DISUSUN OLEH :
Rizki Putri Andini Rahmah
1710221017
PEMBIMBING :
dr. Tundjungsari Ratna Utami, Msc, Sp.A
Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas rahmat dan nikmat-Nya laporan kasus yang berjudul Pnemonia
Pada Anak dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Tundjungsari RU, MSc, Sp,A
selaku pembimbing selama penulis menjalani kepaniteraan klinik anak di RSUD
Ambarawa serta teman-teman satu bimbingan yang saling membantu dan
mendukung.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini,
oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan
kasus yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan
di masa yang akan datang.
Penulis
PENGESAHAN
Pembimbing
Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : November 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada orangtua pasien di Bangsal
Anak Anggrek RSUD Ambarawa tanggal 30 Oktober 2018.
A Keluhan Utama
Demam sejak 3 hari sebelum masuk RSUD Ambarawa
E Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya sudah berobat ke klinik dokter dan mendapat terapi
Lapicef serta Cetirizine, namun karena keluhan tidak membaik keluarga pasien
kemudian membawa pasien ke RSUD Ambarawa.
G Riwayat Kelahiran :
Tempat Bersalin : Klinik dokter
Penolong : Dokter
Cara persalinan : Spontan
Berat Badan Lahir : 3200 gram
Masa Gestasi : 39 minggu
Keadaan Setelah Lahir: Langsung menangis, tidak pucat dan tidak kuning.
Kelainan Bawaan : Tidak Ada
Kesan : Pasien lahir spontan, dengan kehamilan cukup bulan.
I Riwayat Makanan
Pasien minum ASI sejak lahir, menyusu kuat. Sejak sakit pasien masih mau
menyusu namun setiap minum ASI pasien muntah.
J Riwayat Imunisasi
• <7 hari : Hepatitis (HB)0
• 1 bulan : BCG, Polio1
• 2 bulan : DPT-HB-Hib1, Polio2
Imunisasi dilakukan di Posyandu
K Silsilah Keluarga
Keterangan :
Pasien tinggal di rumah bersama ayah, ibu, dan kakaknya
: Ayah pasien : Kakak perempuan pasien
: Ibu pasien : Pasien
Status Generalis
Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh:
Pucat (-), Sianosis (-), Ikterus (-), Perdarahan (-), Oedem (-),
Turgor cukup, Lemak bawah kulit cukup
Kepala :
Normocephal, ubun-ubun besar rata, rambut hitam, terdistribusi
merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada eritema dan skuama
Mata :
Palpebra tidak edema, tidak cekung, konjungtiva tidak anemis dan
sclera tidak ikterik, kornea jernih (+/+), lensa jernih (+/+), refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
Telinga
- Daun telinga : Bentuk, besar dan posisinya normal
- Lubang telinga : Tidak ada sekret, serumen (-)
- Gendang telinga : Sedikit cekung dan mengkilat
Hidung :
Bentuk normal, sekret (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorokan :
Sulit dinilai
Mulut :
Bibir tidak sianosis, mukosa bibir lembab, lidah tidak kotor
Leher :
Trachea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax :
Bentuk simetris, tidak ada deformitas
o Paru
ANTERIOR POSTERIOR
Abdomen :
Bentuk datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba membesar
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT <2 detik, tidak edem
Genital : Fimosis (-), hipospadia (-), epispadia (-)
Tanggal 28/10/2018
Diagnosis Akhir
Pneumonia
1.7 Penatalaksanaan
Inf KAEN 3A 12 tpm
Inj Ampisilin-Sulbactam 3x200 mg
Inj paracetamol 65 mg/4-6 jam K/P
Nebulizer ventolin+pulmicort 1:1 / 8 jam
1.8 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
1.11 Catatan Perkembangan Perjalanan Penyakit
Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi
28/10/ S = batuk berdahak Keadaan Umum : sakit sedang, Pneumonia - Inj Paracetamol 4x65
sejak 1 minggu CM mg
2018
SMRS, semakin
Tanda Vital : - Inj Ampisilin 3x100
memberat sejak 1
mg
hari yang lalu. - Nadi : 136x / menit, isi dan
Muntah sebanyak 1 tekanan cukup. - Nebulizer
kali berisi susu dan ventolin+pulmicort/6
- Pernafasan : 50x / menit,
lender, sesak sejak 3 jam
reguler, retraksi (+)
hari SMRS. Demam
naik turun sejak 3 - Suhu :37.8 0 C (aksila)
hari SMRS, demam
terutama saat malm
hari. Pasien mau
menyusu, BAK &
BAB lancar.
29/10/ S = batuk berdahak, Keadaan Umum : sakit sedang, Pneumonia - Inf KAEN 3A mikro
pasien tersedak CM 12 tpm
2018
setelah minum susu
Tanda Vital : - Inj Ampisilin 3x200
kemudian muntah,
mg
lidah dan bibir - Nadi : 136x / menit, isi dan
pasien sedikit tekanan cukup. - Inj Paracetamol 65
berwarna kebiruan, mg/4-6 jam prn
sesak napas. - Pernafasan : 52x / menit,
reguler, retraksi (+) - Nebulizer
ventolin+pulmicort/8
- Suhu : 36.9 0 C (aksila)
jam
30/10/ S = batuk berdahak, Keadaan Umum : sakit sedang, Pneumonia - Inf KAEN 3A mikro
pasien sudah tidak CM 12 tpm
2018
muntah, sesak napas
Tanda Vital : - Inj Ampisilin 3x200
mg
- Nadi : 130x / menit, isi dan
tekanan cukup. - Inj Paracetamol 65
mg/4-6 jam prn
- Pernafasan : 51x / menit,
reguler, retraksi (+) - Nebulizer
ventolin+pulmicort/8
- Suhu : 36.8 0 C (aksila)
jam
31/10/ S = batuk berdahak, Keadaan Umum : sakit sedang, Pneumonia - Inf KAEN 3A mikro
dahak berwarna CM 12 tpm
2018
bening, muntah
Tanda Vital : - Inj Ampisilin 3x200
setiap kali minum
mg
ASI, sesak napas - Nadi : 130x / menit, isi dan
tekanan cukup. - Inj Paracetamol 65
mg/4-6 jam prn
- Pernafasan : 50x / menit,
regular, retraksi (+) - Nebulizer
0 ventolin+pulmicort/8
- Suhu : 36.6 C (aksila)
jam
01/11/ S = batuk berdahak, Keadaan Umum : sakit sedang, Pneumonia - O2 1 Lpm NK
muntah berkurang, CM
2018 - Inf KAEN 3A mikro
sesak napas
Tanda Vital : 12 tpm
berkurang
- Nadi : 120x / menit, isi dan - Inj Ampisilin 3x200
tekanan cukup. mg
- Pernafasan : 40x / menit - Nebulizer
ventolin+pulmicort/8
- Suhu : 37.2 0 C (aksila)
jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A DEFINISI
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan dapat berupa:
batuk, kesukaran bernapas, sakit tenggorok, pilek, sakit telinga dan demam.
Anak dengan batuk atau kesukaran bernapas mungkin menderita pneumonia
atau infeksi saluran pernapasan yang berat lainnya. Akan tetapi sebagian besar
anak batuk yang datang ke Puskesmas/fasilitas kesehatan lainnya hanya
menderita infeksi saluran pernapasan yang ringan. Petugas kesehatan perlu
mengenal anak-anak yang sakit serius dengan gejala batuk atau kesukaran
bernapas yang membutuhkan pengobatan dengan antibiotik, yaitu pneumonia
(infeksi paru) yang ditandai dengan napas cepat dan mungkin juga Tarikan
Dinding Dada bagian bawah Ke dalam (TDDK) (Kemenkes RI, 2015).
B EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama
kematian balita di dunia. Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian
anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria
dan tuberkulosis (WHO, 2006). Di Indonesia, pneumonia juga merupakan
urutan kedua penyebab kematian pada balita setelah diare (Kemenkes RI,
2012).
C PATOFISIOLOGI
Paru-paru terdiri dari ribuan bronkhi yang masing-masing terbagi lagi
menjadi bronkhioli, yang tiap-tiap ujungnya berakhir pada alveoli. Di dalam
alveoli terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah dimana terjadi pertukaran
oksigen dan karbondioksida. Ketika seseorang menderita pneumonia, nanah
(pus) dan cairan mengisi alveoli tersebut dan menyebabkan kesulitan
penyerapan oksigen sehingga terjadi kesukaran bernapas (Kemenkes RI,
2015).
Anak yang menderita pneumonia, kemampuan paru-paru untuk
mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar
tidak terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah
parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia
atau sepsis (infeksi menyeluruh) (Kemenkes RI, 2015).
D KLASIFIKASI
Klasifikasi pneumonia memungkinkan seseorang dengan cepat
menentukan apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius atau
bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak. Dalam membuat klasifikasi
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) (Kemenkes RI, 2015):
- Kelompok umur <2 bulan
- Kelompok umur 2 bulan s .d 59 bulan
Menentukan tindakan yaitu mengambil tindakan pengobatan terhadap
infeksi bakteri yang secara garis besar dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu
(Kemenkes RI, 2015):
- Rujuk segera ke rumah sakit
- Beri antibiotik di rumah
- Beri perawatan di rumah
Pemilihan pengobatan dengan antibiotik lebih bersifat empiris, bukan
berdasarkan diagnosis etiologis (Kemenkes RI, 2015).
Dalam penentuan klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan atas 2
kelompok, yaitu:
1. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, klasifikasi dibagi atas : pneumonia
berat, pneumonia dan bukan pneumonia
2. Kelompok umur <2 bulan, klasifikasi dibagi atas : pneumonia berat dan
bukan pneumonia. (Depkes RI, 2002)
Klasifikasi Pada Anak Berumur 2 Bulan-<60 Bulan
a. Pneumonia Sangat Berat Pada Anak Berumur 2 Bulan - <60 Bulan
Seorang anak berumur 2 bulan -<60 bulan menderita Penyakit Sangat Berat
apabila dari pemeriksaan ditemukan salah satu “tanda bahaya” yaitu:
Tidak bisa minum
Kejang
Kesadaran menurun atau Kesukaran dibangunkan
Stridor pada waktu anak tenang
Gizi buruk
(Kemenkes RI, 2015).
E ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan karena infeksi berbagai bakteria, virus dan
jamur. Namun, penyakit pneumonia yang disebabkan karena jamur sangatlah
jarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia
disebabkan oleh bakteria. Sulit untuk membedakan penyebab pneumonia
karena virus atau bakteria. Seringkali terjadi infeksi yang didahului oleh
infeksi virus dan selanjutnya terjadi tambahan infeksi bakteri. Kematian pada
pneumonia berat, terutama disebabkan karena infeksi bakteria (Kemenkes RI,
2010).
Bakteri penyebab pneumonia tersering adalah Haemophilus influenzae
(20%) dan Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah
Staphylococcus aureaus dan Klebsiella pneumoniae. Sedangkan virus yang
sering menjadi penyebab pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai penyebab pneumonia
pada anak dengan AIDS adalah Pneumocystis jiroveci (PCP) (Kemenkes RI,
2010).
Data mengenai kuman penyebab pneumonia sangat terbatas. Padahal,
mengetahui kuman penyebab pneumonia sangat penting untuk menyesuaikan
dengan antibiotika yang akan diberikan. Penelitian Kartasasmita, dkk di
Majalaya, Kabupaten Bandung pada tahun 2000 menyatakan bahwa
Streptococcus pneumoniae (Pneumococcus/ pneumokokus) diduga menjadi
penyebab utama pneumonia pada balita. Penelitian tersebut diperkuat dengan
didapatkannya 67.8% bakteri pneumokokus dari 25% apus tenggorok yang
positif dari balita yang sakit (Kemenkes RI, 2010).
Pada Bayi baru lahir, pneumonia seringkali terjadi karena aspirasi,
infeksi virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta
bakteri Coli, TORCH, Streptokokus dan Pneumokokus. Pada Bayi, pneumonia
biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan
bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae,
S. aureus, Chlamydia. Pneumonia pada batita dan anak pra-sekolah
disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan
berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci
A, Staphylococcus aureus, Chlamydia. Pada anak usia sekolah dan usia
remaja, pneumonia disebabkan oleh virus, yaitu Adeno, Parainfluenza,
Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A
dan Mycoplasma (Kemenkes RI, 2010).
F FAKTOR RISIKO
Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang
anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Berbagai faktor risiko
yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena
pneumonia, yaitu status gizi (gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko),
pemberian ASI ( ASI eksklusif mengurangi risiko), suplementasi vitamin A
(mengurangi risiko), suplementasi zinc (mengurangi risiko), bayi berat badan
lahir rendah (meningkatkan risiko), vaksinasi (mengurangi risiko), dan polusi
udara dalam kamar terutama asap rokok dan asap bakaran dari dapur
(meningkatkan risiko) (Kemenkes RI, 2010).
Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian
balita dengan infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian
ASI ekslusif dan pemberian mikro-nutrien bisa membantu pencegahan
penyakit pada anak. Pemberian ASI sub-optimal mempunyai risiko kematian
karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20% (Kemenkes RI, 2010).
Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah
dilaksanakan di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan
imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil
penelitian Sutrisna di Indramayu (1993) menunjukkan peningkatan risiko
kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan vitamin A. Namun,
penelitian Kartasasmita (1993) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna
insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A
dan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak
mendapatkan vitamin A. Suplementasi Zinc (Zn) perlu diberikan untuk anak
dengan diet kurang Zinc di negara berkembang (Kemenkes RI, 2010).
Penelitian di beberapa negara Asia Selatan menunjukkan bahwa
suplementasi Zinc pada diet sedikitnya 3 bulan dapat mencegah infeksi
saluran pernapasan bawah. Di Indonesia, Zinc dianjurkan diberikan pada anak
yang menderita diare. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko
untuk meningkatnya ISPA, dan perawatan di rumah sakit penting untuk
mencegah BBLR. Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk
terkena pneumonia. Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit
pneumonia adalah imunisasi pertusis (DTP), campak, Haemophilus influenza,
dan pneumokokus (Kemenkes RI, 2010).
Polusi udara yang berasal dari pembakaran di dapur dan di dalam rumah
mempunyai peran pada risiko kematian balita di beberapa negara berkembang.
Diperkirakan 1,6 juta kematian berhubungan dengan polusi udara dari dapur.
Hasil penelitian Dherani, dkk (2008) menyimpulkan bahwa dengan
menurunkan polusi pembakaran dari dapur akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas pneumonia. Hasil penelitian juga menunjukkan anak yang tinggal di
rumah yang dapurnya menggunakan listrik atau gas cenderung lebih jarang
sakit ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah yang
memasak dengan menggunakan minyak tanah atau kayu. Selain asap bakaran
dapur, polusi asap rokok juga berperan sebagai faktor risiko. Anak dari ibu
yang merokok mempunyai kecenderungan lebih sering sakit ISPA daripada
anak yang ibunya tidak merokok (16% berbanding 11%) (Kemenkes RI,
2010).
Faktor lain yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah
pendidikan ibu dan status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah pendidikan
ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada balita (Kemenkes RI, 2010).
G GEJALA KLINIS
Gejala pneumonia bervariasi tergantung pada umur penderita dan
penyebab infeksinya. Pneumonia karena infeksi bakteri biasanya
menyebabkan anak sakit berat mendadak dengan demam tinggi dan napas
cepat. Infeksi karena virus umumnya lebih gradual dan bisa memburuk setiap
saat. Gejala - gejala yang sering ditemui pada anak dengan pneumonia adalah
napas cepat dan sulit bernapas, batuk, demam, menggigil, sakit kepala, nafsu
makan hilang, dan mengik. Balita yang menderita pneumonia berat bisa
mengalami kesulitan bernafas, sehingga dadanya bergerak naik turun dengan
cepat atau tertarik ke dalam saat menarik napas/inspirasi yang dikenal sebagai
‘lower chest wall indrawing’ (Kemenkes RI, 2010).
Gejala pada anak usia muda bisa berupa kejang, kesadaran menurun,
suhu turun (hipotermia), tidak bereaksi (letargi) dan minum terganggu.
Diagnosis pneumonia dipastikan dengan foto dada (X-ray) dan uji
laboratorium, namun pada tempat-tempat yang tidak mampu
melaksanakannya, kasus dugaan pneumonia dapat ditetapkan secara klinis dari
gejala klinis yang ada (Kemenkes RI, 2010).
Hal yang penting untuk diperhatikan adalah apabila seorang anak batuk
dan sulit bernapas, untuk mencegah menjadi berat dan kematian, anak tersebut
harus segera mendapatkan pertolongan sesuai dengan pedoman tatalaksana
(Kemenkes RI, 2010).
H DIAGNOSIS
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan
bahwa Streptococcus pnemoniae dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri
yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara berkembang.
Jenis bakteri ini ditemukan pada dua per tiga dari hasil isolasi yaitu 73,9% aspirat
paru dan 69,1% hasil isolasi spesimen darah. Sedangkan di negara maju dewasa
ini pnemonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus (WHO, 1999).
Klasifikasi pnemonia adalah penderita dengan gejala batuk atau sukar
bernafas dengan tanda-tanda nafas cepat. Untuk anak umur 1-5 tahun,
dikatakan mempunyai nafas cepat apabila frekuensi nafasnya lebih dari 40 kali
per menit. Gejala umum pnemonia adalah batuk atau sukar bernafas dan
beberapa tanda bahaya umum atau tarikan dinding dada kedalam atau stridor
pada anak dalam keadaan tenang (WHO, 1999).
Diagnosis pneunonia didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisis, foto toraks dan laboratorium (priyanti ZS, 2001). Diagnosis
pnemonia terutama didasarkan pada gejala klinis berupa batuk, kesukaran
bernafas. Gambaran rontgen toraks tidak menunjukkan kelainan yang jelas
pada penderita bronkitis sedang pada penderita pnemonia atau
broncopnemonia didapatkan gambaran infiltrat di paru (mangunegoro, 2005).
Diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai
umur. Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi
pernafasan dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah:
1) Pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali
per menit atau lebih
2) Pada anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali
per menit atau lebih
3) Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali
permenit atau lebih. (Depkes RI, 2002)
Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan dinding dada sebelah
bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan - < 5 tahun. Untuk kelompok umur
kurang 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas
cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Rujukan penderita pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat
minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah : batuk
pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit lainnya
(Mardjanis, 2007)
I DIAGNOSIS BANDING
Tabel 1. Diagnosis Banding Anak umur 2 bulan-5 tahun yang datang dengan
Batuk dan atau Kesulitan Bernapas (Hospital Care for Children, 2016)
Awitan tiba-tiba
Hipersonor pada perkusi di satu
Pneumotoraks sisi dada
Pergeseran mediastinum
J PENATALAKSANAAN
Pemberian antibiotika segera pada anak yang terinfeksi pneumonia dapat
mencegah kematian. UNICEF dan WHO telah mengembangkan pedoman
untuk diagnosis dan pengobatan pneumonia di komunitas untuk negara
berkembang yang telah terbukti baik, dapat diterima dan tepat sasaran.
Antibiotika yang dianjurkan diberikan untuk pengobatan pneumonia di negara
berkembang adalah kotrimoksasol dan amoksisilin. Beberapa penelitian
menunjukkan, pemberian kotrimoksasol (Kartasasmita dkk, 2010) maupun
amoksisilin selama 3 hari pada anak dengan pneumonia tidak berat sama hasil
akhirnya dengan pemberian selama 5 hari (Kemenkes RI, 2010).
Pada anak usia 2 bulan s.d. 59 bulan dengan batuk atau kesukaran
bernapas, sebelum menentukan klasifikasi lakukan penilaian tanda bahaya
untuk menetukan tindakan rujukan. Bila tidak ditemukan tanda bahaya,
tentukan klasifikasi apakah termasuk Pneumonia Berat, Pneumonia, atau
Batuk Bukan Pneumonia. Tabel klasifikasi mempunyai 3 (tiga) kolom: merah,
kuning, hijau. Warna kolom menunjukkan derajat keparahan penyakit serta
tindakan maupun pengobatan yang diperlukan. Tindakan diberikan sesuai
klasifikasi yang telah ditentukan, sebagai berikut (Kemenkes RI, 2015):
1) Pemberian Antibiotik
Antibiotik diberikan selama 3 hari. Khusus untuk daerah prevalens HIV
tinggi, antibiotik diberikan 5 hari. Jangan memberikan antibiotik bila anak
atau bayi memiliki riwayat anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya
terhadap jenis obat tersebut. Gunakan jenis antibiotik lain.
Dosis :
· Amoksisilin: 80 - 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
· Eritromisin : 40 – 60 mg/KgBB/hari dibagi 3 - 4 dosis
Catatan : Jika mampu laksana pemberian antibotik disesuaikan secara
individual (taylor made). Jika tidak mampu laksana ikuti cara yang lebih
sederhana seperti tabel berikut ini.
Tindakan Prarujukan :
Anak-anak berusia 2 - < 60 bulan dengan pneumonia berat harus ditangani
dengan ampisilin parenteral (atau penisilin) dan gentamisin sebagai
pengobatan lini pertama.
- Ampisilin : 50 mg/kg BB IM diberikan hanya 1 kali suntikan DAN
- Gentamisin : 7,5 mg/kg BB IM diberikan hanya 1 kali suntikan
Pada bayi berumur <2 bulan pemberian antibiotik oral merupakan
tindakan pra-rujukan dan diberikan jika bayi masih bisa minum. Jika bayi
tidak bisa minum maka diberikan dengan injeksi intramuskular
(Kemenkes RI, 2015).
2) Pengobatan Demam
JIKA DEMAM TIDAK TINGGI (<38OC)
Nasihati ibunya untuk memberi cairan lebih banyak. Tidak diperlukan
pemberian parasetamol (Kemenkes RI, 2015).
JIKA DEMAM TINGGI (>38OC)
Anak dengan demam tinggi bisa diturunkan dengan parasetamol sehingga
anak akan merasa lebih enak dan makan lebih banyak. Anak dengan
pneumonia akan lebih sulit bernapas bila mengalami demam tinggi.
Beritahukan ibunya untuk memberikan parasetamol tiap 6 jam dengan
dosis yang sesuai sampai demam mereda. Berikan parasetamol kepada ibu
untuk 3 hari. Beritahukan ibunya untuk anak yang demam berilah pakaian
yang ringan. Tak perlu dibungkus selimut terlalu rapat atau pakaian yang
berlapis, sebab justru akan menyebabkan tidak enak dan menambah
demam. Demam itu sendiri bukan indikasi untuk pemberian antibiotik,
kecuali pada bayi kurang dari 2 bulan. Pada bayi kurang dari 2 bulan kalau
ada demam harus dirujuk; jangan berikan parasetamol untuk demamnya
(Kemenkes RI, 2015).
3) Pengobatan Mengi
Pada bayi berumur <2 bulan: wheezing merupakan tanda bahaya dan harus
dirujuk segera. Pada kelompok umur 2 bulan s .d. 59 bulan : Wheezing
pada kelompok umur ini perlu ditentukan apakah episode pertama atau
sudah berulang. Bila sudah berulang kemungkinan besar wheezingnya
karena asma. Bila episode pertama kemungkinan karena Pneumonia. Bila
ada keraguan lakukan nebulisasi bronkodilator dan dinilai responsnya
untuk menentukan apakah ini pneumonia atau asma (Kemenkes RI, 2015).
a. Salbutamol Nebulisasi
Tuangkan obat bronkodilator ke dalam mangkuk nebulizer. Bila perlu
tambahkan NaCl 0,9% untuk memenuhi volume isi yang biasanya sekitar
5 ml (Kemenkes RI, 2015).
b. Salbutamol Md I (Metered-Doseinhaler ) Dengan Alat Spacer
Pada anak kecil penggunaan MDI harus dibantu dengan alat spacer
berkatup. Penggunaan MDI dengan spacer hasilnya minimal sama baiknya
dengan penggunaan nebulazer. Langkah-langkah penggunaan MDI spacer:
Kocok MDI 3-4 kali, buka tutupnya masukkan Mouthpiece ke dalam
lubang spacer.
Semprotkan 1 puff ke dalam spacer.
Pasangkan masker spacer menutupi hidung dan mulut pasien
Lihat gerakan napas pasien bila sudah bernapas 6- 10 kali obat dalam
spacer sudah terhirup
Tindakan yang sama lakukan sekali lagi saat itu juga
Jika spacer komersial tidak tersedia, spacer dapat digantikan dengan gelas
plastik atau botol plastik 1 liter yang dilubangi pangkalnya sesuai dengan
ukuran mouthpiece MDI (Kemenkes RI, 2015).
K PENCEGAHAN
Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau mengurangi
faktor risiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan
pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas
kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan
pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu untuk
merujuk yang tepat dan segera bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan
gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan
imunisasi, dan pengurangan polusi udara didalam ruangan dapat pula
mengurangi faktor risiko. Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa
mencuci tangan dapat mengurangi kejadian pneumonia (Kemenkes RI, 2010).
Usaha Untuk mencegah pneumonia ada 2 yaitu:
1. Pencegahan Non spesifik, yaitu:
a. Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
- Kemiskinan ↓
- Tingkat pendidikan ↑
- Kurang gizi ↓
- Derajat kesehatan ↑
- Morbiditas dan mortalitas ↓
2. Lingkungan yang bersih, bebas polusi
a. Pencegahan Spesifik
- Cegah BBLR
- Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
- Berikan imunisasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia
adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus
influenzae type b) dan Pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu
pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di
berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah
dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah
kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum
banyak negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program
nasional imunisasi (Kemenkes RI, 2010).
1. Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak.
Penyakit ini dapat dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan sendirinya,
namun dapat dikatakan berat dengan berbagai komplikasi seperti pneumonia
yang bahkan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak kurang gizi
dan anak dengan gangguan sistem imun. Komplikasi pneumonia yang timbul
pada anak yang sakit campak biasanya berat. Menurunkan kejadian penyakit
campak pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat menurunkan
kematian akibat pneumonia. Sejak 40 tahun lalu telah ada vaksin campak yang
aman dan efektif, cakupan imunisasi mencapai 76%, namun laporan tahun
l2004 menunjukkan penyakit campak masih menyerang 30 – 40 juta anak
(Kemenkes RI, 2010).
2. Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari.
Penyakit ini masih sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bacteria
Bordetella pertussis. Vaksinasi terhadap penyakit ini sudah lama masuk ke
dalam program imunisasi nasional di Indonesia, diberikan dalam sediaan DTP,
bersama difteri dan tetanus. Pada negara yang cakupan imunisasinya rendah,
angka kematian masih tinggi dan mencapai 295.000 – 390.000 anak pertahun
(Kemenkes RI, 2010).
3. Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b (Hib)
merupakan penyebab pneumonia dan radang otak (meningitis) yang utama.
Diduga Hib mengakibatkan penyakit berat pada 2 sampai 3 juta anak setiap
tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih dari 10 tahun, namun
penggunaannya masih terbatas dan belum merata. Pada beberapa negara,
vaksinasi Hib telah masuk program nasional imunisasi, tapi di Indonesia
belum. Di negara maju, 92% populasi anak sudah mendapatkan vaksinasi Hib.
Di negara berkembang, cakupan mencapai 42% sedangkan di negara yang
belum berkembang hanya 8% (2003). Hal ini dimungkinkan karena harganya
yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib
diberikan kepada semua anak di negara berkembang (Kemenkes RI, 2010).
4. Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama pneumonia pada anak
di negara berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia untuk anak
usia diatas 2 tahun dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan
anak dibawah 3 tahun sudah tersedia, yang dikenal sebagai pneumococcal
conjugate vaccine (PCV). Vaksin PCV ini sudah dimanfaatkan di banyak
negara maju. Hasil penelitian di Amerika Serikat setelah penggunaan vaksin
secara rutin pada bayi, menunjukkan penurunan bermakna kejadian
pneumonia pada anak dan keluarganya terutama para lansia. Saat ini yang
beredar adalah vaksin PCV 7, artinya vaksin mengandung 7 serotipe bakteri
pneumokokus dan dalam waktu dekat akan tersedia vaksin PCV 10. Hasil
penelitian di Gambia (Afrika), dengan pemberian imunisasi PCV 9 terjadi
penurunan kasus pneumonia sebesar 37%, pengurangan penderita yang harus
dirawat di rumah sakit sebesar 15%, dan pengurangan kematian pada anak
sebesar 16%. Hal ini membuktikan bahwa vaksin tersebut sangat efektif untuk
menurunkan kematian pada anak karena pneumonia (Kemenkes RI, 2010).
DAFTAR PUSTAKA