Anda di halaman 1dari 40

STHI JAKARTA

MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN


SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 1
PENGERTIAN HUKUM PERBANKAN
Secara sederhana hukum perbankan (banking law) adalah hukum yang mengatur
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, baik kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan usaha bank. Bank merupakan salah satu lembaga
keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Ini
berarti, kita akan membicarakan peraturan hukum (norma hukum) dan asas-asas hukum,
struktur hukum, dan budaya hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank.
Hukum Perbankan adalah “sebagai kumpulan peraturan hukum yang mengatur
kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan
eksistensi, serta hubungan dengan bidang kehidupan yang lain”.
Sehingga lingkup dari pengaturan hukum perbankan itu meliputi :
1. Asas- asas Perbankan, seperti norma efisiensi, keefektivan, kesehatan bank,
professionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan,
hubungan, hak dan kewajiban bank;
2. Para Pelaku Bidang Perbankan, seperti dewan komisaris, direksi dan karyawan,
maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT
Persero, Perusahaan Daerah, koperasi atau Perseroan Terbatas. Mengenai bentuk
kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta, patungan dengan asing, atau bank
asing;
3. Kaidah-kaidah Perbankan yang khusus diperuntukan untuk mengatur perlindungan
kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencegahan persaingan yang
tidak sehat, antitrust, perlindungan nasabah, dan alin-lain;
4. Yang menyangkut dengan Struktur Organisasi yang berhubungan dengan bidang
perbankan, seperti eksistensi dari Dewan Moneter, Bank Sentral, dan lain-lain;
5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh bisnis
nya bank tersebut , seperti pengadilan, sanksi, insentif, pengawasan, prudent banking,
dan lain-lain
Pendapat lain, bahwa hukum yang mengatur masalah perbankan disebut hukum
perbankan (Banking Law), yakni seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang
mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatan sehari-
hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya,
hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis
perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan,
dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan.

SUMBER-SUMBER HUKUM PERBANKAN


Sumber hukum perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam formal dan
sumber hukum dalam arti material. Sumber hukum dalam arti material adalah sumber
hukum yang menentukan isi hukum itu sendiri, dan itu tergantung dari sudut mana
dilakukan peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat,
dan lain sebagainya. Seorang ahli perbankan akan cenderung menyatakan, bahwa
kebutuhan-kebutuhan terhadap lembaga perbankan dalam suatu masyarakat itulah yang
menimbulkan isi hukum yang bersangkutan. Sumber hukum dalam arti material baru
diperhatikan jika dianggap perlu untuk diketahui akan asal usul hukum.
Adapun hukum dalam arti formal adalah tempat diketemukannya ketentuan hukum
dan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan. Berbeda dengan hukum
perdata, hukum perbankan yang berlaku dewasa ini belum terkodifikasi seperti hukum
perdata, tetapi bersumber pada berbagai perundang-undangan yang mengatur masalah
perbankan dan kebank sentralan. Bahkan dalam masalah tertentu, juga bersumber atau
merujuk kepada perundang-undangan lainnya di luar peraturan perundang-undangan dan
kebank sentralan.
Dibawah ini disebutkan berbagai peraturan perundang-undang yang secara khusus
mengatur atau yang berkaitan dengan masalah perbankan dan ke bank sentralan, yang
menjadi sumber Hukum Perbankan yang berlaku dewasa ini, diantaranya yaitu;
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
pertama dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (disebut Undang-undang
Perbankan yang diubah);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah pertama dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 dan terakhir dengan
peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 (disebut
UUBI)
3. Undang-undang Nomor 24 tahun 1999 tentang lalu lintas Devisa dan sistem nilai
Tukar;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 2009 (disebut UULPS)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
6. Burgerlijk wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), terutama ketentuan
dalam buku II dan Buku III mengenai jaminan kebendaan dan perjanjian
7. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang), terutama
ketentuan dalam buku I mengenai surat-surat berharga
8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962, tentang Perusahaan Daerah
9. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian
10. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas, yang kemudian
diperbarui dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007
11. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
12. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia
13. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang
14. Undang-undang no.21 tahun 2011, tentang Otoritas Jasa Keuangan
Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum
perbankan, di antaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah,
ajaran hukum melalui peradilan yang termuat dalam putusan hakim (Yusrisprudensi).

SIFAT DAN TUJUAN PENGATUR HUKUM PERBANKAN


Dari sudut sifatnya, sturktur kaidah hukum dapat dibedakan atas Hukum Imperatif
(hukum memaksa atau dwingend recht), dan hukum fakultatif (hukum mengatur atau
hukum pelengkap. Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan sanksinya. Hukum pemaksa,
itu hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat dikesampingkan (disisihkan) oleh
perjanjian (kontrak) yang disebut oleh kedua belah pihak sendiri. Dengan kata lain,
hukum yang dalam keadaan begaimanapun juga harus ditaati, hukum yang mempunyai
paksaan mutlak (absolut). Adapun Hukum mengatur, ialah hukum yang dalam keadaan
konkret dapat disisihkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana
kedua belah pihak dapat menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu
peraturan, maka peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak
perlu dijalankan. Hukum mengatur bisanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak tidak
membuat sendiri suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan, tetapi tidak
lengkap. Hukum mengatur disebut juga hukum menambah.

Apabila dihubungkan dengan sifat hukum perbankan adalah hukum memaksa, artinya
bank dalam menjalakan kegiatan usaha harus tunduk dan patuh terhadap rambu-rambu
yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Apabila rambu-rambu perbankan tadi
dilanggar, maka OJK berwenang untuk menindak bank yang bersangkutan dengan
menjatuhkan sanksi administrasi, seperti mencabut izin usahanya. Walaupun demikian,
dalam rangka pengawasan intern, bank diperkenalkan membuat ketentuan intern bank
sendiri (self regulation) dengan berpedoman kepada kebijakan umum yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Ketentuan intern bank sendiri ini diadakan dimaksudkan sebagai
standar atau ukuran yang jelas dan tegas dalam pengawalan intern bank, sehingga bank
diharapkan dapat melaksanakan kebijakannya sendiri dengan baik dan penuh tanggung
jawab.
Pada dasarnya usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan
masyarakat nasabah bank. Bank dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank
atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatannya dengan tetap
memelihara dan sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan
masyarakat untuk menyimpan sebagian atau seluruh uangnya di bank, semata-mata
dilandasi oleh prinsip kepercayaan bahwa uangnya akan aman dan tetap akan dapat
diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan,
dan di sertai pemberian imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpanan dana
terhadap suatu bank telah berkurang, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rush
terhadap dana yang disimpananya.
Adanya prinsip kehati-hatian bank dan kesehatan bank dalam kegiatan industri
perbankan juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
masyarakat/nasabah bank, hal ini mengingat sebagian besar sumber pendanaan
perbankan berasal dari masyarkat nasabah, di samping modal bank yang
bersangkutan. Bank hanya akan dapat mobilisasi dana dari masyarakat, bila bank
yang bersangkutan dapat dipercaya (prinsip kepercayaan) oleh masyarakat. Sementara
itu secara khusus di Indonesia, pengaturan hukum perbankan memiliki tiga fungsi
utama, yaitu :
1. Tujuan stabilitas moneter mengingat masih dominannya perbankan sebagai
sumber pembiayaan investasi
2. Fungsi pengawasan dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan maupun
sistem keuangan kseluruhan agar tercipta praktik perbankan dan persaingan antar
bank yang sehat, selain itu, untuk melindungin nasabah dan menjaga stabilitas
pasar uang, mendorong sistem perbankan yang efisien dan kompetitif dan tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya
yang wajar; dan
3. Tujuan pencapaian program-program pembangunan, khususnya ikut mengatasi
masalah-masalah ekonomi. Bank-bank kita mengemban peran sebagai agen
pembangunan (agent of development) dan diharapkan dapat memberikan
kontribusi pada usaha-usaha peningkatan tabungan, menumbuhkan kegiatan usaha
serta meningkatkan alokasi sumber-sumber perekonomian.

Dalam kacamata sistem hukum nasional, Hukum perbankan telah berkembang


menjadi hukum sectoral dan fungsional. Oleh karena itu, dalam kajiannya meniadakan
pembedaan antara hukum publik dan hukum privat, ruang lingkup hukum perbankan
itu mencakup beberapa bidang hukum, hukum adminitrasi, hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana dan hukum internasional.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

TATAP MUKA II

ASAS-ASAS HUKUM PERBANKAN


Untuk mempelajari norma hukum, maka kita harus mengetahui asas-asas hukum yang
menyertainya. Asas hukum ini sebagai suatu sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh
dan berkembang dan ia juga menunjukan, bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari
peraturan-peraturan belaka. Hal ini disebabkan karena asas hukum itu mengandung nilai-nilai
dan tuntutan-tuntutan etis yang merupakan jembatan antara peraturan-peraturan belaka. Hal
ini disebabkan karena asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis yang
merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan etis masyarakat.
Hubungan hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan
nasional, Bank Indonesia (saat ini OJK) Bank Pelaksana, dan nasabah Bank didasarkan pada
prinsip-prinsip pergaulan kegiatan industri perbankan, yang berfungsi sebagai pedoman bagi
pihak-pihak yang terkait dalam pergaulan dan kehidupan kegiatan industri perbankan,
sehingga dapat mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan prudent (prudential banking
organisasi).
Sementara itu Bank Pelaksana dapat mengadakan hubungan perbankan dengan
nasabah bank, baik itu berupa usaha memobilisasi dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan maupun usaha memobilisasi dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan maupun
usaha menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk
lainnya, yang kesemuanya dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat benyak.
Prinsip-prinsip pergaulan menjadi pedoman bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
kegiatan industri perbankan nasional tersebut.
Hubungan antara bank dan nasabah debitur, mempunyai sifat sebagai hubungan
kepercayaan yang membebankan kewajiban-kewajiban kepercayaan (fiduciary obligations)
kepada bank terhadap nasabahnya, maka masyarakat bisnis dan perbankan Indonesia telah
melihat pula bahwa hubungan antara bank dan nasabah debitur adalah hubungan
kepercayaan. Hubungan antara bank dan nasabah debitur bukan sekadar hubungan kotraktual
belaka, tetapi juga merupakan hubungan kepercayaan.

Hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana merupakan hubungan


kontraktual antara debitur dan kreditor yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dengan
tujuan agar abank yang menggunakan uang nasabah tersebut akan mampu membayar kembali
dana masyarakat yang disimpan.
Dengan adanya prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam melakukan kegiatan usaha
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat diwajibkan
untuk bertindak secara hati-hati, cermat, teliti, dan bijaksana atau tidak ceroboh,
meminimalisir kemungkinan risiko yang akan terjadi
Prinsip Rahasia Bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan,
merupakan jiwa dan industri perbankan. Prinsip rahasia bank adalah suatu prinsip yang
mengharuskan atau kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan keuangan nasabah penyimpan dan simpanannya, dari nasabah bank yang menurut
kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan.

HUBUNGAN HUKUM PERBANKAN DAN HUKUM PERDATA


Seperti diketahui fungsi perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat, karenanya melahirkan hubungan hukum bersifat perdata antara bank dan
nasabahnya, yang sudah tentu tunduk kepada pengaturan hukum perdata. Dari hubungan
hukum yang bersifat perdata tadi lahirlah akibat hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban, baik bagi bank maupun nasabahnya, yang diliputi hukum perdata. Oleh karena itu
pertanggung jawaban dan penyelesaian hukum bank dan nasabah dalam transaksi perbankan
harus tunduk kepada kaidah-kaidah hukum perdata. Hal ini menunjukan, bahwa hukum
perbankan merupakan bagian dari sistem hukum perdata.
Hubungan hukum tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
pertama, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian
simpanan dan kedua, hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur disebut
perjanjian kredit bank.
Sementara itu, hubungan antara nasabah penyimpanan dana dengan nasabah debitur
tidak dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum, melainkan hubungan moral. Sebagai
hubungan moral, maka pertanggung jawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi
sumber dan sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian
dalam pelaksanakan fungsi perbankan terdapat dua hubungan hukum dan satu
hubungan moral.
Berdasarkan uraian di atas jelas, bahwa di samping sebagai bagian hukum ekonomi
atau hukum bisnis, ternyata hukum perbankan juga merupakan bagian dari sistem hukum
perdata, karena subjek dan objek yang diaturnya berkenaam dengan hubungan hukum yang
bersifat perdata antara bank dan nasabah. Untuk itu tidak salah pula bilamana ketentuan
hukum perbankan bersentuhan atau masuk dalam ruang lingkup pengaturan hukum perdata.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : III

PENGERTIAN SISTEM KEUANGAN INDONESIA


Sistem keuangan pada dasarnya adalah tatanan dalam perekonomian suatu negara
yang memiliki peran terutama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa dibidang keuangan oleh
lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga penunjang lainnya. sistem keuangan
Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu sistem perbankan dan
sistem lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan yang masuk dalam sistem
perbankan, yaitu lembaga keuangan yang berdasarkan peraturan perundangan dapat
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dan dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Karena lembaga keuangan ini dapat
menerima simpanan dari masyarakat, maka juga disebut depository financial institutions,
yang terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Adapun lembaga keuangan
bukan bank adalah lembaga keuangan selain dari bank yang dalam kegiatan usahanya tidak
diperkenankan/menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan.
Lembaga keuangan bukan bank disebut non depository financial institutons. Sesuai Undang-
undang RI No.21 Tahun 2011, telah dibentuk lembaga otoritas jasa keuangan (OJK) yang
bertugas mengawasi sektor keuangan termasuk perbankan.

KEBERADAAN LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)


Sesuai penjalasan umum undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dinyatakan bahwa dengan adanya proses globalisasi sistem keuangan telah
menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, terkait antar subsector keuangan, baik
dalam hal prosuk maupun kelembagaan.
Dengan dibentuknya OJK, selaku lembaga yang independen, dalam melaksanakan
tugas wewenangny, bebas dari campur tangan pihak lain. OJK berfungsi menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa
keuangan, yaitu : (pasal 6)
a. Kegiatan jasa keuangan disektor perbankan
b. Kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal, dan
c. Kegiatan jasa keuangan disektor perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan,
dan lemabaga jasa keuangan lainnya.
Khususnya dalam tugas pengaturan dan pengawasan disektor perbankan OJK mempunyai
wewenang : (pasal 7)
a. Pengatur dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :
1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank. Anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi
dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana , penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa.
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :
1. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan,
dan pencadangan bank.
2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank
3. Sistem informasi debitur
4. Pengujian kredit (credit testing); dan
5. Standar Akuntansi Bank
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank meliputi :
1. Manajemen risiko
2. Tata kelola bank
3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. Pencegahan pembiyaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. Pemeriksaan Bank

Dalam UU OJK ini diatur pula hal ketentuan peralihan (pasal 55) yaitu :
1. Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal, perasuransian, dan pension,
lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari menteri
keuangan dan lembaga banda pengawsan pasar modal dan lembaga keuangan ke OJK.
2. Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan disektor perbankan beralih dari bank Indonesia ke OJK.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : IV

SISTEM MONETER INDONESIA


Sistem keuangan Indoensia terdiri atas sistem moneter dan sistem lembaga keuangan
bukan bank, yang dijalankan oleh otoritas moneter, perbankan dan lembaga keuangan bukan
bank serta lembaga pembiayaan. Sistem moneter terdiri atas bank-bank dan lembaga-lembaga
pencipta uang giral.
Fungsi pokok dari sistem moneter ini, yaitu :
1. Menyelengarakan mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien;
2. Melakukan fungsi intermediasi antara unit defisit (ultimate borrower) dengan unit
surplus (ultimate lender); dan
3. Menjaga kestabilan tingkat bunga yang dilakukan oleh otoritas moneter
Fungsi-fungsi tersebut merupakan satu kesatuan, artinya fungsi tersebut pada
prisnsipnya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena yang
satu tidak dapat dilaksanakan tanpa dibantu yang lain. Di samping itu, otoritas moneter
melakukan fungsi pengeluaran uang kertas dan logam, meciptakan uang primer (reserve
money), mengawasi sistem moneter dan mengelola cadangan devisa
Bank Indonesia, selaku otoritas moneter mempunyai wewenang menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter dalam rangka mencapai dan memlihara kestabilan nilai
rupiah. Di samping itu, Bank Indonesia dapat membantu bank-bank yang mengalami
kesulitan likuiditas dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort.
Sementara itu, hanya Bank Umum saja yang diperkenakan menghimpun simpanan dalam
bentuk giro. Oleh karena itulah, Bank Umum dikatakan sebagai bank yang menciptakan uang
giral
SISTEM PERBANKAN NASIONAL
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 hanya dikenal 2 jenis bank dilihat dari
fungsinya yaitu Bank Umum dan BPR. Disamping itu dari sudut operasionalnya
diperkanalkan pula suatu sistem perbankan yang berdasarkan prinsip bagi hasil / prinsip
syariah atau sistem perbankan syariah yang dapat dilakukan baik, oleh Bank Umum maupun
BPR. Dengan kat lain, kegiatan usaha Bank Umum dan BPR dapat dikelola secara
konvensional dan/ atau berdasarkan. Prinsip syariah atau bagi hasil
Bedasarkan Undang-undang Nomor 10 1998, operationalisasi perbankan nasional
dapat didasarkan kepada “sistem bunga” (konvensional) dan/atau “sistem syariah” (prinsip
syariah), yang kepengelolaannya bisa dilaksanakan oleh bank konvensional atau bank
syariah, apakah itu bank umum ataukah bank Perkreditan Rakyat.

BANK UMUM MILIK NEGARA


Bank Umum Milik Negara didirikan dengan undang-undang, di mana seluruh
modalnya, merupakan kekayaan negara. Sebelum lahinya Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, telah didirikan beberapa Bank Umum milik negara/pemerintah, yaitu:
1. Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo),
2. Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946)
3. Bank Dagang Negara (BDN)
4. Bank Bumi Daya (BBD)
5. Bank Tabungan Negara (BTN)
6. Bank Rakyat Indonesia (BRI)
7. Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim)
Dengan berlaku Undang-undang Nomo 10 Tahun 1998, bentuk hukum dari Bank-bank
umum milik negara itu diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk hukum bank
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Penyesuaian bentuk hukum
Bank Umum milik negara itu menjadi perusahaan Persero (PT Persero) dilakukan dengan
Pengaturan Pemerintah.
Kemudian sejak tahun 1999, dari ketujuh Bank Umum milik negara ini, empat bank,
yakni Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank
Pembangunan Indonesia telah menggabungkan diri menjadi PT Bank Mandiri (Persero),
yang total asset seluruhnya hampir mencapai Rp160,5 triliun. Sedangkan Bank Negara
Indonesia 1946, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tetap berdiri sendiri
menjadi PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero),
dan PT Bank Tabungan Negara (Persero). Penggabungan atau pendirian PT Bank Mandiri
(Persero) tersebut merupakan salah satu pelaksanaan butir letter of intent antara
pemerintah dengan IMF beberapa waktu lalu.

BANK PEMBANGUNAN DAERAH


Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan Bank Umum Milik Daerah yang
didirikan menurut ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1962
tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah
BANK UMUM SWASTA NASIONAL
Bank umum swasta Nasional adalah bank yang didirikan dan dimiliki oleh warga
negara Indoensia dan /atau hukum Indonesia. Bentuk hukum Bank Umum swasta
nasional ini berbentuk Perseroan Terbatas. Bank Umum swasta nasional ini dapat menjadi
bank devisa (foreign excghange bank) setelah bank bersangkutan memenuhi syarat-syarat
sebagai bank devisa
BANK UMUM ASING (BANK ASING)
Bank asing adalah bank yang didirikan dan dimiliki warga negara asing dan/atau
badan hukum asing sebagai cabang, cabang pembantu, dan perwakilan dari suatu bank
yang berkedudukan diluar negeri.
Bank asing yang boleh membuka kantor cabang Pembantunya hanyalah bank asing
yang telah ada dan tergolongan sehat termasuk permodalannya. Setelah 12 bulan sejak
dibukanya kantor cabang Pembantunya, posisi kredit ekspor dari kantor Cabang
Pembantu tersebut harus mencapai sekurang-kurangnya 50% dari kredit yang diberikan.
Pembukaan kantor bank asing izinnya diberikan OJK dengan memperhatikan :
1. Tingkat kesehatan Bank
2. Persaingan yang sehat antar bank; dan
3. Tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wiliyah tertentu serta pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.
Seiring dengan itu, bank diperkenankan menyelenggarakan tabungan sesuai dengan
prosedur yang berlaku.
BANK CAMPURAN
Bank campuran (joint venture bank) adalah umum yang didirikan bersama oleh satu
atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga Negara
Indonesia dan/atau badan hokum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga Negara
Indonesia, dengan satu atau lebih yang berkedudukan diluar negeri. Pendirian kegiatan
operasioanal bank campuran ini umumnya hanya melakukan wholesale atau corporate
banking, yaitu kegiatan yang hanya melayani nasabah-nasabah relatif besar saja.

BANK PERKREDITAN RAKYAT


perbankan dibanyak negara pada umunya tidak ditunjukan untuk melayani
masyarakat kecil. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program pendidikan, falsafah
perusahaan, manajemen dan sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanannya, semua
ditujukan untuk melayani orang-orang yang mapan dan berada. Namun di indoensia, sudah
sejak lama ada sejenis bank yang khusus melayani masyarakat kecil, yaitu BPR. Tugasnya
memberikan bantuan kepada masyarakat kecil yang membutuhkan bantuan dana dipasar-
pasar dan di desa-desa. Selain itu, tugasnya menghimpun dan tabungan masyarakat dan
deposito berjangka.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : V

PENGERTIAN BANK SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI


Terminology “Bank” berasal dar Bahasa Italia ‘banca’ yang berarti “bence” , yaitu
suatu bangku tempat duduk. Hal ini disebabkan pada zaman pertengahan, pihak banker Italia
yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di
bangku-bangku dihalaman pasar.
Sementara itu ketentuan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 merumuskan
pengertian “Bank” itu sebagai berikut:
“ bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”
Dari pengertian di atas, jelas bahwa bank berfungsi sebagai financial intermediary dengan
usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa
lainnya yang lazim dilakukan bank dalam lalu lintas pembayaran. Kedua fungsi itu tidak bisa
dipisahkan. Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank
mempunyai kewajiban untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi,
dan perluasan kesempatan kerja.
Aktivitas perbankan yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas
yang dikenal dengan istilah di dunia perbankan adalah kegiatan funding. Pengertian
menghimpun dana maksudnya adala, mengumpulkan atau mencari dana dengan cara
membeli dari masyarakat luas. Pembelian dan dari masyarakat ini dilakukan oleh bank
dengan cara memasang berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya dalam
bentuk simpanan.
Setelah memperoleh dana dalam bentuk simpanan dari masyarakat, maka oleh
perbankan dana tersebut diputarkan kembali atau dijualkan kembali ke masyarakat dalam
bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan istilah kredit (lending). Dalam pemberian kredit
juga dikenakan jasa pinjaman kepada penerima kredit (debitur) dalam bentuk bunga dan
biaya administrasi. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah dapat berdasarkan
bagi hasil atau penyertaan modal.
Disamping itu, perbankan juga melakukan kegiatan jasa-jasa pendukung lainnya. jasa-
jasa ini diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpunan dan menyalurkan
dana , baik yang berhubungan langsung dengan kegiatan menghimpunan dan kredit maupun
tidak langsung. Jasa perbankan lainnya anatara lain meliputi :
1. Jasa Pemindahan Uang (Transfer)
2. Jasa Penagihan (Inkaso)
3. Jasa Kliring (Clearing)
4. Jasa Penjualan Mata Uang Asing (Valas)
5. Jasa Safe Deposit Box
6. Travellers Cheque
7. Bank Card
8. Letter of Credit (L/C)
9. Bank Garansi dan Referensi Bnak, dll
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : VI

FUNGSI POKOK BANK


Dalam operasionalnya, bank memiliki beberapa fungsi pokok :
Ada lima fungsi pokok bank, yaitu :
1. Menghimpun Dana :
Dana yang dihimpun oleh bank terutama berasal dari tiga sumber pokok yaitu :
a. Dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito, tabungan, dana endapan
L/C, Bank garansi, Wesel, dan sebagainya.
b. Dari lembaga penanam modal atau lembaga keuangan non bank, seperti dana
pensiun, asuransi, koperasi, reksadana, dan sebagainya;
c. Dari dunia usaha dan masyarakat lain.
2. Memberi kredit :
Pelaksanaan fungsi pemberian kredit harus memperhitungkan likuiditas agar tidak
membahayakan pemenuhan kewajiban kepada nasabah jika sewaktu-waktu
diperlukan. Kredit dapat berupa kredit jangka pendek, menengah, dan jangka panjang
dapat mempunyai pengaruh langsung terhadap pasar modal.
3. Memperlancar lalu-lintas pembayaran :
Fungsi ini dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain pemberian jaminan bank,
pengiriman uang, pembukaan L/C, dan inkaso.
4. Media Kebijakan Moneter :
Bank sebagai penerima simpanan giro sering dikatakan sebagai lembaga yang
mempunyai kemampuan menciptakan uang. Dalam konteks demikian bank sering
dikatakan berfungsi sebagai media kebijakan moneter.
5. Penyedia informasi, pemberiaan konsultasi, dan bantuan penyelenggaraan
adminitrasi:
Informasi suku bunga (investasi), konsultasi investasi, bantuan adminitrasi proyek,
dan sebagainya sudah lazim dilakukan oleh bank-bank sekarang ini.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : VII

PERIJINAN PENDIRIAN BANK


Ketentuan perijinan pendirian bank diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998. Disebutkan bahwa di Indonesia pada prinsipnya setiap pihak yang melakukan kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu
memperoleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari pimpinan
Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur
dengan undang-undang tersendiri. Kewajiban untuk memperoleh ijin usaha sebagai Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dikarenakan kegiatan menghimpunan dana dari
masyarakat, oleh siapapun , pada dasarnya merupakan kegaiatan yang perlu diawasi
berhubung kegiatan ini terkait dengan kepentingan masyarakat (nasabah) yang menyimpan
dananya pada pihak bank umum.
Dalam memberikan ijin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat,
OJK wajib memperhatikan hal-hal dibawah ini :
1. Pemenuhan persyaratan pendirian, meliputi :
a. Susunan organisasi dan kepengurusan
b. Permodalan
c. Kepemilikan
d. Keahlian di bidang perbankan
e. Kelayakan rencana kerja
2. Tingkat persaingan usaha yang sehat antarbank.
Tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu dan pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.

BENTUK HUKUM BANK


Bentuk hukum suatu bank harus jelas, sehingga diperoleh ketegasan tentang kekayaan
yang terpisah, pengesahan pendiriannya, dan pengurus yang berwenang mewakili bank.
Terdapat beberapa bentuk hukum suatu bank, yang disesuaikan dengan jenis
kelembagaan perbankan yang akan didirikan. Ketentuan menetepkan bentuk hukum suatu
bank, yaitu:
1. Bank Umum harus berupa :
Perseroan terbatas
2. Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa :
 Perusahaan Daerah
 Koperasi
 Perseroan terbatas
Dengan sendirinya bentuk hukum dari kantor cabang dan kantor cabang bank yang
berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ditetapkan bahwa Bank
Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek di Indonesia dan/atau diluar negeri.
Sebagai pembelinya tidak terbatas, siapa saja diberikan kesempatan untuk memiliki saham
Bank Umum secara langsung dan/atau melalui bursa efek, baik perorangan maupun badan
hukum, serta baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan/atau badan
hukum Indonesia maupun badan hukum asing dengan tetap mempertahankan prinsip
kemitraan. Diharapkan perorangan dan/atau badan hukum yang membeli saham bank umum
akan mampu meningkatkan permodalan dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan tingkat
kesahatan bank yang bersangkutan. Pada gilirannya dengan perubahan struktur permodalan
dimaksudnya akan dapat membantu menciptakan sistem perbankan yang sahat.
Diperbolehkannya pihak asing memiliki saham mayoritas pada Bank Umum
dimaksudkan untuk membuka kesempatan yang lebih luas kepada berbagai pihak, baik
Indonesia maupun asing untuk turut serta memiliki Bank Umum. Hal ini sudah menjadi
komitmen Indonesia untuk melaksanakan isi Perjanjian Putaran Uruguay di bidang jasa
finansial.

KEPENGURUSAN BANK
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memasukan kepengurusan bank, yakni
anggota dewan Komisaris dan dewan Direksi sebagai pihak yang terafiliasi pada bank
Kepengurusan Bank Umum
Untuk menjadi anggota Dewan Komisaris dan Direksi Bank, seseorang harus
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh OJK yaitu :
a. Tidak termasuk dalam orang yang dilarang menjadi peme-gang saham dan/atau
pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK; dan
b. Menurut penilaian Bank Indonesia, yang bersangkutan memiliki kompetensi dan
integritas yang baik.
Kepengurusan BPR
Kepengurusan BPR terdiri atas Direksi dan Komisaris yang wajib memenuhi
persyaratan tidak termasuk dalam daftar orang yang dilarang menjadi pengurus di bidang
perbankan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK menurut penilaian OJK yang
bersangkutan memiliki integritas yang baik , dan memiliki kompetensi serta reputasi
keuangan dalam bidang perbankan.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 9

PENGHIMPUNAN DANA BANK

Ketentuan Hukum Penghimpunan Dana


Penghimpunan dana merupakan jasa utama yang di tawarkan dunia perbankan dan
yang dihimpun dari masyarakat ini merupakan tulang punggung (basic) dari dana yang
dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan.
Bank Umum maupun BPR dapat melakukan kegiatan usaha penghimpunan dana dari
masyarakat, baik berdasarkan prinsip konvensional maupun prinsip syariah. Penghimpunan
dana dari masyarakat tersebut dihimpun dalam bentuk simpanan yang dapat berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 telah membatasi instrument
penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh BPR hanya berupa simpanan dalam
bentuk deposito (deposito berjangka), tabungan dan /atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu. Itu berarti, instrument penghimpunan dana dari masyarakat berupa simpanan
dalam bentuk giro/rekening koran dilarang menjadi lahan kegiatan usaha BPR. Simpanan
dana dari masyarakat merupakan salah satu sumber dana perbankan, di samping modal
sendiri dan pinjaman dari pasar uang antarbank.

1. Dana Giro
Seperti yang telah dirumuskan dalam pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau
dengan pemindah bukuan.
Giro merupakan dana yang disimpan di bank pada rekening giro sebagai titipan yang
dapat diambil sewaktu –waktu dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Berfungsi sebagai alat pembayaran giral:
2. Penarikan atau pengambilannya dapat dilakukan setiap saat disesuaikan dengan
kebutuhan sepanjang dananya tersedia;
3. Penarikan atau pengambilannya menggunakan surat, warkat, atau sarana perintah
pembayaran, seperti cek, bilyet giro, pemindah bukuan, ATM atau sarana penarikan
yang lain.

Cek
Cek adalah surat perintah tak bersyarat dari penerbit(nasabah) kepada tertarik (Bank)
untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada nama yang tersebut dalam cek atau kepada
orang lain yang ditunjuknya pada tempat dimana pembayaran harus dilakukan.
Dalam cek melibatkan 3 pihak, yaitu:
a. Pihak yang menerbitkan/menandatangani/mengeluarkan cek selaku penarik (Drawer)
b. Pihak yang diperintahkan untuk membayar sejumlah uang tertentu selaku tertarik
(Bank)
c. Pihak yang ditunjuk oleh penerbit untuk menerima sejumlah uang tertentu pada hari
bayar dari tertarik, selaku pemegang/pembawa/pengganti.
Jenis-jenis cek:
Diatur dalam pasar 182 dan 191 KUHD, Dibedakan atas:
a. Cek Atas Nama:
Pembayaran kepada orang yang disebut namanya dalam cek dan pengalihan haknya
dengan cara Endosemen.
b. Cek Atas Pembawa/Unjuk:
Pembayaran dilakukan kepada orang yang membawa/yang menunjukan dan
pengalihan haknya dengan cara penyerahan fisik cek. Pembayaran setiap cek
dilakukan pada waktu cek ditunjukkan dalam tenggang waktu 70 hari terhitung mulai
tanggal pengeluarannya (pasal 206 KUHD).

Bilyet Giro
Bilyet Giro (BG) pengaturannya terdapat dalam surat ederan BI. Istilah Bilyet Giro
berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Bilyet = Surat, Giro = Simpanan Nasabah pada Bank yang
pengambilannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan Cek atau dengan
pemindah bukaan.
BG adalah surat perintah pemnidah bukuan sejumlah dana, pemindahbukuan man
berfugsi sebagai pembayaran karena. Itu BG adalah alat pembayaran sehingga termasuk surat
berharga.

Perhitungan penarikan cek/bilyet giro kosong:


a. Satu lembar cek/bilyet giro yang sama dan dikliringkan berulang-ulang serta ditolak
pembayarannya karena dananya tidak cukup dihitung sebagai satu lembar penarikan
cek/bilyet giro kosong;
b. Beberapa lembar cek/bilyet giro yang ditarik oleh seorang nasabah dan ditolak
pembayarannya oleh satu bank atau beberapa bank pada tanggal yang sama karena
dananya tidak cukup dihitung sebanyak jumlah lembar penarikan cek/bilyet, giro
kosong.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 10

2. Dana Tabungan
Berbeda dengan simpanan Giro yang bias ditarik menggunakan cek & bilyet giro, dana
tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau bilyet giro.
Ada beberapa alat penarikan tabungan, yaitu slip penarikan disertai dengan buku
tabungan atau menggunakan kartu plastic yang dikenal dengan kartu debet.

3. Dana Deposito
Produk Simpanan:
a. Deposito Berjangka
Sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
Bahwa deposito atau disebut pula deposito berjangka adalah simpanan dana berjangka yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah
penyimpan dengan baik.
Jadi, penarikan simpanan yang berbentuk deposito ini waktunya sudah ditentukan
(waktunya tetap) disesuaikan dengan perjanjian antara nasabah penyimpanan dana dengan
bank pada saat pembukaan deposito yang bersangkutan.
b. Sertifikat deposito adalah simpanan dalam deposito yang sertifikat bukti
penyimpanannya dapat dipindah tangankan, berbeda dengan deposito berjangka, maka
sertifikat deposito adalah surat berharga perbankan yang diterbitkan atas tunjuk (unjuk) tanpa
nama pembeliannya dalam rupiah, yang merupakan suatu pengakuan hutang dari bank dan
dapat diperjual belikan dalam pasar uang, bedanya dengan deposito berjangka, bunga serifikat
deposito diberikan secara diskonto, yaitu dibayar di muka sekaligus pada saat pembelian.
c. Deposito on Call (DoC)
Produk ini tidak diatur secara khusus dalam UU perbankan. Akan tetapi,
memperhatikan definisi deposito, berjangka, maka produk ini sama dengan deposito berjangka,
hanya terdapat perbedaan mengenai jangka waktunya, yakni kurang dari 1 bulan, sehungga
dalam deposit on call in jatuh temponya dihitung berdasarkan hari yan kurang 1 bulan,
sedangkan bukti dari deposito on call tersebut dapat berupa surat keterangan bank atau berupa
bilyet deposito yang bersangkutan.
Bagi bank, produk DoC tersebut tetap sebagai bagian dari penghimpunan dana
simpanan masyarakat . namun, bagi nasabah, produk DoC tersebut diperlukan sebagai daya
memaksimalkan dana tunai yang dikelolanya. Sehingga menghasilkan bunga.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 11

DANA TABUNGAN
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang dimaksud dengan
tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek , bilyet giro , dana tau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu kepada nasabahnya akan diberikan atau menerima buka tabungan
sebagai bukti telah menyimpna dananya dalam rekening tabungan.
Cara penarikan rekening tabungan yang paling banyak digunakan saat ini adalah
dengan buku tabungan, cash card atau kartu ATM, dan debet card. Persaingan ketat dalam
penghimpunan dana melalui tabungan antar bank-bank telah banyak memunculkan cara-cara
baru untuk menarik nasabah. Cara-cara tersebut antara lain hadiah atas tabungan, fasilitas
asuransi atau tabungan, fasilitas kartu ATM, dan fasilitas debet card.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 12

Pengertian Dan Unsur-unsur Kredit


Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional yang berbasis
dasar bunga (interest based), sedangkan dalam sistim perbankan syariah lebih dikenal dengan
istilah pembiayaan, (financing) yang berbasis pada keuntungan yang dikehendaki (margin)
ataupun bagi hasil (profit sharing).
Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 10
tahun 1998, yaitu:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjamkan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”.
Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan pasal 1, undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu:
“pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang
atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

Dari pengertian kredit tersebut, dapat ditemukan adanya unsur-unsur yang terkandung yaitu ;
1. Kepercayaan : yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang
diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan
diperjanjikan pada waktu tertentu;
2. Waktu ; yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dari pelunasan
kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu disetuju atau disepakati
bersama antara pihak bank dan nasabah peminjam dana;
3. Prestasi dan kontraprestasi : yaitu adanya objek tertentu berupa pretasi dan
kontrapretasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan pemberian kredit
yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dan nasabah peminjam dana,
yaitu berupa uang atau tagihan yang diukur dengan uang dan bunga atau imbalan, atau
bahkan tanpa imbalan bagi bank syariah.
4. Risiko : yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu antara
pemberian dan pelunasan kredit tersebut, hingga untuk mengamankan pemberian
kredit dan menutupi kemungkinan terjadinya wanpretasi dari nasabah peminjam dana,
diadakanlah pengikatan jaminan (agunan).

Prinsip Dalam Pemberian Kredit


Pemberian kredit oleh bank tersebut merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank,
yang juga sebagai asset utama serta sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang
bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan usahanya menghimpu dan menyalurkan dana
masyarakat.
Dalam melakukan pemberian kredit, bank diwajibkan untuk memerhatikan asas-asas
perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian. Ketentuan dalam undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 menetapkan, bahwa:
a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
b. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh bank Indonesia.
Unsur 5 C’s harus menjadi tolak ukur atau pedoman dalam pemberian kredit oleh bank,
dengan harapan pemberian kredit tadi tidak menjadi macet. Dalam hal ini menjadi keharusan
bagi bank menilai secara seksama unsur 5 C’s sebagai dasar dalam pemberian kredit yang
bersangkutan, yang meliputi:
1. Penilaian watak/kepribadian (character)
Penialaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui
kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan
pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari
2. Penilaian kemampuan (capacity)
Bank harus meneliti tentang kehalian calon debitur dalam bidang usahanya dan
kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya
dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu
tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
3. Penilaian terhadap modal (capital)
bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai
masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan
calon debitur dalam menunjang pembiayaan atau usaha calon debitur yang
bersangkutan.
4. Penilaian terhadap agunan (collateral)
Untuk menanggung pembayaran kredit macet dikarenakan debitur wanprestasi, maka
calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diberikan kepadanya.
5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy)
Bank harus menganalisa keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu
ataupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau
usaha calon debitur yang dibiayai dapat pula diketahui.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 13

PENGERTIAN DAN FUNGSI JAMINAN KREDIT


Dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan , tidak disebuktkan
lagi secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan, atas kredit yang
dimohonkan oleh calon debitur/ debitur seperti yang di atur dalam undang-undang perbankan
sebelumnya, yaitu undang-undang Nomor 14 Tahun 1967.
Bunyi pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998:
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan
serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Adapun fungsi jaminan kredit, yaitu:


1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan
apabila debitur melakukan cidera janji untuk membayar kembali utangnya pada waktu
yang telah ditetapkan dalam perjanjian:
2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya.
Sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya, atau proyeknya dengan
merugikan diri sendiri atau perusahaanya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya
kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai
pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur
dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah
dijaminkan kepada bank (bank Indonesia, 1994:3 dan Thomas suyatno,etal).
Pembatasan dan Larangan Dalam Pemberian Kredit
Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikat harus menganut asas “mengambil
risiko sekecil mungkin”. Risiko itu dapat dibatasi antara lain bila satu bank tidak terlalu
banyak memberikan kredit kepada nasabah tertentu saja atau kepada pihak-pihak yang
mempunyai keterkaitan dengan bank tersebut. Untuk itu perlu adanya ketentuan tentang
penentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit /BMPK (legal lending limit /LLL) yang harus
dipatuhi oleh setiap bank.
Bank maksimum pemberian kredit ini merupakan sarana pengawasan penyaluran
kredit bank. BPMK adalah persentase maksimum penyedian dana yang diperkenankan
terhadap modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok peminjam tertentu.
Penyedian dana di sini meliputi penanaman dana bank dalam bentuk kredit, surat berharga,
penempatan, surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali, tagihan akseptasi,
derivative kredit (credit derivative), transaksi rekening administrative, tagihan derivative,
potential future credit exposure, penyertaan model, penyertaan modal sementara, dan bentuk
penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
Dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ketentuan BMPK dapat dibedakan atas
2 (dua) jenis, yaitu:
1. Jenis BMPK 30% (tiga puluh persen)
Menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 30% dari modal bank, tetapi tidak boleh
melebihi 30% dari modal bank yang bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada
peminjam atau sekelompok. Peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-
perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. Kelompok
(group) merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama lain mempunyai
kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan/ atau hubungan keuangan.
2. Jenis BMPK 10% (sepuluh persen)
Menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 10% dari modal bank, tetapi tidak boleh
melebihi 10% dari modal bank yang bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada:
a. Pemegang saham bank yang bersangkutan
b. Anggota dewan Komisaris
c. Anggota Direksi
d. Keluarga dari pihak pemegang saham yang bersangkutan, anggota dewan
Komisaris dan anggota Direksi.
e. Pejabat bank lainnya; dan
f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak
pemegang saham yang bersangkutan,
Selain pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula pembatasan
dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit.

Bank tidak diperkenakan atau dilarang :


a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal kerja dalam
rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pemberian kredit investasi untuk
pembiayaan barang modal (aktiva tetap/bergerak). Yang diperlukan oleh
perusahaan yang melakukan kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi
yang diperdagangkan di pasar modal.
b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 14

PERLUNYA RAHASIA BANK


Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab
apabila nasabah penyimpan ini tidak memercayai bank di mana ia menyimpan simpanannya
tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya.
Dengan demikian, kerahasiaan bank ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri
yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat
hanya akan memercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari
bank ada jaminan, bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan
nasabah tidak akan disalahgunakan. Adanya ketentuan rahasia bank ini ditegaskan bahwa
bank harus memegang teguh rahasia bank.
Sesuai pasal 1 UU Nomor 10 Tahun 1998, Rahasia Bank adalah; segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya.
Pihak-pihak yang berkewajiban menjaga rahasia bank diatur dalam undang-undang
perbankan. Dari bunyi ketentuan dalam, undang-undang nomor 10 tahun 1998, dapat
diketahui pihak-pihak yang berkewajiban untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabah
penyimpan dam simpanannya, yaitu:
1. Anggota Dewan Komisaris Bank;
2. Direksi Bank;
3. Pegawai Bank;
4. Pihak Terafilasi lainnya dari Bank.
Pengecualian Berlakunya Ketentuan Rahasia Bank
Pengecualian berlakunya ketentuan rahasia bank diatur dalam ketentuan pasal pasal
42, pasal 41A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A, Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998. Yang bunyinya sebagai berikut.
Pasal 41
(1) Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama
pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang di kehendaki keterangannya.
Pasal 41A
(1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara atau Panitia Urusan Piutang Negara, pimpinan Bank
Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
atau Piutang Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan Nabasah Debitur.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan
tertulis dari Kepala Radon Urusan Piutang dan Lelang Negara atau Ketua Panitia
Urusan Piutang Negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan
jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau Piutang Urusan
Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya
keterangan.
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat
memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari
bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan
tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, jaksa agung, atau ketua
mahkamah agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan
jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya
keterengan dalam hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan
yang diperlukan.
Pasal 43
Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan
nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan
perkara tersebut.

Pasal 44
(1) Dalam angka tukar-menukar informasi antarbank, direksi bank dapat memberitahukan
keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44A
(1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan
pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan
tersebut.
(2) Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari
nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai
simpanan nasabah penyimpan tesebut.

Pengaturan Pengecualian Terhadap Ketentuan Rahasia Bank, diluar Undang-undang


Perbankan.
Selain pengecualiann-pengecualian yang telah diuraikan di atas, maka Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank,
kewenangan tersebut didasarkan pada surat mahkamah agung
No.KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank yang
ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 desember
2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas
Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 agustus 2004 yang
meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan
kewenangan Komisi Pemberantas Korupsi dalam membuka rahasia bank.
Dalam surat keputusan memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex
specialis) yang memberikan kewenangan kepada komisi pemberantas korupsi dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan berdasarkan
ketentuan tersebut, maka prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam
pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No.20 Tahun 2001 jo. Pasal 42 Undang-
undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-
undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah di ubah dengan Undang-
undang No.10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi komisi pemberantas korupsi.
Pemberian kewenangan untuk menerobos rahasia bank kepala Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) adalah suatu terobosan hukum yang tepat dalam upaya mencegah dan
menindak tindak pidana di bidang perbankan.
STHI JAKARTA
MATA KULIAH : HUKUM PERBANKAN
SEMESTER : VI (enam)
Dosen : Drs Benjamin L. Luntungan SH.,MM

Tatap Muka : 15

ANCAMAN PIDANA PELANGGARAN KETENTUAN RAHASIA BANK


Dengan adanya ketentuan rahasia bank tersebut, maka setiap pejabat dan karyawan
bank dilarang untuk membuka segala keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan rahasia bank diatur dalam pasal 47:2
dan pasal 47 A UU No.10 Tahun 1998. Yaitu sebagai berikut:
- Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak terafiliasi lainnya yang
dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan paling lama 4 tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp.4 milyar dan paling banyak Rp. 8 milyar.
- Sesuai pasal 47 A, anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi, pengecualian
diancam dengan pidana penjara sekurang kurangnya 2 tahun dan paling lama 7 tahun
serta denda sekurang-kurangnya 4 milyar rupiah dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Dalam kaitanya dengan pelaksanaan tugas bank Indonesia, anggota dewan komisaris, direksi,
dan pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
diberikannya diancam dengan pidana penjara sekurang kurangnya 2 tahun paling lama 10
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5 milyar dan paling banyak Rp.100 milyar.
Apabila lalai memberikan keterangan yang wajib diberikannya, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 1 tahun paling lama 2 tahun dana tau denda sekurang-
kurangnya Rp. 1 milyar dan paling banyak Rp. 2 milyar.
Selain mengatur mengenai sangsi bagi pihak yang memberi atau tidak memberikan
keterangan yang menyangkut rahasia bank tersebut di atas, diatur juga sangsi bagi pihak yang
memaksa bank untuk memberikan keterangan mengenai rahasia bank, tanpa mengindahkan
prosedurnya, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan paling lama 4
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10 milyar dan paling banyak Rp. 200 milyar.
Tindak memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi, dan memaksa bank untuk memberikan keterangan tanpa ijin
menteri keuangan, dikatagorikan sebagai tindak pidana kejahatan (Ps.51:1).
Lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi, merupakan tindak pidana
pelanggran, (Ps. 51:2 ).

Anda mungkin juga menyukai