Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PENDEKATAN SOSIO POLITIK DALAM STUDI ISLAM

Disusun untuk memenuhi

Mata Kuliah Sosio-Politik Hukum Ekonomi Syariah

Pengampu : Ida Nurlaeli M.Ag

Disusun oleh :

Denti Tri Cahyani (214110301027)

Ufi Hayatunisa (2141103010__)

Syachwal Al Ayubi (2017301048)

Farhan Nur Hidayat (2017301049)

Gita Rahayu (2017301096)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

TAHUN AJARAN 2023


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat dan hidayah-
Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada baginda
Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.

Tidak lupa kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah, sebagai tugas Sosio-Politik Hukum Ekonomi Syariah
dengan judul PENDEKATAN SOSIO POLITIK DALAM STUDI ISLAM .

kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca agar makalah ini bisa dipraktekan dalam kehidupan sehari hari dalam
Menyusun makalah ini kami masih banyak memiliki kekurangan untuk itu kami
mengharapkan keritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Penyusun

Purwokerto, 7 Maret 2023


PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan didasarkan pada aspek tujuan (ontologis), metode pe-


nurunan kebenaran ilmiah (epistemologis), dan nilai-nilai/kegunaan (aksiologis).
Wacana ontologi dalam ekonomi Islam meliputi pembahasan tentang kondisi dan
persoalan yang berbeda dalam suatu masyarakat, sehingga bisa dirumuskan
kebijakan-kebijakan yang merupakan problem solving bagi permasalahan yang
ada. Simak saja beberapa tujuan dari zakat, riba, dan lain sebagainya. Semuanya
bertujuan untuk memecahkan permasalahan dalam distribusi kekayaan dalam
masyarakat.

Adapun wacana tentang epistemologi dalam ekonomi Islam tergabung


dalam double movement: pertama, ada yang bergerak secara deduktif dengan
mengkaji epistemologi iqtishâd dalam Alquran dan hadis; kedua, ada juga yang
bergerak secara induktif dengan melihat realitas yang ada, kemudian merujuk
kepada ajaran-ajaran Alquran dan hadis. Masing-masing kelompok mempunyai
karakteristik yang berbeda, sehingga terkadang memunculkan pendapat-pendapat
yang agak berbeda pula. Namun, terlepas dari beberapa perbedaan tersebut, tujuan
masing-masing kelompok adalah untuk menyebar- kan kemaslahatan kepada umat
manusia.

Wacana tentang aksiologi biasanya terangkum dalam output dan kegunaan


ekonomi Islam, yang bersifat ingin selalu menyejahterakan umat manusia,
menyelamatkan umat manusia di dunia dan di akhirat, dan memerangi segala
bentuk eksploitasi (mafsadat) yang merugikan umat manusia dan merupakan
antitesis dari kemaslahatan itu sendiri.

A. Implementasi Hukum Ekonomi Syariah pada Lembaga Keuangan


Syariah

Sistem tata kelola syariah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Konsep teknis dan operasionalnya selanjutnya dijabarkan
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia
(SEBI). Sistem tata kelola syariah diatur dalam bentuk undang-undang dan
guideline yang dikeluarkan. Di Indonesia, sistem tata kelola syariah berdasarkan
UU No. 21/2008 menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syariah) sebagai pihak
penting dalam pengawasan kepatuhan prinsip-prinsip yari’ah di internal
perbankan syariah. DPS bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi
serta mengawasi kegiatan LKS agar sesuai dengan prinsip syariah.

Selanjutnya pada level nasional, ada lembaga bernama Dewan Syariah


Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan
jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah. Dengan demikian, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN
untuk melakukan pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional terhadap
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. PBI ini secara umum menjelaskan tentang
konsep GCG serta bagaimana peran masing-masing dari Dewan Komisaris,
Direksi, Komite-Komite, dan Dewan Pengawas Syariah. Dalam PBI ini juga
dijelaskan tentang format self assessment pelaksanaan GCG pada bank syariah.
Pada bagian pengawasan syariah dijelaskan tentang mekanisme pengangkatan
anggota DPS, masa jabatan, tugas dan tanggung jawab, mekanisme pelaporan
hasil pengawasan DPS dan sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan
kewajibannya Meskipun guidelines ini cukup menyeluruh tapi belum bisa disebut
sebagai model kerangka SG yang menyeluruh bagi LKS.

Fatwa Pertama: tentang Murabahah Kontemporer. Akad Murabahah


adalah satu satu produk LKS yang banyak diminati masyarakat. Karena akad ini
menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam
perbankan atau lembaga keuangan konvensional yang tentu sarat dengan riba.
Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga
membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no:
04/DSN-MUI/IV/2000. DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang
Mura-bahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas
nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” Perbankan dan
LKS syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu
melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang
muka). Perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah
berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam
pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali.

Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil). Akad Mudharabah


adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu,
akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI
telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi
pedoman bagi praktek perbankan syariah. DSN menyatakan: “LKS (lembaga
Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat
dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” Pada ketentuan lainnya, DSN kembali
menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung
kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan.” Praktek LKS sebenarnya di lapangan masih jauh dari
apa yang di fatwakan oleh DSN.

Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas, Gadai emas merupakan cara investasi
yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Dewan Syariah
Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktek ini.
Pada fatwa tersebut DSN menyatakan: “Besar biaya pemeliharaan dan
penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.” Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara
khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana
dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan. LKS yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan
penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang. Jika LKS
atau perbankan syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam
menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan
berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan
bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan nasabah tidak sesuai dengan biaya
riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau
melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.

Ketidak sesuaian LKS maupun bank syariah ini pada akhirnya diakui oleh
direktur direktorat perbankan syariah Mulya E. Siregar menyatakan bahwa
perbankan syariah belum benar benar menerapkan system syariah. Menurut
Mulya tidak ada Bank Syariah yang benar benar syariah, bahkan IDB sekalipun.
Ungkapan Direktur BI ini merupakan sesuatu yang riil bahwa perbankan maupun
LKS belum ada yang benar benar berprinsip sesuai syariah walaupun sangat
mengejutkan karena segenap peraturan, bahkan dibuat struktur guna pengawasan
pun masih belum sepenuh-nya sesuai syariah.1

B. Aktualisasi Hukum Ekonomi Syariah

Eksistensi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak agama Islam masuk
di Indonesia. Karena itu, hukum Islam telah menjadi bagian integral dari
pembinaan hukum nasional sampai sekarang ini dan peranan hukum Islam dalam
pembangunan hukum nasional adalah untuk mengisi kekosongan hukum dalam
hukum positif dan hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan
kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat dengan sifatnya yang umum, tidak
memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula
bagi seluruh warga negara Indonesia.2

Aktualisasi nilai-nilai hukum Islam tersebut tidak hanya terbatas pada


bidang hukum perdata saja, khususnya hukum keluarga tetapi juga pada bidang-
bidang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara,
dan hukum dagang. Dengan demikian, hukum Islam akan benar-benar dapat
1
Dudang Gojali, “Implementasi Hukum Ekonomi Syariah pada Lembaga Keuangan
Syariah”, Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah Vol. 1 No. 2 Juli 2019, hlm. 138-141.
2
Padmo Wahjono,”Budaya hokum islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa
datang” dalam Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 167.
berperan sebagai sumber hukum nasional di samping Pancasila, tanpa
menimbulkan anggapan bahwa hukum Islam adalah kuno. Model yang kedua ini
sesungguhnya telah dipraktikkan para penyusun UUD 1945, di mana nilai-nilai
hukum hukum Islam tercermin di dalamnya.3

Mengingat Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, maka
memperjuangkan hukum Islam dengan pendekatan yang integrasi nilai-nilainya
kelihatannya lebih memberikan harapan dengan pendekatan formal, khususnya
pidana Islam. Untuk itu, dibutuhkan usaha yang serius untuk menggali dan
mensosialisasikan sebanyak mungkin nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam
hukum Islam.4

Dalam konteks aktualisasi hukum Islam tersebut, maka secara normatif


nilai-nilai hukum Islam telah diaplikasikan dengan penuh kesadaran oleh
masyarakat Islam. Berbeda dengan hukum Islam secara yuridis formal bahwa
belum semua materi hukum Islam diformulasi melalui proses legislasi dalam
bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya.

KESIMPULAN
3
bid., h. 172
4
A.Dzajuli , “ Beberapa aspek pengembangan Hukum Islam“, dalam Juhaya S. Praja,
Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaka Rosdakarya, 1994), h. 260.
DAFTAR PUSTAKA
Dudang Gojali, “Implementasi Hukum Ekonomi Syariah pada Lembaga
Keuangan Syariah”, Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah Vol. 1 No. 2 Juli
2019, hlm. 138-141.

Padmo Wahjono,”Budaya hokum islam dalam Perspektif Pembentukan


Hukum di Masa datang” dalam Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 167.

A.Dzajuli , “ Beberapa aspek pengembangan Hukum Islam“, dalam


Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung:
Remaka Rosdakarya, 1994), h. 260.

Anda mungkin juga menyukai