Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRESENTASI KASUS

DOKTER INTERNSHIP

TINEA CORPORIS

Disusun oleh :
dr. Sashia Laras

Dokter Pendamping :
dr. Rina Oktaviana

Program Internsip Dokter Indonesia


Provinsi DKI Jakarta
Puskesmas Kecamatan Duren Sawit
Periode 5 Maret 2018 – 6 Juli 2018

Nama Peserta : dr. Sashia Laras


Nama Wahana : Puskesmas Kecamatan Duren Sawit
Topik : Tinea Corporis
Tanggal (kasus) : 28 Mei 2018
Tanggal Presentasi : 29 Juni 2018 Pendamping : dr. Rina Oktaviana
Tempat Presentasi : Puskesmas Kecamatan Duren Sawit
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan
Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi:Wanita, 58 tahun, mengeluh gatal di area pantat, selangkangan dan


paha kanan-kiri sejak hampir 1 bulan lalu. Gatal dirasa terus menerus
dan memberat ketika digaruk. Keluhan awal berupa bintil merah
berair yang kelamaan jumlahnya bertambah banyak dan kulit menjadi
merah, kasar dan semakin lama semakin meluas. Pasien sering
memakai celana jeans ataupun legging apabila di rumah maupun
berpergian.
 Tujuan: Memberi penatalaksanaan yang tepat pada kasus tinea corporis dan
secara holistik melalui edukasi untuk promotif dan preventif.
Bahan bahasan :  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara membahas :  Diskusi  Presentasi  Email  Pos
dan
diskusi

Data pasien : Nama : Ny. M. No. RM : 17/7266


Nama klinik/RS : Puskesmas Kecamatan Duren Sawit
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Latar Belakang
a) Sosial
Pasien adalah janda dengan status cerai mati. Memiliki 3 orang anak, 2
perempuan dan 1 laki-laki. Pasien tinggal di rumah berdua dengan anak laki-
laki terakhirnya. Hubungan antar anggota keluarga dan lingkungan
sekitarnya baik.
b) Ekonomi
Pasien bekerja sebagai pedagang kaki lima dengan penghasilan yang tidak
menentu, rata-rata penghasilan +Rp 2.000.000 per bulan. Pendidikan terakhir
pasien adalah pelajar SD. Rumah yang ditempati pasien adalah milik pribadi.
c) Lingkungan
Rumah permanen, terdiri dari 2 kamar tidur, ruang keluarga, dapur dan 1
kamar mandi, tidak ada pekarangan. Ventilasi dan pencahayaan di dalam
rumah kurang memadai. Listrik ada. Sumber air untuk MCK menggunakan
jet pump, sementara untuk minum dan memasak dari air mineral isi ulang.
Sampah dibuang setiap hari ke tempat penampungan sementara di dekat
rumah pasien, tidak dibakar. Pasien sekeluarga tinggal di lingkungan padat
penduduk.
d) Perilaku
Kebiasaan mandi pasien 2x sehari, menggunakan sabun batang dan handuk
yang digunakan bersama dengan anggota keluarga lainnya. Baju dan pakaian
dalam pasien sesudah mandi selalu diganti dengan yang bersih. Pasien tidak
memelihara hewan di dalam rumah. Kebiasaan memotong kuku tidak
menentu. Rumah selalu disapu rumah setiap hari, dan mengepel lantai rumah
setiap 3 hari sekali. Pasien mencuci dan menyetrika sendiri pakaian setiap
hari. Seprai diganti dan dicuci biasanya 3 minggu sekali. Kasur untuk tidur
jarang dijemur. Pasien merupakan pedagang kaki lima, pasien mengaku
sering berkeringat saat bekerja maupun di rumah. Pasien sering
menggunakan celana jeans maupun legging.

2. Diagnosis / Gambaran Klinis :


Keluhan awal berupa bintil merah berair yang kelamaan jumlahnya bertambah
banyak dan kulit menjadi merah, kasar dan semakin lama semakin meluas.
mengeluh gatal di area pantat, selangkangan dan paha kanan-kiri sejak hampir 1
bulan lalu. Gatal dirasa terus menerus dan memberat ketika digaruk. Tampak
gambaran tepi lesi lebih merah, tebal dan mengelupas. Sedangkan area tengah
lesi tampak tenang dan lebih pucat.

3. Riwayat pengobatan :
Pasien telah membeli bedak anti gatal di warung namun keluhan belum juga
membaik. Pasien belum pernah berobat ke dokter mengenai keluhan ini
sebelumnya.
4. Riwayat kesehatan / Penyakit :
- Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
- Riwayat penyakit kulit dan rambut kepala sebelumnya tidak ada
- Riwayat alergi obat dan atau makanan tidak ada
- Riwayat asma tidak ada
- Riwayat pengobatan OAT dan atau kontak dengan penderita TB tidak ada
5. Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga serumah yang menderita keluhan yang sama dengan
pasien ataupun sedang menderita penyakit kulit dan rambut kepala
Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga
6. Riwayat Pekerjaan : os bekerja sebagai pedagang kaki lima
Hasil Pembelajaran :
1. Menegakkan diagnosis tinea corporis pada pasien
2. Memberikan penatalaksanaan yang holistik secara promotif, preventif dan kuratif
pada kasus tinea corporis untuk mencegah reinfeksi

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif :
Pasien mengeluh gatal di area pantat, selangkangan dan paha kanan-kiri sejak hampir
1 bulan lalu. Gatal dirasa terus menerus dan memberat ketika digaruk. Keluhan awal
berupa bintil merah berair yang kelamaan jumlahnya bertambah banyak dan kulit
menjadi merah, kasar dan semakin lama semakin meluas. Pasien sering memakai
celana jeans ataupun legging apabila di rumah maupun berpergian. Pasien bekerja
sebagai pedagang sehingga hampir seharian memakai pakaian celana jeans/legging
dengan kondisi lingkungan panas dan sering berkeringat. Pasien mengaku mandi dua
kali sehari dengan rutin setiap pagi dan malam.
2. Obyektif :
PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : compos mentis
 Keadaan Umum : baik
 Berat Badan : 55 kg
 Tinggi Badan : 154 cm
 Status Gizi : baik
 Tekanan Darah : 110/60
 Nadi : 84x/menit
 Pernafasan : 20x/menit
 Suhu : 36,7 oC
 Kepala : normocephal
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 THT : tidak ditemukan kelainan
 Mulut : mukosa kering (-), bibir sianosis (-)
 Leher : tidak teraba pembesaran KGB regio colli
 Thorax : normochest, simetris ka=ki, retraksi dinding dada (-)
 Cor : BJ I-II regular, bising jantung (-)
 Pulmo : suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen : supel, distensi (-), bising usus (+) normal
 Ekstremitas : Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Oedema -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
STATUS LOKALIS (DERMATOLOGIKUS)

 Lokasi : Regio gluteus, inguinalis dextra-sinistra


 Batas : tegas
 Ukuran : macula plaque
 Efloresensi : Makula hiperpigmentasi dengan batas tegas disertai skuama halus
unilateral pada regio gluteus dan inguinalis dextra-sinistra dan disertai ekskoriasi
beberapa lesi. Terdapat gambaran central healing.
ANJURAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Histopatologi
3. Assesment :
Seorang wanita usia 53 datang ke Puskesmas Kecamatan Duren Sawit dating
dengan keluhan gatal di area pantat, selangkangan dan paha kanan-kiri sejak
hampir 1 bulan lalu. Gatal dirasa terus menerus dan memberat ketika digaruk.
Keluhan awal berupa bintil merah berair yang kelamaan jumlahnya bertambah
banyak dan kulit menjadi merah, kasar dan semakin lama semakin meluas.
Pada pemeriksaan fisik lokalis ditemukan makula hiperpigmentasi dengan
batas tegas disertai skuama halus unilateral pada regio gluteus dan inguinalis
dextra-sinistra dan disertai ekskoriasi beberapa lesi. Terdapat gambaran central
healing.
Selain itu, lesi yang ditemukan berada di area yang cukup sering diserang pada
tinea corporis, yaitu area yang cukup lembab bila tubuh berkeringat. Oleh karena
itu, diagnosis kerja dalam kasus ini adalah tinea corporis.

Faktor risiko penyakit tinea corporis pada pasien ini diantaranya status
sosioekonomi rendah, serta kurang baiknya personal hygiene dan kebersihan
lingkungan sekitar rumah yang lokasinya padat penduduk. Pada pengobatan
sebelumnya pasien hanya membeli bedak anti gatal dari warung dan belum pernah
berobat ke dokter terkait keluhan ini. Pasien tidak ada riwayat alergi terhadap obat
atau makanan, begitu pula dari riwayat keluarga pasien.

Kebiasaan memakai handuk bersama dan tidur di satu kasur juga merupakan faktor
risiko yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit secara tidak
langsung ke anggota keluarga yang lain dalam satu rumah. Oleh karena itu,
sebaiknya seluruh anggota keluarga serumah diperiksakan dan diobati serentak
agar tidak timbul reinfeksi setelah pengobatan.
4. Plan
a) Promotif
- Edukasi kepada pasien tentang penyakit tinea corporis dan kaitannya dengan
higienitas pribadi dan lingkungan yang kurang baik, dan menjelaskan bahwa
penyakit ini mudah meluas dan muncul kembali.
- Edukasi pemakaian obat sesuai anjuran dokter dan kontrol kembali setelah 1
minggu
- Meningkatkan personal hygiene khususnya kebiasaan mandi, mencuci tangan dan
kaki setelah beraktivitas seharian di luar rumah dan sebelum tidur, memotong
kuku dan membersihkan rumah
- Anjuran kepada pasien agar tidak menggaruk luka, sehingga tidak timbul infeksi
sekunder
- Jemur kasur dan semua cucian di bawah terik matahari
- Setiap anggota sebaiknya menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat sehari-hari
b) Preventif
- Edukasi kepada seluruh anggota keluarga untuk meningkatkan personal hygiene
- Bersihkan lantai rumah dengan baik dan rutin
- Buka jendela rumah pada pagi hingga siang hari untuk ventilasi dan pencahayaan
yang baik
- Hindari pemakaian pakaian, handuk atau alat mandi bersama anggota keluarga
serumah
- Anjuran kepada pasien untuk sering mengganti pakaian maupun pakaian dalam
bila berkeringat, tidak memakai pakaian maupun celana yang terlalu ketat,
memakai pakaian dengan bahan yang mudah menyerap keringat dan berpori-pori.
c) Kuratif
- Griseofulvin tab 1x500 mg per oral
- Cetirizine tab 2x10 mg
- Miconazole cream dioleskan 2 kali sehari setelah mandi secara merata di seluruh
permukaan kulit yang terinfeksi.
- Bedak salisil, ditaburkan pada area infeksi 10-15 menit setelah mengoleskan
miconazole cream.
Pendidikan:

Menjelaskan keadaan/penyakit pasien pada pasien dan keluarga, menjelaskan rencana


penatalaksanaan selanjutnya, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosisnya.

Konsultasi:

Dijelaskan tentang penyakitnya dan bahwa penyakit tersebut mudah meluas dan
muncul kembali, serta kemungkinan timbul infeksi sekunder atau reinfeksi setelah
pengobatan.

Rujukan:

Diperlukan jika setelah beberapa kali pengobatan keluhan belum kunjung membaik
atau semakin parah (disertai infeksi sekunder) serta terjadinya komplikasi yang harus
ditangani di rumah sakit dengan sarana dan prasarana yang lebih memadai.

Peserta Pendamping

dr. Sashia Laras dr. Rina Oktaviana

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Tinea Corporis mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah kulit halus
tanpa rambut, kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan mulut. Tinea corporis
merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim tropis seperti
Indonesia dan dapat menyerang semua usia terutama dewasa. Tinea corporis
disebabkan oleh golongan jamur Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Dari tiga golongan tersebut penyebab tersering penyakit tinea
corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea
corporis. Tricophyton rubrum mempunyai dinding sel sehingga resisten terhadap
eradikasi. Barrier proteksi ini mengandung mannan, yang menghambat organisme
ini tahan terhadap pertahanan lapisan kulit. Infeksi tinea corporis jarang
menimbulkan kematian, akan tetapi dapat memberikan efek yang besar terhadap
kualitas hidup (Baligni K, 2009; Djuanda, 2009; NZDSI, 2012)

II. Epidemiologi
Kondisi geografis Indonesia sebagai negara tropis dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi memudahkan tumbuhnya jamur. Hal tersebut
menyebabkan prevalensi penyakit infeksi jamur yaitu dermatofitosis di Indonesia
cukup tinggi. Studi menyebutkan 20% - 25% orang dewasa di seluruh dunia
terinfeksi oleh dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur superfisial
yang disebabkan oleh jamur dermatofita pada jaringan yang terdapat zat tanduk
(berkeratin), jarang mengenai lapisan yang lebih dalam, ditandai dengan lesi
inflamasi maupun non inflamasi, mengenai stratum korneum pada kulit, rambut
dan kuku. Infeksi jamur yang sering menyebabkan dermatofitosis adalah genus
Tricophyton, Microsporum dan Epidermophyton. Transmisi dermatofitosis
menyebar melalui 3 cara yakni Antropofilik, Zoofilik, dan Geofilik. Transmisi
antropofilik merupakan penularan dari manusia ke manusia, Zoofilik adalah
penularan dari hewan ke manusia, dan Geofilik adalah penularan dari tanah ke
manusia. Transmisi antropofilik dan zoofilik dapat berupa transmisi secara
langsung maupun tidak langsung (Weitzman, 1995)(Djuanda, 2009)(Risdianto,
2013).
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan
iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi hangat dan
lembab membantu menyebarkan infeksi ini (Sularsito, 2006). Oleh karena itu
daerah tropis dan subtropis memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis
(Budimulja, 2008). Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan
pada pekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan (Budimulja, 2004).
Maserasi dan oklusi kulit lipatan menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban
kulit yang memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang
mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan
lain-lain (Berman, 2008).

III. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp,
Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa
menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling umum adalah Trichophyton
Rubrum dan Trichophyton Mentagrophytes (Brannon, 2010).
Tinea corporis adalah infeksi jamur pada kulit halus (glabrous skin) di daerah
wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea yang disebabkan jamur dermatofita
spesies Trichophyton, Microsporus, Epidermophyton. Jamur penyebab tinea
corporis ini bersifat antropofilik, geofilik, dan zoofilik. Jamur yang bersifat
antropofilik hanya mentransmisikan penyakit antar manusia antara lain adalah
Tricophyton violaceum yang banyak ditemukan pada orang afrika, Tricophyton
rubrum, Tricophyton schoeleinii, Tricophyton magninii, Tricophyton soudanense,
Tricophyton youndei, Microsporum audouinii, dan Microsporum ferrugineum.
Jamur geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menyebabkan
radang yang moderat pada manusia. Golongan jamur ini antara lain Microsporum
gypseum dan Microsporum fulvum. Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup
pada hewan, namun dapat mentransmisikan penyakit pada manusia. Jamur zoofilik
penyebab tinea corporis salah satunya adalah Microsporum canis yang berasal dari
kucing. Dari tiga sifat jamur penyebab tinea corporis tersebut, dermatofit yang
antropofilik adalah sifat yang paling sering ditemukan sebagai sumber infeksi tinea
corporis (Djuanda, 2007 dan NZDSI, 2012).

IV. Patofisiologi
Lapisan kulit yang sering diinfeksi Tricophyton rubrum yaitu kulit yang
tertutup pakaian ketat atau pakaian yang tidak berpori sehingga dapat
meningkatkan temperatur dan keringat yang dapat mengganggu fungsi barrier
stratum korneum dan berperan dalam membantu proliferasi jamur. Infeksi jamur
dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan
keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi
ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit. Setelah masa inkubasi 1-3
minggu, respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dimana bagian tepi lesi
yang aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan
skuama (Rushing, 2009; Amiruddin, 2003).
Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa dan cabang-cabangnya di dalam
jaringan keratin yang mati, hifa melepaskan keratinase serta enzim lainnya guna
menginvasi lebih dalam stratum korneum dan menimbulkan peradangan, walaupun
umumnya, infeksi terbatas pada epidermis, karena adanya mekanisme pertahanan
tubuh non spesifik, seperti komplemen, polimorfonuklear (PMN), aktivasi faktor
penghambat serum (serum inhibitory factor) namun kadangkadang dapat
bertambah atau meluas. Masa inkubasinya sekitar 1-3 minggu dengan respon
jaringan terhadap infeksi semakin jelas dimana bagian tepi lesi yang aktif akan
meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama.
Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler
(Jack L Lesher Jr, 2012).
Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama. Yang pertama perlekatan ke
keratinosit, jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat
pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan
flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak
yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik (Berman, 2008).
Yang kedua penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi perlekatan
spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang
lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi
proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk
jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal
mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan
proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan
terdalam epidermis (Berman, 2008).
Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi dipengaruhi
oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat
penting dalam melawan dermatifita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi
dermatofita sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin
test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang
dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen
dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke
tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi
inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel
yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh
(James, 2006).

V. Manifestasi Klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas terdiri atas bermacam-
macam effloresensi kulit (polimorfi) (Wirya, 2010). Bagain tepi lesi lebih aktif
(tanda peradangan) tampak lebih jelas dari pada bagian tengah. Bentuk lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun
(Budimulja, 2008). Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang,
sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan central healing
(Djuanda, 2009). Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan
kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi
satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas terutama pada
pasien imunodefisiensi (Sularsito, 2006). Pada tinea korporis yang menahun, tanda
radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap
bagian tubuh dan bersamaan timbul dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya (Gupta, 2008).

VI. Diagnosis
Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status lokalis
dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis berupa rasa gatal pada lesi terutama
saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk menggaruk lesi yang
pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di daerah yang lembab.
Kelainan yang terlihat pada lesi berupa makula eritematosa yang berbentuk bulat
atau lonjong dan berbatas tegas. Pada daerah tepi terdapat skuama halus, vesikel
dan papul yang aktif, sedangkan pada daerah tengah lebih tenang (central healing).
Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau polisiklik. Tempat
predileksi dari tinea corporis yaitu pada bagian tubuh yang tidak berambut dan
lembab seperti thorax, abdomen, glutea, dan ekstremitas (Djuanda, 2009; NZDSI,
2012).
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang
diderita pasien. Dari gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai,
dada, perut atau punggung (Djuanda, 2004)(Budimulja, 2008). Infeksi dapat terjadi
setelah kontak dengan orang terinfeksi serta hewan ataupun obyek yang baru
terinfeksi. Pasien mengalami gatal-gatal, nyeri atau bahkan sensasi terbakar
(Budimulja, 2008).
Beberapa kasus membutuhkan pemeriksaan dengan lampu wood yang
mengeluarkan sinar UV dengan gelombang 3650 Å yang jika didekatkan pada lesi
akan timbul warna kehijauan (Budimulja, 2004).
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif
memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (Djuanda,
2004). Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
baik pada pemeriksaan ini adalah medium agar dekstrosa Sabouruad. Biakan
memberikan hasil yang lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, biayanya
lebih mahal, hasil yang diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya
kutrang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung
(Brannon, 2010).
Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit,
rambut dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan mikroskopis
akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa panjang, spora dan artospora (spora
berderet). Dengan pembiakan yang bertujuan untuk mengetahui spesies jamur
penyebab dengan menggunakan bahan kerokan yang ditanam dalam agar
Sabouroud Dekstrose, untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan
antibiotik seperti khloramfenikol ke dalam media tersebut. Perbenihan pada suhu
24-30°C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh
diperhatikan mengenai warna, bentuk, permukaan dan ada atau tidaknya hifa
(NZDSI, 2012).
Diagnosis dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan
mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pada sediaan KOH tampak hifa
bersepta dan bercabang tanpa penyempitan. Terdapatnya hifa pada sediaan
mikroskopis dengan potasium hidroksida (KOH) dapat memastikan diagnosis
dermatofitosis. Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur
jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan
secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas
hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga
pada l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis
(Abdelal, 2013).
Sensitivitas, spesifisitas, dan hasil negatif palsu pemeriksaan mikroskopik
sediaan langsung dengan kalium hidroksida (KOH) pada dermatofitosis sangat
bervariasi (Agustine, 2012). Pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah serta hasil negatif palsu
sekitar l5%- 30%, namun teknik ini memiliki kelebihan tidak membutuhkan
peralatan yang spesifik, lebih murah dan jauh lebih cepat bila dibandingkan dingan
kultur. Dengan alasan ini modifikasi teknik pemeriksaan sediaan langsung
dibutuhkan untuk meningkatkan manfaat penggunaannya secara rutin (Paramata,
2009).
Diagnosis laboratorium dari dermatofitosis biasanya dapat dilakukan preparat
Kalium Hidroksida (KOH). Konsentrasi larutan KOH yang digunakan adalah 10%
untuk sediaan rambut, dan 20% pada sediaan kulit dan kuku. Hasilnya akan
didapatkan adanya hifa maupun spora berderet (arthrospora). Adapun cara lainnya
menggunakan medium agar dekstrosa Sabouraud, namun cara ini jarang digunakan
karena memerlukan waktu yang lama (Djuanda, 2009)(Risdianto, 2013).
Pada pemeriksaan mikroskopik menggunakan KOH yang dilakukan di
Poliklinik Kulit dan Kelamin di RSMS ditemukan hifa panjang bersepta maupun
spora.

Gambar 3.1 Pemeriksaan mikroskopik menggunakan KOH.


Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga
yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak
berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan
spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan
langsung.2 Metode dengan kultur jamur menurut Summerbell dkk. di Belanda
pada tahun 2005 bahwa kultur jamur untuk onikomikosis memiliki sensitivitas
sebesar 74,6%. Garg dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan sensitivitas
kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan rambut sebesar 29,7%
dengan spesifisitas 100%.4 Sangat penting bagi masing-masing laboratorium untuk
menggunakan media standar yakni tersedia beberapa varian untuk kultur. Media
kultur diinkubasi pada suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan
dibuang bila tidak ada pertumbuhan (Adiguna, 2011).
Pemeriksaan histologis akan tampak neutrofil di stratum corneum, sedangkan
pada biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin pada tinea corporis
menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrate inflamasi superfisial
(rembesan sel radang ke permukaan) (Jack L Lesher Jr, 2012).
Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pada pengecatan dengan Peridoc Acid–
Schiff, jamur akan tampak merah muda atau dengan menggunakan pengecatan
methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam (Wiederkehr, 2014).

Gambar 3.2 Pemeriksaan biopsi. Formasi pemotongan secara superficial,


hyperkeratosis, parakeratosis, akantosis, dan spongiosis pada lapisan epidermis
dengan sel mononuclear dan infiltrasi neutrophil ke dermis (Pewarnaan Hematoksilin
Eosin, perbesaran 100x) (Karakoca, 2010).

Gambar 3.3 Pemeriksaan histopatologi stratum korneum dengan pewarnaan PAS


(Periodic Acid-Schiff) dan perbesaran 200x (Karakoca, 2010).
VII. Diagnosis banding
Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau sinar
“hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit dan
rambut. Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi
melanin yang subtle bisa divisualisasi. Lampu wood bisa digunakan untuk
menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata
(Hidayati, 2009). Effloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama pada seluruh
lesi merupakan tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat
menolong dengan adanya effloresensi merah (coral red) (Budimulja, 2004).
Tidaklah sulit untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya,
namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mengaburkan diagnosis misalnya
dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea (James, 2006). Kelainan pada
kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya
dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp),
lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial dan sebgainya (Berman,
2008). Pitiriasi rosea yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada
tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis
tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis.
Pemeriksaan laboraturium dapat memastikan diagnosisnya. Psoriasis dapat dikenal
dari kelainan kulit pada tempat predileksi yaitu di daerah ekstensor, misalnya lutut,
siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena penyakit ini.
Adanya lekukakn pada kuku dapat menolong untuk menentukan diagnosis
(Brannon, 2010).
Terdapat beberapa infeksi yang dapat di jadikan diagnosa banding bagi
tinea korporis. Antaranya adalah eksema numularis, dermatitis seboroik, psoriasis,
pitiriasis rosea.5

Eksema nummular merupakan sumber umum kesalahan karena ia adalah


diagnosis yang hampir sama persis dengan tinea korporis. Kronis, gatal, dermatitis
inflamasi yang terjadi dalam bentuk plak berbentuk koin terdiri dari
dikelompokkan papula kecil dan vesikel pada dasar eritematosa. Hal ini biasanya
pada ekstremitas selama musim dingin, sering terlihat pada individu atopic 4. Plak
dari papulovesicles cenderung terjadi simetris pada tungkai.4

Gambar 4: Eksema nummular (A. pruritus, bulat, nummular (koin berbentuk)


plak dengan eritema, sisik, dan kerak pada lengan bawah. B. Dari jarak dekat dari
lesi pada pasien lain mengungkapkan bahwa plak inflamasi ini terdiri dari konfluen
lesi papulovesikular yang cairan cairan serous dan menyebabkan pengerasan kulit
dan biasanya berwarna kuning3
Dermatitis seboroik sering menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis tinea
korporis. Sebuah dermatosis kronis yang sangat umum ditandai dengan kemerahan
dan bersisik yang terjadi di daerah di mana kelenjar sebaceous yang paling aktif,
seperti sebagai wajah dan kulit kepala, daerah presternal, dan tubuh lipatan 3.
Namun gambaran klinisnya biasanya simetris dan yang sering ada pada dermatitis
seboroik adalah ia berhubungan pada kulit kepala dan mungkin intertrigo pada
bagian lipatan tubuh.4

Gambar 5: Dermatitis seboroik (Lesi yang eritema dan kuning-oranye bersisik


benbentuk annular dari dahi, pipi, lipatan nasolabial,dan dagu. Daerah kulit kepala
dan retroauricular juga terlibat.)4

Psoriasis dapat menyebabkan kebingungan dalam kasus kerana distribusinya


tidak cukup khas. Lesi tipikalnya adalah lesi yang kronis, berulang, papula dan
plak bersisik. Letusan berjerawat dan eritroderma bisa terjadi 3. Ia bisa terjadi pada
lutut, siku dan kulit kepala, dan yang mengenai kuku, terutama jika pitting hadir,
sangat membantu membedakan dalam kasus ini.4
Gambar 6: Psoriasis (Lesi primer kemerahan atau warna salmon pink, papula,
droplike, dengan sisik pipih putih keperakan )3

Pitiriasis rosea merupakan letusan exanthematous akut dengan morfologi


yang khas dan sering dengan karakteristik perjalanan penyakit yang terbatas.
Awalnya, (primer, atau "herald") lesi plak tunggal dan bisa berkembang, biasanya
pada trunkus, 1 atau 2 minggu kemudian letusan sekunder umum terjadi dengan
pola distribusi yang khas. Prosesnya bisa sembuh spontan dalam 6 minggu.
Reaktivasi Human Herpes Virus (HHV) 7 dan HHV-6 adalah penyebab yang
paling mungkin.3

Terdapat Herald patch yang tunggal mendahului fase exanthematous, yang


berkembang selama 1-2 minggu. Pruritus- absen (25%), ringan (50%), atau berat
(25%). Ada lesi Herald patch terjadi di hampir 80% pasien. Lesi biasanya oval,
sedikit mengangkat plak atau patch 2-5 cm, dengan warna yang merah seperti
salmon, bersisik collarette baik di pinggiran dan mungkin multipel. Ada juga
exanthem yang papula bersisik halus dan plak dengan piggiran yang collarette.
Warnanya pink kusam atau kuning kecoklatan. Bentuk oval, tersebar, dengan
distribusi karakteristik dengan sumbu panjang lesi oval mengikuti garis
pembelahan seperti pola "pohon Natal". Lesi biasanya terbatas pada badan dan
aspek proksimal lengan dan kaki, jarang di wajah.

Gambar 7: A. Gambaran umum eksantema dari pitiriasis rosea dengan patch


Herald yang ditunjukkan dalam B. Ada papula dan plak kecil dengan konfigurasi
oval yang mengikuti garis belahan dada. Scaling halus dari papula yang merah
seperti salmon yang tidak dapat dilihat pada perbesaran ini, sedangkan collarette
patch herald cukup jelas. B. Herald Patch. Sebuah eritematosa (salmon yang
merah) plak dengan sisik collarette pada tepi ujung perbatasan . Collarette berarti
bahwa sisik di pinggiran dan longgar menuju pusat lesi.3

VIII. Penatalaksanaan
Terapi pada penyakit kulit tinea korporis dibagi menjadi dua bagian yaitu
terapi umum dan khusus. Pada terapi umum bertujuan untuk menghilangkan faktor
predisposisi seperti memakai baju yang menyerap keringat supaya lingkungan kulit
tidak lembab dan tidak menjadi tempat proliferasi jamur. Kemudian terapi khusus
tinea corporis berupa medikamentosa yang terdiri dari obat topikal dan sistemik
(Rushing, 2009).
Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Untuk pengobatan
topikal direkomendasikan untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dapat diberikan
kombinasi asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12% dalam bentuk salep (salep
whitfield). Kombinasi asam salisilat dengan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4, salep 3-10) dan derivat azol : mikonazole 2%, dan klotrimasol 1%
(Bolognia, 2007).
Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit yang
hidup pada jaringan kulit. Preparat yang sering digunakan yaitu golongan imidazol,
allilamin, siklopirosolamin, dan kortikosteroid. Pada golongan imidazole terdiri
dari ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, dan hanya ketokonazol yang paling
banyak digunakan. Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang bersifat
lipofilik dan larut dalam air pada pH asam. Ketokonazol digunakan untuk
pengobatan dermatofita, pitiriasis versikolor, kutaneus kandidiasis, dan dapat juga
untuk pengobatan dermatitis seboroik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
14-α-dimetilase pada pembentukan ergosterol membrane jamur. Ketokonazol 2%
cream digunakan untuk infeksi jamur di kulit tak berambut seperti dermatofita,
dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 1-2 kali sehari (Rushing, 2009; Habif,
2004)
Obat berikutnya yaitu golongan Allilamin yang bekerja menghambat allosteric
dan enzim jamur skualen 2,3-epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses
pembentukan ergosterol membrane jamur. Contoh obatnya yaitu aftifine 1%,
butenafin 1%, terbinafin 1% yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah
pemakaian 7 hari berturut-turut. Sedangkan obat siklopirosolamin 2% bekerja
menghambat masuknya bahan esensial seluler dan pada konsentrasi tinggi merubah
permeabilitas sel jamur yang merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal,
fungistatik, antiinflamasi dan antibakteri (Rushing, 2009; Mycek, 2001).
Penggunaan kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa
ditambahkan pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Namun
steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi (Rushing, 2009;
Habif, 2004).
Pengobatan infeksi dermatofitosis sebagian besar memberikan respon baik
terhadap pemberian topical antifungal selama 2-4 minggu. Pemberian obat
antifungal secara oral dapat diberikan apabila infeksi dermatofitosis cukup luas
maupun tidak berespon terhadap pemberian antifungal topical (Djuanda, 2009)
(Risdianto, 2013).
Untuk terapi sistemik tinea corporis menggunakan pedoman yang dikeluarkan
oleh American Academy of Dermatology yang menyatakan bahwa obat anti jamur
sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan
dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, dan pasien yang
tidak responsif maupun intoleran terhadap obat anti jamur topikal (Habif, 2004).
Terapi sistemik yang paling banyak digunakan yaitu griseofulvin, ketokonazol,
flukonazol, itrakonazol, dan amfoterisin B. Obat tinea corporis griseofulvin
merupakan obat yang bersifat fungistatik. Obat ini bekerja dengan cara masuk ke
dalam sel jamur yang rentan dengan proses yang tergantung energi. Griseofulvin
berinteraksi dengan mikrotubulus dalam jamur yang merusak serat mitotik dan
menghambat mitosis. Obat ini berakumulasi di daerah yang terinfeksi, disintesis
kembali dalam jaringan yang mengandung keratin sehingga menyebabkan
pertumbuhan jamur terganggu. Terapi harus dilanjutkan sampai jaringan normal
menggantikan jaringan yang terinfeksi dan biasanya membutuhkan beberapa
minggu sampai bulan. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi tinea yang
berat yang tidak respons terhadap obat-obat anti fungi lainnya. Resistensi obat ini
terjadi karena sistem asupan tergantung energi. Untuk efek sampingnya, obat ini
dapat menyebabkan hepatotoksisitas (Mycek, 2001; Habif, 2004).
Untuk pengobatan sistemik pada peradangan yang luas dan adanya penyakit
immunosupresi, dapat diberikan griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa,
sedangkan anak-anak 10-25mg/kg BB sehari (Bolognia, 2007). Lama pemberian
Griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau
bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan. Pada kasus yang resisten
terhadap Griseofulvin dapat diberikan derivat azol seperti itrakonazol, dan
flukonazol (Sularsito, 2006)(Bolognia, 207). Antibiotik juga dapat diberikan jika
terjadi infeksi sekunder (Bolognia, 2007).
Obat selanjutnya yaitu ketokonazol yang merupakan obat antifungi sistemik
pertama yang berspektrum luas. Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik
yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam. Ketokonazol bekerja
degan cara berinteraksi dengan C-14α-demetilase (enzim P-450 sitokrom) untuk
menghambat dimetilasi lanosterol menjadi ergosterol yang merupakan sterol
penting untuk membran jamur. Penghambatan ini mengganggu fungsi membrane
dan meningkatkan permeabilitas. Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat
dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat
eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal
epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap
dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan. Pemakaian ketokonazol
belum ditemukan adanya resistensi selama diobservasi sehingga obat ini sangat
efektif dalam pengobatan jamur. Efek samping yang sering timbul dalam
penggunaan ketokonazol berupa mual dan muntah. Ketokonazol sistemik tersedia
dalam sediaan tablet 200mg. Dosis yang dianjurkan pada dewasa adalah 200-
400mg perhari. Lama pengobatan untuk tinea corporis selama 2-4 minggu. Karena
keunggulan ketokonazol sebagai obat berspektrum luas, tidak resisten, efek
samping minimal dan harga yang terjangkau maka obat ini paling banyak
digunakan dalam pengobatan antifungi (Mycek, 2001; Habif, 2004).
Obat lain yang digunakan untuk tinea corporis yaitu flukonazol yang
mempunyai mekanisme kerja seperti ketokonazol, namun obat ini sering
digunakan sebagai profilaksis antifungi pada resipien transplantasi sumsum tulang.
Selain itu terdapat obat golongan triazol terbaru yang digunakan dalam pengobatan
tinea corporis yaitu itrakonazol. Mekanisme obat ini dengan cara menghambat C-
14 α-demetilase yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung
jawab untuk merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur. Efek
samping obat ini berupa mual, muntah, konstipasi, sakit kepala, priritus, ruam
alergi, ginekomastia, impotensi dan penurunan libido (Mycek, 2001; Habif, 2004).
Obat terakhir yang digunakan untuk tinea corporis yaitu amfosterin B yang
merupakan antifungi golongan polyen yang diproduksi oleh streptomyces nodosus.
Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan
fungi, protozoa, dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan
infeksi tinea yang berat dan tidak sembuh dengan preparat azol (Mycek, 2001;
Habif, 2004).
Menurut Haber (2007), penatalaksaan pasien dengan tinea dapat
menggunakan:
1. Griseovulfin: Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin dalam
bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg
berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di
lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
2. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam
pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka
kesembuhan sekitar 70%.
3. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif
dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien
mendapatkan kesembuhan.
4. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai
dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.
5. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-4 minggu.
6. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.
7. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran
klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali.
Penatalaksanaan tinea korporis tidak hanya diselesaikan secara
medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan
pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti
mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian yang menyerap
keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan
pakaian yang terkontaminasi (Risdianto, 2013).

IX. Pencegahan
Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi
tinea korporis antara lain: mengurangi kelembaban tubuh penderita dengan
menghindari pakainan yang panas, menghindari sumber penularan yaitu binatang,
kuda, sapi kucing, anjing atau kontak dengan penderita lain, menghilangkan fokal
infeksi di tempat lain misalnya di kuku atau di kaki, meningkatkan higienitas dan
mengatasi faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelianan endokrin yang
lain, leukimia harus terkontrol dengan baik (Wirya, 2010).
Juga beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada tinea korporis
harus dihindari atau dihilangkan antara lain: temperatur lingkungan yang tinggi,
keringat berlebihan, pakaian dari bahan karet atau nilon, kegiatan yang banyak
berhubungan dengan air, misalnya berenang, kegemukan, selain faktor
kelembaban, gesekan kronis dan keringat yang berlebihan disertai higienitas yang
kurang, memudahkan timbulnya infeksi jamur (Wirya, 2010)(Budimulja, 2008).

X. Prognosis
Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya faktor : usia,
sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea korporis
merupakan salah satu penyakit kulit yang menular dan bisa mengenai anggota
keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan penderita (Budimulja, 2004). Anak-
anak dan remaja muda paling rentan ditularkan tinea korporis. Disarankan untuk
lebih teliti dalam memilih bahan pakaian yang tidak terlalu ketat, tidak berbahan
panas dan bahan pakaian yang tidak menyerap keringat. Penularan juga
dipermudah melalui binatang yang dipelihara dalam rumah penderita tinea korporis
(Brannon, 2010).
Faktor usia juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Semakin
bertambahnya usia, maka sistem kekebalan tubuh pun akan menurun, jadi lebih
beresiko dan mudah tertular suatu penyakit, termasuk tinea korporis (Gupta, 2008).
Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan
penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor yang memperberat atau
memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit dapat
dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna. Tinea korporis
mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan
kebersihan kulit yang selalu dijaga (James, 2006).

XI. Komplikasi
Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi dapat
berpengaruh besar terhadap kualitas hidup sehingga diagnosis dan terapi infeksi
dermatofit harus dilakukan dengan tepat. Apabila terapi yang digunakan tidak
sesuai maka akan menimbulkan beberapa penyulit seperti reaksi alergi,
hiperpigmentasi, kekambuhan, dan infeksi sekunder yang menyebabkan pasien
tidak kunjung sembuh, memungkinkan terjadinya penurunan imunitas yang dapat
memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri, virus, maupun jamur yang lain.
Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang tepat dan cepat untuk meminimalisir
terjadinya penyulit (Suyono, 2004).
KESIMPULAN

Tinea Corporis mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah kulit halus
tanpa rambut, kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan mulut. Tinea corporis
merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim tropis seperti Negara
Indonesia dan dapat menyerang semua usia terutama dewasa. Tinea corporis
disebabkan oleh golongan jamur Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton.
Dari tiga golongan tersebut penyebab tersering penyakit tinea corporis adalah
Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea corporis.
Patogenesis dermatofita terjadi melalui perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melalui ataupun di antara sel, dan perkembangan respon host. Kelainan yang dilihat
dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya
biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan
central healing.
Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Untuk pengobatan
topikal direkomendasikan untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dapat diberikan
kombinasi asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12% dalam bentuk salep (salep
whitfield). Kombinasi asam salisilat dengan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4, salep 3-10) dan derivat azol : mikonazole 2%, dan klotrimasol 1%. Terapi
sistemik yang paling banyak digunakan yaitu griseofulvin, ketokonazol, flukonazol,
itrakonazol, dan amfoterisin B. Tinea korporis mempunyai prognosa baik dengan
pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan kebersihan kulit yang selalu dijaga.
DAFTAR PUSTAKA

Abdelal EB, Shalaby MAS, Abdo HM, Alzafarany MA, Abubakr AA. Detection of
dermatophytes in clinically normal extra-crural sites in patients with tinea
cruris. The Gulf Journal of Dermatology and Venereology. 2013; (20)1: 31-
9.
Amiruddin MD. 2003. Ilmu penyakit kulit. Makassar : Percetakan LKiS.
Baligni K, Vardi VL, Barzegar MR et al. 2009. Extensive tinea corporis with
photosensivity. Indian : Case Report. hlm 54-59.
Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia
Medical Encyclopedia. University of Maryland Medical Center. Retrieved
2012-11-20.
Bolognia, Jean; Jorizzo, Joseph L.; Rapini, Roland P. (2007). Dermatology (2nd ed.).
St. Louis, Mo.: Mosby Elsevier.p. 1135.
Brannon, Heather (2010-03-08). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com
Dermatology. About.com. Retrieved 2012-11-20.
Budimulja, U. sunoto. Dan Tjokronegoro. Arjatmo. : Penyakit Jamur. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2008.
Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2009.
Gupta, Aditya K.; Chaudhry, Maria; Elewski, Boni (July 2008). “Tinea coeporis, tinea
cruris, tinea nigra, and piedra”. Dermatologic Clinics (Philadelphia;Elsevier
Health Sciences Division) 21 (3); 395-400.
Haber M. Dermatological fungal infections. Canadian Journal of Diagnosis University
of Calgary’s. 2007.
Hidayati NA, Suyoso S, Hinda D, Sandra E. Mikosis superfisialis di divisi mikologi
unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin rsud dr. Soetomo surabaya tahun
2003–2005. Surabaya: Department Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. 2009; 21(1)1-8.
Jack L Lesher Jr. 2012. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.
Karakoca, Yeliz; Endoğru, Elvan; Erdemir, Aslı Turgut; Kiremitçi , Ümmühan ; Gürel,
Mehmet Salih; Güçin, Zühal. 2010. Journal of the Turkish Academy
Dermatology. J Turk Acad Dermatol 2010; 4 (4): 04402c
New Zealand Dermatological Society Incorporated. 2012. Tinea corporis. Selandia
Baru: The International League of Dermatological Societies.
Paramata NR, Maidin A, Massi N. The Comparison of Sensitivity Test of Itraconazole
Agent The Causes of Dermatophytosis in Glabrous Skin In Makassar.
Makassar: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin. Makassar; 2009.
Risdianto A, Kadir D, Amin S. Tinea corporis and tinea cruris cause by trichophyton
mentagrophytes type granular in asthma bronchiale patient. Department of
Dermatovenereology Universitas Hasanuddin. 2013.
Risdianto Arif, Kadir Dirmawati, Amin Safruddin. Tinea Corporis and Tinea Cruris
Caused by Trychophyton mentagrophytes type glanular in Asthma
Bronchiale Patient. Medical Faculty of Hasanuddin University, Makassar.
2013
Rushing ME. 2009. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.
Tinea corporis, Tinea cruris, and Tinea pedis. Mycoses. Doctor-Fungus. 2007-01-27.
Retrieved 2012-11-20.
Wiederkehr M. Tinea cruris. [Online]. 2014 Jul 21 [cited 2014 Des 5]; Available from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/ 1091806
Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.

Anda mungkin juga menyukai