Anda di halaman 1dari 28

ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT DAN CORPORATE

GOVERNANCE

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah
Manajemen Keuangan Islam

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Hadri Kusuma, M.B.A.

Oleh

Desi Wahyuni
NIM. 18208011006

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam menempatkan manusia pada posisi khalifah, di mana manusia

mengemban amanat untuk memakmurkan kehidupan dunia. Tugas ini hanya

diberikan kepada manusia sebagai makhluk yang dilebihkan dari makhluk

lainnya. Amanat ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari

akhirat kelak dalam rangka mengelola dan memanfaat bumi, langit dan

isinya, sehingga manusia tidak dapat mengikuti hawa nafsunya dalam

pengelolaan titipan tersebut. Maksudnya manusia harus mengarahkan

pengelolaan tersebut kepada kemanfaatan dan menghindari segala bentuk

pemubaziran dan menghindari kerusakan lingkungan.


Islam menempatkan kegiatan di atas dalam ruang lingkup muamalah

yang diwajibkan atas manusia untuk mencapai tujuan utama syariat yakni

mencapai kesejahteraan manusia. Kesejahteraan mencakup perlindungan

keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda mereka. Hal ini

menjadikan usaha mencari harta dalam Islam adalah wajib demi menjaga

semua tujuan syariat tersebut. kewajiban tersebut mengindikasikan bahwa

dalam Islam tidak ada batasan seseorang berusaha dan bekerja selama itu

dilakukan sesuai dengan anjuran syariah. Diantara anjuran tersebut ialah

berlaku adil, jujur dan amanah demi tercapainya kehidupan yang bahagia dan

lebih baik (Umam, 2013: 80).


Meskipun demikian, mencari harta tidak dapat dijadikan sebagai

tujuan hidup karena harta adalah alat yang digunakan untuk mendekatkan diri

1
kepada Allah bukan sebagai pemuas kebutuhan. Konsep mencari harta ini

menjadi filosofi dasar bagi kegiatan muamalah secara Islami. Konsep tersebut

menciptakan sistem manajemen harta yang tidak hanya berdimensi dunia

tetapi juga mempunyai dimensi akhirat. Kedua dimensi inilah yang menuntut

setiap muslim untuk mengelola hartanya sesuai dengan nilai dan prinsip-

prinsip syariah Islam.


Salah satu cara mengelola kekayaan dalam lembaga keuangan syariah

seperi perbankan syariah adalah dengan menerapkan Good Corporate

Governance. Implementasi GCG di perbankan syariah dalam rangka

menjadikan bank syariah menjadi lebih syar’i karena penerapannya pada

industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah. Operasional

perbankan syariah harus benar-benar dijalankan berdasarkan prinsip syariah.

Di sisi lain, arah pengembangan dan regulasi perbankan syariah adalah untuk

memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah (sharia compliance) dalam

operasionalnya dengan melaksanakan fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan

oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI).


GCG merupakan suatu sistem pengelolaanperbankanyang dirancang

untuk meningkatkan kinerjabank, melindungi kepentingan stakeholders dan

meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-

nilai etika yang berlaku secara umum. Oleh sebab itu, untuk membangun

kepercayaan masyarakatak pada bank syariah dan menjamin kepatuhan

terhadap prinsip syariah,diperlukan pelaksanaan GCG sebagai syarat bagi

bank syariah untuk berkembang dengan baik dan sehat (Zarkasyi , 2008: 35).
Penerapan GCG di bank syariah dan konvensional menggunakan

prinsip-prinsip yang sama, yaitu transparansi, akuntabilitas,

2
pertanggungjawaban, profesional dan kewajaran. Penerapan GCG di bank

syariah harus memenuhi kepatuhan pada prinsip syariah (sharia compliance).

Implementasi GCG di bank syariah tidak bisa dipisahkan dari kewajibannya

untuk menjalankan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip syariah. Hal

inilah yang membedakannya dengan penerapan GCG di bank konvensional.

Karenanya, peran Dewan Pengawas Sayriah (DPS) dalam implementasi GCG

menjadi sangat penting yaitu sebagai pihak yang mengawasi dan memastikan

bahwa suatu bank syariah dalam operasionalnya telah sesuai dengan prinsip

syariah (Lewis dan Algaud, 2007:214).


Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, tulisan ini akan

mengkaji tentang Islamic Wealth Management dan Corporate Governance

pada lembaga keuangan Islam. Setelah pendahuluan,dilanjutkan dengan

pembahasan tentang Islamic Wealth Management dan Corporate Governance

pada lembaga keuangan Islam yang meliputi Islamic Wealth Management.

Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan tentang Good Corporate

Governance pada lembaga keuangan Islam yang mengupas tentang Definisi,

tujuan dan manfaat Good Corporate Governance, Good Corporate

Governance Dalam Pandangan Syariah, dan Pelaksanaan Good Corporate

Governance Pada Perbankan Syariah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT

Manejemen harta atau lebih dikenal dengan istilah manajemen asset

merupakan suatu kegiatan pengelolan harta mulai dari proses mencari harta,

3
membelanjakan harta dan menyisihkan harta (Nurdin & Muslina, 2017: 357-

376). Wealth management ialah sebuah konsep pengelolaan harta atau

kekayaan dengan mempelajari berbagai ilmu tentang bagaimana melindungi

dan menjaga kekayaan, bagaimana mengumpulkan dan mengembangkan

kekayaan dan mewariskan kekayaan dan menghadapi masa transisi atau

pensiun. Dengan demikian dalam penerapan konsep tersebut memerlukan

penguasaan terhadap manajemen investasi, manajemen pajak, manajemen

keuangan dan manajemen resiko (Eko Indrajit dan Djokopranoto, 2011: 31).
Syariah mengajarkan bahwa kekayaan memiliki banyak tujuan dan

tidak boleh dikeluarkan untuk produk dan layanan yang melanggar hukum

atau dibelanjakan dengan sia-sia atau sesat. Menurut Syariah, kebutuhan

untuk mendapatkan kekayaan memberikan motivasi untuk bekerja keras.

Kemampuan seseorang untuk menciptakan dan mendistribusikan kekayaan

secara adil memberikan harapan kepada orang miskin dan yang

membutuhkan, dan kebutuhan untuk mengelola kekayaan menyediakan

disiplin untuk menyelamatkan guna mendukung keluarga dan masyarakat.

Dengan menabung sebagian kecil dari pendapatan atau keuntungan dan

menghindari pengeluaran yang sia-sia, seorang Muslim dapat membantu

memerangi konsumerisme dan inflasi (Umam, 2013: 86-87). Gambar

dibawah ini menunjukkan siklus penciptaan, peningkatan, perlindungan, dan

distribusi kekayaan yang menjadi perhatian semua fungsi perbankan swasta,

konvensional dan Islami (Shanmugam dan Zahari, 2009: 75-76).

4
Gambar 2.1 : Siklus Islamic Wealth Management

1. Wealth Creation.
Dalam Islam, Allah memiliki kekayaan dan melimpahkannya

kepada umat manusia. Allah adalah pemilik mutlak kekayaan; manusia

adalah wali dari kekayaan tersebut. Kekayaan harus diperoleh dan

digunakan dengan cara yang diizinkan secara Islam, yang mana berarti

pendapatan dan apresiasi modal tidak boleh dihasilkan dari hal-hal yang

dilarang oleh Islam (Nwuba, Ejiogu, dan Akaeze, 2015: 193-200).


2. Wealth Enhancement
Peningkatan kekayaan dalam Islam dicapai melalui investasi

hanya pada produk keuangan Syariahyaitu, produk yang sepenuhnya

bebas dari riba (riba) dan sebagian besar bebas dari gharar

(ketidakpastian) dan maisir (judi); Selain itu, investasi tidak boleh

melibatkan produk haram (dilarang), seperti babi dan alkohol. Produk

keuangan tersebut termasuk saham, dana investasi, obligasi (sukuk),

rencana asuransi (takaful), rencana tabungan wadiah dan mudharabah,

dan pendanaan investasi baru melalui pengaturan pembiayaan yang

5
sesuai dengan Syariah. Tujuan IWM, yang mirip dengan tujuan

manajemen kekayaan konvensional, adalah untuk mengumpulkan

pertumbuhan modal yang wajar sambil menjaga akumulasi kekayaan

(Haliah Ma’u, 2013: 86-100).


3. Wealth Protection.
Perlindungan kekayaan sangat penting menurut Islam; setiap

risiko dan ancaman finansial yang mungkin harus dipertimbangkan dan

disediakan (Ismail dan Antonio, 2012: 19-36). Oleh karena itu,

manajemen risiko dan asuransi syariah (takaful) memainkan peran

penting dalam praktik IWM. Dan berinvestasi dalam produk keuangan

yang sesuai dengan Syariah yang dipandang terstruktur untuk

menghindari gharar konsisten dengan peringatan Islam untuk melindungi

kekayaan.
4. Wealth Cleansing and Distribution
Islam membutuhkan kebersihan fisik dan spiritual. Kebersihan

roh melibatkan kebersihan pikiran, sehingga bebas dari niat buruk atau

keinginan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, dan

kebersihan hati, sehingga bebas dari kecemburuan, kemunafikan, dan

keinginan jahat. Kebersihan spiritual dikaitkan dengan harapan,

kebenaran, pengampunan, dan belas kasih. Untuk membantu umat Islam

dalam mencapai kebersihan spiritual dan pemurnian kekayaan, Islam

mendukung sistem pajak zakat. Adalah wajib bagi setiap Muslim yang

kekayaannya telah mencapai tingkat tertentu untuk membayar zakat,

yang ditetapkan pada tingkat yang setara dengan 2,5 persen dari aset

keuangan seseorang atau rumah tangga atau barang yang dapat

6
diperdagangkan. Zakat adalah cara untuk mempersempit kesenjangan

antara kaya dan miskin dan cara untuk membantu memenuhi kebutuhan

anggota masyarakat yang kurang beruntung (Shanmugam dan Zahari,

2009: 75-76).
Distribusi kekayaan juga terjadi melalui hukum waris, atau hal-

hal yang mengatur distribusi harta seorang Muslim setelah kematian,

yaitu;
a. Faraid
Faraid, atau hukum waris Islam, secara otomatis mencakup

pasangan, orang tua, dan anak-anak (dikenal sebagai ahli waris) dari

orang yang meninggal sebagai pewaris harta warisan orang yang

meninggal. Cucu, anak angkat, anak tiri, orang tua asuh, orang tua

non-Muslim, anak-anak non-Muslim, dan anggota keluarga non-

Muslim tidak secara otomatis dimasukkan sebagai ahli waris di

bawah hukum Islam. Seorang Muslim dapat membuang salah satu

dari harta bendanya sesuai keinginannya. Oleh karena itu, hingga

sepertiga dari harta warisan dapat diwariskan di antara pewaris non-

Syariah melalui ketentuan wasiat. Surat wasiat (wasiyat) dianggap

sebagai kewajiban agama semua Muslim, tetapi dapat berupa lisan

atau tulisan. Biasanya, surat wasiat harus dinyatakan di hadapan dua

saksi agar sah, tetapi ada pengecualian, menurut Imam Maliki dan

Hanbali secara umum, surat wasiat masih dapat diterima jika ditulis

dalam tulisan tangan yang dikenal dari pewaris atau beruang tanda

tangannya yang dikenal (Shanmugam dan Zahari, 2009: 75-76).

7
Ukuran tanah ditentukan setelah pembayaran biaya

pemakaman dan hutang dan pelepasan hak suami atas properti yang

diperoleh bersama, hadiah seumur hidup (hibah) yang tidak lengkap

dan warisan setelah kematian untuk non-ahli waris (dilakukan

melalui wasiyat). Pandangan mayoritas ulama adalah bahwa hutang

kepada Allah, seperti zakat, harus dibayar terlepas dari apa yang

disebutkan dalam surat wasiat, meskipun pandangan ini adalah

masalah perdebatan di kalangan Muslim (Bachtiar, 2015: 1-43).


b. Zakat
Membayar zakat dianggap sebagai bentuk menyembah Allah. Arti

asli dari kata zakat adalah "pemurnian" dan "pertumbuhan."

Membayar zakat adalah kewajiban bagi umat Islam untuk dipenuhi.

Ini adalah yang ketiga dari lima rukun Islam, dan pentingnya tidak

berbeda dari kewajiban lainnya. Memberi zakat berarti "memberikan

persentase tertentu dari aset tertentu kepada golongan tertentu dari

orang yang membutuhkan." Muslim percaya bahwa pembayaran

zakat mengarah pada pembersihan hati dari kejahatan (Shanmugam

dan Zahari, 2009: 75-76). Ada dua jenis utama zakat:


1) Zakat fitri adalah mulai dari awal Ramadhan sampai doa

mengakhiri Ramadhan (Idul Fitri). Setiap Muslim kecuali

mereka yang hidup dalam kemiskinan absolut harus

menyumbangkan sejumlah makanan pokok atau setara dengan

uang.
2) Zakat maal: Zakat jenis ini dibayarkan pada jenis kekayaan

tradisional, seperti hasil pertanian, hewan yang dipelihara,

8
bisnis, emas, dan perak. Kepercayaan adalah bahwa kekayaan

adalah hadiah dari Allah; jika mampu, seseorang memiliki

kewajiban untuk menggunakan sebagian darinya untuk

membantu saudara-saudara yang membutuhkan. Redistribusi

kekayaan ini adalah cara untuk mengurangi ketimpangan

sosial.
Dengan demikian Islam telah memberikan panduan terkait

pengelolaan harta secara islami yang sesuai dengan syariat yang akan

menyelamatkan seorang muslim dan keluarganya dari perolehan harta yang

tidak halal yang akan mempengaruhi keberkahan dalam hidupnya. Selain itu,

membelanjakan harta di jalan Allah menjadi begitu penting karena harta

sejatinya dalah amanah atau titipan dari Allah yang kelak akan dimintai

pertanggungjawabannya. Karena dalam harta kita terkandung hak-hak yang

harus ditunaikan kepada orang lain.


B. GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA LEMBAGA
KEUANGAN ISLAM

1. Definisi Good Corporate Governance

GCG adalah merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa

Inggris, yaitu good yang berarti baik, Corporate yang berarti perusahaan

dan governance yang berarti pengaturan. Secara umum, istilah Good

Corporate Governance diartikan dalam bahasa Indonesia dengan tata

kelola perusahaan yang baik. Istilah ini, dalam dunia perbankan diartikan

dengan tata kelola bank yang baik (Choiriyah, 2015: 33-42).


Menurut Bank Dunia, GCG adalah aturan, standar dan organisasi di

bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur, dan

9
manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta

pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur).

Tujuannya untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan

(check and balances) untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan

sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan

perusahaan (Faozan, 2013: 1-14).


Tata kelola organisasi yang baik dapat dilihat dari segi mekanisme

internal organisasi ataupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme

internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi

mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip diatas.

Sedangkan, mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana

interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmoni tanpa

mengabaikan pencapaian tujuan organisasi (Cahya, 2013: 15-28).


Organization for Economic Co-Operation and Development

(OECD) mendefinisikan GCG dengan sekumpulan hubungan antara pihak

manajemen perusahaan, board dan pemegang saham dan pihak lain yang

mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Dalam GCG disyaratkan

adanya struktur, perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas

kinerja. Implementasi GCG yang baik dapat memberikan perangsang atau

insentif yang baik bagi board dan manajemen untukmencapai tujuan yang

merupakan kepentingan bersama (Widyastuti, 2001: 1-20).


Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

menyebutkan bahwa GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu

proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan

perundang-undangan dan etika berusaha. Tujuannya adalah untuk

10
mengoptimalkan nilai perusahaan agar memiliki daya saing yang kuat,

baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu

mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk mencapai

maksud dan tujuan perusahaan.


Bank Indonesia menerangkan bahwa GCG adalah suatu tata kelola

bank yang menerapkan lima prinsip, yaitu:


a. Transparansi adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi

yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan

keputusan.
b. Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi dan pelaksanaan

pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan

secara efektif (Kaihatu, 2006: 1-9).


c. Pertanggungjawaban adalah kesesuaian pengelolaan bank dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip

pengelolaan bank yang sehat.


d. Profesional yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak obyektif

dan bebas dari pengaruh atau tekanan dari pihak manapun (independen)

serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank

syariah.
e. Kewajaran yakni keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-

hak stakeholders berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (Sarafina dan Saifi, 2017: 108-117).


GCG pada dasarnya merupakan suatu sistem yang meliputi input,

proses dan Output serta seperangkat peraturan yang mengatur hubungan

antara stakeholder terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang

saham, dewan komisaris dan dewandireksi demi tercapainya tujuan

perusahaan. GCG dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan

11
tersebut dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam menerapkan

strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa apabila terjadi

kesalahan-kesalahan maka akan dapat diperbaiki dengan segera.

munculnya GCG akibat terjadinya kesenjangan hubungan yang terjadi

dalam perusahaan dengan yang seharusnya terjadi (Sari, 2016: 166-173).


Dengan demikian, GCG adalah suatu sistem yang mengatur,

mengelola dan mengawasi proses pengendalian usaha untuk menaikkan

nilai saham, sekaligus sebagai bentuk perhatian kepada para pemangku

kepentingan. GCG diharapkan menjaga keseimbangan antara pencapaian

tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat. Tantangan yang muncul dalam

GCG adalah mencari cara untuk memaksimumkan penciptaan

kesejahteraan sedemikian rupa sehingga tidak membebani ongkos yang

tidak perlu kepada pihak ketiga atau masyarakat.


2. Tujuan dan Manfaat Good Corporate Governance

Tujuan penerapan GCG yaitu mendorong pengelolaan perusahaan

menjadi lebih professional dengan menerapkan prinsip-prinsip

transparency, accountability, responsibility, independence, dan fairness

(Setyani, 2012: 43-56). Tujuan dan Manfaat GCG dijelaskan pada

Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, yaitu:


a. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui

pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas,

responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.


b. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing

organ perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum

Pemegang Saham.

12
c. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan

anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan

tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan

terhadap peraturan perundang-undangan.


d. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial

perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama

di sekitar perusahaan.
e. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan

tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.


f. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun

internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat

mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang

berkesinambungan.
Beberapa ahli juga mengemukakan manfaat dari penerapan GCG

itu sendiri,yang pada intinya yaitu;


1) Mengurangi agency cost.
2) Mengurangi biaya modal (cost of capital).
3) Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat

meningkatkan citra perusahaan di mata publik dalam jangka panjang.


4) Menciptakan dukungan para stakeholders (Daniri, 2005:

43).
3. Good Corporate Governance Dalam Pandangan Syariah

Melihat sudut pandang syariah, terdapat beberapa prinsip syariah

yang mendukung terlaksananya good corporate governance atau tata

kelola di dunia perbankan. Prinsip syariah ini merupakan bagian dari

sistem syariah. Pelaksanaan sistem syariah ini dapat dilihat dari dua

perspektif, yaitu perspektif mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam

perspektif mikro menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam

13
sistem perbankan syariah dikelola dengan hati-hati (Maradita, 2014: 191-

204). Nilai-nilai syariah ini meliputi sebagai berikut:


a. Shiddiq. Nilai ini memastikan bahwa pengelolaan bank syariah

dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Nilai ini mencerminkan bahwa pengelolaan dana masyarakat akan

dilakukan dengan mengedepankan cara-cara yang meragukan (subhat)

terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram).


b. Tabligh. Secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan

mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk, jasa

perbankan syariah, dan manfaat bagi pengguna jasa perbankan

syariah.
c. Amanah. Nilai ini menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan

kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana

(shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pihak

pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib).


d. Fathanah. Nilai ini memastikan bahwa pengelolaan bank

dilakukan secara professional dan kompetitif sehingga menghasilkan

keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang ditetapkan oleh

bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan

kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab

(mas’uliyah),
Sementara itu dalam perspektif makro, nilai-nilai syariah

menghendaki perbankan syariah berkontribusi bagi kesejahteraan

masyarakat dengan memenuhi hal-hal sebagai berikut (Tikawati, 2012 : 118-

126):

14
1) Kaidah zakat, yaitu mengkondisikan perilaku masyarakat yang

lebih menyukai berinvestasi dibandingkan hanya menyimpan

hartanya. Hal ini dimungkinkan karna zakat untuk investasi dikenakan

hanya pada hasil investasi, sedangkan zakat bagi harta simpanan

dikenakan atas pokoknya.


2) Kaidah pelarangan riba, yaitu menganjurkan pembiayaan bersifat

bagi hasil (equity based financing) dan melarang riba.


3) Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank

yang melarang investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil.

Kondisi ini akan membentuk kecenderungan masyarakat untuk

menghindari spekulasi dalam aktivitas investasinya.


4) Kaidah pelarangan gharar (uncertainty), yaitu mengutamakan

transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan

menghindari ketidakjelaskan.
4. Pelaksanaan Good Corporate Governance Pada Perbankan
Syariah

Penerapan prinsip-prinsip GCG menjadi suatu keharusan bagi

sebuah institusi, termasuk di dalamnya institusi bank syariah. Hal ini lebih

ditujukan kepada adanya tanggung jawab publik (public accountability)

berkaitan dengan kegiatan operasional bank yang diharapkan benar-benar

mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam hukum positif.

Di samping itu juga berkaitan dengan kepatuhan bank syariah terhadap

prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Quran,

Hadis, dan Ijmak para ulama hati (Maradita, 2014: 191-204).


Secara yuridis bank syariah memiliki tanggung jawab kepada

banyak pihak (stakeholders), yaitu nasabah penabung, pemegang saham,

15
investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai perseroan,

pemasok serta masyarakat dan lingkungan sehingga penerapan good

corporate governance menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap bank syariah.

Penerapan good corporate governance merupakan wujud

pertanggungjawaban bank syariah kepada masyarakat bahwa bank syariah

dikelola dengan baik, professional dan hati-hati (prudent) dengan tetap

berupaya meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder’s value) tanpa

mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya berikut (Tikawati, 2012 :

118-126).
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia

No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi

Bank Umum disebutkan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip

good corporate governance dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh

tingkatan atau jenjang organisasi. Pelaksanaan prinsip-prinsip good

corporate governance oleh bank paling tidak harus diwujudkan dalam :


a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris dan

direksi;
b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan

kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;


c. Penetapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
d. Penerapan manajemen resiko, termasuk system pengendalian

intern;
e. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
f. Rencana strategi bank;
g. Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan bank.

Seiring dengan perkembangan dunia perbankan syariah yang antara

lain ditandai dengan semakin beragamnya produk perbankan syariah dan

16
bertambahnya jaringan pelayanannya, maka penerapan GCG pada dunia

perbankan syariah menjadi semakin penting. Pelaksanaannya pada dunia

perbankan syariah harus berlandaskan pada lima prinsip dasar yaitu

transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan

kewajaran (Widyastuti, 2001: 1-20).

Bank syariah harus memastikan bahwa prinsip-prinsip GCG

tersebut telah diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di seluruh

jajarannya. Penerapan prinsip-prinsip GCG tersebut diperlukan untuk

mencapai kesinambungan usaha (sustainability) bank syariah dengan tetap

memperhatikan kepentingan para pemegang saham, nasabah serta

pemangku kepentingan lainnya. Prinsip dasar GCG pada bank syariah

sebagaimana dideskripsikan (Khandelwal dan Khaled Aljifri, 2016: 556-

574). yaitu;

1. Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan dalam mengemukakan

informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses

pengambilan keputusan. Prinsip ini diperlukan agar kegiatan bisnis

bank syariah berjalan secara objektif, profesional, dan untuk melindungi

kepentingan stakeholder (Gyamfi, Bokpin, dan Gemegah, 2015:157–

179). Transparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan

penyediaan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan

dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku

kepentingan dan masyarakat.

17
Dalam menerapkan prinsip transparansi, bank syariah

menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang

mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Bank syariah

juga harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya

masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi

juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang

saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya (Maradita, 2014:

191-204).
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi dan pelaksanaan

pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan

secara efektif. Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam

organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Akuntabilitas

merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang

berkesinambungan usaha bank syariah (Faozan, 2013: 1-14).


Dalam menerapkan prinsip akuntabilitas, bank syariah sebagai

lembaga dan pejabat yang memiliki kewenangan harus dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan akuntabel.

Untuk itu, bank syariah harus dikelola secara sehat, terukur, dan

professional dengan memperhatikan kepentingan pemegang saham,

nasabah, dan pemangku kepentingan lain.


3. Responsibilitas
Responsibilitas adalah kesesuaian pengelolaan bank dengan

peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip

pengelolaan bank yang sehat. Prinsip responsibilitas atau

pertanggungjawaban diperlukan di bank syariah agar dapat menjamin

18
terpeliharanya kesinambungan usaha bank dalam jangka panjang

(Retno dan Priantinah, 2012: 84-103).


Dalam menerapkan prinsip responsibilitas, bank syariah harus

mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan

internal bank serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat

dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam

jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai warga korporasi

yang baik atau dikenal dengan good corporate citizen. Bank syariah

juga harus berpegang pada prinsip kehati‐hatian (prudent).

4. Profesional
Profesional yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak

obyektif danbebas dari pengaruh atau tekanan dari pihak manapun

(independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk

mengembangkan bank syariah. Untuk melancarkan pelaksanaan

prinsip-prinsip GCG, perusahaan harus dikelola secara independen

sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi

dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain (Syukron, 2013: 60-83).
Profesional mengandung unsur kemandirian dari dominasi pihak

laindan berlaku objektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Dalam hubungan dengan penerapan prinsip profesional, bank syariah

harus dikelola secara independen agar masing‐masing organ perusahaan

beserta seluruh jajaran dibawahnya tidak boleh saling mendominasi dan

tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang dapat mempengaruhi

obyektivitas dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan

tanggungjawabnya.

19
5. Kewajaran
Kewajaran yakni keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-

hak stakeholders berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Bank syariah harus senantiasa memperhatikan

kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya

berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Kewajaran mengandung

unsur perlakuan yang adil dan kesempatan yang sama sesuai dengan

proporsinya.
Dalam melaksanakan kegiatannya, bank syariah harus

senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham, nasabah dan

pemangku kepentingan lainnya berdasarkan prinsip kewajaran dan

kesetaraan dari masing‐masing pihak yang bersangkutan (Faozan, 2013:

1-14).

Corporate governance merupakan suatu konsepsi yang secara riil

dijabarkan dalam bentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga

otoritas, norma-norma, dan etika yang dikembangkan oleh asosiasi industri

dan diadopsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait

dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi

dampak moral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance.

Adapun sejumlah perangkat dasar yang diperlukan dalam pembentukan

good corporate governance pada bank syariah antara lain, (Tikawati,

2012 : 118-126):

1) Sistem pengendalian intern;


2) Manajemen risiko;

20
3) Ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan

informasi;
4) Sistem informasi;
5) Mekanisme jaminan kepatuhan syariah;
6) Audit eksternal.

Keenam perangkat tersebut di atas pada dasarnya berlaku bagi

semua bank, baik konvensional maupun bank syariah. Adapun yang

membedakannya adalah bahwa di bank syariah perlu adanya perangkat

yang menjamin kepatuhan kepada nilai-nilai dan aturan syariah. Sementara

hal demikian tidak dijumpai dalam sistem perbankan konvensional.

Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh bank,

minimal terdapat dua langkah penting yang perlu dijalani, yaitu:

a) Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan

(endorsement) dari otoritas fatwa dalam hal ini DSN MUI dalam hal

menentukan kehalalan atau kessesuaian produk dan jasa keuangan

bank dengan prinsip syariah.


b) Mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi

keuangan bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas

fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini, permasalahan yang sering

muncul adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu

fikih dan syariah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan

yang memadai.

Adapun peran DPS menurut AAOIFI dalam Governance Standard

for Islamic Finacial Institutions (GSIFI) menjelaskan bahwa peran DPS

adalah directing, reviewing and supervising the activities of Islamic

21
Financial Institution in orderto ensure that they are in compliance with

Islamic shari’a rules and principles. Artinya, peran DPS yakni

mengarahkan, menilai,dan mengawasi seluruh aktivitas institusi keuangan

Islam untuk memastikan aktivitasnya sesuai prinsip dan aturan syariah.

Dengan demikian, menurut AAOIFI ada tiga peran DPS di lembaga

keuangan syariah, yaitu melakukan penilaian, pengarahan dan pengawasan

atas aktivitas bank syariah agar sesuai dengan aturan dan prinsip syariah.

Selain tiga peran di atas, DSN MUI menambahkan satu peran DPS

yaitu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bank

syariah melalui media-media yang sudah berjalan di masyarakat, seperti

khutbah, majelis ta’lim, pengajian-pengajian. Atau, lebih tepatnya peran

DPS menurut DSN MUI tersebut adalah sebagai pihak yang juga ikut

memasarkan (marketing) bank syariah kepada masyarakat.

Memperhatikan kepada peran DPS menurut AAOIFI dan DSN-

MUI, makaperan DPS dalam implentasi prinsip-prinsip GCG di bank

syariah (Faozan, 2013: 1-14) adalah sebagai berikut:

a. Directing yaitu memberikan pengarahan, pemikiran, saran

dan nasehat kepada direksi bank syariah mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan aspek syariah.


b. Reviewing yaitu mencermati, memeriksa, mengkaji dan

menilai implementasi fatwa DSN pada operasional bank syariah.


c. Supervising yaitu melaksanakan tugas pengawasan baik

secara aktif maupun secara pasif atas implementasi fatwa DSN pada

operasional bank syariah .

22
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Wealth management ialah sebuah konsep pengelolaan harta atau

kekayaan dengan mempelajari berbagai ilmu tentang bagaimana melindungi

dan menjaga kekayaan, bagaimana mengumpulkan dan mengembangkan

kekayaan dan mewariskan kekayaan dan menghadapi masa transisi atau

pensiun. Syariah mengajarkan bahwa kekayaan memiliki banyak tujuan dan

tidak boleh dikeluarkan untuk produk dan layanan yang melanggar hukum

atau dibelanjakan dengan sia-sia atau sesat. Dengan demikian Islam telah

memberikan panduan terkait pengelolaan harta secara islami yang sesuai

dengan syariat yang akan menyelamatkan seorang muslim dan keluarganya

dari perolehan harta yang tidak halal yang akan mempengaruhi keberkahan

dalam hidupnya.
Good Corporate Governance adalah aturan, standar dan organisasi di

bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur, dan

manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta

pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur).

Tujuan penerapan GCG yaitu mendorong pengelolaan perusahaan menjadi

lebih professional dengan menerapkan prinsip-prinsip transparency,

accountability, responsibility, independence, dan fairness. Adapun manfaat

dari penerapan adalah; untuk mengurangi agency cost, mengurangi biaya

modal (cost of capital), meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat

23
meningkatkan citra perusahaan di mata publik dalam jangka panjang, dan

menciptakan dukungan para stakeholders.


Good Corporate Governance dalam Pandangan Syariah harus

mengandung nilai-nilai syariah yaitu; Shiddiq, Tabligh., Amanah, dan

Fathanah. Implementasi GCG di bank syariah berlandaskan lima prinsip,

yaitu transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional dan

kewajaran. Dalam rangka menerapkan kelima prinsip tersebut, bank syariah

harus memenuhi prinsip syariah. Karenanya, peran DPS dalam implementasi

GCG menjadi sangat penting yaitu mengawasi dan memastikan bahwa suatu

bank syariah dalam operasionalnya telah sesuai dengan prinsip syariah.

DAFTAR PUSTAKA

24
Bachtiar, Maryati, “Hukum Waris Islam Dipandang Dari Perspektif Hukum
Berkeadilan Gender”, Jurnal Ilmu Hukum, VOL.3, NO. 1, (2015): 1-43.

Cahya, Bayu Tri, “Kilas Kebijakan Good Corporate Governance Pada Perbankan
Syariah Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol.7, No 1,
(2013): 15-28.

Choiriyah, “Good Corporate Governance Dalam Lembaga Keuangan Islam”,


Journal Islamic Banking, Vol., No.1, (2015): 33-42.

Daniri, Mas Achmad, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya


dalam Konteks Indonesia, Cetakan 1. Jakarta: PT. Ray Indonesia, 2005.

Faozan, Akhmad, “Implementasi good Corporate Governance Dan Peran Dewan


Pengawas Syariah Di Bank Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba,
Vol.7, No. 1, (2013): 1-14

Gyamfi,Matthew Ntow., Bokpin,Godfred Alufar., dan Gemegah,Albert.,


“Corporate governance and transparency: evidence from stock return
synchronicity”, Journal of Financial Economic Policy, Vol. 7, No. 2,
(2015): 157 – 179.

Haliah Ma’u, Dahlia, “Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal Khatulistiwa –


Journal Of Islamic Studies, Vol. 3, No.1, (2013): 86-100.

Indrajit, Eko., Djokopranoto, Richardus., Wealth Management untuk


Penyelenggaraan Perguruan Tinggi, Edisi I, Yogyakarta: Andi, 2011.

Ismail, Nurizal., Antonio, Muhammad Syafii., “The Islamic Wealth Management:


An Analysis From Ibn Sīnā’s Perspective”, Journal of Islamic Thought
and Civilization, Vol.2, No.1, (2012): 19-36.

Kaihatu,Thomas S., “Good Corporate Governance dan Penerapannya di


Indonesia”, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.8, No. 1, (2006):
1-9.

Khandelwal, Sunil Kumar., Aljifri, Khaled., “Corporate Governance In Islamic


Banks: A Comparative Study Of Conservatives, Moderates, And Liberals”,
Journal Corporate Ownership & Control, Vol.13, No. 4, (2016): 556-574.

Lewis, Mervyn K.,Algaud,Latifa M., Islamic Banking. Burhan Subrata et al (terj.),


Perbankan Syariah Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Nurdin, Ridwan., Muslina, “Konsep dan Teori Manajemen Aset dalam Islam”,
Jurnal Media Syariah Wahanan Kajian Hukum Islam Pranata Sosial, Vol.
19, No. 2, (2017): 357-376

25
Nwuba, Chukwuma., Ejiogu, Fidelis O., Akaeze, Philo., “International
Entrepreneurship and Wealth Creation: A Nigerian Small Business
Empirical Perspective”, European Journal of Business and Management,
Vol.7, No.29, (2015): 193-200.

Retno, Reny Dyah., Priantinah, M. Denies., “Pengaruh Good Corporate


Governance Dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap
Nilai Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa
Efek Indonesia Periode 2007-2010)”, Jurnal Nominal: Barometer Riset
Akuntansi dan Manajemen , Vol 1, No 2, (2012):84-103.

Sarafina,Salsabila., Saifi,Muhammad., “Pengaruh Good Corporate Governance


Terhadap Kinerja Keuangan Dan Nilai Perusahaan (Studi Pada Badan
Usaha Milik Negara (Bumn) Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
Periode 2012-2015)”, Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), Vol.50, No. 3,
(2017): 108-117.

Sari, Cynthia Triratna, “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance


Pada PT.Megaprint Citra Mandiri”, Jurnal AGORA ,Vol. 4, No. 1, (2016):
166-173.

Setyani, Nur Hidayati, “Implementasi Prinsip Good Corporate Governance Pada


Perbankan Syari’ah Di Indonesia”, Jurnal Economica, Vol.2, No.2,
(2012): 43-56.

Shanmugam, Bala., Zahari, Zaha Rina, A Primer on Islamic Finance, United


States: CFA Institute, 2009.

Sumiyati, Yeti., “Peranan BUMN dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial


Perusahaan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat”, Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum, NO. 3, VOL. 20, (2013): 460 – 481.

Syukron , Ali, “Good Corporate Governance Di Bank Syari’ah”, Jurnal Ekonomi


dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1, (2013): 60-83.

Tikawati T, “Implementasi Good Corporate Governance Pada Lembaga Keuangan


Syariah (Perbankan Syariah)”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam:
MAZAHIB, Vol. 10, No.2, (2012 ): 118-126

Umam, Khairul, Manajemen Perbankan Syariah, Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia,


2013.

Umam, Khairul, Manajemen Perbankan Syariah, Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia,


2013), h. 86-87

Widyastuti, Sri, “Dampak Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Terhadap
Kinerja Bank Umum Syariah”, Jurnal Panutan Bisnis, Vol.4, Nomor 2,
(2001): 1-20.

26
Zarkasyi, Moh. Wahyudin, Good Corporate Governance Pada Perusahaan
Badan Usaha Manufaktur, Perbankan Dan Jasa Keungan Lainnya,
Bandung: Alfabeta, 2008.

27

Anda mungkin juga menyukai