Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

TINEA KORPORIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Pembimbing:
dr. Nadiah Soleman, Sp.KK, M.Kes

Disusun Oleh
Niar Chairun Nissa 030.15.138

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
PERIODE 15 JULI 2019 – 16 AGUSTUS 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1
LEMBAR PENGESAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Laporan kasus dengan judul:

”Tinea Korporis”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

Periode 15 Juli 2019 – 16 Agustus 2019

Disusun oleh:

Niar Chairun Nissa

(030.15.138)

Tegal, Agustus 2019

Mengetahui,

dr. Nadiah Soleman, Sp.KK, M.Kes

2
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita. Ada beberapa klasifikasi dermatofitosis, tetapi yang dibahas disini adalah tinea
korporis. Dermatofitosis atau mikosis superfisial cukup banyak diderita penduduk negara
tropis. Jenis organisme penyebab dermatofitosis yang menyebabkan infrksi di kulit adalah
spesies trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton.

Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda di masing-masing


negara. Dermatofita tersebar diseluruh dunia dan menjadi masalah terutama di negara
berkembang. Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) 20% orang di
seluruh dunia mengalami infeksi jamur golongan dermatofita, dimana prevalensi tertinggi
merupakan infeksi tinea korporis yang diikuti dengan tinea kruris, pedis dan onikomikosis. Di
Indonesia sendiri dermatofitosis menduduki angka 52% dari seluruh dermatomikosis dimana
tinea korporis dan tinea kruris merupakan kejadian dermatofitosis yang paling banyak,
berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis adalah tinea korporis (57%), tinea unguinum
(20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya.

Tinea korporis paling sering ditemukan pada daerah yang kulit yang tidak berambut
(glabrous skin), misalnya pada wajah, tubuh, lengan dan tungkai. Factor penting yang
berperan dalam penyebaran penyakit ini adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk,
lingkungan padat penduduk dan kebiasaan menggunakan pakaian ketat, lembab, serta
obesitas dan diabetes melitus. Penyakit in dapat bersifat akut atau menahun dan bahkan dapat
berlangsung seumur hidup.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. W
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Sudah menikah
Alamat : Tegal Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal berkunjung : 20 Juli 2019
No. RM : 788986

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Kardinah, Tegal pada hari Sabtu, 20 Juli 2019 pukul 10.30 WIB.
A. Keluhan Utama
Gatal-gatal di ketiak sebelah kiri sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah Tegal dengan
keluhan gatal-gatal di ketiak sebelah kiri sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Gatal
hilang timbul. Timbul dan lebih parah pada saat pasien berkeringat atau beraktivitas.
Dengan menggaruk, rasa gatal berkurang tetapi menimbulkan luka. Keluhan gatal
diikuti dengan bercak kemerahan di daerah ketiak kiri. Bercak kemerahan awalnya
kecil, tapi lama kelamaan semakin melebar.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami hal yang sama pada bulan Maret 2019 di bagian
lipatan payudara. Pasien pergi ke dokter spesialis kulit di RSUD Kardinah Tegal dan
diberi obat. Keluhan berkurang dengan pemberian obat, sehingga pasien tidak datang
kontrol kembali.
4
Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes melitus disangkal, riwayat
penyakit ginjal disangkal, riwayat penyakit paru disangkal, riwayat penyakit jantung
disangkal, riwayat penyakit hati disangkal, riwayat keganasan di sangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang pernah menderita keluhan
yang sama. Riwayat infeksi kulit dan kelamin disangkal.

E. Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan


Pasien tinggal dirumah yang padat penduduk. Pasien cukup bersih, namun
pasien memiliki kebiasaan menggaruk bagian yang gatal. Pasien mandi 2-3 kali
sehari. Pasien tidak merokok, tidak mengkonsumsi obat-obatan, NAPZA, ataupun
alkohol.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Sabtu, 20 Juli 2019 pukul 10.30 WIB di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah Kota Tegal.

I. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,7oC
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 31,1 kg/m2 (overweight)

Kepala : normosefali, rambut hitam, distribusi merata


Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil isokor +/+,
refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
Telinga : Normotia, secret -/-, otorrhea -/-

5
Hidung : Deviasi septum -/-, rinore -/- sekret -/-
Mulut : Oral hygiene cukup, farings hiperemis (-) candidiasis oral (-)
Leher : Trakea di tengah, tiroid tidak teraba membesar, pembesaran
KGB (-)

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V medial linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri : ICS V 1 jari medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler; gallop (-), murmur (-)

Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Ekspansi dada normal, vocal fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor pada kedua paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, gerak dinding abdomen simetris
Auskultasi : Bising usus normal (+) 2-3x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani pada seluruh abdomen, shifting dullness (-)

Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), deformitas (-)
Inferior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), deformitas (-)

II. STATUS DERMATOLOGIKUS


Warna kulit : Cokelat
Lokasi : Axillaris sinistra
Ukuran : Plakat
Lesi : Multiple, bentuk ireguler, polisiklik
Batas : Berbatas tegas

6
Distribusi : Regional, unilateral
Efloresensi : Makula eritematosa disertai skuama halus dengan tepi aktif

Gambar 1. Lesi pada ketiak kiri

2.4 RESUME
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah Tegal dengan
keluhan gatal-gatal di ketiak sebelah kiri sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Gatal
hilang timbul. Timbul dan lebih parah pada saat pasien berkeringat atau beraktivitas.
Dengan menggaruk, rasa gatal berkurang tetapi menimbulkan luka. Keluhan gatal diikuti
dengan bercak kemerahan di daerah ketiak kiri. Bercak kemerahan awalnya kecil, tapi
lama kelamaan semakin melebar.
Pada pemeriksaan fisik, di kulit bagian ketiak kiri di dapatkan bercak kemerahan.
Pada status dermatologis ditemukan warna kulit cokelat, lesi macula eritematosa disertai
skuama halus dengan tepi aktif, multiple, bentuk ireguler, polisiklik, berukuran plakat,
berbatas tegas, distribusi regional dan unilateral. Lesi berada pada ketiak kiri.

2.5 DIAGNOSIS BANDING


 Tinea Korporis
 Pitiriasis Rosea
 Dermatitis Numularis

7
2.6 DIAGNOSIS KERJA
 Tinea Korporis

2.7 PEMERIKSAAN ANJURAN


 Pemeriksaan langsung kerokan kulit dengan KOH 20%
 Pemeriksaan dengan Lampu Wood
 Pemeriksaan kultur jamur menggunakan medium agar dekstrosa Sabouraud. Hasil
yang diharapkan tumbuhnya kolonisasi jamur untuk menentukan spesies jamur.

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
 Topikal :
- Ketokonazole krim 15gr (pagi,sore)
 Sistemik :
- Ketokonazol 200 mg 1x1
- Cetirizine 10 mg 1x1

2. Non-medikamentosa
 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang diderita beserta
pengobatannya.
 Memotivasi pasien untuk rutin kontrol.
 Memberikan edukasi kepada keluarga pasien agar tidak membiarkan pasien
menggaruk kulit.
 Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk mengenakan
pakaian yang menyerap keringat dan tidak ketat.
 Memberikan edukasi untuk ganti baju minimal sehari 2 kali

2.9 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

8
BAB III
ANALISIS KASUS

Tinea Korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, herpes sircine
trichophytique) atau yang dikenal dengan kurap adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada
wajah, badan, lengan dan tungkai.1,2,3,4,5,6,7
Tinea tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai
morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas
bermacam – macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi aktif (lebih jelas tanda
– tanda peradangannya) daripada bagian tengah.1,2,3,6
Bergantung pada berat ringannya reaksi radang dapat dilihat berbagai macam lesi
kulit. Wujud lesi dapat berupa; lesi berbentuk makula/ plak yang merah/ hiperpigmentasi
dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral, skuama. Pada tepi lesi di jumpai papula –
papula eritema atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat dijumpai
likenifikasi. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi – lesi pada umumnya
merupakan bercak- bercak terpisah satu dengan yang lainnya. Gambaran lesi dapat
polisiklik, anular atau geografis.1,2,3,5,6,7
Secara epidemiologi dapat menyerang seluruh umur tetapi lebih sering pada
dewasa yang menyerang wanita dan pria, bentuk dengan tanda radang lebih nyata,
sering dijumpai pada anak – anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka
mendapat infeksi baru pertama kali. Insiden penyakit ini meningkat pada kelembapan
udara yang tinggi dan dipegaruhi juga oleh kebersihan badan dan lingkungan.1,2,7,8 Pada
tinea korporis yang menahun tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Bentuk
khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea
imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan papul berwarna coklat yang perlahan – lahan
menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah terlepas dari dasarnya dan melebar.
Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk
lingkaran – lingkaran skuama yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari
bagian tengah ke arah luar akan terasa jelas skuama yang menghadap kedalam.
Lingkaran – lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan
lingkaran – lingkaran disebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada

9
permulaan penderita akan merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang menahun tidak
menimbulkan keluhan pada penderita. 1,2,3,6
Masa inkubasi dapat dari hari sampai beberapa bulan, dengan lamanya dapat
berminggu – minggu, berbulan – bulan sampai bertahun – tahun.2,4 Keluhan dan gejala
yang muncul yang biasa dikeluhkan oleh penderita, dari gejala subjektif yaitu gatal
terutama jika berkeringat dan gejala objektif yaitu makula hiperpigmentasi dengan tepi
yang lebih aktif. Oleh karena gatal dan digaruk, lesi akan meluas terutama pada daerah
yang lembab.1,2,4,6,7
Penyakit ini disebabkan oleh golongan jamur dermatofita yang tersering adalah
Epidermophyton floccpasienum atau T. rubrum. Area predileksi tinea korporis yaitu
wajah, anggota gerak atas dan bawah, dada dan punggung.1,2,6

Gambar 3. Area Predileksi Tinea Korporis


Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap produk metabolit
jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah
utama terjadinya infeksi oleh jamur dermatofita, yaitu perlekatan dermatofit pada keratin,
penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya respon pejamu.1,2,4,7,8
Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk
molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk
membentuk kolonisasi. Kolonisasi jamur dermatofit menyerang jaringan yang mengandung
keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan. Terdapat
tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyto.
10
Pada tinea korporis, jamur penyebab yaitu; T. rubrum, T. mentagrophytes, M. audouinii, M.
canis, 47% penyakit tinea korporis disebabkan oleh T. rubrum.1,5,8
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang
panas, kebersihan perseorangan, sumber penularan, penggunaan obat-obatan steroid,
antibiotik dan sitostatika, imunogenitas dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta
respon imun dari pasien.1,2,4,8
Penularan dermatofitosis, melalui 3 cara yaitu; antropofilik (transmisi dari manusia
ke manusia, ditularkan secara langsung maupun tidak langsung), zoofilik (transmisi dari
hewan ke manusia, melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui bulu binatang yang
terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah, sumber penularan
utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit) dan geofilik (transmisi dari tanah ke
manusia).8
Terjadinya infeksi dermatofita melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada
keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon pejamu. 1,2,8
Perlekatan dermatofit pada keratinosit, perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin
tercapai maksimal setelah 6 jam, yang dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik
dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen
jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses
ini juga dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Enzim keratolitik
yang berdifusi ke jaringan epidermis menimbulkan peradangan. Respon terhadap inflamasi
dapat berupa eritema, papulasi, dan kadang vesikulasi.1,2,8
Spora tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi
proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan
penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin. Untuk bertahan dalam
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan
beberapa cara: 1,2,8
- penyamaran dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan
filamen hifa, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
- pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun pejamu,
yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.

11
- penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau
memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease, yang dapat
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur.
Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam stratum korneum menyebabkan
timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi.
Respon imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang
memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah cenderung mengalami dermatofitosis yang
berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa
dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.

enzim keratolitik kolonisasi hifa

dermatofita

sel
inflamasi

Gambar 4. Patogenesis epidermomikosis (epidermal dermatofitosis)

Pada kasus ini ditegakkan diagnosa tinea korporis bedasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis diketahui, Tn. R laki – laki (41 tahun) sejak ± 6 bulan yang lalu timbul
bercak kemerahan awalnya sebesar koin 500 rupiah, kemudian melebar yang disertai rasa
gatal pada perut kiri bawah, rasa gatal bertambah apabila berkeringat dan pasien sering
menggaruknya. Dari keluhan yang disampaikan oleh pasien, merupakan gejala klinis dari
dermatofitosis yaitu gejala subjektif berupa rasa gatal terutama jika berkeringat dan
gejala objektif yaitu makula hiperpigmentasi dengan tepi yang lebih aktif. Oleh karena
gatal dan digaruk, lesi akan meluas terutama pada daerah yang lembab.1,2,4,6,7 Pembagian
dermatofitosis berdasarkan lokasi lesi yang timbul, pada pasien ini yaitu di perut kiri
bawah digolongkan sebagai tinea korporis, karena tempat predileksi tinea ini menyerang
daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai.1,2,6

12
Pasien sudah membeli obat salep sendiri yaitu salep antijamur, pasien memakai
salep tersebut apabila terasa gatal, tetapi bercak kemerahan bertambah lebar. Hal ini bisa
disebabkan karena pasien tidak teratur menggunakan obatnya, dimana pasien hanya
memakainya jika terasa gatal.
Pasien mengatakan sering berkeringat banyak tetapi tidak segera mengganti
pakaiannya, merupakan salah satu faktor predisposisi karena penyakit ini tergantung
pada faktor lingkungan seperti iklim yang panas, kebersihan perseorangan, jamur lebih
cepat berkembang pada daerah yang lembab. 1,2,4,8
Pemeriksaan fisik pada pasien ini meliputi pemeriksaan secara umum dan
pemeriksaan dermatologis. Pada pasien ini, secara umum tidak ada keluhan.
Pada status dermatologis, efloresensi terdapat pada regio abdominalis lateralis
sinistra Tampak plak eritematematosa, ukuran plakat ɵ 16 cm x 10 cm, anular, regular,
sirkumskrip dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral disertai dengan skuama kutikular
diatasnya. Pada regio femoris lateralis sinistra, Tampak plak hiperpigmentasi, ukuran 2
cm – 5 cm, jumlah multiple, bentuk anular dan reguler, sirkumskrip, disertai dengan
skuama kutikular diatasnya. Hal ini sesuai dengan efloresensi yang terdapat pada tinea
korporis yaitu lesi dapat berbentuk makula/ plak merah/ hiperpigmentasi, bulat atau
lonjong, berbatas tegas dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral. Timbulnya kelainan
pada kulit ini disebabkan oleh dermatofit melepaskan enzim keratolitik yang berdifusi ke
jaringan epidermis menimbulkan peradangan. Respon terhadap inflamasi dapat berupa
eritema, papulasi, dan kadang vesikulasi. Karena pertumbuhan jamur dengan pola radial
di dalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan
meninggi. 1,2,4,6,7,8

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan
langsung sediaan basah. Untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa
kerokan kulit. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut:
1,2,6,9,10,11

- tempat kelainan dibersihkan dengan alkohol 70%.


- untuk kulit tidak berambut (glabrous skin), dari bagian tepi kelainan sampai dengan
bagian sedikit iluar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.
- sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah
1-2 tetes larutan kalium hidroksida untuk kulit dan kuku 20%, rambut 10%.

13
- setelah sediaan tercampur dengan larutan kalium hidroksida sediaan ditungu selama
15 – 20 menit.
- untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah
diatas api kecil. Pada saat keluar mulai keluar uap dari sediaan, pemanasan sudah
cukup.
- pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula – mula
pembesaran 10x10, kemudian 10x45.
- hasilnya : pada sediaan kulit yang telihat adalah hifa.
Hifa adalah elemen terkecil dari jamur berupa benang – benang filamen yang
terdiri dari sel – sel yang mempunyai dinding, protoplasma, inti dan biasanya mempunyi
sekat. Hifa yang tidak mempunyai sekat disebut hifa sunositik. Hifa berkembang biak
dan tumbuh menurut arah panjangnya dengan membentuk spora. Pada sediaan kulit,
hifa terlihat sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora
berderat pada kelainan kulit lama atau sudah diobati. 1,2,6,9,10,11
Pada pasien ini, hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan Kalium Hidroksida
(KOH) 10% pada sediaan dari paha kiri dan perut kiri ditemukan adanya Hifa panjang
dan bercabang.
Anjuran pemeriksaan pada pasien ini adalah pembiakan dan pemeriksaan sinar
Wood. Pembiakan dilakukan untuk menyokong diagnosis pemeriksaan langsung sediaan
basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Medium yang digunakan adalah dekstrosa
Sabouraud, pada agar ini ditambahkan antibiotik kloramfenikol untuk menghindarkan
kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. 1,2,6,9,10,11
Pemeriksaan sinar Wood adalah sinar ultraviolet yang setelah melewati suatu
“saringan wood”, sinar yang tadinya polikromatis menjadi monokromatis dengan
panjang gelombang 3600 A. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan kekulit
atau rambut yang mengalami infeksi oleh jamur – jamur tertentu, sinar ini akan berubah
menjadi dapat dilihat, dengan memberi warna kehijauan atau fluoresensi. Apabila
pemeriksaan dengan cara ini memberi flouresensi, pemeriksaan sinar wood disebut
positif dan negatif jika flouresensi tidak ada. Jamur – jamur yang dapat memberikan
flouresensi adalah Microsporum lanosum, Microsporum audouinii, M. canis dan
Malassezia furfur (penyebab tenia versikolor). 1,2,6,9,10,11
Diagnosis banding pada kasus ini yaitu Tinea Korporis, Pitiriasis Rosea,
Dermatitis Numularis.
14
 Tinea Korporis
Tinea Korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, herpes
sircine trichophytique) atau yang dikenal dengan kurap adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak
berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai. Penderita mengeluh gatal dan
kelainan berbatas tegas, terdiri atas bermacam – macam efloresensi kulit (polimorfi).
Bagian tepi lesi aktif (lebih jelas tanda – tanda peradangannya) daripada bagian
tengah. Wujud lesi dapat berupa; lesi berbentuk makula/ plak yang merah/
hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral, skuama. Pada tepi lesi di
jumpai papula – papula eritematosa atau vesikel. Gambaran lesi dapat polisiklik,
anular atau geografis.1,2,3,4,6,7,8
 Pitiriasis Rosea
Pitiriasis Rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut, morfologi khas berupa
makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit
serta ditutupi oleh skuama halus. Penyebab penyakit ini masih belum diketahui, dapat
menyerang semua umur dan lebih sering pada cuaca dingin. Keluhan biasanya berupa
timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang tertutup pakaian berbentuk bulat
panjang, mengikuti lipatan kulit. Diawali dengan bercak besar disekitarnya terdapat
bercak kecil. Ukuran bercak dari seujung jarum pentul sampai sebesar uang logam.
Dapat didahului gejala prodormal ringan seperti badan lemah. sakit kepala, dan sakit
tenggorokan. Tempat predileksi yaitu tersebar diseluruh tubuh terutama tempat yang
tertutup oleh pakaian. Efloresensi meliputi makula eritematosa anular dan solitar,
bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata dan bagian sentral bersisik, agak
berkeringat. Penyakit ini sering disangka jamur karena gambaran klinisnya mirip tinea
korporis yaitu terdapat eritema dan skuama dipinggir dan bentuknya anular.
Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat, skuamanya halus
sedangkan pada tinea korporis kasar. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
membedakan dengan tinea korporis adalah pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH
10%, yang pada tinea akan memberikan hasil positif. 1,2,6
 Dermatitis Numularis
Dermatitis numularis adalah dermatitis yang lesinya berbentuk mata uang atau
agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya
mudah pecah sehingga basah. Penyakit ini terjadi pada orang dewasa, lebig sering

15
pada pria dibanding wanita. Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh
sangat gatal dan disertai nyeri, perjalanan penyakit ini diawali dengan eritema
berbentuk lingkaran, selanjutnya melebar sebesar uang logam yang dikeliling oleh
papul dan vesikel. Pada lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, kemudian
membesar dengan berkonfluensi atau meluas kesamping, membentuk satu lesi
karakteristik seperti uang logam, eritema, sedikit edematosa, berbatas tegas, lambat
laun akan pecah terjadi eksudasi kemudian mengering menjadi krusta kekuningan.
Pada penyakit ini penyembuhan dimulai dari tengah sehingga terkesan penyerupai lesi
dermatomikosis, lesi yang sama berupa likenifikasi dan skuama. Jumla lesi pada
dermatitis numularis dapat satu, dapat pula banyak an tersebar, bilateral atau simetri
dengan ukuran dari numular sampai plakat. Tempat predileksi penyakit ini tungkai
bawah, badan, tangan termasuk punggung tangan. Pada pemeriksaan histopatologi,
ditemukan spongiosis vesikel intradermal, serbukan sel radang limfosit dan makrofag
disekitar pembuluh darah. Perbedaaanya pada tinea lesinya berupa pinggir aktif,
bagian tengah agak menyembuh, hifa positif dari pemeriksaan sediaan langsung. 1,2,6
Penatalaksanaan pada pasien meliputi umum dan khusus, pada pentalalaksanaan
umum adalah memberikan edukasi pada pasien untuk meningkat kebersihan badan
karena penyakit ini juga dipengaruhi oleh kebersihan lingkungan dan
kelembapan.1,2,4,6
Penatalaksanaan secara khusus meliputi pemberian obat sistemik yaitu
ketokonazol, merupakan kelompok imidazol yang mempunyai spektrum luas, bersifat
fungistatik dan efektif untuk dermatofitosis. Ketokonazol adalah antijamur sistemik,
yang menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai jenis
jamur. Obat ini diberikan sebanyak 1x100 mg untuk seminggu. 1,2,6,12
Pemberian obat topikal yang berupa ketokonazol 15mg. Pemberian antifungal
topical dianggap efektif dalam pengobatan. Golongan azol topical menghambat enzim
lanosterol 14-alpha-demethylase, yaitu enzim dpenden sitokrom P-450, yang
mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Inhibisi enzim menyebabkan membrane sel
jamur menjadi tidak stabil dan menyebabkan kebocoran membrane. Dermatofit yang
melemah sudah sulit untuk melakukan reproduksi sehingga dapat mati perlahan
karena fungsi fungistatic.2,5,6

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th edition . Jakarta: FKUI; 2013.
2. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Cutaneus Fungal Infection. Fitzpatrick’s Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. The McGraw Hill Company; 2007; (10).
3. Braun CA. Anderson CM. Phatophysiology Functional Alterations in Human Health.
United Stated: Lipincott Wiliams and Wilkins: 2007. P114-119.
4. Menaldi SLSW, Bramono K, Indiratmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelmain edisi
ketujuh. Jakarta: Badan penerbit FKUI. 2018. P109-16.
5. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-3: Jakarta: EGC; 2004.
6. Gomes FS, Oliveira EF, Nepomuceno LB, Pimentel RF, Marques SH, Mesquita M.
Dermatophytosis diagnosed at the Evandro Chagas Institute, Para, Brazil. Brazilian
Journal of Microbiology. 2012 Jun 06. 44(2): 443-446.
7. Kurniati CR. Etiopatogenesis Dermatofitosis. FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo. 2008
Des 03; (20).1-8
8. Sutedjo AY. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Edisi Revisi: Yogyakarta: Amara Books; 2008.P204.
9. Siregar RS. Penyakit Jamur Kulit. Edisi ke-2: Jakarta: EGC; 2004.P1-13.
10. Sacher A. Mcpherson RA. Prinsip – prinsip Mikrobiologi Klinis dalam Tinjauan
Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi ke-11: EGC: Jakarta; 2004.P394.
11. Setiabudy R, Bahry B. Obat Jamur. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5: FKUI:
Jakarta; 2007.P571-84.

17

Anda mungkin juga menyukai