Anda di halaman 1dari 17

TIME VALUE OF MONEY

A. PENDAHULUAN

Pada era kontemporer saat ini, perekonomian dunia semakin

berkembang dengan perluasan pasar juga semakin meningkatkan tingkat

produksi, perdagangan internasional terus berkembang dengan didukung oleh

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem perekonomian telah

beralih dari sistem perekonomian yang primitif menjadi sistem perekonomian

yang modern dan lebih efisien.

Konsep time value of money atau juga disebut sebagai positive time

preference menyebutkan bahwa nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi

nilainya bila dibandingkan di masa mendatang. Time Value of Money sangat

terkait erat dengan konsep „diskonto‟ yang ada dalam teori modal dan

investasi (Muhammad, 2003: 47). Diskonto dalam positif time preference

biasanya didasarkan pada tingkat bunga (interest rate), sedangkan dalam

ekonomi Islam, bunga dipandang sebagai riba, yang secara tegas dilarang

oleh Islam.

Pada makalah ini akan membahas bagaimana konsep time value of

money berdasarkan padangan Anas Al-zarqa dan pandangan Akhram Khan,

serta model capital budgeting menurut akram Khan.


B. PEMBAHASAN

1. Definisi Time Value Of Money

Time value of money didefinisikan sebagai “A dollar today is worth

more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to

get a return”, (Karim, 2007: 112-114). Teori atau konsep Time value of

money menyatakan bahwa uang saat ini mempunyai nilai yang lebih

dibandingkan dengan uang yang akan datang (Achsien, 2003: 45). Sebagai

contoh, harga gula pasir per kilogram di tahun 2011 adalah sekitar Rp.

10.000,-, namun pada tahun 2017 ini harganya telah naik hingga Rp.

14.000,- per kilogram yaitu naik sekitar 40% dari 6 tahun sebelumnya.

Pada 6 tahun yang akan datang, harga gula pasir ini kemungkinan besar

juga akan naik lebih tinggi dari harganya sekarang. Hal ini menunjukan

bahwa nilai uang dapat berubah seiring dengan perkembangan waktu.

Konsep time value of money pada dasarnya lahir dari adanya ekses

(pengadopsian) kajian biologi dalam bidang kajian ekonomi, di mana

konsep ini muncul karena adanya anggapan bahwa uang disamakan

dengan makhluk hidup, yang dapat menjadi lebih besar dan berkembang

seiring berjalannya waktu (Muhammad, 2003: 47). Dalam menghitung

bunga majemuk digunakan rumus perhitungan pertumbuhan populasi yang

diadopsi oleh ilmu keuangan, adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

FV = PV (1 + r)

Dimana:

FV adalah future value, jumlah nilai uang dimasa depan.


PV adalah present value, jumlah nilai uang saat ini.

r adalah tingkat suku bunga.

Berdasarkan rumus diatas dianggap tidak akurat karena setiap

investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat hasil positif,

hasil negatif, atau mendapatkan hasil (Al.Arif, 2014: 28). Terdapat tiga

argumentasi dalam konsep time value of money yaitu, Pertama adalah

kemungkinan investasi uang yang didapat saat ini, sehingga nilainya akan

lebih pada waktu yang akan datang (Irena dan Mariana, 2017: 593-597).

Kedua adalah adanya ketidakpastian dan resiko, sehingga mendapatkan

uang saat ini lebih diminati (Halim, 2007: 23-24). Ketiga merupakan

adanya inflasi yang menyebabkan orang tentu lebih memilih uang pada

saat ini, dan meminta lebih apabila diberikan kemudian (Muhammad,

2003: 96).

2. Perbedaan Pendapat tentang Time Value of Money

Terdapat suatu teori atau konsep dalam ekonomi konvensional

yang menjelaskan tentang adanya korelasi antara nilai uang dengan waktu,

yaitu konsep time value of money. Konsep time value of money atau yang

disebut para ekonom sebagai positive time preference menegaskan bahwa

nilai komoditi pada saat ini lebih rendah dibanding nilainya di masa depan.

Di mana, konsep ini sangat terkait dengan konsep diskonto, yang

merupakan salah satu alat pendukung dalam melakukan analisis model dan

investasi. Konsep diskonto ini erat kaitannya dengan konsep bunga

(interest), (Achsien, 2003: 45).


Diskonto dalam positive time preference ini biasanya didasarkan

pada tingkat bunga (interest rate). Sehingga bunga berfungsi sebagai alat

ukur dalam penentuan nilai waktu modal dan investasi (Achsien, 2003:

45). Konsep diskonto sangat penting dalam analisis teori modal dan

investasi, yang disajikan secara bersama dengan cost of capital dan tidak

dapat dipisahkan dengan konsep time value of money. Secara praktis

digunakan dalam evaluasi proyek ataupun keputusan invesatasi, misalnya

model net present value (NPV), cost benefit analysis, internal required

rate of return (IRR), deviden model dalam asset valuation, dan seterusnya.

Diskonto inilah yang dimaksud dengan Time Value of Money (Achsien,

2003: 45).

Sejak terjadinya konvergensi pendapat dalam fiqh bahwa bunga

diharamkan karena dianggap salah satu bentuk riba, muncullah

pertanyaan-pertanyaan tentang penggunaan diskonto dalam evaluasi

investasi, dan juga pemakainya sebagai cost of capital. Misalnya, apakah

penggunaannya secara mendasar bertentangan dengan prinsip dasar

pelarangan riba tersebut (Achsien, 2003: 45).

Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, yang berarti belum

terdapat kesepakatan tetapi ada penyikapan yang cukup sama terhadap

teori positive time preference yaitu bahwa teori tersebut tidak bisa

diasumsikan begitu saja diterima secara menyeluruh di kalangan para

tokoh ekonomi.
Dalam teori keuangan Islam prinsip dasarnya adalah adanya

pelarangan riba. Dalam ajaran Islam, konsep uang adalah dianggap sebagai

alat penukar yang memiliki nilai, dan bukan sebagai barang dagangan.

Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau

untuk membeli jasa, dan tidak dapat diperjual-belikan secara kredit.

a. Pandangan Anas Al Zarqa

Al-Zarqa melihat dua basis justifikasi untuk konsep time value

of money yaitu subjektif terkait preferensi waktu, dan yang kedua

objektif terkait net produktifitas dari investasi. Al-Zarqa tidak

menggunakan istilah “time value of money”, dan lebih memilih “metode

diskonto” dalam kaitannya sebagai alat analisa investasi (Al-Zarqa,

1992: 96). Secara konsep, Al-Zarqa tidak setuju dengan dasar

rasionalitas preferensi waktu yang positif, karena bagi Al-Zarqa

preferensi waktu yang positif hanya salah satu dari tiga preferensi

waktu, positif, zero, negatif. Sehingga landasan rasionalitas preferensi

waktu yang positif bagi Al-Zarqa tidak tepat. Namun demikian, bagi

Al-Zarqa landasan pemikiran bahwa sebuah investasi, secara rata-rata

di harapkan mampu untuk menghasilkan hasil positif. Al-Zarqa juga

menyadari bahwa suatu investasi yang tidak tentu akan menghasilkan

hasil positif, bisa impas, bahkan rugi. Namun, secara rata-rata investor

akan mengharapkan hasil positif apabila akan berinvestasi. Di sini,

penggunaan metode diskonto mendapatkan justifikasi rasionalnya (Al-

Zarqa, 1992: 96-101).


Lebih spesifik, menentukan apakah suatu diskonto boleh atau

tidak dalam Islam, Al-Zarqa berargumen terletak pada tipe investasinya.

Dalam arti, Islam tidak melarang seorang Muslim memilih investasi

yang halal yang mana memberikan atau menjanjikan tingkat suku hasil

investasi yang paling besar. Sehingga, menggunakan metode diskonto

untuk mengukur suatu investasi kemudian memilihnya, tidak menjadi

suatu permasalahan. Intinya, selama tipe investasinya halal, maka

metode apapun untuk mengukur keuntungan yang dapat dihasilkan

tidak dilarang (Al-Zarqa, 1992: 111-113).

Formula metode diskonto hanya merupakan ekspresi matematis

untuk segala jumlah yang naik atau turun secara regular, dan telah

dipakai oleh para ilmuan untuk menerangkan pertumbuhan populasi

bakteri, hewan dan manusia. formula ini tentu tidak ada hubungannya

dengan bunga, bahkan perekonomian. Sehingga tidak dapat menjadi

alasan pelarangan metode diskonto, karena hanya dapat digunakan

untuk menghitung tingkat bunga ribawi (Al-Zarqa, 1992: 114).

Evaluasi proyek menggunakan suatu tingkat keuntungan

merupakan hal positif, dalam konteks efisiensi karena Islam melarang

adanya “israf” (Al-Zarqa, 1992: 112). Dalam konteks ini, Islam tidak

melarang pengambilan surplus dari keuntungan, dan tentunya tingkat

suku keuntungan investasi tentu juga bukan masalah. Hal ini berbeda

dengan Marxist yang melihat bahwa surplus baik dari bunga maupun

keuntungan merupakan suatu eksploitasi (Al-Zarqa, 1992: 115).


Sehingga yang menjadi masalah bukanlah metode penghitungan

diskonto, yang menjadi pokok masalah adalah jenis investasinya apakah

ribawi atau halal. Begitu juga tentunya tingkat suku ukurannya, apakah

merupakan representasi sistem ribawi atau sistem Islami.

b. Pandangan Akhram Khan

M. Akram Khan mendefinisikan time value of money sebagai

berikut; The concept of time value of money or positif time preference

(as the ecomomist would prefere to call it) accept that the value of

present goods is higher than the value of future goods. M. Akram Khan

berargumen bahwa time value of money merupakan kunci yang

membukakan pintu riba. Alasan utama yang dikemukakan Khan adalah

bahwa konsep ini dapat dikatakan sebagai preferensi waktu yang positif

merupakan dasar rasionil untuk pembayaran bunga pada sistem

ekonomi kapitalis. Ide ini dikembangkan oleh Eugene Von Bhom

Bawerk pada akhir abad 19 dalam bukunya Positive Theory of Capital

(Khan, 1992: 129).

Bagi Khan, konsep bahwa barang saat ini lebih berharga

daripada barang yang akan datang merupakan suatu mitos. Sumber daya

yang tidak digunakan pada saat ini dan siap untuk diinvestasikan pada

masa akan datang tidak seharusnya mensyaratkan bahwa barang saat ini

mempunyai nilai leibh daripada barang yang akan datang. Karena

sumber daya yang tersedia tersebut, bisa jadi menganggur karena tidak

adanya kesempatan untuk diinvestasikan. Walaupun ada kesempatan,


investasi juga dapat menghasilkan hasil impas bahkan rugi. Sehingga

tidak seharusnya sumber daya pada waktu yang lebih dekat mempunyai

nilai lebih daripada sumber daya pada waktu yang lebih jauh (Khan,

1992: 129).

Lebih ironisnya, konsep ini menjadi justifikasi dari pembolehan

penjualan kredit yang lebih mahal harganya daripada penjualan secara

tunai. Hal ini akhirnya akan menyebabkan dampak negatif seperti akan

menjadikan harga-harga naik tanpa adanya nilai guna riil. Jadi,

transaksi barang tetap, namun harga naik, hal ini akan menyebabkan

inflasi. Lebih dari itu, hal ini juga akan menimbulkan ketidak adilan

distribusi dalam perekonomian. Akan terjadinya gap antara si kaya dan

si miskin dalam mempunyai kekuatan ekonomi (modal) lebih untuk

menjual barang dengan cara kredit dan menunggu uang datang (Khan,

1992: 134-135). Dari sini seakan Khan mau menegaskan bahwa selama

konsep time value of money ini digunakan, maka selama itu pintu riba

selalu terbuka dalam perekonomian.

M. Akram Khan menentang penggunaan rate sebagai faktor

diskonto. Ia menolak positive time preference, sebab penerimaan

terhadap konsep ini dapat mendorong legitimasi interest (bunga) dan

membuka pintu belakang bagi masuknya kembali riba. Sedangkan

argumen tentang efisiensi ditentukan oleh faktor penentunya, misalnya

proses manajerial, sehingga faktor diskonto bukan merupakan penentu

suatu efesiensi, lebih lanjut Akram menyebutnya sebagai opportunity


cost yang dikandung oleh faktor diskonto sebagai cost of capital (Khan,

1992: 134-135).

3. Analisis Kritis Tentang Konsep Time Value of Money Dalam

Perspektif Syariah

Analisis kritis tentang konsep time value of money dalam perspektif

Syariah meliputi (Purnamasari, 2014: 36-49):

a. Positive time prefference merupakan pola yang irasional dengan

melihat latar historis, karena adanya kemungkinan terjadi positive

maupun negative time preference bahkan zero time prefference dan

juga karena ketidakpastian (uncertainty) di masa depan (Purnamasari,

2014: 36-49). Sebagaimana Firman Allah yang artinya: "Dan tiada

seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan

diusahakannya besok" (QS. Al-Luqman : 34).

b. Itu sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal hubungan antara

risk-return. Ada dua alasan dari ekonomi konvensional terhadap teori

time value of money, yaitu: a) Presence of inflation b) Preference

present consumption to future consumption (Al.Arif, 2014: 28-29).

Alasan pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya.

Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan

deflasi. Alasan mengenai ketidakpastian return dalam usaha. Bila

unsur ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonomi konvensional

menyebut kompensasinya sebagai discoun rate. Jadi istilah discount

rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interst rate. Jadi dalam
ekonomi konvensional, ketidakpastian return dikonversi menjadi suatu

kepastian melalui premium for uncertainty (Purnamasari, 2014: 36-

49).

c. Pandangan Islam uang bukanlah komoditi melainkan sebagai alat

penukar dan dan alat pengukur nilai atau harga (Economic Added

Value). Dan ini bertentangan dengan konsep Time Value of Money

yang menerapkan adanya bunga (Purnamasari, 2014: 36-49).

d. Implikasi konsep Time Value of Money adalah adanya bunga.

Sedangkan bunga erat kaitannya dengan riba, dan riba adalah haram

serta Zulm. Dan agama melarangnya. Sehinga dianggap tidak sesuai

dengan keadilan dimana “al-al-qhumu bi qhurni” (mendapatkan hasil

tanpa mengeluarkan resiko), dan “al-khraj bil adhaman” (memperoleh

hasil tanpa mengeluarkan biaya), (QS. al-Ashr: 103).

e. Dalam pendapat Azzarqa yang menyamakan pembolehan discount

rate pada investasi atau pada evaluasi proyek pada bayar tangguh

adalah beda. Dalam ekonomi Islam, Islam memberikan pengeculian

penggunaan discount rate dalam hal menentukan harga membayar

tangguh (bai’ muajjal). Adapun asumsi pembenaran ini adalah

berlandaskan pada argumentasi, antara lain jual beli dan sewa

menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan nilai tambah ekonomis

(economic value of added), (Kijewska, 2016: 52-70).

f. Dalam pandangan Islam, nilai bagi semua orang itu sama kuantitas

dan nilai waktunya, namun akan berbeda dari sisi kualitasnya. Maka
faktor yang menentukan waktu itu adalah bagaimana seseorang

memanfaatkan nilai suatu waktu. Sehingga bagi siapa saja yang

melakukan kegiatan bisnisnya secara maksimal (efektif dan efesien),

tentu ia akan mengais profit sesuai dengan yang diharapkannya. Jadi

uang bukan modal/capital (jika uang sebagai flow concept, sedangkan

modal sebagai stock concept), (Purnamasari, 2014: 36-49).

Adapun perbedaan antara interest rate dengan discount rate dalam

Pandangan Ekonomi konvensional dan Ekonomi Syariah yaitu sebagai

berikut;

Certainty Return Uncertainty Return

Ekonomi Ekonomi Ekonomi Ekonomi Syariah


Konfensional Syariah Konfensional
Interest rate Keuntungan Discount rate Discount rate
ditentukan oleh: dalam jual ditentukan oleh: ditentukan atas
1. Preferency beli/sewa 1. Preferency dasar harapan
current menyewa current keuntungan
concumption secara bayar consumption (expected return),
2. Expected tangguh 2. Expected dan digunakan
Inflation ditentukan inflation untuk menentukan
oleh: 3. Premium for nisbah bagi hasil.
1. Tingkat uncertainty, Bagi hasil yang
keuntunga dengan kata harus dibayar
n setiap lain, antual adalah Nisbah bagi
kali return hasil dikalikan
transaksi dilaksanakan dengan pendapatan
2. Frekuensi harus sama aktualnya (actual
transaksi dengan return) Dengan
dalam expeted kata lain,
satu return-nya pendapatan aktual
periode (actual return)
tidak harus sama
dengan pendapatan
yang diharapkan
(expected return).
4. Model Capital Budgeting Akhram Khan

Akram Khan telah melakukan suatu terobosan penting dalam

perkembangan sistem keuangan Islam. Bukan hanya mengkritisi sistem

ribawi yang sudah mendarah daging, Akram Khan menawarkan metode

analisa keuangan yang bebas dari belenggu riba. Hal ini merupakan

sumbangan besar ditengah minimnya alat analisa keuangan yang benar-

benar bebas dari sistem ribawi dan sudah sedemikian canggihnya alat

analisa ribawi (Purnamasari, 2014: 36-49).

Capital budgetting atau yang sering dikenal investasi investasi

merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan

untuk memperoleh pendapatan dengan cara menanamkan sejumlah dana

ke dalam aktiva baik aktiva riil ataupun nonriil. Dalam hal ini M Akram

Khan menawarkan Investible Surplus Method (ISM) sebagai alternatif

untuk alat analisa yang mengandung unsur uang dalam waktu, yang

menurut Khan dilarang oleh Islam (Umam, 2013: 253-266) . Metode ini

pada dasarnya mengkalkulasikan seberapa besar surplus investasi yang

suatu proyek hasilkan selama masanya (Utomo, 1999: 28 – 42).

Hasil investasi di masa yang akan datang sangat dipengaruhi

banyak faktor, baik faktor yang dapat dipridiksikan maupun tidak. Faktor-

faktor yang dapat dipridiksikan atau dihitung sebelumnya adalah : berapa

banyaknya modal; berapa nisbah yang disepakati; berapa kali modal dapat

diputar. Sementara faktor yang efeknya tidak dapat dihitung secara pasti

atau sesuai dengan kejadian adalah perolehan usaha (return). Cara


penghitungannya dengan mengkalkulasi jumlah tahun yang mana surplus

investasi masih terjadi untuk perusahaan, yang kemudian dikalikan

quantum dari surplus tersebut (Purnamasari, 2014: 36-49).

Y = (QR) vW

Dimana :

Y = Pendapatan

Q = Nisbah bagi hasil

R = Return Usaha

V = Tingkat pemanfaatan harta

W = Harta yang ditabung

Formula ini, dapat diterapkan sebagai pengganti formula time value

of money. Karena formula ini tidak menggunakan mekanisme bunga. Akan

tetapi menggunakan dasar mekanisme bagi hasil dan return usaha yang

terjadi secara riil. Dengan menggunakan formula tersebut, maka yang

memberikan nilai ekonomi adalah pemanfaatan waktu yang ada. Sehingga

di dalam Islam yang ada hanyalah Economic Value of Time bukan Time

Value of Money (Kijewska, 2016: 52-70).

Teori keuangan Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam,

saat ini telah mengemukan munculnya permasalahan teori keuangan Islam,

terkait dengan instrumen keuangan Islam. Polemik tersebut berhubungan

dengan masalah instrumen penilaian kelayakan usaha. Teori yang telah ada

sekarang ini, seperti Payback Method, Average Rate of Return (ARR),


Discounted Cash Flow Rate of return (DCFR), Net Present Value (NPV),

dan Machinary and Allied Products Institute Method (MAPI), maupun

yang lainnya, masih menggunakan instrument “interest rate” dan

“discount rate” sebagai instrumennya, padahal keduanya dilarang oleh

Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan hadits yang

notabenenya sebagai ruhnya sistem ekonomi Islam.

Jika suatu usaha dijalankan dengan konsep bebas riba, maka alat

analisa ekonominya pun seharusnya juga berbeda dengan tori yang selama

ini ada dan dipraktekkan dalam ekonomi konvensional. Dari teori-teori

yang telah ada, ternyata masih mengandung kelemahan. Oleh karenanya

ada satu teori yang diusulkan yaitu Investible Surplus Method (ISM),

(Agustin, 2016: 23-37).

Jika suatu usaha dijalankan dengan konsep bebas riba, maka alat

analisa ekonominya pun seharusnya juga berbeda dengan tori yang selama

ini ada dan dipraktekkan dalam ekonomi konvensional (Agustin, 2016: 23-

37). Dari teori-teori yang telah ada, ternyata masih mengandung

kelemahan. Oleh karenanya ada satu teori yang diusulkan yaitu Investible

Surplus Method (ISM). ISM didasarkan pada kerangka kerja “kelebihan

barang yang dapat diinvestasikan”, berapa banyak “investible surplus”

yang dihasilkan selama proyek berlangsung. Jawabannya diketahui dengan

cara menghitung banyaknya periode (tahun) dimana sisa “investible

surplus” usaha (setelah dikurangi biaya awal proyek) dikalikan kuantum

surplus (Purnamasari, 2014: 36-49). Sebagai contoh, suatu proyek 5 tahun


biayanya Rp. 12.000.000,- setelah 2 tahun biaya terlunasi, dan tiap tahun

usaha mendapatkan laba Rp.2.000.00,- selama tiga tahun. Investible

Surplus perusahaan menjadi (2.000.000x2) + (2.000.000,- x1) +

(2.000.000,-x0) = 6.000.000,-, dengan asumsi surplus dihasilkan pada

akhir tahun ke 3, 4, dan 5.

C. KESIMPULAN

Konsep Time Value Of Money atau Positive Time Preference adalah

konsep bahwa nilai uang di masa kini akan lebih berharga dibandingkan

dengan di masa mendatang. Konsekuensinya, uang harus selalu bertambah

dan bertambah karena berjalannya waktu untuk mengkorelasikan antara nilai

uang dan waktu, dan ini merupakan implementasi dari system bunga

(interest) atau riba.

Al-Zarqa tidak menggunakan istilah “time value of money”, dan lebih

memilih “metode diskonto” dalam kaitannya sebagai alat analisa investasi.

Menurut pendapat Al-Zarqa, Islam tidak melarang seorang Muslim memilih

investasi yang halal yang mana memberikan atau menjanjikan tingkat suku

hasil investasi yang paling besar. Sehingga, menggunakan metode diskonto

untuk mengukur suatu investasi kemudian memilihnya, tidak menjadi suatu

permasalahan. Intinya, selama tipe investasinya halal, maka metode apapun

untuk mengukur keuntungan yang dapat dihasilkan tidak dilarang.

M. Akram Khan berargumen bahwa time value of money merupakan

kunci yang membukakan pintu riba. M. Akram Khan menentang penggunaan


rate sebagai faktor diskonto. Ia menolak positive time preference, sebab

penerimaan terhadap konsep ini dapat mendorong legitimasi interest (bunga)

dan membuka pintu belakang bagi masuknya kembali riba. Sedangkan

argumen tentang efisiensi ditentukan oleh faktor penentunya, misalnya proses

manajerial, sehingga faktor diskonto bukan merupakan penentu suatu

efesiensi, lebih lanjut Akram menyebutnya sebagai opportunity cost yang

dikandung oleh faktor diskonto sebagai cost of capital. Sehingga, M Akram

Khan menawarkan Investible Surplus Method (ISM) sebagai alternatif untuk

alat analisa yang mengandung unsur uang dalam waktu, yang menurut Khan

dilarang oleh Islam. Metode ini pada dasarnya mengkalkulasikan seberapa

besar surplus investasi yang suatu proyek hasilkan selama masanya.


REFERENSI

Abdul Halim, Manajemen Keuangan Bisnis, Bogor: ghalia indonesia, 2007

Adiwarman A Karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2007.

Anna Kijewska, “Causal analysis of determinants influencing the Economic Value


Added (EVA) – a case of Polish entity”, Journal of Economics and
Management, Vol. 26, No. 4, (2016): 52-70.

Iggi H Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal; Menggagas Konsep dan


Praktek Manajemen Portofolio Syariah, cet.II, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003.

Khairul Umam, “Menelisik Konsep Ribawi Dalam Teori Time Value Of Money
Studi Komparasi Antara M. Anas Al Zarqa Dan M. Akram Khan”,
Ijtihad, Vol. 7, No. 2, (2013): 253-266.

Lisa Linawati Utomo, “Economic Value Added Sebagai Ukuran Keberhasilan


Kinerja Manajemen Perusahaan”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.
1, No. 1, (1999): 28 –42).

M. Akram Khan, Capital Expenditure Analyisis in an Islamic Framework, dalam


An Introduction to Islamic Finance Ch. 8 (Abod, Agil, dan Ghazali),
Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992.

M. Anas Al-Zarqa, An Islamic Perspective on the Economics of Discouning in


Project Evaluation, dalam An Introduction to Islamic Finance Ch. 6
(Abod, Agil, dan Ghazali). Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992.

Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah,Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 2003.

Munteanu Irena dan Bacula Mariana, “The Time Value of Money in Financial
Management”, Journal Ovidius University Annals Economic Sciences
Series, Vol. XVII, No. 2, (2017): 5993-597.

S. Purnamasari, “Time Value Of Money Perspektif Syariah”, Al-Iqtishadiyah:


Jurnal ekonomi Syariah dan hukum Ekonomi Syariah, vol. 1, No. 1,
(2014): 36-49.

Hamdi Agustin, “Comparative Feasibility Study Analysis Of Islamic And


Conventional (Case Study Quail Farm In Pekanbaru)”, Jurnal Ekonomi
KIAT, Vol. 27, No. 2, (2016): 23-37.

Anda mungkin juga menyukai