NPM : 21111011
A. Pendahuluan
Manajemen berasal dari kata manage (bahasa latinnya: manus) yang berarti:
memimpin, mengatur, atau membimbing. George R. Terry mendefinisikan manajemen
sebagai proses yang khas dan terdiri atas tindakan-tindakan, seperti perencanaan,
pengorganisasian, pengaktifan dan pengawasan yang dilakukan untuk melakukan serta
mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya
manusia dan sumber-sumber lainnya.
Manajemen adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan
dengan menggunakan atau mengordinasikan kegiatan-kegiatan orang lain. Manajemen
terdapat tiga unsur yang penting, yaitu adanya orang yang lebih dari pada satu, adanya
tujuan yang ingin dicapai dan orang yang bertanggung jawab atas tercapainya tujuan
tersebut. Seiring pengertian manajemen ini dikaitkan dengan pengertian organisasi.
Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam manajemen, sehingga
organisasi dianggap alat manajemen dalam pencapaian tujuannya. Dengan istilah
organisasi diartikan sebagai wadah kegiatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam
pencapaian tujuan bersama, dimana terdapat orang yang mengatur kegiatan untuk
pencapaian tujuan tersebut dan orang yang melaksanakan kegiatan itu.
C. Perbankan Syari’ah
1. Pengertian Bank Syari’ah
Lembaga keuangan islam utama adalah bank islam atau bank syari’ah, yaitu
lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil
melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan
prinsip syari’ah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syari’ah yang bersifat
makro maupun mikro. Bank syari’ah tidak hanya mengejar materiilnya saja tetapi
juga immateriilnya. Selain itu, dimensi keberhasilan bank syari’ah meliputi
keberhasilan dunia dan akhirat (long term oriented) yang sangat memperhatikan
kebersihan sumber, kebenaran proses, dan kemanfaatan hasil.
E. Pegadaian Syari’ah
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa
rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan juga dapat
dinamai al-habsu (Pasaribu,1996). Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama,
sedangkan al-hasbu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut (Syafi’i, 2000). Sedangkan
menurut Sabiq (1987), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Pengertian ini didasarkan pada praktek bahwa apabila sesesorang ingin berhutang
kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau
berupa barang bergerak berada dalam penguasaan pemberi pinjaman sampai penerima
pinjaman melunasi hutangnya.
Dari beberapa pengertian rahn tersebut, dapat disimpulkan bahwa rahn
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil utang.
- Manfaat Pegadaian
Bank yang menerapkan prinsip ar-rahn dapat mengambil manfaatnya :
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank tersebut.
b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa
dananya tidak kan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena
ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme penggadaian, sudah barang tentu akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dalam dana terutama didaerah-
daerah.
F. Asuransi Syari’ah
Dalam Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 disebutkan: ”Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan nama seorang penanggung mengikat
diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena satu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu.
Sedangkan menurut UU No.2 tahun 1992 tentang uasaha perasuransian, asuransi
atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan nama pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari beberapa diatas, dapat diketahui setidaknya ada tiga unsur yang ada di asuransi.
Pertama, bahaya yang dipertanggungkan; kedua, premi pertanggungan; ketiga sejumlah
uang ganti rugi pertanggungan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa praktik asuransi
yang demikian hukumnya haram menurut Islam, karena:
a. Adanya unsur gharar, yaitu unsur ketidakpastian tentang hak pemegang polis
dan sumber daya yang dipakai menutup klaim.
b. Adanya unsur maysir, yaitu unsur judi karena dimungkinkan ada pihak yang
diuntungkan diatas kerugian orang lain.
c. Adanya unsur riba, yaitu diperolehnya pendapatan dari membungakan.
Asuransi dalam Islam dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling
memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lainnya
menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas
dasar tolong menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan
dana/sumbangan/derma (tabarru’) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut.
Takaful dalam pengertian tersebut sesuai dengan surah Al Maidah(5):2 “Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Asuransi syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Menurut Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/III/2002 tentang asuransi syari’ah, yaitu usaha
saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang /pihak melaui
investasi dalam bentuk asset/dan tabarru’/ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah.
Jadi dasar didirikannya asuransi syari’ah adalah penghayatan terhadap
semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-
kegiatan masyarakat , demi terciptanya kesejahteraan umat dan masyarakat umumnya.
Sebagai seorang muslim, kita wajib percaya bahwa segala hal yang terjadi diatas tidak
terlepas dari qadha dan qadhar Allah Swt. terhadap hamba-hambanya. Hal ini telah
dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya yang berbunyi “Dan tiada seorangpun
dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya esok, dan tiada seorangpun
yang mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (QS Luqman[31]:34)
H. Obligasi Syari’ah
Obligasi syariah adalah pernyataan utang dari instansi penerbit kepada pemegang
obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang dengan disertai kupon
bunganya saat jatuh tempo pembayaran, namun penerapannya mengikuti ketentuan
syariat.
Jenis-jenis Obligasi syari’ah :
- Ijarah
- Musyarakah
- Istishna
- Mudharabah
- Wakalah
- Muzara’ah
- Korporasi
- SBSN (Surat Berharga Syariah Negara)
1. Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau suatu kegiatan usaha yang
spesifik, dimana harus dapat diadakan pembukuan yang terpisah untuk
menentukan manfaat yang timbul.
2. Hasil investasi yang diterima pemilik dana merupakan fungsi dari manfaat
yang diterima perusahaan dari dana hasil penjualan obligasi, bukan dari
kegiatan usaha yang lain.
3. Tidak boleh memberikan jaminan hasil usaha yang semata-mata
merupakan fungsi waktu dari uang (time value of money).
4. Obligasi tidak dapat dipakai untuk menggantikan hutang yang sudah ada
(bay al dayn bi al dayn).
5. Bila pemilik dana tidak harus menanggung rugi, maka pemilik usaha harus
mengikat diri (aqad jaiz).
6. Pemilik dana dapat menerima pembagian dari pendapatan (revenue
sharing), dimana pemilik usaha (emiten) mengikat diri untuk membatasi
penggunaan pendapatan sebagai biaya usaha.
7. Obligasi dapat dijual kembali, baik kepada pemilik dana lainnya ataupun
kepada emiten (bila sesuai dengan ketentuan).
8. Obligasi dapat dijual dibawah nilai pari (modal awal) kalau perusahaan
mengalami kerugian.
9. Perubahan nilai pasar bukan berarti perubahan jumlah hutang.