Anda di halaman 1dari 21

KEKERASAN DAN PENGANIAYAAN

(RUMAH TANGGA DAN PENDIDIKAN)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

NAMAM NIM
VIDYAH FADILAH SIKUMBANG 20 203 00034
INDRI NOVRIYANTI NASUTION 20 203 00039
FADHILLAH AGUSTINA LUBIS 20 203 00059

DOSEN PENGAMPU
FITHRI CHOIRUNNISA SIREGAR, M. Psi

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS DAKWEAH DAN ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2022
KATA PENGANTAR
‫ٱلرِنَٰمۡح ه‬ ‫ه‬
‫ٱَّللِ ه‬
‫ٱلرحِي ِم‬ ‫ِمۡسِب‬

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Padangsidimpuan, November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........................................................ 2
B. Kekerasan Dalam Pendidikan .............................................................. 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 17
A. Kesimpulan ....................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang
terjadi dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam
menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan selalu disertai dengan
tindakan kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan
sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, baik secara fisik
maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik
semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan
psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis
yang cukup lama bagi si korban.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial
yang telah berlangsung lama dalam sebagian rumah tangga di dunia, termasuk
di Indonesia. Jika selama ini kejadian tersebut nyaris tidak terdengar, hal itu
lebih disebabkan adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kekerasan dalam
rumah tangga merupakan peristiwa domestik yang tabu untuk dibicarakan
secara terbuka.
bukan hanya dalam keluarga, dewasa ini sering terjadi kekerasan
dalam dunia pendidikan yang sudah menjadi sorotan masyarakat. Berbagai
bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa
sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul siswa telah
menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah
berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan
meningkatknya agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah. Tindakan
kekerasan dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Bullying.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga?
2. Bagaimana kekerasan dalam pendidikan?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis
dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan yang secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat
berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau
penelantaran rumah tangga, tetapi umumnya masyarakat masih banyak
mengartikan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga itu hanya semata
kekerasan fisik.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena sosial yang
telah berlangsung lama dalam sebagian rumah tangga di dunia, termasuk
di Indonesia. Jika selama ini kejadian tersebut nyaris tidak terdengar, hal
itu lebih disebabkan adanya anggapan dalam masyarakat bahwa
kekerasan dalam rumah tangga merupakan peristiwa domestik yang tabu
untuk dibicarakan secara terbuka1.
Menurut UU No. 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak
bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuak: diskriminasi, ekploitasi baik
ekonomi mapun seksual, penelantara, kekejaman, kekerasan, dan
pengeaniayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Dalam hal
orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagai mana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman2.

1
Barbara Krahe, Perilaku Agresif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 244.
2
Muhammad Arsal, Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta: Asa Mandiri 2008), hlm. 3.

2
Dengan demikian, kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan
yang bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal
ini segala bentuk ancaman, cemooh penghinaan, mengucapkan kata-kata
kasar yang terus menerus juga diartikan sebagai bentuk tindakan
kekerasan3. Dengan demikian kekerasan diartikan sebagai penggunaan
kekuatan fisik untuk melukai manusia atau untuk merusak barang, serta
pula mencakup ancaman pemaksaan terhadap kekebasan individu.
2. Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Soeroso Hadiati M Dari berbagai kasus yang pernah terjadi di
Indonesia, bentuk-bentuk KDRT dapat dikelompokkan menjadi berikut
ini :
a. Kekerasan fisik
1) Pembunuhan:
a) suami terhadap istri atau sebaliknya;
b) ayah terhadap anak dan sebaliknya;
c) ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan
bayi oleh ibu);
d) adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya;
e) anggota keluarga terhadap pembantu;
f) bentuk campuran selain tersebut diatas.
2) Penganiayaan:
a) suami terhadap istri atau sebaliknya;
b) ayah terhadap anak dan sebaliknya;
c) ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan
bayi oleh ibu);
d) adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya;
e) anggota keluarga terhadap pembantu;
f) bentuk campuran selain tersebut diatas.

3
Purnianti, Apa dan Bagaimana Kekerasan dalam Keluarga, (Jakarta: Kongres Wanita
Indonesia (KOWANI), 2000), hlm. 2.

3
3) Perkosaan:
a) ayah terhadap anak perempuan; ayah kandung atau ayah tiri
dan anak kandung maupun anak tiri;
b) suami terhadap adik/kakak ipar;
c) kakak terhadap adik;
d) suami/anggota keluarga laki-laki terhadap pembantu rumah
tangga
e) bentuk campuran selain tersebut diatas.
b. Kekerasan Nonfisik/Psikis/Emosional, seperti:
1) penghinaan;
2) komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan
melukai harga diri pihak istri;
3) melarang istri bergaul
4) ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua;
5) akan menceraikan;
6) meisahkan istri dan anak-anaknya dan lain-lain.
c. Kekerasan Seksual, meliputi:
1) Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;
2) Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak
dikehendaki atau disetujui oleh istri;
3) Pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri
sedang sakit atau menstruasi;
4) Memaksa istri menjadi pelacur dan sebagainya.
d. Kekerasan Ekonomi, berupa:
1) Tidak memberi nafkah pada istri;
2) Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk
mengontrol kehidupan istri;
3) Membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya
dikuasai oleh suami4.

4
Soeroso Hadiati Moerti. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 82.

4
3. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Faktor yang melatarbelakangi tindak kekerasan dalam rumah
tangga dapat diidentifikasikan karena faktor gender dan patrarkhi, relasi
kuasa yang timpang dan role modelling (perilaku hasil meniru). Gender
dan patrirakhi seperti yang sudah dibicarakan akan menimbulkan relasi
kuasa yang tidak setara karena laki-laki dianggap lebih utama daripada
perempuan berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai
kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya termasuk istri dan anak-
anaknya. Anggapan bahwa suami mempunyai kekuasaan yang lebihktor
yang melatarbelakangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat
diidentifikasikan karena faktor gender dan patrarkhi, relasi kuasa yang
timpang dan role modelling (perilaku hasil meniru). Gender dan
patrirakhi seperti yang sudah dibicarakan akan menimbulkan relasi kuasa
yang tidak setara karena laki-laki dianggap lebih utama daripada
perempuan berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai
kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya termasuk istri dan anak-
anaknya. Anggapan bahwa suami mempunyai kekuasaan yang lebih
tinggi daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki-laki
berpeluang melakukan kekerasan.
Menurut Krahe ada beberapa faktor yang memberikan kontribusi
terhadap terjadinya KDRT, antara lain 5:
a. Ketidaksetaraan kekuatan / kekuasaan anataran penganiaya dan
korbannya, yang disubstansikan oleh faktor-faktor ekonomis, yang
memungkinkan orang yang lebih dominan untuk memaksakan
kepentingannya sendiri melalui penggunaan agresi dan ia tidak
mendapatkan sanksi atas perbuatannya itu.
b. Suatu struktur normatif yang mendukung penggunaan kekerasan
sebagai strategi untuk mengatasi konflik, yang menyebabkan

5
Barbara Krahe, Op.Cit., , hlm. 292.

5
terjadinya transmisi gaya-gaya respon agresif dari satu generasi ke
generasi selanjutnya.
c. Keberadaan stressor eksternal, seperti pengangguran dan kondisi
perumahan yang kumuh.
d. Pengalaman kekerasan dalam keluarga yang dilakukan orang dewasa
pada masa kanak-kanak.
e. Ciri-ciri penganiaya, seperti psikopatologi individual atau
keterampilan mengatasi konflik yang tidak memadai.
f. Pola-pola perilaku jangka pendek maupun jangka panjang dari orang
yang menjadi targetnya, misalnya perilaku anak yang sulit atau lansia
yang dependen.
Selain faktor tersebut, Soeroso Hadiati M juga menjelaskan ada
beberapa faktor yang melatarbelakangi kecenderungan tindak kekerasan
dalam rumah tangga, antara lain 6:
a. Masalah Keuangan
Uang seringkali dapat menjadi pemicu timbulnya
perselisihan di antara suami dan istri. Gaji yang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulan, sering
menimbulkan pertengkaran, apalagi kalau pencari nafkah yang
utama adalah suami.
b. Cemburu
Kecemburuan dapat juga merupakan salah satu timbulnya
kesalahpahaman, perselisihan, bahkan kekerasan.
c. Masalah Anak
Salah satu pemicu terjadinya perselisihan antara suami-istri
adalah masalah anak. Perselisihan dapat semakin meruncing kalau
terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap anak antara suami dan
istri. Hal ini dapat berlaku baik terhadap anak kandung maupun
terhadap anak tiri atau anak asuh.

6
Soeroso Hadiati Moerti. Op.Cit., hlm. 77.

6
d. Masalah Orang Tua
Orang tua dari pihak suami maupun istri dapat menjadi
pemicu pertengkaran dan menyebabkan keretakan hubungan di
antara suami istri. Dapat digambarkan bahwa bagi orang tua yang
selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya, misalnya meliputi
masalah keuangan, pendidikan anak, atau pekerjaan, seringkali
memicu pertengkaran yang berakhir dengan kekerasan. Apalagi hal
ini bias dipicu karena adanya perbedaan sikap terhadap masing-
masing orang tua.
e. Masalah Saudara
Seperti halnya orang tua, saudara yang tinggal dalam satu
atap maupun tidak, dapat memicu keretakan hubungan dalam
keluarga dan hubungan suami-istri. Campur tangan dari saudara
dalam kehidupan rumah tangga, perselingkuhan antara suami dengan
saudara istri, menyebabkan terjadinya jurang pemisah atau
menimbulkan semacam jarak antara suami dan istri. Kondisi seperti
ini kadang kurang disadari oleh suami maupun istri. Kalau keadaan
semacam ini dibiarkan tanpa adanya jalan keluar, akhirnya akan
menimbulkan ketegangan dan pertengkaran-pertengkaran. Apalagi
kalau disertai dengan kata-kata yang menyakitkan atau menjelek-
jelakkan keluarga masing-masing. Paling sedikit akan menimbulkan
kekerasan psikis.
f. Masalah Sopan Santun
Sopan santun seharusnya tetap dipelihara meskipun suami
dan istri sudah bertahun-tahun menikah. Suami dan istri berasal dari
keluarga dengan latar belakang berbeda. Untuk itu perlu adanya
upaya saling menyesuaikan diri, terutama dengan kebiasaan-
kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing. Kebiasaan
lama yang mungkin tidak berkenan di hati masing-masing pasangan,
harus dihilangkan. Antara suami dan istri harus saling menghormati
dan penuh pengertian. Kalau hal ini diabaikan akibatnya dapat

7
memicu kesalahpahaman yang menyebabkan terjadinya
pertengkaran dan kekerasan psiskis. Ada kemungkinan juga berakhir
dengan kekerasan psikis.
g. Masalah Masa Lalu
Seharusnya sebelum melangsungkan pernikahan antara calon
suami dan istri harus terbuka, masing-masing menceritakan atau
memberitahukan masa lalunya. Keterbukaan ini merupakan upaya
untuk mencegah salah satu pihak mengetahui riwayat masa lalu
asangan dari orang lain. Pada kenyataannya cerita yang diperoleh
dari pihak ketiga sudah tidak realistis. Pertengkaran yang dipicu
karena adanya cerita masa lalu masing-masing pihak berpotensi
mendorong terjadinya perselisihan dan kekerasan.
h. Masalah Salah Paham
Suami dan istri ibarat dua buah kutub yang berbeda. Oleh
karena itu diperlukan usaha saling menyesuaikan diri serta saling
menghormati pendapat masing-masing.
i. Suami Mau Menang Sendiri
Suami yang merasa “lebih” dalam segala hal dibandingkan
dengan istri. Oleh karena itu suami menginginkan segala
kehendaknya menjadi semacam “undang-undang”, dimana semua
orang yang tinggal dalam rumah harus tunduk kepadanya. Dengan
demikian kalau ada perlawanan dari istri atau penghuni rumah yang
lain, maka akan timbul pertengkaran yang diikuti dengan timbulnya
kekerasan.
j. Masalah Tidak Memasak
Terkadang jika istri tidak memasak akan menimbulkan
keributan, sikap seperti inilah yang menyebabkan pertengkaran. Saat
ini istri tidak hanya dituntut di ranah domestik saja tetapi juga di
ranah publik.

8
B. Kekerasan Dalam Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntunan di dalam
tumbuh hidupnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu :
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sebagai manusia dan segala anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya 7.
SA. Branata dkk. Mendefinisikan pendidikan ialah usaha yang
disengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara tidak langsung untuk
memebentuk anak dalam perkembangan mencapai kedewasaan8.
Sedangkan dalam UU RI No.20 tahun 2003 Pendidikan yaitu
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkna suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakta, bangsa dan Negara9.
Dari berbagai paparan tentang pengertian pendidikan , maka dapat
penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha bimbingan yang
dilakukan secara sadar dan disengaja oleh si pendidik terhadap terdidik, baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk membentuk kepribadian ,
kedewasaan mental, intelektual, budi pekerti dan sebagainya yang dapat
berguna bagi kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
2. Bentuk-bentuk kekerasan dalam pendidikan
Bentuk perilaku kekerasan dalam pendidikan memiliki beberapa
tingkatan10 :
Pertama, kekerasan dalam tingkatan ringan (violence as potential),
yaitu kekerasan yang langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan
kekerasan susulan atau aksi balas dendam dari si korban. Pada tingkatan ini

7
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan , (Jakarta; Aksara Biru , 1988), hlm. 2.
8
Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati , Ilmu Pendidikan , (Jakarta; Rineka Cipta ,1991), hlm. 69.
9
Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003 , Tentang Sistem Pendidikan Nasional ,
(Bandung; Citra Umbara, 2003), hlm.3
10
Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan : Tipologi , Kondisi , Kasus dan
Konsep ,(Yogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 35.

9
kekerasan terjadi pada umumnya bersifat tertutup (covert) seperti
mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang membuat pihak lain
merasa takut atau tertekan. Kekerasan defensive (melakukan tindakan
perlindungan) seperti brikade untuk menahan aksi demo, unjuk rasa,
pelecehan martabat, dan penekana psikis. Kekerasan dalam tingkat ini
diklasifikasikan menjadi dua dan perlu dilihat akar permasalahannya, jika
kasus selesai secara intern tanpa di-expose media massa maka masalahnya
tergolong perilaku kekerasan dalam pendidikan kategori ringan dan tidak
termasuk dalam batasan kekerasan. Namun sebaliknya, jika kasus yang
terjadi tidak selesai secara intern dan dimuat di media massa yang dapat
diketahui oleh publik maka kekerasan tersebut termasuk sedang,
Kedua ,kekerasan dalam pendidikan kategori sedang (violence in
education) yang mana bisa tetap diselesaikan oleh pihak sekolah dengan
bantuan aparat keamanan. Indikator kekerasan ini mencakup kekerasan
terbuka (overt) seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa atau terkait
dengan fisik pelanggaran terhadap aturan sekolah atau kampus serta
membawa simbol dan nama sekolah.
Ketiga, kekerasan tingakt berat , yakni( criminal action). Kekerasan
sering terjadi di luar sekolah dan lebih mengarah kepada tindak kriminal.
Bersifat agresif (offensive) yaitu kekerasan yang dilakukan untuk
mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau
bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan dalam tingkatan ini lebih tinggi
dari pada dua jenis kekerasan sebelumnya karena pelaku kekerasan ini dapat
dikenai sanksi hukum dan penyelasaiannya ditempuh melalui jalur hukum
serta berada di luar wewenang pihak sekolah atau kampus. Berdasarkan
tingkat kekerasan pada umunya berada dalam kategori ringan atau sedang,
yakni masih terjadi di lingkup sekolah, masih berada dalam jam sekolah dan
memakai atribut sekolah. segala bentuk kekerasan dalam pendidikan akan
memunculkan permasalahan baru jika tidak diselesakan dengan segera.
3. Faktor-faktor kekerasan dalam pendidikan
Setiap orang tidak menginginkan adanya kekerasan dalam
pendidikan yang menyelesaikan masalah dengan edukatif. Kekerasan tidak

10
akan timbul jika tidak didahului oleh kondisi (atencendent variable), faktor
(independent variable) dan pemicu (intervening variable) tindak kekerasan
dalam pendidikan (dependent variable) terangkai dalam hubungan spiral ,
bisa muncul sewaktu-waktu , oleh pelaku siapa saja yang terlibat dalam
dunia pendidikan, sepanjang dijumpai pemicu kejadian.
Berikut dijelaskan faktor-faktor penyebab munculnya kekerasan
antara lain11:
a. Faktor internal pendidikan
Faktor ini mempunyai pengaruh secara langsung dari perilaku
anak dan pendidik termasuk pelakunya. Manivestasi dari faktor ini
adalah adanya pelanggaran yang disertai hukuman, terutama hukuman
fisik yang mengakibatkan adanya pihak yang melanggar dan yang
memberi sanksi. Selain itu buruknya sistem dan kebijakan pendidikan
yang berlaku. Muatan kurikulum yang mengandalkan kemampuan
kognitifnya dan mengabaikan afektif yang mengakibatkan kurangnya
proses humanisme dalam pendidikan. Pola asuh guru yang authoritarian
yaitu pola pembelajarana yang masih mengandalkan faktor kapatuhan
dan ketaatan pada figure otoritas sehingga belajar mengajar bersifat satu
arah (dari guru ke murid) ini masih umum dilakukan dalam pendidikan
Indonesia yang juga mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam
pendidikn yang saat ini sedang marak dibicarakan. Tekanan kerja yang
dihadapi oleh guru maupun adanya masalah psikologi yang sedang
dihadapi oleh guru yang bersangkutan.
Kekerasan juga bisa disebabkan oleh guru yang bersangkutan
atau kondisi siswa serta kesejahteraan dan lingkungan di sekitar. Sikap
siswa juga bisa menjadi penyebabnya . Sikap siswa tidak lepas dari
dimensi psikologogis dan kepribadian si siswa itu sendiri. Sikap siswa
melandasi interaksi antara siswa dengan guru, dengan teman , adik
kelas ataupun dengan kakak kelas. Kekerasan yang terjadi ini juga harus
kita lihat dari segi kesejahteraan guru maupun siswa dan juga pola asuh
dalam keluarga mereka.

11
Ibid., hlm. 63.

11
b. Faktor eksternal pendidikan
Faktor eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang menjadi
faktortidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam
pendidikan12. Kekerasan eksternal ini dapat dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat dan tayangan media masa. Belakangan ini
media masa banyak tayangan yang memberitakan tentang kekerasan
seperti jotos, pornografi dan pornoaksi dan lain-lain. Selain itu
kekerasan juga bisa jadi merupakan refleksi dan perkembangan
kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat mengikuti
zaman sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution dan
jalan pintas. Atau kekerasan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi latar
belakang sosial-ekonomi pelaku.
Untuk menghindari prilaku kekerasan dalam pendidikan maka
setiap mencari alternatif solusi yang dapat disepakati oleh pihak yang
terkait. Jika tidak diselesaikan secara langsung maka kasus itu akan
mendorong kekerasan susulan atau sementara.
Kekerasan bisa terjadi di seluruh aspek kehidupan. Dan pelaku
tindak kekerasan meliputi:
1) Kekerasan antar pihak sekolah
Kasus ini disebut juga dengan konflik inter antar sesama
pendidikmaupun pimpinannya.13 Misalnya yang terjadi di Surabaya
yang memperebutkan kursi kepemimpinan yayasan.
2) Kekerasan antar pelajar atau mahasiswa
Kasus pelajar atau mahasiwa jauh lebih banyak dijumpai
daripada konflik inter antar pendidik dan pimpinannya 14.
Sebagaimana contoh kasus tawuran antar kelompok yang bahkan
sampai mangambil korban jiwa. Atau kasus membolos yang
sekolah yang sering terjadi di sekolah merupakan kategori
kekerasan dalam pendidikan karena prilaku ini merupakan
pelanggaran aturan sekolah. Khususnya yang berkenaan dengan

12
Abdurrahman Assegaf,.Op.Cit. hlm. 23.
13
Ibid., hlm. 61.
14
Ibid., hlm. 61.

12
jam belajar. Kasus ini menjadi cuckup serius karena banyaknya
pihak yang telah menertibkan karena membolos sekolah . Bila hal
ini dibiarkan maka akan berpotensi tinggi menimbulkan perilaku
kekerasan terbuka.
3) Kekerasan guru terhadap siswa
Kekerasan yang ditimbulkan dari kasus ini adalah hukuman
yang melebihi kepatutan, penganiaayaan, sampai dengan tindak
asusila. Perilaku kekerasan ini sering mengakibatkan siswa sampai
cedera yang kadang guru menyalah artikan tentang hukuman
bahkan lebih keras dari hukuman. Atau kekerasan yang dilakukan
guru terhadap siswa adalah tindak pencabulan atau perselingkuhan
guru dengan muridnya . Perilaku kekerasan guru terhadap siswa
bisa terjadi karena sikap otoritas seorang guru, artinya guru
mempunyai wewenang penuh terhadap siswa, termasuk memarahi
dan memberi hukuman.
4) Kekerasan pelajar terhadap guru sekolah
Perilaku kekerasan pelajar terhadap guru diakibatkan
karena aksi balas dendam murid ke guru karena merasa tidak
terima atas hukuman yang diberikan guru kepadanya.
5) Kekerasan oleh masyarakat
Kasus kekerasan oleh masyarakat terdiri atas berbagai
bentuk , dari sekedar pengaduan, unjuk rasa , penyegelen sampai
tindak kriminal berupa pencabulan dan pembunuhan.
4. Dampak kekerasan dalam pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan menjadi fenomena yang banyak
dibicarakan di kalangan manapun. Seorang siswa yang pernah mengalami
tindak kekerasan maka dia pasti mempunyai sesuatu yang membekas dalam
hatinya dan berpengaruh terhadap perkembangan psikologisnya seperti;
mengkibatkan penderitaan fisik, mental ,sosial dan mengabaikan hak asasi
orang, dan manghambat masa depan.
Masalah tindak kekerasan sudah terjadi semenjak berkembangnya
sejarah manusia. Terjadinya kekerasan terhadap anak didik tidak lepas dari

13
rendahnya bentuk pemahaman tentang kekerasan serta ketidakmampuan
guru dalam menangkap dampak dari setiap kekerasan yang dilakukan.
Mestinya sebagai guru memahami unsur-unsur negative tang ditimbulkan
oleh perbuatan yang penuh kekerasan.
Dampak dari tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif
dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi pasif dan apatis; ada
yang tidak mempunyai kepribadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi
dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa
terhadap dirinya sendiri. Selain itu juga bisa menimbulkan adanya kerusakan
fisik, seperti perkembangan tumbuh kurang normal juga rusak sarafnya.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam , dan
menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan
terhadap anak (child abuse) , antara lain ;
a. Dampak kekerasan fisik
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan
menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku
kejam kepada anak-anknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak
yang agresif , yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (Sitohang, 2004) menggambrkan bahwa semua
jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika masih kecil .Kekerasan fisik yang bersangkutan
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera
serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik sehingga
menyebabkan korban meninggal dunia.
b. Dampak kekerasan psikis
Unicef (1986) mengemukakan , anak yang sering dimarahi
orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa
(memuntahkan makanan kembali), penyimpanan pola makan, anorexia
(takut gemuk )kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki

14
dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang
nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas
yang tersembunyai yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk,
seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan,
perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, atau berupa gejala ketakutan dan kecemasan yang akan
tampak pada tindak-tanduk anak yang terkadang hal itu akan
mendorongnya untuk bunuh diri.
c. Dampak kekerasan seksual
Menurut Mulyadi , diantara korban yang masih merasa dendam
terhadap pelaku, takut menikah , merasa rendah diri, dan trauma akibat
eksploitasi seksual , meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan
sudah menikah . Bahkan ekspolaitasi yang dialami semasa masih anak-
anak banyak yang ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil
pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak
mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola
tidur, dan kecemasan tidak beralasan.
d. Dampak penelantaran anak
Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hali ini
adalah kurangnya perhatian orang tua dan kasih sayang orang tua
terhadap anak. Hurlock mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari
orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal
menegmbangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami
masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Abdullah Nasih Ulwan menjelaskan bahwa seorang anak bila
diperlakukan secara keras oleh orang tuanya dan oleh pendidiknya
seperti dipukul keras, dihina dengan penghinaan yang menjurus dan
ejekan, reaksinya akan tampak pada perilaku dan akhlaknya. Gejala
takut dan cemas akan tampak pada tindak-tanduk anak, terkadang hal
itu mendorong anak untuk bunuh diri atau mungkin membunuh kedua

15
orang tuanya, atau akhirnya meninggalkan rumah untuk membebaskan
diri dari situasi kekerasan yang zalim dan perlakuan yang
menyakitkan15.
Dari beberapa dampak kekerasan yang telah dipaparkan , yaitu
dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan psikis, dampak kekerasan
seksual dan dampak kekerasan penelantaran anak menunjukkan bahwa
kekerasan dalam bentuk apapun dapat berdampak negatif pada anak
didik.
Seorang anak didik akan teringat tentang kekerasan yang pernah
dialaminya sampai kapanpun dan pada akhirnya akan menimbulkan
keinginan untuk melakukan kekerasan juga dikemudian hari.

15
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1990), hlm. 117.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai
manusia atau untuk merusak barang, serta pula mencakup ancaman
pemaksaan terhadap kekebasan individu. Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan yang secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Faktor yang melatarbelakangi tindak
kekerasan dalam rumah tangga dapat diidentifikasikan karena faktor gender
dan patrarkhi, relasi kuasa yang timpang dan role modelling (perilaku hasil
meniru).
Kekerasan tidak akan timbul jika tidak didahului oleh kondisi
(atencendent variable), faktor (independent variable) dan pemicu (intervening
variable) tindak kekerasan dalam pendidikan (dependent variable) terangkai
dalam hubungan spiral , bisa muncul sewaktu-waktu , oleh pelaku siapa saja
yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai pemicu kejadian.
Bentuk perilaku kekerasan dalam pendidikan memiliki beberapa
tingkatan : Pertama, kekerasan dalam tingkatan ringan (violence as potential);
Kedua, kekerasan dalam pendidikan kategori sedang (violence in education)
yang mana bisa tetap diselesaikan oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat
keamanan; Ketiga, kekerasan tingkat berat.
Dampak dari tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan
agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi pasif dan apatis; ada yang tidak
mempunyai kepribadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu
lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.
Selain itu juga bisa menimbulkan adanya kerusakan fisik. Anak-anak korban
kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam , dan menampilkan perilaku
menyimpang di kemudian hari.

17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1990.

Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan : Tipologi , Kondisi , Kasus


dan Konsep , Yogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.

Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati , Ilmu Pendidikan , Jakarta; Rineka Cipta ,1991.

Barbara Krahe, Perilaku Agresif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Muhammad Arsal, Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Asa Mandiri 2008.

Purnianti, Apa dan Bagaimana Kekerasan dalam Keluarga, Jakarta: Kongres


Wanita Indonesia (KOWANI), 2000.

Soeroso Hadiati Moerti. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.

Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan , Jakarta; Aksara Biru , 1988.

Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003 , Tentang Sistem Pendidikan Nasional ,


Bandung; Citra Umbara, 2003.

18

Anda mungkin juga menyukai