Disusun Oleh:
Ayu Safitri
0601223040
Penulisan makalah ini diselesaikan guna menyelesaikan salah satu tugas yang diberikan
kepada saya dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Adapun judul makalah ini adalah “Kekerasan
Dalam Rumah Tangga”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-
perbaikan kedepan. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembacanya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................. 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi merupakan hal yang sangat sensitif dalam kehidupan manusia. Hampir diseluruh
negara memiliki peraturan tersendiri dalam melindungi HAM. Akan tetapi sering kali HAM
tersebut masih dipandang sebelah mata apalagi menyangkut perbedaan gender antara pria dan
wanita. Wanita sering kali dianggap lebih rendah dibandingkan pria, sehingga sering kali
bermunculan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya wanita dalam pelanggaran
kekerasan dalam rumah tangga.
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai
dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,
mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut diharmonis apabila terjadi
sebaliknya.
Masalah kekerasan (khususnya dalam rumah tangga) merupakan salah satu bentuk kejahatan
yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis
kejahatan melawan hukum kemanusiaan. Namun demikian, tidak semua kejahatan megandung
unsur-unsur kekerasan, dan tidak semua tindakan kekerasan dapat dikatakan sebagai kompenen
kejahatan. Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Berbagi
pendapat, persepsi, dan definisi mengenai kekerasan dalam rumah tangga berkembang dalam
masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan
rumah tangga. Berbagai kasus berakibat fatal dari kekerasan orang tua terhadap anaknya, suami
terhadap istrinya, majikan terhadap rumah tangga, terkuak dalam surat kabar dan media massa.
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun, selama ini
selalu dirahasikan atau ditutup-tutupi oleh keluarga, maupun oleh korban sendiri atau keluarga.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mengandung sesuatu yang spesifik atau khusus.
Kekhususan tersebut terletak pada hubungan antara pelaku dan korban, yaitu hubungan
kekeluargaan atau hubungan pekerjaan (majikan-pembantu rumah tangga).
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraiakan, maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa pembahasan yang akan dibahas, diantaranya adalah:
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis uraikan, maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa tujuan yang akan dibahas, diantaranya adalah:
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu
harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang
berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)
pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan
penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”.
4
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual berat, dapat berupa:
a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan
korban yang seharusnya dilindungi.
f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
5
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa:
a. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan
korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
6
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks
harmoni keluarga.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya KDRT khususnya secara fisik dan seksual
terhadap perempuan oleh pasangannya? Berdasarkan hasil SPHPN Tahun 2016 mengungkapkan
terdapat 4 (empat) faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap
perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu:
1. Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti
melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah
secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara
melalui catatan sipil atau KUA. Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami,
perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan.
Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali
lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah
menyerang suami/pasangan lebih dahulu.
2. Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali
lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang
suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang
suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
3. Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan
yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga
pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan
7
fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek ekonomi
merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan
dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan
pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di
Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan
rumahtangga.
4. Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang
mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali
lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan
mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki
risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan
dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan.
8
Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
9
Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan,
kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih
diperlukan UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik,
misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan
kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang
(pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada
umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya
dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui
proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas
institusi dan lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-
masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan?
Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas
sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat
terwujud sesuai harapan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga
yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau
memberikan perlindungan itu bukanlah masalah.
Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan
terhadap korban KDRT. UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan
fungsi pelayanan.
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi
melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh
institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi,
pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian,
peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan
menghapus tindak KDRT.
10
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat
sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan
pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama
7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan
sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di
kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
mudah diakses oleh korban. Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah
aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT.
Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan
penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan
disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat
melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran
perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan
setelah 1 X 24 jam.
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi
dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi),
dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum,
relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah
perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT
selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan
atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
11
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi
terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan
tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti.
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan
memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga
terkait.
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai
hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan
teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT.
Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan
dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh
dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi
menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya
KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional
seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang
kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT
justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan
pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum,
agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah
12
perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT.
Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi
persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan
bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.
13
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting untuk diperhatikan,
mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya dari pancasila sudah
sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu “kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila ini yang sangat bertentangan dengan tindak
kekerasan terutama KDRT adalah saling mencintai sesama manusia, menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT tidak berjalan efektif. Karena dalam penerapannya masih
banyak kasus yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum dan terhenti pada pihak kepolisian saja
sehingga menghambat kinerja Undang-Undang PKDRT. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama
dari berbagai lembaga yang berwenang dapat mendukung implementasi undang-undang KDRT
agar bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana KDRT.
B. Saran
Dari makalah yang telah saya tuliskan tersebut, maka saya penulis menyarankan kepada
pembaca yang telah membaca makalah tersebut untuk menggunakan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Harapan saya sebagai penulis agar makalah ini digunakan untuk mengurangi kekerasan
dalam rumah tangga dilingkungan kita.
Saya menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kritik dan saran dari para
pembaca sangat berharga yang bisa membantu dalam mengembangkan makalah ini menjadi lebih
baik lagi buat kedepannya.
14
Daftar Pustaka
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,
Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung:
Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
15