Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM ISLAM

HUKUM ISLAM DALAM PERKEMBANGAN DIMASYARAKAT (PERBANKKAN


SYARIAH DAN KREDIT

Dosen pembimbing:
Hasanah, S.pd.I, MA

Disusun Oleh
Zulaiha Husin (20111011)

PROGRAM STUDI FKIP PPKN


UNIVERSITAS ABULYATAMA
JL.BLANG BINTANG LAMA KM 8,5 LAMPOH KEUDE,ACEH BESAR 23372
NANGRROE ACEH DARUSSALAM
T/A 2021/202
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniannya
sehingga dapat menyelesaikan mata kuliah HUKUM ISLAM yaitu tentang HUKUM
ISLAM DALAM PERKEMBANGAN DIMASYARAKAT (PERBANKKAN SYARIAH
DAN KREDIT), Shalawat serta salam tidak lupa kita sanjung sajikan kepada junjungan
junjungan baginda nabi Muhammad SAW atas bimbingan beliau sehingga kita dapat
membedakan yang benar dan mana yang salah.

Akhir kata, menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan baik dari segi
bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang tepat dalam makalah ini, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah
ini.

Banda aceh, 12, Juni 2022

Zulaiha Husin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
2.1 Pengertian Perbankan syariah dan kredit....................................................................2
2.1.1 Perbankkan syariah.................................................................................................2
2.1.2 Kredit........................................................................................................................2
2.2 Prinsip Hukum Perbankan Syariah dan Kredit..........................................................3
2.2.1 Prinsip hukum perbankkan syariah......................................................................3
2.2.2 Prinsip Hukum kredit.............................................................................................6
2.3 Prinsip-prinsip Dasar.....................................................................................................7
2.3.1 Prinsip titipan atau simpanan (Al-wadi’ah)..........................................................7
2.3.2 Prinsip bagi hasil (Profit-sharing)..........................................................................7
2.3.3 Prinsip Al-Murabahah............................................................................................8
2.4 Larangan Riba dalam Hukum Islam............................................................................9
2.5 Perkambangan Perbankkan Syariah dan Kredit......................................................12
2.6 Pembebanan Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah..................................................13
BAB III.........................................................................................................................................16
PENUTUP....................................................................................................................................16
3.1 KESIMPULAN..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perbankan memiliki peran penting dalam pembangunan khususnya dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi negara. Hukum perbankan adalah hukum positif yang mengatur
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. Bank adalah salah satu lembaga
pembiayaan yang menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali pada
masyarakat. 1 Sesuai dengan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998
tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menyatakan bahwa: Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau dalam bentukbentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Sistem perbankan mengalami perubahan yang cukup prinsipil terutama setelah


diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, karena
Undang-Undang perbankan yang lama memang sudah sangat tidak memadai lagi
menampung permasalahan dan kompleksitas yang timbul dari industri perbankan sejalan
dengan pesatnya perkembangan sektor perekonomian khususnya perbankan, yang
mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap jasa-jasa perbankan.

Disamping itu, dari sisi pelaksanaan kebijakan moneter dan perbankan, agar dapat
lebih efektif maka undangundang perbankan dituntut untuk selalu akomodatif.3 Pada saat
ini lembaga perbankan sangat berperan penting dalam pembangunan ekonomi dan
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sistem perbankan konvensional yang telah
ada sebelumnya menjadi semakin lengkap dengan adanya system perbankan Islam atau
perbankan syariah. Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya
Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam
pendiri.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perbankan syariah dan kredit

2.1.1 Perbankkan syariah

Berdasarkan Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
atau prinsip hukum islam. Prinsip syariah Islam yang dimaksud mencakup dengan prinsip
keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme
(alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram,
sebagaimana yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia. 

Selain itu, Undang Undang Perbankan Syariah juga memberi amanah kepada bank
syariah untuk selalu menjalankan fungsi sosial sekaligus menjalankan fungsi seperti
lembaga baitul mal. Lembaga baitul mal yaitu sebuah lembaga yang menerima dana
berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).

2.1.2 Kredit

Menurut UU No. 10 tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga

Kredit adalah suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan
usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam
jangka waktu yang ditentukan. Dalam bahasa arab, jual beli kredit dikenal sebagai Bai’ bit
taqsith yang berarti membagi sesuatu menjadi beberapa bagian tertentu. Ulama syafiiyah,
hanafiyah, Al-Muayyid billah, serta mayoritas ulama lain berpendapat bahwa hukum kredit
dalam islam diperbolehkan. 

2
Dan kemudian dalil dibolehkannya kredit adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha
berikut ini:

‫ متفق عليه‬.‫ي طعاما ً نسيئةً ورهنه درعَه‬


ٍّ ‫اشترى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم من يهود‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari


seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau
kepadanya.

2.2 Prinsip Hukum Perbankan Syariah dan Kredit

2.2.1 Prinsip hukum perbankkan syariah

Sistem perbankan syariah sebagai bagian dari konsep ekonomi Islam ke dalam
lingkungan ekonomi. Oleh karena itu, perbankan syariah tidak hanya dituntut untuk
menghasilkan keuntungan melalui setiap transaksi komersial saja, tetapi juga dituntut
untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Al
Hadist. Menurut

Muhammad Amin Suma dalam pelaksanaan bank syariah terdapat berbagai asas
yang di antaranya:

1. Asas Ridha'iyyah (rela sama rela), yakni bahwa transaksi ekonomi dalam bentuk
apa pun yang dilakukan bank dengan pihak lain terutama nasabah harus
didasarkan pada prinsip rela sama rela.

2. Asas manfaat, yaitu akad yang dilakukan oleh bank dengan nasabah berkenaan
dengan hal-hal yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.

3. Asas keadilan, kedua pihak yang bertransaksi harus diperlakukan secara adil
dalam konteks pengertian luas dan konkret.

4. Asas saling menguntungkan, yaitu setiap yang dilakukan oleh bank dan nasabah
harus bersifat menguntungkan semua pihak yang berakad, tidak boleh
menguntungkan salah satu pihak denganmerugikan pihak lain.

3
Gemala Dewa memperkenalkan asas dalam perikatan menurut hukum Islam antara
lain:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Al-Hurriyah), kontrak dalam hukum Islam harus


dilandasi adanya kebebasan berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak
yang mengadakan transaksi (Al-Qur'an surat Ali-Imran ayat 29). Syariat Islam
memberikankebebasan kepada setiap orang untuk melakukan akad sesuai pemaksaan
akan yang diinginkannya, sebaliknya bila ada unsur menyebabkan legalitas kontrak
yang dihasilkan batal atau tidak sah (Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 256, Al-Qur'an
surat al-Maidah ayat 1). Kebebasan berkontrak memiliki limitasi terhadap hal-hal yang
sudah jelas dilarang dalam syariat, antara lain larangan bertransaksi secara ribawi,
perjudian atau untung-untungan (maysir), ketidakpastian risiko (gharar) atau bahaya
yang dapat menyesatkan pihak lain, termasuk juga larangan ijon, larangan yang
menyangkut teknis, yaitu larangan monopoli, menimbun barang untuk menaikkan
harga, atau akad yang mengandung penipuan.

2. Asas Konsensualisme (Al-Ridha'iyyah), yang menekankan adanya kesempatan yang


sama bagi para pihak untuk menyatakan keinginannya dalam mengadakan transaksi.
Pelanggaran terhadap kebebasan berkehendak berakibat tidak dapat dibenarkannya
akad tersebut.

3. Asas Persamaan Hukum (Al-Musawah) yang menempatkan para pihak di dalam


persamaan derajat, tidak membeda-bedakan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa,
kekayaan, jabatan, dan lain-lain (Al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 13). Asas ini
berpangkalpada kesetaraan kedudukan para pihak yang bertransaksi.

4. Asas Keadilan (Al-Adalah), yang menuntut para pihak yang berkontrak untuk berlaku
benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah
mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya (Al-Qur'an surat Ali-Imran ayat 17,
surat al-Baqarah ayat 177, surat al-Mukminun ayat 8, surat al-Maidah ayat 1). Asas ini

4
juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan tidak
dibenarkan.

5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq), yang menekankan para pihak yang
melakukan perjanjian untuk tidak berdusta,menipu, dan melakukan pemalsuan. Jika
asas ini tidak dijalankan, maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Karena
kejujuran adalah nilai mendasar dalam Islam. Islam adalah nama lain dari kebenaran
(Al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 95). Allah berbicara benar dan memerintahkan semua
muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan (Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat
70). Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentukapa pun.

6. Asas Manfaat bahwa segala sesuatu bentuk transaksi dilakukanatas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindari mudarat dalam hidup masyarakat. Islam
mengharamkan akad yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudarat seperti jual
belibenda-benda yang tidak bermanfaat apalagi membahayakan (Al-Qur'an surat al-
Baqarah ayat 219). Objek yang diakadkan harus mengandung manfaat bagi kedua
pihak. Segala bentuk muamalah yang merusak kehidupan masyarakat tidak dibenarkan,
misalnya berdagang narkotika dan ganja, perjudian, dan prostitusi.

7. Asas Saling Menguntungkan (Al-Ta'awun). Setiap akad yang dilakukan harus bersifat
saling menguntungkan semua pihak yang berakad. Suatu akad juga harus
memerhatikan kebersamaan. Hadist Nabi menyebutkan: "Seorang mukmin dengan
mukmin yang lain (dalam suatu masyarakat) seperti sebuah bangunan dimana tiap-tiap
bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian-bagian yang lain." (HR. Bukhari dan
Muslim).

8. Asas Tertulis (Al-Kitabah), akad harus dilakukan dengan melakukan kitabah (penulisan
perjanjian, terutama transaksi dalam bentuk kredit) agar akad yang dilakukan benar-
benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan akad (Al-Qur'an surat
al-Baqarah ayat 282-283).

Prinsip syariah lebih terang dijelaskan pada pasal 1 butir 13 UU menyebutkan


sebagai berikut:

5
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara Bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah)atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihal bank oleh pihal lain (ijarah
wa iqtina). 

2.2.2 Prinsip Hukum kredit

Masyarakat modern semakin hari semakin dihadapkan pada kompleks nya


kehidupan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kebutuhan untuk memenuhi dan menopang
gaya hidup. Hal yang sering kali menjadi masalah dalam kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan dan gaya hidup adalah ketidaksetaraan antara pendapatan dan pengeluaran.

Padahal secara prinsip, pengeluaran harusnya lebih kecil dari pendapatan. Maka dari
itu kredit hadir sebagai solusi agar masyarakat bisa memenuhi kebutuhan itu. Sebelum
lebih jauh membahas kredit, anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Hidayatulloh SHI MH
menjelaskan definisi riba. Riba secara bahasa artinya ziyadah (tambahan). Dia mengutip
Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bila
‘iwadh) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadah al-ajal) yang
diperjanjian sebelumnya (ini yang disebut riba nasi’ah).

Secara tegas, kata dia,Alquran melarang riba yang terdapat dalam surat Al Baqarah
ayat 275 dan 278-279, surat Ali Imran ayat 130, dan surat Ar Ruum ayat 39.

Dalil tersebut diperkuat beberapa hadits Nabi Muhammad SAW, salah satunya
adalah riwayat Imam Muslim: Dari Jabir RA, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat
orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang
menyaksikannya.” Dia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.”

6
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, medio 1997, sistem syariah telah
memberikan manfaat bagi banyak kalangan. Tentunya Anda ingat, pada saat itu, suku
bunga pinjaman melambung tinggi hingga puluhan persen. Akibatnya, banyak dari
kalangan usaha yang tidak mampu membayar. Tapi, fenomena ini tidak berlaku bagi
pelaku usaha yang menggunakan dana dari bank syariah. Para pengusaha tersebut tidak
perlu membayar bunga sampai puluhan persen, mereka cukup berbagi hasil dengan bank
syariah. Penentuan persentasi bagi hasil dilakukan di awal pengambilan pinjaman.

2.3 Prinsip-prinsip Dasar

2.3.1 Prinsip titipan atau simpanan (Al-wadi’ah)

Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.

Aplikasinya dalam produk perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan


dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk
giro. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut
menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat
jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.

Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus dapat diberikan
dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan dalam upaya
merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator
kesehatan bank.

Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan
jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi secara advance, tetapi betul-
betul merupakan kebijakan bank.

7
2.3.2 Prinsip bagi hasil (Profit-sharing)

A. Al-Mudharabah

Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana
pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut.

Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan


dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada: tabungan
dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk:
pembiayaan modal kerja.

Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak


mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian
keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 –56 persen dari hasil
investasi yang dilakukan oleh bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut kira-kira
setara dengan 11-12 persen.

B. Al-Musyarakah

Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun
risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank konvensional sebagai
sarana pembiayaan. Secara konkret, bila Anda memiliki usaha dan ingin mendapatkan
tambahan modal, Anda bisa menggunakan produk al-musyarakah ini. Inti dari pola ini
adalah, bank syariah dan Anda secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang
kemudian digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan

8
sebagai penyertaan dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank
konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.

2.3.3 Prinsip Al-Murabahah

Dalam skim ini, terjadi jual beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini harus
memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahan. Misalkan Anda membutuhkan kredit untuk pembelian mobil. Dalam bank
konvensional Anda akan dikenakan bunga dan Anda diharuskan membayar cicilan bulanan
selama waktu tertentu. Di sektor perbankan, suku bunga yang berlaku mungkin saja
berubah.

Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk seperti ini juga tersedia. Namun
bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan prinsip jual-beli, yang diistilahkan
dengan Murabahah. Dalam hal ini, bank syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan
terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Tapi, karena bank syariah
menalanginya dulu, maka pada saat menjual kepada Anda, harganya sedikit lebih mahal,
sebagai bentuk keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk keuntungan bank syariah
sudah disepakati di depan, maka nilai cicilan yang harus Anda bayarkan relatif lebih tetap.

2.4 Larangan Riba dalam Hukum Islam

Riba menurut bahasa berasal dari kata Rabaa'-yarbuu, riba-an yang berarti Az
Ziadah, tambahan, bertambah atau tumbuh, pertumbuhan (growth), naik (rise),
membengkak (swell), bertambah (increase),dan tambahan (addition) berkembang (an-
numuw), meningkat (al-irtifa), membesar (al-'uluw). Riba literally means an excess or
adition. The Qur'an has also used this term to signify increase. With reference to debts, it
means any excess drove the principal. Therefore, it includes both interest and usury.Lebih
lanjut Musthtaq Ahmad menulis dalam Business Ethics in Islam; some jurists have used
this term in a rather general sense to include any unlawful transaction.

Menurut istilah syara' ialah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak
diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara', atau terlambat menerimanya. Jadi,

9
Riba ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit maupun banyak secara ilegal.
Ahmad Salaim Mahfud berpendapat adanya penambahan terhadap jumlah pokok telah
diberikan/imbalan atas penangguhan utang. Abu Sura'i Abdul utang sebagai imbalan atas
perpanjangan batas waktu pembayaran yang Hadi dalam pembahasannya mengenai riba
menjelaskan bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat dalam pendefinisian riba. Sesuai
dengan pengertian masing-masing menurut sebab penetapan haramnya.

Ulama golongan mazhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai setiap kelebihan tanpa
adanya imbalan pembeli dan penjual di dalam tukar-menukar. Menurut golongan imam
Syafi'i, riba ialah transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui takaran
kesamaannya maupun ukuran waktu dilakukan transaksi atau dengan penundaan waktu
penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya. Kesamaan takaran

atau ukuran adalah pada barang sejenis, sedang penundaan waktu penyerahan boleh
jadi harga di salah satu barang itu telah berubah sifat riba. Sebab larangan ini berlakunya
pada barang makanan sekalipun barang tersebut pengukurannya menggunakan takaran atau
timbangan dan dilakukan tidak secara tunai. Menurut golongan Maliki definisinya hampir
sama dengan definisi golongan Syafi'i hanya berbeda pada illat-nya, yakni pada transaksi
tidak kontan pada bahan makanan yang tidak tahan lama.

Sedang menurut golongan Hambali, riba adalah tambahan yang diberikan pada
barang tertentu, yakni barang yang ditukar atau ditunda dengan jumlah yang berbeda. Ada
pula definisi tentang riba ini pada golongan Hambali, yaitu kelebihan pertukaran barang
tertentu dan penyerahannya bertempo pada barang-barang yang bisa ditimbang atau
ditukar. Abu Sura'i Abdul Hadi menyimpulkan yang dinamakan riba adalah tambahan yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman pokoknya, sebagai imbalan tempo
pembayaran yang tidak disyaratkan. Riba pada dasarnya adalah bunga atas tambahan bagi
pinjaman pokok.

Larangan melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al-Qur'an
dan Hadits Rasulullah SAW., Larangan riba dalam Al-Qur'an diturunkan dalam empat
tahap.

10
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahir-nya
seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau
taqarrub kepada Allah.

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya) (QS. ar-Rum: 39).

Dalam ayat ini tidak menunjukkan hukum riba secara jelas, dalam ayat ini hanya
dijelaskan bahwa Allah SWT. membenci riba dan di sisi Allah tidak ada nilai pahalanya.

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT
mengancam memberi balasan yang keras kepada orang. Yahudi yang memakan riba.

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka


(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-
orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih (QS. an-Nisa: 160-161).

Ayat ini mengisahkan orang-orang Yahudi yang menghalalkan riba, akibat


tindakannya kemudian mereka mendapat laknat, kutukan, dan murka dari Allah SWT.
Ayat ini baru memberi isyarat tentang hukum haramnya riba. Belum menunjukkan secara
jelas dan tegas tentang hukum haramnya riba.

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat
yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.
Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipatganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan" (QS. Ali-Imran: 130).

11
Ayat ini secara jelas menunjukkan hukum haramnya riba, akan tetapi hanya bersifat
parsial tidak bersifat umum, yaitu mengharamkan riba fakhisy (riba yang bunganya
berlipat ganda), sehingga peminjam tidak sanggup membayar utang dengan bunga yang
memberatkan. Inilah yang terjadi zaman jahiliyah.

Tahap terakhir, Allah SWT. dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
(yang belum dipungut) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (QS. al-Baqarah: 278-279).

Menurut pendapat sebagian ulama, riba ada empat bagian:


1. riba fadhli (menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidaksama);
2. riba qardhi (utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang mempiutangi);
3. riba yad (bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima);
4. riba nasi'ah (penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang).

2.5 Perkambangan Perbankkan Syariah dan Kredit

Model ekonomi Islam yang pertama dirumuskan sebagai bentuk penolakan terhadap
bunga bank ialah perbankan Islam sebagai alternatif perbankan tanpa bunga. Menelaah
perkembangan bank syariah harus berdasarkan pada analisis faktual dengan prasangka baik
(husnu-zhan). Selama ini ada analisis terhadap setiap kegiatan yang berkaitan dengan
masalah sosial keagamaan dari orde yang berkuasa tak urung muncul berbagai analisis dan
spekulasi. Baik analisis yang penuh kecurigaan yang berangkat dari prasangka buruk (su'u-
zhan) yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai, conspiration theory. Conspiration theory
tidak banyak kegunaannya dan juga sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya; suatu
perbuatan yang harus dihindari oleh orang yang beriman. Sebagai gantinya, analisis yang

12
harus dikembangkan adalah analisis faktual yang bertitik tolak dari prasangka baik (husnu-
zhan). Analisis faktual adalah pengamatan rasional atas bukti-bukti, dan bukan emosi
kecurigaan semata-mata.

Perbankan syariah merupakan salah satu doktrin ekonomi Islam sebagai hasil ijtihad
atas sumber-sumber naqliy. Guna memahami perbankan syariah, maka pengkajian tentang
riba merupakan hal yang penting. Riba berarti bertambah, yakni tambahan atas modal.
Ketentuan nash yang mengharamkan riba itu bersifat umum yang meliputi riba untuk
konsumtif dan produktif. Riba jahiliyah yang dikenal penduduk Mekkah sebagian besar
adalah riba yang diambil dari utang untuk keperluan bisnis.Hukum perbankan nasional
diartikan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan
bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta
hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.

Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga intermediasi mulai diakui dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (LN.1992 No. 31) dan sebagai aturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor7 Tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.
72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dengan adanya perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (LN. 1998 No.182), dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, telah ada landasan hukum yang lebih jelas dan
lebihmluas dalam pengembangan bank tanpa bunga yang dikenal dengan bank berdasarkan
prinsip syariah. Bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dimulai dengan
didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991, dan kemudian disusul dengan
berdirinya BPR berdasarkan prinsip yang sama. Sebelum muncul kebijakan likuidasi
banyak bank mengajukan izin menjadi bank syariah, namun banyak yang terlebih dahulu
dilikuidasi. Saat ini telah banyak bank umum (konvensional) yang membuka salah satu
cabangnya sebagai bank syariah. Bisnis syariah merupakan kegiatan bisnis dengan berbasis
pada prinsip-prinsip Syariah dalam beragam aspek bisnis. Motivasi para usahawan dalam
menggeluti bisnis syariah ini tidak lagi murni agamawi, tetapi lebih mengedepankan
masalah ekonomi semata.

13
Perkembangan bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari situasi politik yang
melingkupi kehadirannya dan masalah yuridis berkenaan dengan persentuhan antara
hukum syariah dengan hukum nasional dan hukum Barat, mau tidak mau bank syariah
harus menyesuaikan dengan habitat barunya. Perbankan syariah modern diawali saat
pendirian BPR Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera awal 1991 di Bandung.

2.6 Pembebanan Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah

Salah satu kegiatan usaha bank ialah memberikan kredit bank atau
pembiayaan.Setiap kredit atau pembiayaan yang akan disalurkan pada nasabah tidak akan
lepas tahapan proses pemberian kredit atau pembiayaan, ada empat tahap sebagai berikut:

1. Tahap sebelum pemberian kredit diputuskan oleh bank, yaitu tahap bank
mempertimbangkan permohonan kredit calon debitur, ini disebut tahap analisis kredit.
2. Tahap setelah kredit diputuskan pemberiannya oleh bank dan kemudian penuangan
keputusan ke dalam perjanjian kredit serta dilaksanakannya pengikatan agunan untuk
kredit yang diberikan ini. Tahap ini disebut tahap dokumentasi kredit.
3. Tahap setelah perjanjian kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dokumentasi
pengikatan agunan kredit telah selesai dibuat serta selama kredit itu digunakan oleh
nasabah debitur sampai jangka waktu kredit belum berakhir. Tahap ini disebut tahap
pengawasan dan pengamanan kredit.
4. Tahap setelah kredit menjadi bermasalah, yaitu tahapan penyelamatan dan penagihan
kredit.

Jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan, atau pernyataan kesanggupan


seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang, Undang-Undang
Perbankan mengartikan istilah jaminan sebagai "keyakinan atas iktikad dan kemampuan
serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dengan demikian, istilah jaminan
kredit yang dimaksud dalam Undang-Undang

Perbankan bukanlah jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan
collateral sebagai bagian dari 5C's Principles. Istilah collateral dalam Undang-Undang
Perbankan diartikan sebagai agunan. Selama ini yang dimaksud jaminan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah berwujud benda tertentu yang bernilai
ekonomis guna dipakai sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah jika nasabah debiturnya wanprestasi.

14
Dalam fiqh muamalah dikenal Al Kafalah, merupakan jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dalam hal ini, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang
yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Landasan Al Kafalah dalam Al-Qur'an ialah para penyeru itu berseru: "Kami
kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya." (QS. Yusuf: 72). Al Hadis
yang dijadikan dasar ialah telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW. (mayat seorang
Rasulullah SAW. bertanya, "Apakah dia mempunyai warisan?" Para sahabat menjawab
tidak. Rasulullah bertanya lagi, "Apakah dia mempunyai utang?" Sahabat menjawab ya,
sejumlah tiga dinar. Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi
beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.
Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. Kafalah memiliki rukun, yakni:

1. Penjamin/penanggung (kafil)
2. Orang/lembaga penerima jaminan/tanggungan.
3. Orang/lembaga yang meminta jaminan.
4. Hal/jenis pertanggungan.
5. Upah/fee.
6. Ijab kabul (shigat).

Adapun syarat kafalah antara lain:

1. Pihak yang berakad saling ridha dan tidak ingkar janji, serta cakap hukum.
2. Kafil mengetahui dengan benar apa yang akan menjadi tanggungan- nya dan mampu
melaksanakannya.
3. Hal/perkara yang ditanggung tidak boleh bertentangan dengan syariah.
4. Upah pertanggungan harus disepakati.
5. Masa jabatan sebagai kafil dianggap selesai/batal apabila: selesai urusannya,
dilaksanakan sendiri atau dicabut oleh orang yang meminta dijamin.
6. Penjamin.
a. Harus orang/pihak yang bisa bertanggung jawab.
b. Tidak boleh manarik/mengundurkan diri, kecuali saat barang yang dijamin belum
menjadi tanggung jawab pihak yang dijamin.
c. Penjamin sebagai pengganti.
d. Jumlah penjamin tidak terbatas, karena itu pihak yang bersangkutan boleh
meminta beberapa orang penjamin dalam satu perkara.
7. Pihak yang diberi jaminan
a. Boleh menuntut barang yang dijamin dari penjamin ketika sampai pada waktunya.

15
b. Boleh membebaskan penjamin dari tanggung jawabnya dengan demikian tidak
berartibahwa tanggung jawab orang yang dijamin juga lepas.
8. Barang yang dijamin.
Kafalah terdiri dari beragam jenis, yakni:

a. Kafalah bin-Nafs
b. Kafalah bit-Taslim
c. Kafalah al-Munjazah
d. Kafalah al-Muallagah

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hukum perbankan adalah segala norma hukum yang mengikat atau berlaku bagi
hubungan bank dengan nasabahnya baik itu berupa peraturan perundangan maupun berupa
kebiasaan praktek perbankanyang diterima dalam dunia bisnis yang tertulis maupun yang
tidaktertulis.

Sumber hukum perbankan adalah tempat ditemukannya ketentuanhukum dan


perundang- undangan tertulis yang mengatur mengenai perbankan. Kodifikasi atau
codificatie adalah pengitaban undang-undang atau pengitaban hukum.

Norma merupakan aturan perilaku dalam suatu kelompok tertentudimana setiap


anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban didalam lingkungan masyarakatnya
sehingga memungkinkan seseorang bisa menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakan
seseorang itudinilai oleh orang lain.

Berdasarkan Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

16
atau prinsip hukum islam. Kredit adalah suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan
seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan
membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku edisi revisi HUKUM ISLAM Penormaan prinsip syariah dalam hukum
indonesia,Dr.Drs.Abd.Shomad,S.H.,M.H

17

Anda mungkin juga menyukai