Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

Tinea Korporis

Disusun Oleh:
Erika Juniartha Tungki
406182041

Dokter Pembimbing:
Dr. Silvi Suhardi, Sp.KK

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RS


HUSADA
PERIODE 11 MARET – 14 APRIL 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
KEPANITERAAN KLINIK
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dokter Pembimbing Laporan Kasus dari :

Nama : Erika Juniartha Tungki


NIM : 406182041
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin
Judul : Tinea Korporis dan Tinea Unguinum
Dokter Pembimbing : dr. Silvi Suhardi, Sp.KK

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
Rumah Sakit Husada Jakarta. Periode 11 Maret – 14 April 2019.

Jakarta, 6 April 2019


Dosen Pembimbing,

(dr. Silvi Suhardi, Sp.KK)


STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT : RS HUSADA

Nama : Erika Juniartha Tungki

NIM : 406182041

Dokter pembimbing : dr. Silvi Suhardi, Sp.KK

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. EP
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 54 tahun 5 bulan
Alamat : Jl. Hutumury RT 004/03
Pekerjaan : Asisten rumah tangga
Status Perkawinan : Belum menikah
Agama : Kristen

II. ANAMNESA
Autoanamnesa dari pasien
Tanggal 1 April 2019, jam 10.28 WIB
Keluhan utama : Gatal di punggung, tangan, dan bokong
Keluhan tambahan :-
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke Poli Kulit RS Husada dengan keluhan gatal sejak 1 bulan
yang lalu. Gatal muncul secara bersamaan pada bagian punggung, tangan, dan
bokong. Gatal terutama saat sedang berkeringat atau memakai pakaian basah.
Pasien mengaku gatal semakin lama semakin banyak. Pasien tidak merasa
nyeri pada lesi.
Riwayat penyakit dahulu:

 Pasien baru pertama kali mengalami gejala ini


 Riwayat alergi makanan udang dan telur. Tidak ada riwayat alergi obat

Riwayat pengobatan:

 Pasien mencoba mengobati dengan krim Digenta, tetapi tidak


membaik.
 Pasien belum berobat ke dokter sebelumnya untuk keluhan ini
 Pasien tidak mengkonsumsi obat rutin

Riwayat penyakit keluarga:

 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.


 Pasien tidak memiliki riwayat DM dan HT

Riwayat kebiasaan:

 Pasien bekerja sebagai asisten rumah tangga dan mengaku sering


berkeringat.
 Pasien rutin mandi 2x sehari

III. STATUS GENERALIS


Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Normoweight
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Suhu : 36,9 ℃
Nadi : 75 x/mnt
Pernapasan : 17 x/mnt
Berat badan : 65 kg
Kepala : Dalam batas normal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : Tidak ada kelainan bentuk
Mulut : Dalam batas normal
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Perfusi perifer baik

IV. STATUS DERMATOLOGI


Distribusi : Regional
Lokasi : Regio dorsum manus, gluteus, dan thoraks
posterior
Efluoresensi primer : Papul, plak
Warna : Eritema, hiperpigmentasi
Jumlah : Multipel
Ukuran : Plakat, lentikular
Efluoresensi sekunder : Skuama halus
Konfigurasi : Polisiklik
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan kerokan kulit untuk pemeriksaan mikologis

VI. RESUME
Seorang perempuan usia 54 tahun datang ke Poli Kulit RS Husada dengan
keluhan utama gatal sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengaku gatal terdapat pada
bagian tangan, punggung, dan bokong. Pasien mengatakan bahwa gatal terutama
timbul saat berkeringat. Pasien tidak mengalami nyeri pada lesi. Pasien mengaku
bekerja sebagai asisten rumah tangga, sehingga sering berkeringat ketika bekerja.
Saat ini gatal semakin lama semakin banyak
Pasien baru pertama kali mengalami gejala seperti ini dan belum berobat
sebelumnya. Pasien sudah mencoba memakai krim Digenta, tetapi tidak ada
perbaikan. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien tidak
mengalami demam, sesak nafas, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, maupun nyeri di
tempat lain. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
Status dermatologi:

 Distribusi : Regional
 Lokasi : Regio dorsum manus, gluteus, dan colli
posterior
 Efluoresensi primer : Papul, plak
 Warna : Eritema, hiperpigmentasi
 Jumlah : Multipel
 Ukuran : Plakat, lentikular
 Efluoresensi sekunder : Skuama halus
 Konfigurasi : Polisiklik

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Tinea korporis
Diagnosis banding :
1) Dermatitis seboroika
2) Pitiriasis rosea

VIII. RENCANA TATALAKSANA


 Non-medikamentosa:
o Mengganti pakaian setelah berkeringat
 Medikamentosa:
o Ketokonazol oral 200 mg/hari selama 10 hari pada pagi hari
setelah makan
o Cetirizine 10 mg 1 kali sehari bila gatal

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad kosmetikam : ad bonam
X. PEMERIKSAAN SELANJUTNYA
Kontrol kembali setelah obat habis
Kontrol bila gejala semakin parah
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA KORPORIS

 Definisi
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit glabrosa (tubuh tidak
berambut) pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk tinea kapitis, tinea barbe,
tinea kruris, tinea pedis, dan tinea unguinum. Tinea korporis bisa juga disebut
tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap, herpes sircine
trichophytique. Tinea korporis merupakan infeksi dermatofita superfisial dengan
lesi inflamasi atau noninflamasi.1

 Epidemiologi
Tinea korporis dapat ditransmisikan secara langsung melalui manusia atau
hewan yang terinfeksi, melalui benda, atau dapat juga lewat autoinokulasi dari
kolonisasi reservoir dermatofita di kaki. Anak-anak lebih sering terkena pathogen
zoofilik, khususnya M. canis dari anjing atau kucing. Iklim yang lembab dikaitkan
dengan erupsi yang lebih sering dan parah. Mengenakan pakaian oklusif, kontak
kulit ke kulit, dan trauma kecil seperti gulat kompetitif. “tinea corporis
gladiatorum” paling sering disebabkan oleh T. tonsurans, paling sering terjadi
pada kepala, leher, dan lengan.2

 Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum
(menyebabkan infeksi kulit dan rambut), Trichophyton (menyebabkan infeksi
kulit, rambut, dan kuku), dan Epidermophyton (menyebabkan infeksi kulit dan
kuku).1,3
Dermatofita yang menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat
hidupnya, yaitu geofilik untuk jamur yang berasal dari tanah, antara lain M.
gypseum; sedangkan golongan zoofilik berasal dari hewan misalnya M. canis,
antropofilik khusus untuk jamur yang bersumber dari manusia contohnya T.
rubrum.1,2
Dermatofita pada tinea korporis paling sering disebabkan oleh T. rubrum.
T. rubrum juga merupakan kandidat yang paling mungkin dalam kasus dengan
keterlibatan folikuler secara bersamaan. Patogen lain yang umum dijumpai pada
tinea korporis seperti T. interdigitale, M. canis, dan T. tonsurans. Tinea imbrikata,
disebabkan oleh T. concentricum, terbatas pada area geografis untuk wilayah Asia
Timur, Pasifik selatan, dan Amerika Selatan serta Tengah.2

 Patogenesis
Semua orang tidak rentan terhadap infeksi jamur, walaupun mereka
memiliki faktor resiko yang sama. Terdapat penelitian dari predisposisi genetic
yang dapat memediasi kerusakan spesifik pada imunitas alami maupun adaptif.
Satu dari penyakit jamur pertama yang dipikirkan memiliki predisposisi genetic
adalah Tokelau atau tinea imbrikata.4
Patogenesis dari infeksi dermatofita termasuk interaksi kompleks antara
pejamu, agen, dan lingkungan. Faktor yang dapat menjadi predisposisi infeksi
yaitu adanya penyakit yang mendasari, seperti diabetes melitus, limfoma, status
imunokompromais, atau sindroma Cushing, dan usia lebih tua. Faktor tersebut
dapat memproduksi dermatofitosis yang parah, luas, dan lebih sulit. Beberapa area
tubuh yang lebih rentan untuk pertumbuhan infeksi dermatofita termasuk daerah
intertriginosa, dimana terjadi keringat yang berlebihan, maserasi, dan pH alkali
baik untuk pertumbuhan jamur.4
Jamur akan masuk kedalam kulit pejamu, kemudian pada kondisi yang baik
untuk infeksi berkembang, diikuti dengan penetrasi yang dimediasi oleh protease,
serine-subtilisin, dan fungolysin yang menyebabkan pencernaan jaringan keratin
menjadi oligopeptide atau asam amino dan juga bertindak sebagai stimuli
imunogenik yang kuat. Selain itu, T. rubrum memproduksi mannan yang dapat
menyebabkan penghambatan limfosit. Gangguan fungsi sel Th17 akan
menyebabkan penurunan produksi interleukin-17 (IL-17) dan IL-22 sehingga
menghasilkan infeksi yang bertahan lama. IL-22 merupakan sitokin yang penting
dalam membersihkan infeksi jamur mukokutan.4
 Gejala
Kelainan klinis tinea korporis berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas,
terdiri atas eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul di tepi (Gambar 1).
Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan
yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi dengan pinggir yang
polisiklik (Gambar 2), karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk
dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak
daripada orang dewasa karena umumnya mereka baru pertama kali mendapat
infeksi.1

Gambar 1. Tinea korporis dengan konfigurasi annular atau “ring worm”, eritema
dan tepi yang bersisik.2
Gambar 2. Tinea korporis dengan gambaran plak eritem, konfigurasi polisiklik
multipel, dan tepi yang meninggi serta bersisik.2

Tinea korporis dapat bersifat menahun, dengan tanda radang akut biasanya
sudah tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan
bersama kelainan pada sela paha. Bentuk menahun yang disebabkan Trichophyton
rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguinum.1
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Triciphyton concentricum
disebut tinea imbrikata (Gambar 3). Penyakit ini terdapat di berbagai daerah
tertentu di Indonesia, misalnya Kalimanan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Aru dan
Kei, dan Sulawesi Tengah. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna
coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini
terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi
dari bagian tengah, sehingga berbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang
konsentris. Lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu
dengan lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk pinggir polisiklik. Pada
permulaan infeksi penderita merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang
menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita.1
Gambar 3. Tinea imbrikata. Plak konsentris, annular, lamellar, bersisik pada
badan anterior dan anggota tubuh bagian atas5

Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea
favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di
bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta
berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya
ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat, akan terlihat dasar
yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi, dan
akhirnya terlepas. Bila tidak diobati, akan meluas ke seluruh kepala dan
meninggalkan parut dan botak. Pada penderita favus biasanya tercium bau tikus
(mousy odor). Tinea favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit
papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang
khas, yang kemudian menjadi jaringan parut.1
 Pemeriksaan
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Bahan untuk pemeriksaan
mikologik dapat diambil dari kulit tidak berambut (kulit glaborous), kulit
berambut, dan juga kuku. Sebelum diambil sampel, tempat lesi diberishkan
terlebih dahulu menggunakan spiritus 70%. Pemeriksaan langsung sediaan basah
dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian
dengan pembesaran 10x45. Sediaan dibuat dengan menggunakan larutan KOH
10% untuk sediaan rambut dan 20% untuk sediaan kuku. Pada sediaan kulit dan
kuku akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang (Gambar 4), maupun artrospora pada kelainan kulit lama dan/atau
sudah diobati.1

Gambar 4. Pemeriksaan mikroskop dengan sediaan kerokan kulit menunjukkan


hifa bersepta dan bercabang2

Pemeriksaan biakan dan sensitivitas jamur diperlukan untuk menentukan


pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Media
isolasi yang paling umum digunakan yaitu agar Saboraud dextrose. Pada agar
dapat ditambahkan antibiotic gentamisin, kloramfenikol, dan sikloheksimid untuk
mencegah pertumbuhan jamur kontaminan.3
 Diagnosis banding
Terdapat beberapa penyakit kulit yang dapat menyulitkan diagnosis,
misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Dermatitis seboroika
biasanya dapat terlihat pada tempat predileksi, misalnya di kulit kepala, lipatan-
lipatan kulit, misalnya dibelakang telinga, daerah nasolabial dan sebagainya.
Psoriasis memiliki predileksi daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan
punggung. Kulit kepala berambut juga sering mengenai penyakit ini. Pitiriasis
rosea memiliki distribusi kelainan yang simetris dan terbatas pada tubuh dan
bagian proksimal anggota badan.1
Beberapa penyakit memiliki kelainan yang dapat menyebabkan distrofi
kuku, misalnya paronikia, dermatitis, akrodermatitis perstans.1

 Tatalaksana:
o Tatalaksana non-medikamentosa: area yang terinfeksi harus dikeringkan
sepenuhnya sebelum ditutup dengan pakaian. Pasien harus menjada kebersihan
tubuh. Pasien perlu menggunakan pakaian yang longgar yang terbuat dari katun
atau bahan sintetis.3,5
o Tatalaksana medikamentosa:
Obat ketokonazol efektif untuk dermatofitosis karena bersifat fungistatik.
Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol 200
mg/hari selama 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar. Oleh
karena itu, ketokonazol dapat diganti dengan itrakonazol. Pemberian obat tersebut
untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya pada dosis 2
x 100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.1
Obat antijamur golongan azol dan golongan alilamin mengalami proses
metabolisme oleh enzim sitokrom P450 sehingga dapat terjadi interaksi dengan
berbagai obat lain yang mengalami metabolisme oleh kelompok enzim yang sama,
misalnya rifampisin, simetidin.1
Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan antifungal
topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau terbinafine yang diberikan
hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk mencegah
rekurensi. Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam
salisilat 2-4%, asam benzoate 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat
2-5%, dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat ini diantaranya tolnaftat 2%;
tolsiklat, haloprogin, derivate imidazole, siklopiroksolamin, dan naftifine masing-
masing 1%.1

 Pencegahan:
Pasien dapat menggunakan pakaian yang longgar dan terbuat dari bahan
katun atau bahan sintetis yang dirancang untuk menyeka kelembaban dari
permukaan. Kaus kaki juga harus memiliki sifat yang serupa. Pasien perlu
menghindari berjalan tanpa alas kaki dan berbagi pakaian.3

 Prognosis
Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam, sedangkan
pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi dubia ad
bonam5
DAFTAR PUSTAKA

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. In: Ilmu penyakit kulit dan kelamin.


Edisi 7. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2017. p.109-16.
2. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. P 2277-97.
3. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea
pedis: A comprehensive review. Indian Dermatol Online J. 2016; 7(2): 77-86.
4. Leung AKC, Leong KF, Lam JM. Tinea Imbricata. The journal of pediatrics.
2018; 200:285
5. Panduan praktik klinis dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. 2014

Anda mungkin juga menyukai