjakan budak tersebut sebagaimana mestinya. Kemudian dia
menemukan kekurangan pada budak tersebut. dan ia mau
mengembalikannya. Dia bimbang dan mengadulah kepada Rasulullah
SAW; Rasulullah mengatakan: Al-kharaju bi ad-dhaman. Seorang yang
telah menyewa suatu barang kemudian barang tersebut dikembalikan
kepada pemiliki barang karena ada suatu kecacatan. Maka sang pemilik
barang tidak boleh meminta manfaat dari barang tersebut karena hak
memanfaatkan barang sewaan itu adalah hak sang penyewa
Muhammad Bakar Ismail menegaskan bahwa kaidah tersebut pun terkait
dengan seseorang yang telah memanfaatkan barang yang sudah dibeli, dan
dia harus menanggung kerusakan atas barang yang dibelinya.
Pertanyaannya, apakah pembeli tersebut harus dituntut ganti atas manfaat
yang telah diambil, jika ia menemukan kekurangan dan punya keinginan
untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual? Dengan
berlandaskan pada kaidah tersebut, maka pembeli tidak punya kewajiban
untuk mengganti manfaat yang telah diambilnya. Sebab ketika barang
tersebut telah berada di tangan pembeli, pembeli punya hak atas manfaat
selaras risiko yang ada di barang tersebut.
8. Kaidah kedelapan:

“Risiko itu menyertai manfaat”


Maksud dari kaidah al ghurmu bi al ghunmi ialah bahwa seseorang yang
memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan menurut
Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini adalah
bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang
dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau
ghurmu serta dhomān yang akan terjadi. Kaidah tersebut berkaitan dengan
banyak masalah yang ada dalam muamalah seperti masalah dlaman, buyu’,
ijarah, mudlarabah dan lain-lain. Dalam bentuk-bentuk transaksi tersebut
dimungkinkan munculnya kerugian yang akan ditanggung selaras dengan
keuntungan yang akan didapatkan. Maka seseorang yang memiliki niat
bisnis dengan menggunakan bentuk akad apapun, harus menyiapkan
dirinya untuk menanggung biaya dan risiko yangmungkin muncul selaras
dengan keinginannya untuk mendapatkan keuntungan. Kaidah tersebut
bisa dipahami secara terbalik yakni ‫الغنم‬

‫( بالغرم‬keuntungan sejalan dengan resiko) dan kaidah tersebut digunakan


oleh para ahli ekonomi Islam modern untuk melarang bunga, sebab praktik
bunga diyakini sebagai praktik bisnis yang mendapatkan keuntungan tanpa
risiko. Dengan demikian, keuntungan tersebut dipandang tidak sah. Contoh
lainnya pada konteks biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali
ada keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula
halnya, seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan

8
barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan
ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik
barang.
9. Kaidah kesembilan:
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam
tanggungannya”
Ini sudah menjadi kebiasaan pula bagia sebaian orang yang batal dalam
bertransaksi, misalnya penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual
beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima
uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak
pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga
barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya
dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
10. Kaidah kesepuluh:

“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap
manfaat benda tersebut”

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa
pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan
sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh
hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah
sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.1

B. Kaidah Fiqih Prioritas dalam Masalah Politik dan Kebijakan Pemerintah

1. Irtikâb Akhaff al-Dhararain


Sejalan dan semakna dengan kaedah irtikâb akhaff al-dhararain
ini ialah kaedah idzâ ta`âradha mafsadatâni rû`iya a`zhamuhuma bi irtikabi
akhaffihima, al-dhararu al-asyaddu yuzâlu bi al-dharar al-akhaffi, dan
yukhtâru ahwan al-syarraini. Semua kaedah tersebut adalah kaedah cabang,
pecahan dari kaedah syar`iyyah fiqhiyyah yang terkenal yaitu jalb al-
mashâlih dan dar’u al-mafâsid.2 Irtikâb Akhaff al-Dhararain ini
dimaksudkan untuk memilih alternatif yang paling ringan atau sedikit
bahaya negatifnya. Dalam rangka pengembangan daya jangkau hukum
Islam, khususnya dalam penyelesaian masalah yang bernuansa politis,
kaedah ini sangat tepat dan efektif untuk memecahkan permasalahan baru

1
Abdul Haris, Qowaid Fiqhiyyah Dan Isu Masalah Kontemporer Bidang Ekonomi Vol 7, (Jurnal Masharif
al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah No. 1, 2022 (482-491), Hlm. 484-489

2
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 276

9
yang muncul dalam upaya menambah lengkapnya khazanah pemunculan
hukumhukum baru.

Sebagai contoh pada kasus perang di bulan Haram yang dilarang.


Akan tetapi, kalau pada bulan ini pihak musuh memulai serangan, maka
berdasarkan kaedah di atas, umat Islam boleh membalas serangan itu.
Sebab, serangan musuh dan fitnah tersebut dapat mengganggu eksistensi
Islam. Dan fitnah itu lebih keji dari pembunuhan. Dengan demikian,
keharaman berperang pada bulan haram lebih ringan jika dibandingkan
dengan haramnya melepaskan diri dari agama Islam yang menjadi tujuan
musuh.
Kaedah ini juga bisa diterapkan dalam suatu pemilihan umum misalnya,
jika saat itu partai-partai politik yang ada tidak ada satupun yang bisa
dipercaya dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat (pemilu legislatif),
sementara calon pemimpin yang akan dipilih sebagai pemimpin di suatu
daerah atau negara (pemilu eksekutif) juga tidak ada yang memenuhi
kriteria agama (shiddîq, amânah, tablîgh, fathânah). Maka dalam kondisi
seperti ini, umat Islam wajib tetap mengikuti pemilu tersebut dan ikut
mencoblos dengan memilih wakilnya di legislatif dan pemimpinnya di
eksekutif--dengan memilih partai atau calon-calonnya yang paling sedikit
kekurangannya, dan paling kecil potensi kerusakan, kejahatan, atau dampak
negatif lainnya bagi umat.

Sebab jika umat Islam tidak memilih, dikhawatirkan akan terpilih orang-
orang dari kalangan non muslim yang belum tentu bisa menyelami
perasaan dan kecendrungan dari masyarakat Islam. Dan bahaya yang lebih
besar lagi, jika sampai mayoritas masyarakat muslim tidak memilih
misalnya, dan pemilu dianggap tidak representatif dan tidak sah, maka akan
timbul kekosongan kepemimpinan yang dapat berdampak negatif lebih
besar bagi masyarakat luas, seperti huru-hara, kekacauan, dan lainnya.
Padahal, kepemimpinan dalam suatu masyarakat adalah suatu keharusan.
Sebab Nabi saw telah menjelaskan dalam hadisnya bahwa jika ada tiga
orang yang mengadakan safar, maka hendaklah diangkat salah satunya
sebagai pemimpin. Kalau dalam safar yang singkat saja diperlukan
pemimpin, apalagi dalam perjalanan suatu bangsa yang waktunya relatif
lama, maka tentu lebih wajib lagi mengangkat seorang pemimpin di antara
mereka. Dengan demikian, diharapkan pemerintahan bisa berjalan dengan
normal dan keperluan masyarakat bisa terlayani sebagaimana mestinya.
Jadi tetap memilih dalam pemilu--sekali pun pilihan itu bukanlah yang
terbaik, lebih ringan bahayanya daripada tidak memilih sama sekali.
2. Hukm al-Hâkim Ilzâmun wa Yarfa`u alKhilâf
Berkaitan dengan kaedah ini, bahwa yang dimaksud hâkim di sini ialah
waliy al-amri yang disebut juga dengan istilah uli al-amri al-dunyawi,

10
maksudnya adalah pemerintah atau penguasa dengan segala aparatnya dari
tingkat paling rendah (RT/RW) sampai tingkat yang paling tinggi
(Presiden, Raja, Perdana Menteri). Kepatuhan terhadap mereka ini sejalan
dengan firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’ân) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S. Al-Nisâ’[4]: 59)
Berdasarkan ayat di atas, maka segala peraturan perundang-undangan dan
keputusan pemerintah wajib di taati selama tidak bertentangan dengan
agama. Dan umat Islam tidak wajib patuh manakala pendapat atau
ketetapan pemerintah itu membawa pada jalan maksiat atau kekufuran
nyata.
Dengan demikian, jika pemerintah telah menetapkan suatu ketetapan
sebagaimana dimaksudkan, rakyat wajib mematuhinya. Kepatuhan
terhadap ketetapan pemerintah ini memang diperselisihkan para ulama,
apakah statusnya wajib qadhâ’i atau dîni. Yang dimaksud dengan wajib
syar`i/dîni ialah kewajiban agama yang jika dipatuhi akan mendapat pahala
dan menentangnya mendapat dosa karena sama dengan mematuhi atau
menentang perintah Allah. Sedang yang dimaksud dengan wajib qadha’i
ialah bahwa kepatuhan itu hanya sebagai tuntutan duniawi, bagi mereka
yang tidak mematuhi, pemerintah berhak menjatuhkan sanksi berupa ta’zîr.
3
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang hal ini, dalam kajian fikih
siyasah sunni, rakyat tetap harus mematuhinya, berdasarkan firman Allah
dalam surat al-Nisâ’[4]: 59 tadi yang juga sejalan dengan hadis-hadis Nabi
saw, di antaranya:

3
Ibrahim Hosen, “Fiqh Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik”, Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Sistem Ketatanegaraan dan Politik Dalam Perspektif Islam, Teori dan Implementasinya Dalam
Praktek, diselenggarakan oleh Jurnal Ulumul Qur’an bekerjasama dengan ICMI, Jakarta, 12 Januari 1993, h.
20

11
“Aku berwasiat kepada kalian supaya bertakwa kepada Allah, dan
hendaklah kalian patuh serta taat (kepada pemerintah), sekalipun (yang
memerintah) itu budak Habsyi.” (HR. Tirmidzi)

“Dari Abdillah ra., dari Nabi saw bersabda: “Wajib mendengar dan taat
bagi setiap muslim (kepada pemerintah) baik ia senang ataupun tidak
(terpaksa), selama tidak diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila
diperintah untuk maksiat, maka tidak ada kewajiban patuh dan taat.” (HR.
Bukhâri).

Segala bentuk peraturan atau kebijaksanaan yang ditetapkan oleh


pemerintah untuk merealisasikan kemashlahatan umum adalah hakekat dari
siyâsah syar`iyyah. Oleh sebab itu, suatu peraturan atau hukum dipandang
sebagai siyâsah syar`iyyah manakala sejalan dengan semangat jiwa
syarî`ah, bersandar pada kaedah-kaedah kulliyahnya yang berlaku
sepanjang zaman di setiap tempat dan umat, serta tidak bertentangan secara
hakiki dengan dalil tafsîli ayat Alquran atau hadis yang keberlakuannya
tidak terbatas oleh masa dan keadaan.Atas dasar itu, siyâsah syar`iyyah
memberikan keleluasaan (tausî`ah) kepada pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sesuai dengan tuntutan
zaman, dan untuk merealisasikan kemashlahatan sepanjang tidak menyalahi
pokok-pokok agama (ushûl al-dîn), sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh
dalil-dalil tetentu. Dan semua ketetapannya itu wajib dipatuhi umat Islam,
karena pemerintah sebagai waliy al-amri diberi hak oleh Allah untuk
dipatuhi. 4

Sunarto menyatakan kebijakan publik atau public policy yang diambil


pemerintah di belahan dunia manapun, termasuk di Indonesia merupakan
aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah yang terjadi di tengah
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua bentuk
kebijakan yang berkaitan dengan hajat masyarakat memang menjadi
persoalan yang riskan, sehingga pemerintah harus berupaya untuk
4
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 20

12
mengambil sikap yang paling tepat, agar rakyat justru tidak menjadi korban
atas kebijakan-kebijakan tersebut. Kaitannya dengan hal ini, kaidah fikih,
utamanya yang berkaitan dengan siyasah (politik kenegaraan) memberikan
ketentuan bahwa rakyat dan kemaslahatan menjadi hal yang sangat asas dan
urgent. Salah satu kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah

‫تصرف االمم على الرعية منوط بالمصلحة‬

dimana artinya adalah “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya


bergantung kepada kemaslahatan”. Muara kaidah ini sebenarnya dari fatwa
Imam Asy Syafi’i yang menyatakan bahwa kedudukan seorang Imam
terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali terhadap anak yatim. 5 Beliau
menyampaikan fatwa tersebut karena Umar bin Khattab menyatakan bahwa
Ia menempatkan dirinya terhadap harta Allah seperti kedudukan wali
terhadap anak yatim, jika membutuhkan akan diambilnya dan sisanya
dikembalikan. Sementara jika tidak membutuhkannya, maka akan
dijauhinya6
Terdapat beberapa kaidah fikih lain yang dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan kebijakan pemerintah misalnya kaidah :‫تتجزأ ال الخيانة‬, dimana
maksudnya adalah apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat
terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka dia harus
dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya”. Selain itu
juga kaidah ‫ ارتكاب اخف الضررين‬atau mengambil bahaya yang paling kecil/
ringan, kaidah ‫الح‬zz‫دم على جلب المص‬zz‫د مق‬zz‫ درء المفاس‬atau menolak bahaya lebih
diutamakan daripada menarik kemaslahatan, serta kaidah lainnya yang bisa
dieksplorasi lebih jauh.7

5
Idrus, “Kebijakan Pemimpin Negara Dalam Perspektif Kaidah Fikih : Tasarruf Al-Imam Manutun Bil
Maslahah.”, 128

6
H.Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia, 2005)., 61-62.

7
Fuady Abdullah، Perspektif Siyasah Syari'iyyah Terhadap Relevansi Kaidah Fikih dalam Pengambilan
Kebijakan Pemerintah, Vol.1, Jurnal El-Dusturie, No.2, Desember 2022, hlm. 85-86

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah fikih mengenai masalah ekonomi, politik, dan kebijakan


pemerintah menekankan pada prinsip keadilan, kesejahteraan masyarakat,
dan kepatuhan terhadap hukum Islam. Ekonomi harus dilandaskan pada
prinsip distribusi kekayaan yang adil, politik harus berdasarkan keadilan
dan partisipasi rakyat, sementara kebijakan pemerintah harus sesuai
dengan nilai-nilai Islam serta mengedepankan kesejahteraan bersama.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haris, Qowaid Fiqhiyyah Dan Isu Masalah Kontemporer Bidang


Ekonomi Vol 7, (Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syariah No. 1, 2022 (482-491)

Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah.

Ibrahim Hosen, “Fiqh Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik”,


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Ketatanegaraan dan
Politik Dalam Perspektif Islam, Teori dan Implementasinya Dalam
Praktek, diselenggarakan oleh Jurnal Ulumul Qur’an bekerjasama dengan
ICMI, Jakarta, 12 Januari 1993.

Idrus, “Kebijakan Pemimpin Negara Dalam Perspektif Kaidah Fikih :


Tasarruf Al-Imam Manutun Bil Maslahah.

Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia, 2005).

Fuady Abdullah، Perspektif Siyasah Syari'iyyah Terhadap Relevansi


Kaidah Fikih dalam Pengambilan Kebijakan Pemerintah, Vol.1, Jurnal El-
Dusturie, No.2, Desember 2022.

15

Anda mungkin juga menyukai