Anda di halaman 1dari 12

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Pencarian Artikel Penelitian

No. Penulis Judul Metode Hasil


1 Kubik EK, e Adolescent Females W1. Studi pertama menggunakan 1. Studi pertama menunjukkan kelompok
t al (2003).29 ho Have Sexually Offe metode pengumpulan data dan remaja perempuan dengan riwayat pela
nded: Comparisons wit membandingkan 11 remaja
h Delinquent Adolesce nggaran seksual cenderung memiliki ri
perempuan dengan riwayat
nt Female Offenders an
pelanggaran kejahatan seksual wayat pelaku antisosial yang kurang pe
d Adolescent Males W
ho Sexually Offend. dan 11 remaja perempuan rvasif dibandingkan dengan kelompok r
lainnya dengan riwayat
emaja perempuan dengan riwayat pelan
pelanggaran yang melibatkan
korban non-seksual yang ggaran yang melibatkan korban non-sek
terlibat dalam kasus terbuka sual.
dengan Departemen
Pemasyarakatan Maine (DOC)
2. Persamaan sikap yang ditemukan meng
dari 1 Juni 1997 hingga 31
Mei 1998. Studi kedua juga enai perilaku pelanggaran dalam studi k
menggunakan metode yang onsisten dengan temuan pada pelanggar
sama seperti studi pertama
an yang dilakukan oleh remaja laki-lak
namun terhadap 11 remaja
putri dengan riwayat i, di mana ditunjukkan adanya sedikit p
pelanggaran kejahatan seksual erbedaan dalam tingkat distorsi kognitif
pada studi pertama dan 11 apabila dibandingkan dengan mereka y
remaja laki-laki dengan
riwayat pelanggaran kejahatan ang melakukan pelanggaran non-seksua
seksual serta mengeksplorasi l. Hal ini juga konsisten dengan studi ya
persamaan dan perbedaan di ng telah terbit sebelumnya (Bumby & B
antara kedua kelompok.
umby, 1997; Matthews et al., 1997),

3. Studi kedua menunjukkan bahwa remaj


a laki-laki dan perempuan memiliki ke
miripan dalam riwayat psikososial dan
kriminal, karakteristik dari pelanggaran
seksual, dan tingkat keparahan yang sa
ma dalam perilaku pelanggaran yang te
rkait.

2 Slotboom A Contrasting Adolescent1. Metode yang digunakan


1. Pada kelompok remaja perempuan denga
M, et al (20 Female and Male Sexu adalah pengumpulan data
n risiko menengah dan tinggi, keyakinan
11).30 al Aggression: A Self- dengan menggunakan

Universitas Kristen Krida Wacana


20

Report Study on Preval kuesioner laporan diri pada akan aktivitas seksual yang tinggi dari se
ence and Predictors of 451 perempuan dan 382 laki- sama rekan perempuan tampaknya mem
Sexual Aggression. laki dari tiga kelompok risiko
prediksi tingkat agresi seksual dari kelom
berbeda.
pok tersebut.

2. Pada kelompok remaja perempuan denga


n risiko tinggi, kekerasan fisik oleh orang
tak dikenal menjadi prediktor terkuat, dis
usul oleh keyakinan akan aktivitas seksu
al yang tinggi dari sesama rekan peremp
uan.

3 Kubik EK, e Cognitive Distortions 1. Penelitian ini menggunakan m 1. Pada studi ini, kelompok remaja peremp
t al (2005).31 About Sex and Sexual etode kuesioner sketsa (vignet uan dengan riwayat kekerasan seksual m
Offending: A Compari tes questionnaires) pada 44 re
son of Sex Offending enunjukkan keyakinan serta sikap yang l
maja putri berusia 13 hingga 1
Girls, Delinquent Girl
8 tahun; di mana 11 di antaran ebih menyimpang mengenai pelanggaran
s, and Girls from The
Community. ya memiliki riwayat pelanggar seksual dibandingkan dengan dua kelom
an kekerasan seksual, 12 di ant
pok lainnya.
aranya memiliki riwayat pelan
ggaran non-seksual, dan 21 di
antaranya tidak memiliki riwa2. Keyakinan dan sikap menyimpang terseb
yat pelanggaran seksual maup ut meliputi perasaan tidak bersalah serta
un non-seksual.
merasa tidak bertanggung jawab atas kon
tak seksual yang diinisiasikan terhadap k
orban.

4 Strickland S Female Sex Offenders: 1. Penelitian ini menggunakan 1. Trauma berat pada masa kanak-kanak
M. (2008).32 Exploring Issues of Per metode perbandingan skor
dan kekerasan seksual merupakan
sonality, Trauma, and pada berbagai hasil ukuran
Cognitive Distortions. temuan utama pada penelitian serta
dari perempuan yang
menjalani tahanan di penjara merupakan faktor risiko signifikan dalam
negara bagian Georgia dengan perkembangan perilaku seksual
menggunakan The
menyimpang di masa depan bagi
Multiphasic Sex Inventory-II
Female version (MSI-II; perempuan dewasa.
Nichols & Molinder, 1996) 2. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
sebagai pengukuran pada 60
bahwa perempuan pelaku pelanggaran
perempuan pelaku
pelanggaran kekerasan seksual kekerasan seksual memiliki latar
dan 70 perempuan pelaku belakang yang kurang mampu secara
pelanggaran non-seksual.

Universitas Kristen Krida Wacana


21

umum dibandingkan dengan perempuan


pelaku pelanggaran non-seksual.
3. Meski demikian, tidak ditemukan
perbedaan signifikan terkait distorsi
kognitif dan subskala ketidakdewasaan.

5 Beech AR, e Assesing Female Sexu 1. Penelitian ini menggunakan m Hasil penelitian menunjukkan bahwa dar
t al (2009).33 al Offenders’ Motivati etode wawancara semi terstruk
i lima teori implisit oleh Ward (Ward, 20
ons and Cognitions: A tur pada 15 perempuan pelaku
n Exploratory Study. 00; Ward & Keenan, 1999) yang digunak
kekerasan seksual anak yang d
ipenjara. an untuk mendasari kognisi laki-laki pela
ku kekerasan seksual, terdapat empat di a
ntaranya yang dapat ditemukan pada pere
mpuan pelaku kekerasan seksual yaitu tid
ak terkendali (87%), dunia yang berbaha
ya (53%), anak-anak sebagai objek seksu
al (47%), dan sifat berbahaya (20%).

6 Gannon TA, Offense-Related Interp 1. Studi ini mengadaptasi metode


1. Hasil studi menunjukkan perempuan
et al (2009). retative Bias in Female paradigma pengenalan memori
yang melakukan kekerasan seksual lebih
34
Child Molesters: A Pre dari Eysenck et al (1991) pada
liminary Study. mungkin untuk menginterpretasikan
19 perempuan yang terpidana
pelanggaran kekerasan seksual informasi ambigu mengenai laki-laki dan
anak dan 18 perempuan yang memiliki sikap mengancam mengenai
terpidana pelanggaran non-
hal tersebut. Di sisi lain, pelaku maupun
seksual.
kontrol tidak menginterpretasikan
informasi ambigu terkait anak-anak
secara seksual.

7 Kjellgren C, Female Youth Who Se 1. Penelitian ini menggunakan m 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa per
et al (2011). xually Coerce: Prevale etode kuesioner laporan diri an ilaku seksual bersifat memaksa yang ada
35
nce, Risk, and Protecti onim pada remaja perempuan
ve Factors in Two Nati pada remaja perempuan sekolah meneng
dari sekolah menengah di Nor
onal High School Surv
way dan Sweden. ah di studi berkaitan dengan faktor risiko
eys. 
/kebutuhan umum untuk perilaku antisosi
al dan faktor risiko spesifik yang berhub
ungan dengan seksualitas.

Universitas Kristen Krida Wacana


22

PEMBAHASAN

Kekerasan seksual merupakan suatu kejadian menyimpang, di mana siapapun dapat


menjadi korban serta pelaku kekerasan seksual. Umumnya, kekerasan seksual dilakuk
an oleh laki-laki namun nyatanya perempuan juga dapat berperan sebagai pelaku kek
erasan seksual. Selain itu, kekerasan seksual sendiri dapat melibatkan anak-anak, yan
g meliputi tindakan/perlakuan yang diterima anak baik secara fisik, seksual, ataupun
psikis yang berdampak negatif pada anak.36

Bentuk kekerasan seksual sangat beragam, dari verbal; non-verbal; fisik ataupun mela
lui daring/teknologi komunikasi dan informasi. Hal yang membedakan kasus kekeras
an seksual diantara banyaknya kasus kekerasan adalah kasus kekerasan seksual memi
liki dampak trauma yang besar dan memilukan bagi korban serta sulit untuk dibuktika
n.37 Hal-hal yang dapat dialami seseorang saat menjadi korban perilaku kekerasan sek
sual diantaranya terjadi kelumpuhan sementara atau tonic immobility38, victim blamin
g, dan gender bias akibat kemungkinan ada nya tuduhan atau laporan palsu.

Tonic immobility adalah keadaan reaksi reflektif yang disebabkan oleh persepsi bahay
a yang tidak dapat dihindari, ditandai dengan adanya kelemahan pada motorik dan tid
ak responsif terhadap rangsangan. Dari 300 perempuan, sebanyak 7 dari 10 diantaran
ya mengalami tonic immobility39 dan karena hal tersebut, korban mengalami kelumpu
han sementara dan tidak dapat melawan pelaku.

Selanjutnya terdapat victim blaming yang dapat terjadi secara internal, yakni menyala
hkan diri sendiri dan eksternal, di mana pihak lain yang menyalahkan korban mengen
ai tindakan ataupun pakaian korban yang memicu pelaku melakukan kekerasan seksu
al terhadap korban.40 Terakhir adalah kemungkinan ada nya tuduhan atau laporan pals
u yang dapat menimbulkan gender bias, sehingga pada kasus kekerasan seksual, korb
an menjadi pusat perhatian.41

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kubik dkk (2003)29, didapatkan bahwa perempua
n pelaku kekerasan seksual umumnya merupakan seseorang yang antisosial serta kura

Universitas Kristen Krida Wacana


23

ng pervasif jika dibandingkan dengan perempuan pelaku kekerasan non-seksual. Seca


ra sikap, ditemukan bahwa baik pelaku kekerasan seksual laki-laki dan perempuan m
emiliki kemiripan yang tinggi terkait tingkat distorsi dari kognitif mereka.

Penelitian oleh Kubik dkk pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bumby
& Bumby, 1997; Matthews et al, 1997. Matthews dkk membandingkan 67 responden
remaja perempuan dan 70 responden remaja laki-laki dengan keduanya memiliki latar
belakang sebagai pelaku kekerasan seksual. Pada sisi lain, Bumby dkk membandingk
an 18 responden perempuan dengan dua kelompok, 18 laki-laki dengan latar belakang
pelaku kekerasan seksual dan 16 perempuan tanpa latar belakang pelaku kekerasan se
ksual. Didapatkan bahwa keduanya, baik laki-laki dan perempuan memiliki kemiripa
n dalam riwayat psikososial dan kriminal, karakteristik dari pelanggaran seksual, sert
a tingkat keparahan yang sama dalam perilaku pelanggaran yang terkait.

Kubik dkk menjelaskan bahwa pada pelaku kekerasan seksual laki-laki dan perempua
n secara karakteristik, psikologis, perkembangan, dan latar belakang yang relevan terl
ihat bahwa keduanya memiliki kemiripan pada karakteristik psikososial umum. Pada
perempuan khususnya, memiliki kondisi gangguan mental yakni diagnosis PTSD yan
g lebih dominan dibanding laki-laki. Dilihat dari latar belakang penganiayaan pada ke
duanya, terlihat korban penganiayaan lebih banyak dialami oleh perempuan dan ada k
emungkinan bahwa perempuan mendapatkan pelecehan dari orang yang mereka kena
l dan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pelecehan tersebut.29

Kejahatan seksual yang didakwakan pada perempuan diurutkan dari yang paling ting
gi yakni kontrak seksual yang tidak sah; penyerangan seksual berat dan penyerangan.
Pada laki-laki, yang tertinggi ialah penyerangan seksual berat; kontak seksual yang ti
dak sah dan penyerangan. Pada karakteristik pelaku kekerasan seksual, baik perempu
an maupun laki-laki, menyerang korban tanpa memandang jenis kelamin.

Contoh kekerasan seksual yang dilakukan oleh keduanya dapat berupa fondle genital
s atau memegang alat reproduksi/kelamin dari korban. Baik perempuan dan laki-laki

Universitas Kristen Krida Wacana


24

melakukan kekerasan seksual secara berulang, umumnya terjadi di rumah pelaku den
gan hubungan antara pelaku dan korban hanya sebatas kenalan biasa dengan adanya p
emaksaan pada korban, setidaknya agresi fisik.

Pada 2005, Kubik dan Hecker31 melakukan penelitian terkait perempuan pelaku keker
asan seksual, di mana hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja putri
dengan riwayat pelanggaran seksual memiliki keyakinan dan sikap yang lebih menyi
mpang terhadap pelanggaran yang dilakukan dibandingkan dengan kelompok lainnya;
yang memiliki riwayat pelanggaran non-seksual dan yang tidak memiliki riwayat pel
anggaran apapun. Keyakinan dan sikap yang menyimpang ini meliputi perasaan tidak
bersalah dan merasa tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada korban. Pene
muan ini menjelaskan lebih dalam serta sejalan, dengan penelitian yang dilakukan Ku
bik dkk sebelumnya pada tahun 2003, di mana adanya sedikit perbedaan dalam tingka
t distorsi kognitif antara remaja perempuan dengan riwayat pelanggaran seksual dan r
emaja perempuan dengan riwayat pelanggaran non-seksual.31

Dalam memprediksi tingkat agresi seksual seseorang, sebuah penelitian oleh Slotboo
m dkk30 pada remaja perempuan, laki-laki dan kelompok berisiko menunjukkan bahw
a tingkatan pendidikan juga memiliki pengaruh terhadap pengalaman seksual mereka.
Temuan sebanyak 1 dari 10 remaja laki-laki dan 1 dari 12 remaja perempuan memper
lihatkan bentuk dari agresi seksual. Selain itu, 1 dari 12 remaja perempuan menjadi k
orban dari kontak seksual yang tidak diinginkan oleh mereka. Pada kelompok risiko r
endah (berpendidikan tinggi) menunjukkan sebagian dari mereka merupakan pelaku d
ari agresi seksual.30

Hal ini memperlihatkan bahwa siapapun dapat menjadi pelaku agresi seksual tanpa m
emandang status pendidikan. Pada satu sisi dari kasus yang melibatkan pengadilan re
maja, perempuan dengan risiko menengah ternyata memiliki prevalensi yang tinggi di
bandingkan dengan perempuan risiko tinggi.

Universitas Kristen Krida Wacana


25

Dari segi faktor resiko, Strickland dkk32 menemukan bahwa bagi perempuan untuk m
emiliki perilaku menyimpang seksual, faktor risiko utama merupakan trauma berat ya
ng dialami pada masa anak-anak serta adanya kekerasan seksual yang dialami. Keker
asan fisik, pelecehan emosional dan seksual serta penelantaran juga merupakan faktor
penyebab dari perilaku menyimpang seksual yang ada. Pada umumnya pelaku memili
ki latar belakang yang kekurangan seperti tidak dapat memenuhi kehidupan yang laya
k, tidak mendapatkan makanan dengan gizi yang baik, serta tidak mampu mengakses
layanan kesehatan.

Trauma berat yang diderita pelaku baik secara fisik, mental, dan kekerasan seksual ju
ga membuat pelaku tidak dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi, tidak dapat m
engatur kesehatan diri, keterampilan komunikasi serta hubungan sosial yang kurang b
aik, dan perasaan berharga pada diri sendiri. Keluarga dari pelaku cenderung tidak m
emberikan kasih sayang yang dibutuhkan, di mana tidak adanya kehangatan dalam ke
luarga atau rumah tangga mereka (penyiksaan fisik, mental dan seksual). Dikarenaka
n kurangnya kemampuan bersosialisasi, pelaku menganggap bahwa kekerasan seksua
l yang mereka lakukan merupakan cara untuk bersosialisasi dengan orang lain dan um
umnya, pelaku merupakan pecandu dan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah tinggi.3
2

Kembali mengenai faktor risiko, penelitian yang dilakukan oleh Kjellgren dkk mene
mukan bahwa perilaku seksual memaksa yang diperbuat oleh remaja perempuan pela
ku kekerasan seksual berkaitan dengan dua faktor risiko. Faktor risiko umum di mana
pelaku cenderung kurang aktif dalam bersosial jika dibandingkan dengan perempuan
normal lainnya, serta faktor risiko spesifik yaitu mitos akan pemerkosaan. Pada faktor
risiko umum yakni perilaku antisosial, secara dominan ditemukan banyak yang memi
liki masalah pertemanan terutama dengan teman sebaya, kabur, perkelahian, dan tem
peramental (anger issues).35

Ditemukan juga konsumsi alkohol terlalu dini dengan jumlah di atas normal, perilaku
yang sangat depresif dan sangat agresif. Terdapat juga penyalahgunaan ganja atau Ca

Universitas Kristen Krida Wacana


26

nnabis35, lebih dari dua kali lebih umum pada kalangan remaja perempuan yang mela
kukan tindak seksual paksa bila dibandingkan dengan grup kontrol. Namun, konsums
i alkohol cenderung lebih dominan karena konvensional serta mudah didapatkan diba
ndingkan dengan narkoba yang sulit didapatkan dan juga illegal. Dampaknya, banyak
perempuan yang dipenjara karena selain menjadi pelaku kekerasan seksual, juga men
gkonsumsi alkohol serta narkoba (baik dikonsumsi atau kepemilikan).35

Kjellgren dkk berpendapat bahwa perempuan pelaku kekerasan seksual juga menonto
n film atau tayangan pornografi terutama pornografi dengan unsur kekerasan. Mereka
memiliki nafsu seksual yang tinggi dan juga pasangan seks yang beragam. Sikap antis
osial ini diikuti dengan menikmati konten pornografi dan pro-pemerkosaan sehingga
menjadi masalah terutama sifat memaksa mereka dalam berhubungan seks.35

Masalah lain yang ada dalam perempuan pelaku kekerasan seksual adalah adanya ma
salah psikologis seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), Anxiety Disorder, M
ood Disorder, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Conduct Disord
er. Ditemukan juga bahwa pelaku berada di usia sekolah menengah pertama (SMP) d
an korban yang diserang ialah mereka yang sudah dewasa atau seumuran dengan pela
ku. Sedikit laporan mengenai korban yang berusia anak-anak atau dibawah pelaku.35

Di samping pemikiran dan sikap menyimpang, prediktor, serta faktor risiko dari pere
mpuan pelaku kekerasan seksual yang telah disebutkan, sebuah penelitian yang dilak
ukan Beech dkk33 memperoleh kognisi dan motivasi perempuan pelaku kekerasan sek
sual melalui wawancara semi-struktural. Analisis kualitatif dari penelitian Beech dkk
menunjukkan bahwa empat dari lima teori implisit (oleh Ward) untuk mendasari kog
nisi pelaku pelanggaran seksual laki-laki dapat diidentifikasi dengan jelas pada perem
puan pelaku kekerasan seksual.

Teori pertama dari keempat teori implisit adalah uncontrollability atau tidak terkendal
i, di mana mereka tidak dapat berpikir secara jernih, merasa dirinya lemah dan tidak c
ukup kuat untuk berhenti melakukan perbuatannya sehingga mereka dapat melakukan

Universitas Kristen Krida Wacana


27

nya secara terus menerus. Perilaku tidak terkontrol ini merupakan teori yang paling u
mum ditemukan dan terdapat pada 13 partisipan (87%) Beech dkk. Partisipan-partisip
an tersebut seringkali meyakini bahwa mereka tidak berpikir lurus dan hal ini menem
patkan mereka pada posisi yang rentan. Selain itu, beberapa partisipan percaya bahwa
karakter yang lemah dan kurangnya kekuatan menjadi alasan mereka tidak dapat men
ghentikan terjadinya pelecehan.33

Kedua, dangerous world atau dunia yang berbahaya, di mana lingkungan sosial dari p
erempuan pelaku kekerasan seksual dipandang sebagai ancaman, niat jahat orang lain
serta sifat destruktif, yang pada umumnya lebih dirasakan dari lingkungan keluarga.
Teori kedua ini ditemukan pada 8 partisipan (53%) pada penelitian Beech dkk. Lebih
dalamnya, rekan terdakwa pelaku kekerasan seksual (laki-laki) dipandang sebagai ind
ividu yang kejam dan dapat mengancam, hingga peserta pada penelitian Beech dkk m
elaporkan bahwa mereka sangat takut pada rekan terdakwa mereka dan percaya bahw
a jika mereka tidak bergabung, mereka juga akan menjadi korban.33

Ketiga merupakan children as sexual objects atau anak-anak sebagai objek seksual, di
mana pelaku melihat anak-anak yang tidak sesuai dengan umurnya cenderung terlihat
dewasa. Teori ini ditemukan pada 7 partisipan (47%) dan dimanifestasikan dalam tiga
cara yaitu korban sudah mampu membuat keputusan untuk berhubungan seksual deng
an orang dewasa; pelaku umumnya sudah melakukan hubungan seksual dengan korba
n dan merasa tertarik juga terangsang pada korban; dan pelaku berfikir bahwa korban
turut menikmati hubungan seksual yang dilakukan, ingin melakukan pengalaman ters
ebut serta pelaku juga merasa senang karena mereka tidak melaporkan kontak seksual
tersebut kepada pihak berwajib.33

Keempat adalah nature of harm atau sifat bahaya, di mana pelaku merasa pelecehan y
ang terjadi merupakan tindakan melindungi korban dari bahaya berkelanjutan atau ya
ng lebih parah. Sifat berbahaya ini dapat ditemukan pada 3 partisipan (20%) Beech d
kk. Salah satu contoh ialah bila pelaku melakukan pelecehan pada korban, maka keja
dian berhenti disitu dan rekan pelaku tidak akan melakukan pelecehan terhadap korba

Universitas Kristen Krida Wacana


28

n. Di situasi kemudian, diduga bahwa pelecehan dari rekan pelaku laki-laki akan beru
jung lebih buruk bagi korban dan berkemungkinan besar mengakibatkan penderitaan
berat dan kerusakan jangka panjang.33

Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Gannon dkk34 menunjukkan bahwa
perempuan pelaku kekerasan seksual memandang laki-laki sebagai seseorang yang a
mbigu dan suka mengancam, sehingga adanya pemrosesan informasi yang bias. Pere
mpuan pelaku kekerasan seksual yang melakukan pelanggaran bersama laki-laki cend
erung pasif, patuh dan bergantung pada laki-laki. Namun, perempuan yang tidak mem
iliki kontak langsung berfikir bahwa laki-laki kerap melontarkan kalimat yang menga
ndung ancaman kepada mereka. Terkait dampak bias terhadap kekerasan yang dilaku
kan sendiri ataupun dengan laki-laki tidak dijelaskan.34

Perempuan pelaku kekerasan seksual tunggal umumnya melakukan aksinya dengan la


ki-laki dibawah umur karena mereka tidak mampu menciptakan hubungan atau intera
ksi dengan laki-laki dewasa. Di sisi lain, perempuan yang melakukan kekerasan seksu
al secara berkelompok dipaksa oleh laki-laki untuk melakukan tindakan tersebut.34

Penelitian oleh Gannon dkk mengenai pandangan perempuan pelaku kekerasan seksu
al akan rekan pelaku laki-laki serupa dengan penelitian oleh Beech dkk, yaitu teori im
plisit kedua, dangerous world atau dunia yang berbahaya. Peserta pada penelitian Bee
ch dkk (53%)33 menunjukkan rasa takut serta memandang rekan pelaku laki-laki seba
gai seseorang yang berbahaya serta dapat mengancam mereka dan hal tersebut sejalan
dengan hasil penelitian oleh Gannon dkk, yang menunjukkan bahwasanya perempuan
pelaku kekerasan seksual memandang laki-laki sebagai seseorang yang memiliki sifat
mengancam.34

Namun, terdapat hasil penelitian dari Gannon dkk yang bertentangan dengan penelitia
n Beech dkk dengan analisis kualitatif yang menunjukkan bahwa hampir setengah dar
i perempuan pelaku penganiaya anak atau female child molesters (47%; n=7) memilik
i kepercayaan seksual mengenai anak-anak. Sementara itu, Gannon dkk menggunaka

Universitas Kristen Krida Wacana


29

n paradigma pengenalan memori atau memory recognition paradigm dan menemukan


bahwa perempuan pelaku penganiaya anak tidak otomatis, salah menginterpretasikan
perilaku ambigu anak-anak sebagai hal yang seksual.

Dari seluruh jurnal yang telah dibandingkan, terdapat hal-hal yang patut untuk dibaha
s dan dipahami lebih lanjut. Harus disadari bahwa kekerasan seksual merupakan perm
asalahan serius, terutama dengan pelaku remaja perempuan, diikuti dengan lemahnya
sistem peradilan yang ada. Selain itu, pada sistem peradilan anak terutama kasus deng
an pelaku remaja perempuan, agresi seksual sering dikaitkan dengan penganiayaan an
ak, masalah kesehatan mental, tingkat klinis kemarahan yakni “mudah tersinggung da
n depresi” serta kecemasan lainnya. Dilihat dari persfektif korban dan pelaku, penting
untuk memperhatikan remaja perempuan dan nyatanya, hal ini hampir tidak diperhati
kan oleh sistem keadilan dan kesejahteraan.30

Terkait perlakuan serta penanganan pengawasan dalam penjara dan komunitas, pelak
u perempuan membutuhkan perlakuan khusus termasuk perhatian pada seksualitas; re
solusi trauma; keterampilan sosial dan meningkatkan gairah pada hubungan seksual y
ang wajar dan sepantasnya adanya kesetujuan dan sesuai dengan usia. 32 Layanan ini h
arus berfokus pada mengurangi trauma berat pada masa kanak-kanak, efek pelecehan
seksual, peningkatan kompetensi sosial dan efisiensi diri, bagaimana cara membangu
n interaksi atau hubungan sosial yang tepat dan juga signifikan dengan orang lain sert
a pengetahuan terkait seksual yang memadai dan akurat.

Terapis perlu memperhatikan informasi apa saja yang diperlukan terkait faktor-faktor
yang dianggap penting selama pemeriksaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pena
nganan tepat, di mana penanganan tersebut diberikan pada pasien laki-laki namun dap
at diaplikasikan juga pada pasien perempuan.

Fokus utama mencakup pengobatan distorsi kognitif, penyangkalan dan strategi penc
egahan kambuh. Adanya pendekatan pengobatan yang biasa digunakan laki-laki mun
gkin dapat digunakan oleh perempuan pelaku kekerasan seksual. Pada pasien yang m

Universitas Kristen Krida Wacana


30

emiliki tingkat PTSD yang tinggi dan tingkat viktimisasi pelecehan seksual yang para
h, penting bagi terapis untuk memperhatikan dan memberikan intervensi yang menan
gani pengalaman viktimisasi pribadi mereka. Terapis juga harus melakukan pendekat
an pengobatan khusus pelanggaran seks yang dikembangkan pada remaja laki-laki da
pat diaplikasikan pada remaja perempuan yang telah melakukan pelanggaran atau kek
erasan seksual.

Terapis juga perlu mengetahui lebih jauh dengan melakukan eskplorasi terkait traum
a-trauma yang dihadapi oleh pelaku kekerasan seksual, selain itu penting untuk meng
etahui juga ancaman-ancaman yang diterima perempuan oleh laki-laki yang memaksa
mereka melakukan pelecehan seksual pada anak-anak.34 Hal tersebut mengakibatkan
adanya ketertarikan pada anak di bawah umur dan keinginan untuk mengajak anak di
bawah umur sebagai pasangan intim.

Universitas Kristen Krida Wacana

Anda mungkin juga menyukai