Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“ADVOKASI”
DOSEN PENGAMPU : SYARIFUDDIN SAHID, S.H., M.H

Disusun oleh :
Eka Suryani

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM AL AMANAH JENEPONTO
T.A. 2022-2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah


dan Lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat AllahSubhanahu
Wa Ta’ala, yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga
kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah Advokasi dengan judul
“kekerasan dalam rumah tangga”pada waktunya.
Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan
dukungan dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya.
Untuk itu kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak
yang sudah membantu kami dalam rangka menyelesaikan makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa
serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka
seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun
sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini
bisa bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca
untuk mengangkat berbagai permasalahan lainnya yang masih berhubungan pada
makalah-makalah berikutnya.

Jeneponto, 12 September 2022


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan
kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri
dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga di
samping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari ayah,
ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang
sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam
hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa
bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan
kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial) seluruh anggota
keluarga. Keluarga disebut disharmoni apabila terjadi sebaliknya. Ketegangan
maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan
hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah
tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah
sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang
menjadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal
tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-
masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota
keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan
mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga
sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara
sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan
kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-
sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar.
Di sisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan
semakin sering terjadi dalam keluarga. Penyelesaian masalah dilakukan dengan
marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan
kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan.
Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau
melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik,seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga?
2. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
3. Apakah faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga?
4. Bagaimana cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga?
5. Apakah perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga?
6. Apa contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang antara lain menegaskan
bahwa:
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari negara
dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.Tindak kekerasan yang
dilakukan suami terhadap istri sebenarnya merupakan unsur yang berat
dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-
undang hukum pidana) pasal 356 yang
5. secara garis besar isi pasal yang berbunyi: “barang siapa yang
melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, istri atau anak diancam
hukuman pidana”.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),
menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan tampak seperti bilur-bilur, muka lebam,
gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis/emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri,
tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual berat, berupa:
 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang
menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan
atau menyakitkan.

• Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan prostitusi


dan atau tujuan tertentu.
• Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
• Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
• Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non
verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan
dan atau menghina korban. Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat
dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,
bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
• Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk pelacuran.
• Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
• Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas
dan atau memanipulasi harta benda korban.
• Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh
anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
menyalah-kan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan
kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum
yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, diperlukan
cara- cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlak yang baik dan berpegang
teguh pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak
terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga,
karena di dalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap
ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga
dapat saling menghargai setiap pendapat yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah
rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam
rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi
dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang
ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila
terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan
persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan realitas dalam kehidupan
rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka
persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah
kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.
Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan
pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut
dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal
perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman
terhadap korban serta menindak pelakunya. Undang-undang PKDRT secara
substantif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah
diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan
lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum,
tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena
luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi
yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu
adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak
KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan,
pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan
perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang
ada. Dilihat dari hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan
sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yakni
tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu
diberi nafkah dan kehidupan.
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat
khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan
pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya,
serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab
(causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya,
tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat.
Dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif,
melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan
melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Yang lebih penting lagi
adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita
yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam undang-undang
PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi
perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu
didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih
tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak
hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku
institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
Undang-undang PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan
dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat
memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka
pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-
penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi,
pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada ligitasi. Tetapi
walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah
penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, undang-undang PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi
perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan
pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi
dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak
memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh
kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus
menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan
sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah
diakses oleh korban. Pemerintah dan masyarakat perlu segera
membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian
sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan,
penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan
disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan
kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat
perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 x 24 jam.
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum,
melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga
korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan (ligitasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan
kemitraan).
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk
perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat
perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari
apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul
terhadap korban.
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam
upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan
sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan
medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk
menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan
informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan,
serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-
hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan
pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak
KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman
dan takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih bersifat normatif, belum
implementasi dan teknis operasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan
dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan
kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan
mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari
pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat
mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena
berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab
konvensional seperti diharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah,
perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan
ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh
mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya,
bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi-persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya,
hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi
Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan
yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat
mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang
diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi
keluarga dan bangsa Indonesia.

F. Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kasus Ibu Umi Retnowati ini tercatat dilaporkan pada posko bantuan hukum
masyarakat Desa Marga Agung Kecamatan Jati Mulyo Lampung Selatan pada
bulan Oktober 2009, dokumentasi kasus (melalui form p.2 dilakukan oleh Ibu
Sumiyati selaku paralegal Desa Marga Agung).
1. Kronologis kasus
Berdasarkan buku nikah, diketahui bahwa Ibu Umi dan suaminya (Bapak Imam
Wardiyono) menikah pada tanggal 24 Juli 1988. Dari pernikahan ini, lahirlah 5
orang anak yang semuanya berjenis kelamin laki-laki dengan usia masing-masing
(20 tahun, 18 tahun, 14 tahun, 11 tahun, dan 4 tahun) selain anak-anak tersebut,
Ibu Umi dan suaminya memiliki seorang anak perempuan yang bernama Siti
Munawaroh (usia tidak diketahui). Pada tahun 2005, suami Ibu Umi menikah lagi
dengan anak angkatnya (Siti Munawaroh) secara diam-diam.
Sejak suaminya menikah lagi, Ibu Umi sering mengalami kekerasan fisik dari
suaminya (sering dipukul, dijambak rambutnya bahkan ditendang). Namun Ibu
Umi membiarkan saja perbuatan suaminya dan lebih memilih untuk memaafkan
suaminya tersebut. Puncak kejadiannya terjadi pada tanggal 27 September 2009.
Saat itu Ibu Umi dan anaknya mendatangi rumah istri muda suaminya dengan
maksud untuk menangkap basah suaminya bersama istri barunya, sesampainya di
sana suami Ibu Umi marah-marah dan mengusir Ibu Umi dan anaknya.
Dalam perjalanan pulang, di tengah jalan suami Ibu Umi menyerempet motor
yang dikendarai Ibu Umi bersama anaknya. Akibatnya, kaki kanan terluka dan
siku tangan kanan Ibu Umi terkilir. Sedangkan anaknya (Rauf Hanafi) mengalami
luka di bagian kaki kanan dan pinggang sebelah kanan. Setelah kejadian, Ibu Umi
mendatangi Bapak Muhtarom (kepala desa) untuk berkonsultasi mengenai
penyelesaian kasus tersebut. Saat itu kepala desa menyarankan agar Ibu Umi ke
Pengadilan Agama untuk menggugat cerai suaminya.
2. Penyelesaian
Pada tanggal 28 September 2009, Ibu Umi mendatangi Pengadilan Agama
Kalianda untuk mendaftarkan gugatan cerai. Namun dari pihak Pengadilan Agama
Kalianda disarankan untuk ke Polres Lampung Selatan untuk melaporkan tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Pada jam 10 pada hari yang sama
(tanggal 28 September 2009), Ibu Umi melapor ke Polres Lampung Selatan. Dari
polres disarankan untuk melakukan visum.
Setelah hampir sebulan, kasus KDRT yang dialami oleh Ibu Umi terkesan tidak
ditindak lanjuti dengan serius oleh pihak polres. Hal ini dapat terlihat dari tidak
ditahannya suami Ibu Umi oleh pihak polres tanpa alasan yang jelas. Sehingga
menimbulkan sangkaan kepada pihak polres bahwa kemungkinan besar suami Ibu
Umi tidak ditahan karena terkait posisi suami Ibu Umi yang merupakan tokoh
masyarakat dan memiliki keluarga yang memiliki posisi berpengaruh di
masyarakat. Kondisi ini membuat Ibu Umi melaporkan kasusnya dan meminta.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya
masing-masing. Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah
hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa
saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk
melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah
sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-
lebihan.
Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga
melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya
diambil orang atau yang lainnya. Jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi
terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari
sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak
contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kejadian seperti itu. Sifat rasa cemburu
bisa menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga
menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.

B. Saran
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermanfaat bagi pembaca dan
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu
kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Warassih, Esmi. 2010. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang:


Suryandaru Utama.
Fakih, Mansour. 1998. Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif
Gender. Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni.
Otje, Salman. Anton F. Susanto. 2013. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum.
Bandung: Alumni.

Download Contoh Makalah KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).docx

Anda mungkin juga menyukai