Anda di halaman 1dari 6

2.

4 Pengertian dan Landasan Filisofis Manajemen Investasi Syariah

a. Pengertian Manajemen Investasi Syariah

Manajemen syariah adalah seni dalam mengelola semua sumber daya yang dimiliki dengan tambahan
sumber daya dan metode syariah yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

Sedsngkan Manajemen investasi syariah memiliki pengertian yaitu suatu kegiatan atau seni mengelola
modal atau sumber-sumber penghidupan ekonomi maupun sumber daya, secara profesional untuk masa
depan, baik di dunia maupun di akhirat sesuai dengan syari’at dan prinsip-prinsip yang telah diajarkan
oleh rasulullah SAW.

Prinsip-prinsip yang diajarkan Rasulullah sebagaimana dimaksud merupakan asas yang mendasari
manajemen investasi syariah seperti perencanaan matang dalam mengarungi kehidupan dunia adalah
bekal (investasi) pada kehidupan yang abadi di akhirat. Hal ini tersirat dan tersurat dalam al-Quran dan
al-Hadis. Prinsip ini penting dalam melakukan i’mal liduniaka ta’ishu abadan wa’mal liakhiratika ta’ishu
ghodan. (Berusaha keraslah untuk sukses di dunia, seakan-akan kamu hidup di dunia selamanya dan
beribadahlah untuk akhiratmu seakan akan kamu mati esok). Prinsip ini penting dalam melandasi
pengertian manajemen investasi syariah seperti di atas.

b. Landasan Filosofi Manajemen Investasi Syariah

Dalam islam, semua kegiatan dan aktivitas manusia termasuk kegiatan investasi tidak boleh
melanggar aturan yang telah yang disyariatkan oleh agama. Meskipun pada dasarnya semua perbuatan
yang dilakukan manusia dalam bermuamalah boleh, kecuali ada aturan yang melarangnya. Berbeda
dengan ibadah mahdah (teologis), kegiatan apapun dilarang kecuali ada perintah untuk mengerjakannya.

Kegiatan investasi yang merupakan bagian dari muamalah dianggap dapat diterima, kecuali terdapat
implikasi dari dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Karena itu,
investasi tidak lepas dari landasan normatif etika yang bersumber dan diilhami oleh ajaran islam yaitu al-
Qur’an dan hadis Rasulullah saw.

Dengan demikian ada dua hal pokok yang menjadi landasan dalam berinvestasi, yaitu al-Qur’an
dan al-Hadis, serta hukum-hukum yang bersumber dari keduanya. Maka jelas bahwa investasi harus
seiring dengan syariah yang menjadi panduan dalam bertindak. Sesuai dengan filosofi islam yang sangat
mendorong setiap muslim berinvestasi, maka aktivitas investasi menjadi suatu kegiatan ekonomi yang
sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.

Memang investasi dilihat dari sudut pandang non-ekonomi dapat dinilai dari adanya amal saleh
yang telah dilakukan manusia sebagai bekal simpanannya (investasi) untuk ber hitungan amal pada hari
kiamat kelak. Dalam hal ini investasi akhirat merupakan perintah Allah kepada seluruh manusia sebagai
bekal untuk hari perhitungan. Karena tidak ada seorang pun di alam semesta ini yang dapat mengetahui
apa yang akan terjadi pada esok hari, sehingga Allah memerintahkan untuk melakukan investasi amal
sebagai bekal dunia akhirat.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, investasi merupakan suatu komitmen untuk mengorbankan
dana dengan jumlah yang pasti pada saat sekarang ini untuk mendapatkan keuntungan di masa depan.
Namun demikian, investasi dari sudut pandang ekonomi pun tidak boleh jauh dari kedua rambu-rambu
di atas, yaitu al-qur’an dan al-hadis. Jadi, islam sangat menganjurkan investasi baik dari sudut non-
ekonomi maupun sudut pandang ekononi. Sebab dalam islam ada perintah yang menganjurkan umatnya
untuk mengembangkan harta kekayaan, bukan menumpuk kekayaan. Mengembangkan kekayaan berarti
memanfaatkan fadzilah Allah, sedangkan menumpuk-numpuk harta kekayaan merupakan perbuatan
yang sangat tidak dibenarkan.sebagaimana Ahmad al-Haritsi dalam bukunya fiqh ekonomi Umar bin al-
Khattab yang dikutip Mochammad Nadjib (2008:35), menulis bahwa khalifah Umar pernah menyuruh
kaum muslimin untuk menggunakan modal mereka secara produktif, “siapa saja yang memiliki uang,
hendaklah ia menginvestaasikannya dan siapa saja yang memiliki tanah hendaklah ia menanaminya”.[5]

Tuntunan khalifah Umar ini berlatar belakang bahwa pengembangan tanah dan investasi produktif
dari simpanan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan bahan-bahan
pokok dan kenyamanan hidup. Melakukan hal yang demikian jelas merupakan suatu amalan kebajikan
menurut filosofi islam.

Belajar dari khalifah Umar di atas, maka investasi dapat dilakukan pada dua sektor, yakni sektor riil
berupa tanah dan sektor keuangan berupa modal. Investasi pada sektor riil dilakukan dengan membeli
atau menyimpan benda-benda riil yang diharapkan akan mempunyai nilai jual lebih tinggi di masa
mendatang seperti tanah, apalagi diproduktifkan, bangunan, emas, benda seni, atau lainnya.

Sedangkan investasi di sektor keuangan (modal) dilakukan di pasar keuangan (financial market),
baik pasar uang (money market) yang memperdagangkan surat berharga jangka pendek (deposito,SBI,
surat utang, suku, dll). Atau pasar modal (capital market) seperti memperdagangkan surat berharga
jangka panjang (saham dan obligasi/sukuk).

Namun demikian norma-norma ajaran agama tidak boleh dilanggar dalam melakukan semua
aktivitas tersebut. Seperti tidak boleh mengandung unsur riba, gharar, maysir (tadlis), sesuatu yang
haram, dan kebathilan serta ketidakadilan. Itulah landasan atau nilai filosofis investasi syariah yang
berdasarkan al-quran dan al-hadis an-nabawi.

2.5 Teori Investasi Syariah

Dalam sistem Ekonomi Islam, khusus zakat, maka i (bunga pinjaman) ditetapkan sama dengan nol,
sehingga menurut ivestasi dapat dilihat makin ke kanan berarti investasi didorong dengan cepat.

Namun menurut Sahri Muhammad, di balik dihapuskannya bunga (riba) dalam bank zakat ini, kita
lengkapi peralatan baru yang kita kenal dengan zakat produksi dan atau infak produksi. Oleh karenanya
MEC masih harus dihitung dengan memperhatikan besarnya infak ini. Maka, modifikasi rumus investasi
Keynes dalam system zakat harus diubah menjadi:
I = f1 (i)

i = infak / zakat

Perhitungan besarnya infak ini tidak didasarkan pada jumlah pinjaman, tetapi didasarkan pada
perhitungan “kemampuan produksi”. Dengan demikian kata Sahri, bank zakat memperkenalkan “segi
baru” dalam perhitungan MEC. Dengan demikian melalui kebijaksanaan infak dan zakat, maka beberapa
kegunaan yang sekaligus dapat dicapai, yaitu:

1) Mendorong investasi dan produksi,

2) Mendorong lapangan kerja baru,

3) Meningkatkan daya beli mayoritas rakyat,

4) Infak dapat dipakai sebagai alat untuk mengendalikan inflasi, mengendalikan uang yang beredar
dalam masyarakat,

5) Mencegah terjadinya sebagaimana yang digambarkan oleh esame sebagai berikut: “bila MEC lebih
kecil dari suku bunganya maka modal tersebut tidak diinvestasikan”, sebab suku bunga dalam esame
zakat telah ditetapkan nol.[6] Jadi rumusnya adalah:

I = f1 (i)

i = infak / zakat

Selain kegunaan zakat sebagaimana tersebut di atas, zakat dapat pula memainkan perannya sebagai
stabilisator perekonomian. Menurut Irfan Syauqi dan Didin Hafidhuddin, zakat berperan sebagai
stabilisator dalam perekonomian negara. Artinya, pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan
dampak terhadap stabilitas perekonomian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi perekonomian terkadang berada pada situasi booming maupun
pada situasi depresi. Kondisi yang fluktuatif seperti ini tentu membutuhkan adanya suatu instrumen yang
menjadi stabilisator, sehingga deviasi yang ditimbulkannya dapat diminimalisasi. Hal ini dapat dilihat
pada sebuah analisis dengan asumsi bahwa rumus zakat dapat ditetapkan sebagai berikut:

YZ = 2,5 % × GNP

Dimana : YZ = Pendapatan Zakat (secara nasional)

Angka 2,5% menunjukkan standar peersentase terkecil zakat dan merupakan persentase yang dibeban
kan pada mayoritas jenis dan bidang pekerjaan dewasa ini. Berdasarkan rumus tersebut, maka besar
kecilnya pendapatan zakat secara nasional bervariasi, tergantung pada besar kecilnya nilai GNP. Apabila
perekonomian sedang mengalami booming, maka GNP-nya pun akan meningkat. Sebaliknya, pada
kondisi depresi, nilai GNP-pun akan mengalami penurunan.
2.6 Proses Manajemen Investasi Syari’ah

Untuk mencapai tujuan investasi, investasi membutuhkan suatu proses dalam pengambilan keputusan,
sehingga keputusan tersebut sudah mempertimbangkan ekspektrasi retrun yang di dapatkan dan juga
risiko yang aka di hadapi. Pada dasarnya ada beberapa tahapan terhadap dalam pengambilan keputusan
investasi syari’ah :

1) Melakukan screening obyek investasi.

2) Menetukan tujuan investasi.

3) Analisis sekuritas.

4) Pembentukan portofolio.

5) Melakukan revisi portofolio.

6) Evaluasi kinerja portofolio.[7]

Penjelasan tahapan tersebut sebagia berikut:

1. Melakukan screening obyek investasi (portoflio investasi).

Pada innvestasi syari’ah terdapat resiko bahwa intrumen investasi yang di pilih tidak sesuai dengan
syaria’ah, yaitu transaksi masih pada derajat tertentu masih mengandung unsur transaksi gharar, maysir
dan riba. Intrumen investasi syari’ah memiliki instrumen yang terbatas dalam melaksanakan teknik
hedging atau lindung nilai tukar. Intrumen terbatas ini dapat membuat pemilik dana terpapar risiko yang
lebih besar sibandingkan dengan transaksi hedging yang menggunakan intrumen investasi non-syari’ah.
Namun disisi lain risiko inverstasi syari’ah yang selalu mensyaratkan adanya underlying asset (asset
turunan) menyebabkan intrumen investasi syari’ah lebih kecil risikonya dibandingkan dengan intrumen
investasi non-syariah.

2. Menetukan tujuan investasi. Dalam tahapan ini, investor menentukan tujuan investasi dan
kemampuan/kekayaannya yang dapat diinvestasikannya. Dikarenakan ada hubungan positif resiko dan
return, maka hal yang tepat di bagi para investor untuk menyatakan tujuan investasinya tidak hanya
untuk memperoleh banyak keuntungan saja, tapi juga memahami bahwa ada kemungkinan resiko yang
berpotensi menyebabkan kerugian, jadi tujuan investasi harus dinyatakan baik dalam keuntungan
maupun resiko. Dalam Islam menyatakan bahwa segala sesuatu perbuatan maupun amal
tergantungpada niatnya.

3. Analisis sekuritas.

Pada tahapan ini berarti melakukan analisis sekuritas yang meliputi penilaian terhadap sekuritas atau
surat hutang yang mudah dicairkan ke dalam kas secara individual atau beberapa kelompok sekuritas.
Salah satu tujuan penilaian tersebut adalah untuk mengidentifikasi sekuritas yang salah harga.
4. Pembentukan portofolio.

Pada tahapan ini adalah membentuk portofolio yang melibatkan identifikasi aset khusus mana akan
diinvestasikan dan juga menentukan seberapa besar investasi pada setiap aset tersebut. Disini masalah
selektivitas, penentuan waktu dan siversifikasi perlu menjadi perhatian investor.

5. Melakukan revisi portofolio.

Pada tahapan ini, berkenan dengan pengulangan secara periodik dari tiga langkah sebelumnya. Sejalan
dengan waktu, investor mungkin mengubah tujuan investasinya yaitu membentuk portofolio baru
dengan yang lebih optimal. Motifasi lainnya di sesuaikan dengan preferensi investor tentang risiko dan
retrun itu sendiri.

6. Evaluasi kinerja portofolio.

Pada tahap ini investor melakukan penilaian terhadap kinerja portofolio secara periodik dalam arti tidak
hanya retrun yang di perhatikan tetapi juga resiko yang di hadapi. Jadi, di perlukan ukuran yang tepat
tentang return dan risiko juga standar yang relevan.[8]

Pada hasil-hasil investasi yang di hasilkan dalam beberapa periode terakhir volatilitas instrumen-
instumen investasi yang serupa intrumen investasi syari’ah dan non-syari’ah menunjukkan bahwa
intrumen investasi syari’ah relatif lebih stabil. Intrumen investasi syari’ah tersebut merupakan saham
yang memenuhi kriteria saham syari’ah, reksa dana syari’ah dan sukuk.

Anda mungkin juga menyukai