Anda di halaman 1dari 46

BLOK NEFROUROLOGI LAPORAN PBL

“Skenario I”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4

Tutor:
dr. Filda de Lima, M.Biomed

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2023
KELOMPOK PENYUSUN:
KELOMPOK 4

Nama Ketua : Betriafely Meria Sunbanu 2020-83-049

Sekretaris 1 : Muhammad Zaidan Ash Shiddiqie 2020-83-047

Sekretaris 2 : Dian Hermayani 2020-83-048


Anggota : Sulthona Matdoan 2018-83-144

Cintiya Pakpahan 2020-83-039


Natasya Dian Evangeline 2020-83-042

Azhar Deva Wijaya 2020-83-043

Ceriana Putri Yulia 2020-83-044


Alvin Muhammad Faiq 2020-83-045

Sanfia Fella Masahe 2020-83-046


Syarifah Nur Ulfa Abdullah 2020-83-050

Khaerah Umma 2020-83-051

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan ini. Laporan ini berisi
hasil diskusi kami mengenai skenario I yang telah dibahas pada PBL tutorial satu
dan dua. Dalam penyelesaian laporan ini, banyak pihak yang turut terlibat. Oleh
sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Filda de Lima, M.Biomed selaku tutor yang telah mendampingi kami
selama diskusi PBL tutorial satu dan dua berlangsung.
2. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Akhir kata, kami menyadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami perlukan demi perbaikan laporan kami kedepannnya.

Ambon, 08 Juni 2023


Penyusun,

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR NAMA KELOMPOK ........................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Skenario ............................................................................................ 1

B. Seven Jumps ...................................................................................... 1

1. Step I: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci ....................... 1

2. Step II: Identifikasi Masalah......................................................... 2

3. Step III: Hipotesis Sementara ....................................................... 3

4. Step IV: Klarifikasi dan Mind Mapping........................................ 6

5. Step V: Learning Objective .......................................................... 7

6. Step VI: Belajar Mandiri .............................................................. 8

7. Step VII: Presentasi Hasil Mandiri ............................................... 8

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi dan Etiologi Sindrrom Nefrotik… ........................................ 9

iii
B. Patofisiologi Sindrom Nefrotik ........................................................ 10

C. Alur Penegakan Diagnosis Sindrom Nefrotik ................................... 15

D. Diagnosis Banding Sindrom Nefrotik .............................................. 18

E. Tatalaksana Sindrom Nefrotik ......................................................... 22

F. Komplikasi dan Prognosis Sindrom Nefrotik ................................... 22

G. Edukai kepada Orang Tua Pasien Terhadap Sindrom Nefrotik ......... 32

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 37

DAFTARPUSTAKA........................................................................................ vii

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ........................................................................................................... 14
Gambar 2 ........................................................................................................... 17

Gambar 3 ........................................................................................................... 17

Gambar 4 ........................................................................................................... 18

Gambar 5 ........................................................................................................... 24

Gambar 6 ........................................................................................................... 28

v
DAFTAR GAMBAR

Tabel 1 .............................................................................................................. 21
Tabel 2 .............................................................................................................. 32
Tabel 3 .............................................................................................................. 35

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Skenario

“Skenario I”
Seorang anak laki-laki usia 2 tahun 6 bulan, dibawa oleh orang tua ke UGD
dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh dialami sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
disertai ada mual, tidak muntah, ada BAB encer sejak 3 hari yang lalu dengan
frekuensi 3-5x/hari, BAB cair ada ampas, lendir (-), darah (-). Buang air kecil
berwarna kuning dan terdapat busa terutama pada pagi hari. Riwayat bengkak pada
kelopak mata 3 bulan yang lalu, namun sembuh tanpa berobat. Tidak ada riwayat
batuk pilek sebelumya. Terdapat peningkatan berat badan. Sebelumnya BB 18 kg saat
ini 20 kg. Pemeriksaan fisik: sakit sedang, sadar baik. Tanda vital, TD 95/50 mmHg,
nafas 28x/menit, nadi 100x/menit, suhu 36.5°C. Ada edema palpebra, abdomen
tampak cembung, shifting dullness positif. Edema kedua tungkai. Ada edem scrotum.
Pemeriksaan laboratorium darah: Hb 10 g/dL, WBC 7000/mm³, trombosit
200.000/mm³, Albumin 1,7 g/dL, Kolesterol total 400mg/dL, ureum 35mg/dL dan
kreatinin 0,4 mg/dL. Urinalisis: Protein +++, Blood -, Sedimen leukosit 3/lpb,
sedimen eritrosit 1/lpb. Foto thoraks kesan: efusi pleura sinistra.

B. Seven Jump Steps

1. Step I: Indentifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci

a. Kata Sukar
1) Shifting dullness yaitu suatu tindakan untuk melakukan tes asites di rongga
abdomen, Sanfia; ketika perkusi maka suara nya berpindah pindah karena
cairannya dalam kondisi bebas di dalam perut.
2) Kreatinin merupakan asam amino yang diproduksi oleh organ liver dan
pancreas dan juga sering dipakai untuk indicator fungsi ginjal dan massa
pada otot.
3) Efusi pleura yaitu enumpukan cairan di kavum pleura dan rongga pleura

1
4) Edema yaitu pembengkakan yang disebabkan oleh penumpukan cairan
pada jaringan.

b. Kalimat Kunci
1) Seorang anak laki-laki usia 2 tahun 6 bulan, dengan keluhan bengkak di
seluruh tubuh dialami sejak 2 minggu yang lalu.
2) Keluhan disertai ada mual, tidak muntah, ada BAB encer sejak 3 hari yang
lalu dengan frekuensi 3-5x/hari, BAB cair ada ampas, lendir (-), darah (-).
3) Buang air kecil berwarna kuning dan terdapat busa terutama pada pagi
hari.
4) Riwayat bengkak pada kelopak mata 3 bulan yang lalu, namun sembuh
tanpa berobat.
5) Terdapat peningkatan berat badan. Sebelumnya BB 18 kg saat ini 20 kg.
6) Pemeriksaan fisik: sakit sedang, sadar baik. Tanda vital, TD 95/50 mmHg,
nafas 28x/menit, nadi 100x/menit, Suhu 36.5°C. Ada edema palpebra,
abdomen tampak cembung, shifting dullness positif, edema kedua tungkai,
ada edem scrotum.
7) Pemeriksaan laboratorium darah: Hb 10 g/dL, WBC 7000/mm³, trombosit
200.000/mm³, albumin 1,7 g/dL, kolesterol total 400mg/dL, ureum
35mg/dL dan kreatinin 0,4 mg/dL.
8) Urinalisis: Protein +++, blood -, sedimen leukosit 3/lpb, sedimen eritrosit
1/lpb.
9) Foto thoraks kesan: efusi pleura sinistra.
2. Step II: Identifikasi Masalah
a. Identifikasi Masalah
1) Mengapa urin pasien bisa berbusa?
2) Apakah ada hubungan kadar kolesterol yang tinggi pada pasien dengan
keluhannya yang terjadi pembengkakan?
3) Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan fisik dan penunjang serta
laboratorium darahnya pada scenario?

2
4) Apakah ada hubungannya dengan edema yang diderita pasien dengan foto
thoraks gambaran efusi pleura?
5) Kak sulthona Faktor apa saja yang menyebabkan gangguan pada pasien?
6) Apa diagnosis sementara yang bisa ditegakkan?
7) Mengapa terdapat bengkak pada kelopak mata dan sembuh tanpa berobat
dan adakah hubungannya dengan keluhan pasien saat ini?
8) Apakah hubungan dengan hasil urinalisis yang ditemukan adanya protein
dengan keluhan yang dialami pasien yaitu edema?
9) Apakah ada hubungan antara usia dengan keluhan yang dialami oleh
pasien?

3. Step III: Hipotesis Sementara

a. Hipotesis Sementara
1) Ada 2 hal yang menyebabkan ini terjadi yaitu peningkatan kadar protein
dalam urin dan dehidarasi yang mana tubuhnya kekurangan cairan dimana
kadar air didalam urine lebih sedikit daripada kadar garam dan gula.
Terjadinya proteinuria karena kerusakn filtrasi molekul yang melewati
dinding glomerulus diakibatkan oleh kelainan podosit glomerulus dimana
protein yang keluar bersama urine ini akan bereaksi dengan udara dan
menimbulkan adanya busa.
2) Ada 5 jenis kolesterol, yaitu LDL (Low Density Lipoprotein/kolesterol
jahat) yang dapat menyebabkan plak pada pembuluh darah, kedua HDL
(High Density Lipoprotein/kolesterol baik) bertugas mengangkut
kelebihan kolesterol yang ada dan diangkut ke liver untuk diproses
kembali dan dibuang dari dalam tubuh. Ketiga VLDL yaitu untuk
pemindahan lemak dan juga memberikan energi, Keempat ada lipoprotein,
dan kelima ada trigliserida yang merupakan jenis lemak yang dibutuhkan
oleh pencernaan. Jadi idealnya di dalam tubuh manusia tingkat LDL harus
lebih rendah daripada HDL, apabila kebalikannya maka terjadi
dyslipidemia, dikarenakan LDL bisa menyumbat/memberikan plak pada
pembuluh darah sehingga aliran darah itu tidak lancar dan menyebabkan

3
pembengkakan di daerah tertentu yang pembuluh darahnya tersumbat.
Kenapa edema disertai peningkatan lipid. Hal ini dikarenakan edema
terjadi karena akibat dari hipoalbuminemia di dalam darah. Pada keadaan
normal lipid diproduksi tubuh dan sifatnya tidak larut cairan. Lipid harus
berikatan dengan protein agar larut air, oleh karena itu terbentuk suatu
ikatan antara lipid dan protein dalam tubuh atau lipoprotein. Lipoprotein
sangat penting perannya dalam proses metabolisme di dalam tubuh
sehingga harus selalu diproduksi. Ketika terjadi penurunan protein dalam
pembuluh darah, maka hanya sedikit lipid yang bisa berikatan dengan
protein tersebut hal ini memicu terjadinya pembentukan lipid dalam sel
liver, lipid meningkat namun lipoprotein hanya sedikit yang terbentuk
sehingga terjadi hiperlipidemia.
3) TTV: nadi, nafas, suhu normal, TD 90/50 menurun, udem palpebral mata,
shifting dullness + adanya penumpukan cairan leukosit normal Hb normal
albumin menurun, proteinuria hiperkolesterol benjolan di sekitar mata dan
kenaikan BB, asites dan edema disebabkan oleh kadar albumin yang
rendah.
4) Ada hubungannya, hal ini dikarenakan pada skenario terjadi kegagalan
filtrasi pada glomerulus yang ditandai kadar albuminnya menurun di
dalam darah dan tinggi di dalam urin. Normalnya albumin harus lebih
tinggi di darah dibandingkan di urin. Karena albumin ini kan berfungsi
menjaga cairan tubuh agar tidak bocor atau keluar dari pembuluh darah.
Apabila albumin banyak terbuang atau jumlah albumin tidak cukup di
dalam darah maka yang menjaga cairan untuk stabil tidak ada lagi atau
tidak lagi adekuat sehingga cairan mudah keluar dan menyebabkan
akumulasinya banyak atau abnormal. Sehingga salah satu gambaran yang
diberikan yaitu di foto thorax adanya efusi pleura karena efusi pleura ini
merupakan suatu akumulasi cairan yang abnormal di paru paru.
5) Pertama terkait faktor resiko yaitu gangguan glomerulus yang kongenital
karena jika sudah rusak sejak lahir maka akan menjadi faktor resikonya.
Kedua yaitu glomerulonephritis, kemudian bisa disebabkan oleh penyakit

4
malaria falciparum koleh plasmodium falciparum yang menyerang
mikrovaskularisasi termasuk salh satunya menyerang glomerulus.
Keempat penggunaan obat-obatan yang berefek pada ginjal contohnya
steroid.
6) Sindrom nefrotik dimana ditandai dengan gejala proteinuria yang massif,
hipoalbuminia, edem, hiperkolesterolimia, gejala klinis yang paling
menonjol adalah edema.
7) Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan
tahanan jaringan local. Oleh sebab itu, edema pada palpebral sangat
menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan local pada daerah
tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau
setelah melakukan kegiatan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi.
kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari
luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan.
8) Pemeriksaan penunjang proteinuria terdapat protein dalam urin yang
normalnya seharusnya tidak ada berarti kemungkinan ada kebocoran dari
filtrasi ginjal yang menyebabkan protein tersebut lolos dibuang ke dalam
urine, jika protein itu banyak terbuang ke dalam urin, misalnya albumin
maka albumin yang berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik pada
pembuluh darah untuk menjaga cairan agar tetap stabil yang mana jika
protein ini jumlahnya sedikit karena banyak terbuang maka cairan tersebut
akan berpindah ke interstisial sehingga hal itulah yang menyebabkan
edema/bengkak.
9) Ada hubungan antara pasien dengan keluhan yang dialami oleh pasien.
Pada kasus ini merupakan kasus pediatric maka bisa mengarahkan, bahwa
penyakit ini memiliki ciri-ciri yang terdapat pada anak. Pasien
mengeluhkan gastrointestinal track yang bermasalah. Ini rentang usia
penting juga karena pada beberapa fungsi pediatric belum berkembang
secara sempurna seperti orang dewasa. sindrom nefrotik ini paling banyak
dijumpai pada anak anak yang usianya itu 3-4 tahun, paling banyak
diderita oleh anak laki-laki.

5
4. Step IV: Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping
a. Klarifikasi Masalah

6
b. Mind Mapping

5. Step V: Learning Objective


1) Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan etiologi sindrom nefrotik
2) Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi sindrom nefrotik
3) Mahasiswa mampu menjelaskan alur penegakan diagnosis sindrom nefrotik
4) Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding sindrom nefrotik
5) Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana sindrom nefrotik

7
6) Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis sindrom nefrotik
7) Mahasiswa mampu menjelaskan edukasi kepada orang tua pasien terhadap
sindrom nefrotik
6. Step VI: Belajar Mandiri
7. Step VII: Presentasi Hasil Mandiri

8
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Etiologi Sindrom Nefrotik


Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria,
hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. Jika tidak terdiagnosa atau
tidak segera diobati, edema intertisial akan meningkatkan tekanan tubulus
proksimal yang menyebabkan penurunan laju filtrasi glumerolus (LFG) sehingga
terjadi gagal ginjal.1
Sindrom nefrotik ditandai dengan edema, proteinuria masif (≥ 40 mg/m2
/jam), hipoalbumnemia (< 2,50 g/dL), dan hiperkolestrolemia (≥ 200 mg/dL).1,2
Pasien dengan Sindrom Nefrotik paling sering datang dengan keluhan edema
walaupun beberapa gejala klinik lain juga sering ditemukan seperti: Hipertensi,
hematuria baik mikroskopis maupun Gross Hematuria, serta AKI (Acute Kidney
Injury) yang ditandai dengan peningkatan dari kadar Ureum ataupun Creatinine
Serum.2
SN merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan angka
kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-3
kasus pertahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Terbanyak pada
anak berumur antara 3-4 tahun dengan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2: 1. Laporan dari luar negri, menunjukkan dua per tiga kasus anak
dengan SN dijumpai pada umur < 5 tahun. Pada sindroma nefrotik idiopatik
paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun.1
Etiologi yang pasti belum diketahui, keberhasilan awal dalam mengendalikan
nefrosis dengan obat-obat “Imunosupresif” memberi kesan bahwa penyakitnya
diperantarai oleh mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya mekanisme jejas
imunologis yang klasik belum ada. Umumnya, berdasarkan etiologinya, para ahli
membagi SN menjadi tiga kelompok, yaitu: Sindrom nefrotik bawaan/kongenital,

9
Sindrom nefrotik primer/idiopatik, dan Sindrom nefrotik sekunder, yang
mengikuti penyakit sistemik, antara lain SLE. Kebanyakan (90%) anak menderita
bentuk sindrom nefrotik idiopatik. 1
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk., membagi
dalam 4 golongan yaitu:1
1. Sindroma Nefrotik Kelainan minimal (SNKM) / minimal change diseases
(MCD). Ditemukan pada sekitar 80% kasus SN idiopatik. Lebih dari 90%
anak dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid. Prognosis jangka
Panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun, menunjukkan hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal.
2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-8% kasus SN
idiopatik, hanya 20% pasien dengan GSFS yang berespon dengan terapi
kortikosteroid, prognosis buruk. Pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal
terminal selama pengamatan 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.
3. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP). Ditemukan 4-6% dari
kasus SN, sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan
terapi kortikosteroid, prognosis tidak baik.
4. Lain-lain: proliferasi yang tidak khas.

B. Patofisiologi Terjadinya Sindrom Nefrotik


1. Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk ke dalam proteinuria
glomerular Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh
meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit gomerular, meliputi
retraksi dari foot process dan/atau reorganisasi dari slit diaphragm. Perbedaan

10
potensial listrik yang dihasilkan oleh arus transglomerular akan memodulasi
flux makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. 4
Glomerulus ginjal terdiri dari vascular bed yang kompleks yang berfungsi
sebagai ultrafiltrasi selektif terhadap protein plasma. Sistem filtrasi
glomerulus terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan sel endotel, membran basal
glomerulus dan lapisan sel epitel (podosit). Podosit merupakan lapisan barier
terluar dari sistem filtrasi glomerulus. Dalam kondisi patologis, podosit
mengalami berbagai perubahan bentuk struktural seperti FP effacement,
pseudocyst formation, hipertrofi, terlepas dari membran basal glomerulus
(detachment) dan apoptosis. Foot process effacement merupakan karakteristik
perubahan yang paling dominan dijumpai pada sindrom nefrotik dan penyakit
glomerular lainnya yang disertai proteinuria. Foof process effacement dapat
reversibel atau ireversibel apabila injuri sel podosit terjadi berkelanjutan.
Sindrom nefrotik terutama disebabkan oleh injuri sel podosit dengan
manifestasi proteinuria masif pada beberapa keadaan dapat progresi menuju
penyakit ginjal kronik.4
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik,
kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran
basal glomerulus.4
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non- selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan
non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Selektivitas proteinuria dipengaruhi oleh keutuhan struktur
membran basal glomerulus.4

11
Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi
minimal ditemukan proteinuria selektif Pemeriksaan mikroskop elektron
memperlihatkan fusi foot process sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya
sel dari struktur membran basal glomerulus. Berkurangnya kandungan
heparan sulfat proteoglikan pada glomerulonefritis lesi minimal menyebabkan
muatan negatif membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos
ke dalam urin.4
2. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan
tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma
maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Dalam
keadaan normal hati memiliki kapasitas sintesis untuk meningkatkan albumin
total sebesar 25 gram per hari. Namun masih belum jelas mengapa hati tidak
mampu meningkatkan sintesis albumin secara adekuat untuk menormalkan
kadar albumin plasma pada pasien dengan proteinuria 4-6 gram per hari. Diet
tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia
dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh
tubulus proksimal.4
3. Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular
ke jaringan interstitium mengikuti hukum Starling dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi

12
hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem
renin - angiotensin sehingga terjadi retensi natrium dan air di tubulus distal.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berlanjut.4
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama
renal. Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk
mengekskresikan natrium, hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi kanal
natrium epitel (ENaC) oleh enzim proteolitik yang memasuki lumen tubulus
pada keadaan proteinuria masif Akibatnya terjadi peningkatan volume darah,
penekanan renin-angiotensin dan vasopressin, dan kecenderungan untuk
terjadinya hipertensi dibandingkan hipotensi; ginjal juga relatif resisten
terhadap efek natriuretic peptide. Meningkatnya volume darah, akibat tekanan
onkotik yang rendah, memicu transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan
menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan
secara bersamaan pada pasien sindrom nefrotik. Faktor seperti asupan
natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis
lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan
menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. 4

13
Gambar 1 Mekanisme edema pada sindrom nefrotik
Sumber: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014. 2080-7 p.

4. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan
melebihi normal di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan
visceralis. Dalam keadaan normal, rongga pleura berisi sedikit cairan untuk
sekedar melicinkan permukaan pleura parietalis dan visceralis yang saling
bergerak karena pernapasan. Cairan masuk ke dalam rongga melalui pleura
parieatalis yang bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura
visceralis yang bertekanan rendah dan diserap juga oleh kelenjar limfe dalam
pleura parietalis dan pleura visceralis. adanya ketidakseimbangan antara
produksi dengan drainase cairan pleura dapat membuat cairan menumpuk di
rongga pleura. Pada kasus sindrom nefrotik, terjadi penurunan kadar albumin
sehingga menyebabkan menurunnya tekanan onkotik pada kapiler sistemik di

14
pleura parietal dan akhirnya menyebabkan cairan berpindah dari vaskuler ke
ronggal plura.5
Hiperkolesterolemia dapat terjadi karena terjadinya penurunan tekanan
onkotik pada pembuluh darah yang menyebabkan ketidakmampuan pembuluh
darah untuk mempertahankan cairan intravaskuler karena terjadinya
hipoalbuminemia akibat hilangnya protein albumin yang dieksresikan ke
dalam urin, hal itu memberikan sinyal terhadap hati untuk mensintesis
albumin sebagai bentuk kompensasi. Terjadinya sintesis albumin yang
berlebihan meningkatkan terjadinya sintesis lipoprotein yang mengakibatkan
hiperkolesterolemia yang ditandai dengan peningkatan kadar LDL dan
VLDL.5

C. Alur Penegakan Diagnosis Sindrom Nefrotik


1. Anamnesis
a. Sapa pasien dan keluarganya dengan ramah
b. Perkenalkan diri, jelaskan maksud anda
c. Berikan penjelasan yang memadai tentang prosedur yang akan dilakukan
(anamnesis, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan penunjang)
d. Tanyakan identitas pasien: nama, umur (tanggal lahir), jenis kelamin,
alamat, Pendidikan, pekerjaan/penghasilan orang tua
e. Keluhan utama (biasanya bengkak)
f. Riwayat penyakit sekarang:
1) onset dan kronologis keluhan utama
2) pertanyaan ke arah etiologi bengkak secara umum:
 Sering kencing malam hari
 Masih dapat tidur dengan satu bantal
 Sakit kuning
 Gatal setelah minum obat
 Asupan makanan

15
3) Keluhan lain yang menyertai:
 BAK menjadi jarang
 BAK kemerahan seperti air cucian daging
 Lemah, lesu, nafsu makan menurun
 Sesak nafas, perut membesar
 Sakit kepala, muntah, kejang
 Becak kemerahan pada wajah seperti kupu-kupu
 Bercak kemerahan simetris pada kedua tungkai atau bokong
 Tidak tampak lebih kecil dibandingkan usianya
g. Riwayat penyakit dahulu
h. Riwayat keluarga
i. Riwayat pengobatan
2. Pemeriksaan Fisik
a. Periksa keadaan umum penderita: derajat kesadaran, keadaan sakit, pucat,
sesak nafas, edema, postur tubuh, perhatikan wajahnya apakah moon face,
puffy face, edema palpebra
b. Periksa tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi, suhu
c. Pemeriksaan antropometri: Ukur berat badan, panjang/tinggi badan dan
lingkar perut.
d. Pemeriksaan dada:
1) Bentuk dan gerak, retraksi interkostalis
2) Jantung: takikardi
3) Paru: tanda efusi pleura
e. Pemeriksaan abdomen
1) Inspeksi: datar/cembung
2) Auskultasi: peningkatan bising usus
3) Perkusi: nilai perubahan nyeri ketok pada abdomen, dan perhatikan
suara yang terdengar. Normal terdengar timpani. Jika terdengar redup

16
kemungkinan berisi cairan dan tandai lokasi peralihan bunyi tersebut.
Jika terdengar redup, lanjutkan dengan
 pemeriksaan shifting dullnes, yaitu dengan cara pasien berbaring
secara kontra lateral, tunggu sekitar 30 detik baru lanjutkan perkusi
kembali dari batas peralihan tadi.

Gambar 2 Pemeriksaan shifting dullnes


Sumber: Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Kesehatan Primer. IDI. Jakarta Pusat: 2017; h. 189-97
 selanjutnya undulasi, yaitu dengan cara minta pasien/orang lain
meletakkan kedua tangan di tengah abdomen, vertical sejajar garis
tubuh. Pemeriksa meletakkan tangan di kedua sisi abdomen pasien.
Lakukan ketukan pada satu sisi dan tangan yang lain merasakan
apakah terdapat gelombnag cairan yang datang dari arah ketukan.

Gambar 3 Pemeriksaan undulasi


Sumber: Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Kesehatan Primer. IDI. Jakarta Pusat: 2017; h. 189-97.

17
 Palpasi: hepar, limpa dan ginjal.5
f. Pemeriksaan genitalia: edema skrotum/labia
g. Pemeriksaan ekstremitas: Edema pretibial/dorsum pedis, pitting edema 6

Gambar 4 Pemeriksaan ekstremitas


Sumber: Netter FH. The Netter Collection of Medical Illustrations: Urinary Sistem. Ed. 2.
Elsevier. Philadelphia: 2012; h.100-3.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan urinalis
Proteinuria pada sindrom nefrotik akan terlihat dengan pembacaan 3+
atau 4+ pada dipstick atau dengan pengujian semikuantitatif dengan asam
sulfosalicylic. Pembacaan 3+ mewakili 300 mg/dL protein urin atau lebih,
yang berkorelasi dengan kehilangan harian 3 g atau lebih dan dengan
demikian berada dalam kisaran nefrotik. Sampel urin lebih dari 24 jam
(untuk ukuran yang akurat) dan proteinuria (protein 3 g)
bersifat diagnostik.
b. Pemeriksaan darah
Tingkat albumin serum secara klasik rendah pada sindrom nefrotik.
Albumin serum seringkali kurang dari kisaran normal 3,5 hingga 4,5 g/
dL. Konsentrasi kreatinin bervariasi berdasarkan derajat ginjal gangguan.
Kadar kolesterol total dan trigliserida biasanya meningkat.

18
c. Biopsi ginjal
Diindikasikan pada sindrom nefrotik kongenital, onset anak- anak di
atas delapan tahun, resistensi steroid, relaps yang sering atau
ketergantungan steroid, manifestasi nefritik yang signifikan. Perlu dicatat
bahwa dalam praktek klinis, biopsi ginjal sering mengungkapkan penyakit
glomerulus sebagai penyebab proteinuria kisaran nefrotik dan bukan
penyakit tubular. Ini bertentangan dengan gagasan bahwa fungsi tubulus
menentukan proteinuria. Kontra indikasi pada individu yang memiliki satu
ginjal.
d. Ultrasonografi
Diindikasikan pada individu dengan satu ginjal. 7
e. Pemeriksaan lain yaitu seperti foto thorax
4. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosisnya yaitu proteinuria masif, hipoalbuminemia,
edema, dan dapat disertai dengan hiperkolesterolemia.
Proteinuria masif adalah kadar proteinuria: > 40 mg/m2 LPB/jam atau
50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+. Hipoalbuminemia adalah kadar albumin dalam darah < 2,5 g/dl.
Edema merupakan penimbunan cairan dalam jaringan, terlihat pada daerah
yang mempunyai resistensi rendah, sperti kelopak mata, tibia, atau skrotum.
Hiperkolesterolemia adalah kadar kolesterol dalam darah adalah >200 mg/dL.
Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi
ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai
adanya lesi glomerular (seperti: sclerosis glomerulus fokal).1
5. Analisis skenario berdasarkan hasil pemeriksaan yaitu:
a. Anamnesis
 Identitas: Anak laki-laki usia 2 tahun 6 bulan
 Keluhan Utama: bengkak

19
 Onset: sejak 2 minggu yang lalu
 Keluhan penyerta: ada mual, tidak muntah, ada BAB encer sejak 3 hari
yang lalu dengan frekuensi 3-5x/hari, BAB cair ada ampas, lendir (-),
darah (-). Buang air kecil berwarna kuning dan terdapat busa terutama
pada pagi hari
 Riwayat penyakit dahulu: bengkak pada kelopak mata 3 bulan yang
lalu, namun sembuh tanpa berobat. Tidak ada riwayat batuk pilek.
b. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum: sakit berat, kesadaran baik
 TTV: TD 95/50 mmHg, Nafas 28x/menit, Nadi 100x/menit, Suhu
36.5°C
 Antropometri: Terdapat peningkatan berat badan. Sebelumnya BB 18
kg saat ini 20 kg
 Pemeriksaan kepala: Ada edema palpebra
 Pemeriksaan abdomen: abdomen tampak cembuk
 Pemeriksaan shifting dullnes: shifting dullness positif
 Pemeriksaan genitalia: edema di skrotum
 Pemeriksaan ekstremitas: Edema kedua tungkai
c. Pemeriksaan laboratorium8
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hematologi Rutin
Hb 10 (menurun) g/dL 12.0-14.0
Leukosit 7000 mm³ 5.000-10.000
Trombosit 200.000 mm³ 150.000-400.000
Kimia
albumin 1.7 (menurun) g/dL 3.4-4.8

20
kolesterol 400 (meningkat) mg/dL 120-200
ureum 35 mg/dL 10-50
kreatinin 0.4 (menurun) mg/dL 0.5-1.5
Urinalis
warna kuning Kuning
sedimen leukosit 3/lpb
sedimen eritrosit 1/lpb
darah Negative Negative
protein 3+ Negative
Tabel 1 Analisis pemeriksaan laboratorium
Sumber: Aulia D. Gambaran Laboratorium pada Sindrom Nefrotik. JK Unila. 2019; 3(2): h.
290-5.
d. Pemeriksaan radiologi
Pada foto thorax didapatkan gambaran efusi pleura.

D. Diagnosis Banding Sindrom Nefrotik


1. Gagal Jantung Kongestif
Gagal Jantung Kongestif Pada pasien gagal jantung kongestif anak,
umumnya merupakan sequel gagal jantung kongenital. penderita gagal
jantung kongestif biasanya akan mengalami edem pada tungkai, distensi vena
vulgaris dan bisa juga menyebabkan asites, tetapi tidak menyebabkan edem
facial.7
2. Sirosis Hepatis
Pada penderita sirosis hepatis terjadi edema dan asites. hal ini
disebabkan karena penurunan fisiologis sintesis hati, yaitu penurunan sintesis
albumin sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik intrakapiler, serta
terjadinya hipertensi porta yang menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler kapiler di sekitar abdomen, yang mengekibatkan kebocoran
plasma ke rongga peritoneum. pada penderita sirosis hepatis tidak mengalami

21
edema facial. dengan anamnesis yang cermat tentang riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik, edema dan asites pada sirosis hepatis dapat dibedakan dari
penyebab lainnya.7
3. Glomeronefritis Akut (GNA)
Terdapat edema pada tungkai dan tidak disertai asites karena
albuminuria pada GNA tidak semasif pada SN. selain itu, GNA lebih
cenderung mengalami hipertensi dibandingkan SN. pada SN biasanya
hipotensi. hematuria makroskopik juga lebih sering ditemukan pada GNA
dibanding SN. pada pemeriksaan lab tidak ditemukan peningkatan kolestrol
yang penting untuk membedakan GNA dan SN.7
4. Agioedema
Angiodema merupakan jenis bengkak, bilur bilur besar dan melibatkan
lapisan kulit yang lebih dalam, terutama di dekat bibir dan mata. peradangan
kulit dapat mengakibatkan gatal gatal dan angiodema. gatal gatal dan
angiodema dipicu ketika sel mast melepaskan histamin ke dalam aliran darah
dan kulit. pada reaksi ini, tidak terjadi edema pada tungkai, dengan anamnesis
tentang riwayat konsumsi obat dan riwayat alergi dapat membedakan edema
dari penyebab lainnya.7

E. Tatalaksana Sindrom Nefrotik


1. Tatalaksana Umum
Sebelum pengobatan steroid dimulai terhadap SN, maka perlu
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
b. Pengukuran tekanan darah.
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda/gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

22
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).9-11
2. Pengaturan Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat
antihipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme),
ARB (angiotensin receptor blocker).9-11
3. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat
kalium) 2-4 mg/kgbb/ hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan
kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 24 jam. Bila
asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan
pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema
tampak pada gambar dibawah ini:9-12

23
Gambar 5 Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema
Sumber: Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. hal 5
4. Tatalaksana Khusus
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison
atau prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah.
a) Terapi Steroid Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/ m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/
hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi

24
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
b) Pengobatan SN Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.1,9-11
5. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin,
infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan).1,9-11
6. Pemberian Obat Non-Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin

25
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di
urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas
glomerulus.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
a. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal
b. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal1,9-11
7. Indikasi melakukan Rujukan
Ada sebagian kasus SN yang bisa diobati dengan steroid dan
memperlihatkan kesembuhan. Namun, ada juga yang tidak memperlihatkan
remisi. Jika didapatkan tanda-tanda tidak ada perbaikan, maka perlu dirujuk
ke ahli (konsultan nefrologi anak). Keadaan-keadaan ini yang merupakan
indikasi untuk merujuk pasien SN kepada ahli nefrologi anak adalah sebagai
berikut:
a. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit
sindrom nefrotik di dalam keluarga
b. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau
lesi di kulit
c. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi
berat, toksik steroid
d. Sindrom nefrotik resisten steroid
e. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
f. Diperlukan biopsi ginjal.1,9-11

26
F. Komplikasi dan Pronogsis Sindrom Nefrotik

1. Komplikasi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik didorong oleh besarnya proteinuria,
hypoalbuminemia atau keduanya, dan frekuensi serta keparahannya
meningkat ketika proteinuria lebih tinggi dari 8 g/hari serum atau ketika
albumin menurun di bawah 2 g/dL.
a. Komplikasi tromboemboli
Kejadian tromboemboli (TEs) adalah salah satu komplikasi paling
serius dari NS, karena terkait dengan 6-12% kematian dalam 30 hari
setelah kejadian. Faktor prediktif utama dari VTE adalah albumin serum
yang lebih rendah (<2-2,5 g/dL) dan proteinuria yang lebih tinggi (>8-10
g/hari). Faktor lain, termasuk usia [frekuensi lebih tinggi pada orang
dewasa daripada anak- anak (20-30% vs. 3-20% )], jenis kelamin
(frekuensi lebih tinggi pada pria wanita) dan penyebab NS [frekuensi lebih
tinggi pada nefropati membranosa (insiden 38%)], juga dikaitkan dengan
risiko VTE di NS (44- 46).13

27
Gambar 6 Patogenesis Tromboemboli pada Pasien NS
Sumber: Busuioc RM, Mircescu G. Nephrotic Syndrome Complications - New and Old.
Part 1. Maedica (Buchar) [Internet]. 2022;17(1):153–68. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/35733752%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.g
ov/articlerender.fcgi?artid=PMC9168581

b. Cedera ginjal akut


Cedera ginjal akut telah terutama diamati pada pasien dewasa dengan
NS idiopatik, dengan kejadian bervariasi antara 24-47% (3-5). Faktor
risiko AKI termasuk usia di atas 60 tahun, pasien laki-laki, hipertensi,
edema nefrotik berat, yaitu proteinuria berat (lebih dari 10 g/hari),
albumin serum rendah (1-2 g/dL) dan edema masif (1, 3, 6). Serangkaian
besar studi histopatologi dari tahun 1993 hingga 2017 melaporkan
minimal change disease (MCD) menjadi substrat utama NS pada pasien

28
dengan AKI, terutama pada pasien usia lanjut. Waktu rata-rata antara
timbulnya NS dan AKI adalah empat minggu, tetapi kadang-kadang dapat
terjadi secara bersamaan dengan remisi yang sangat cepat. Patogenesis
AKI pada NS masih belum pasti. Mengingat presentasi klinis yang
berbeda, berbagai mekanisme dapat diidentifikasi. Lapisan hipovolemia
memainkan peran utama, terutama pada pasien "kurang terisi", yang
menggambarkan gejala seperti mual, muntah, diare, takikardia, tekanan
darah rendah. Obat nefrotoksik adalah penyebab lain dari AKI di NS.
Cedera ginjal akut dapat dipicu oleh perubahan hemodinamik glomerulus
yang diinduksi obat (ACEI/ARB, penghambat kalsineurin, obat
antiinflamasi nonsteroid), nefritis interstisial (NSAID, penghambat pompa
proton, diuretik, antibiotik), atau nefro yang diinduksi kontras. pathy
(terutama media kontras osmolalitas tinggi beryodium).14
c. Hiperlipidemia
Sindrom nefrotik dikaitkan dengan perubahan signifikan dalam
metabolisme lipid dan lipoprotein. Mekanisme yang mendasarinya
kompleks dantampaknya lebih terkait dengan hipoalbuminemia
daripada proteinuria.14
d. Komplikasi Kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular dari NS termasuk peningkatan risiko
aterosklerosis dan tromboemboli, karena metabolisme lipid yang tidak
teratur dan dislipidemia. Penyebab tromboemboli adalah salah satu
komplikasi paling serius pada pasien dengan NS. Komplikasi
aterosklerosis adalah penyebab utama kematian. dan meningkatkan
kebutuhan dialisis dan risiko transplantasi ginjal. Satu studi yang
menggunakan sampel darah pasien anak dengan NS menemukan kelainan
profil lipid. Kolesterol total, kolesterol low-density lipoprotein (LDL),
trigliserida, dan ET1 secara signifikan lebih tinggi pada kelompok NS
daripada kelompok kontrol, sedangkan kolesterol high-density lipoprotein

29
(HDL), albumin, PON1, dan lesitin: kolesterol asiltransferase tingkat
aktivitas secara signifikan lebih rendah. Perubahan diameter arteri
brakialis secara signifikan lebih rendah pada kelompok NS dibandingkan
kelompok kontrol. Penurunan aktivitas PON1 dan lecithin: cholesterol
acyltransferase yang signifikan mengakibatkan peningkatan oksidasi
LDL, menyebabkan percepatan aterosklerosis. Hasil penelitian ini dapat
mewakili patogenesis dalam perkembangan disfungsi endotel terkait
dengan aktivitas penyakit (luas dan durasi proteinuria) dan penanda
struktural aterosklerosis subklinis. Mereka juga dapat menggambarkan
korelasi faktor risiko kardiovaskular dengan disfungsi endotel dan
aterosklerosis subklinis pada NS masa kanak-kanak. Kelangsungan hidup
jangka panjang pasien dengan NS semakin bergantung pada pengendalian
faktor risiko aterosklerosis. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi
kadar lipid dan lipoprotein sejak dini agar pengobatan yang tepat dapat
dimulai dengan cepat.15
e. Infeksi
Pasien dengan NS memiliki peningkatan risiko infeksi. Sebelum
pengenalan. kortikosteroid dan antibiotik, infeksi adalah penyebab
kematian yang paling umum, terutama pada anak nefrotik. Pada anak-
anak, Streptococcus pneumoniae diketahui sebagai patogen utama, diikuti
oleh Hemolytic streptococci, Haemophylus spp dan bakteri gram-negatif.
Pada orang dewasa dengan NS, infeksi terutama disebabkan oleh bakteri
nosocomial.
Hipogammaglobulinemia (tingkat serum IgG di bawah 600 mg/dL)
dan tingkat kreatinin serum di atas 2 mg/dL merupakan faktor risiko
independen untuk infeksi pada orang dewasa dengan NS. Mekanisme
pertahanan juga diubah oleh gizi buruk, faktor mekanis seperti edema dan
asites, dan terapi imunosupresif, yang dapat menutupi gambaran klinis
tipikal infeksi dan menunda intervensi yang tepat.14

30
f. Anemia
Anemia adalah komplikasi dari NS resisten, kebanyakan pada anak-
anak, dan pada penelitian hewan dan manusia itu terkait dengan hilangnya
erythropoietin, transferin, dan besi melalui urin.14

2. Prognosis Sindrom Nefrotik


Prognosis pada sindrom nefrotik sangat bergantung dari penyebab
dasarnya, pemeriksaan histologi dan faktor risiko dari pasien. Meskpiun
sebagian besar pasien membaik dengan terapi suportif dan tidak memerlukan
terapi spesifik, akan tetapi ada beberapa yang memburuk secara agresif
sehingga memerlukan terapi spesifik. Perawatan dan tindak lanjut jangka
panjang diperlukan pada pediatric, Pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik
(INS), karena kekambuhan, komplikasi yang signifikan dan efek samping dari
terapi steroid. Sementara sebagian besar pasien (90%) dengan INS
menanggapi terapi steroid, hingga 60% menunjukkan perkembangan menjadi
sindrom nefrotik relaps (FRNS) atau sindrom nefrotik dependen steroid
(SDNS). Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi steroid yang
berkepanjangan, yang mungkin memiliki efek samping yang serius, termasuk
gangguan pertumbuhan dan penurunan kualitas hidup.15
Prognosis pasien sindrom nefrotik sangat baik untuk pasien dengan
perubahan patologi minimal, dengan sebagian besar pasien mengalami remisi
setelah pengobatan kortikosteroid. Namun, 85 hingga 90% pasien responsif
terhadap steroid dan dapat kambuh, menempatkan mereka pada risiko
toksisitas steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi lainnya. Pada pasien
dengan glomerulosklerosis fokal-segmental (FSGS), prognosisnya sangat
buruk. Umumnya akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir
yang membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal. Hanya sekitar 20% pasien
dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi proteinuria; 10% lainnya

31
membaik tetapi tetap proteinurik. Antara 25 dan 30% pasien dengan FSGS
mengembangkan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) dalam lima
tahun. Ada beberapa penelitian yang menyarankan hasil ginjal 5 tahun yang
lebih baik pada orang dewasa Cina dengan FSGS primer dibandingkan
dengan barat. Dari pasien dengan nefropati membranosa, sekitar 30%
mengalami remisi spontan. Namun, untuk pasien dengan sindrom nefrotik
persisten, 40% sampai 50% mengembangkan ESRD selama sepuluh tahun. 7

G. Edukasi kepada Orang Tua Pasien terhadap Sindrom Nefrotik


Kebutuhan nutrisi pada setiap anak penderita sindrom nefrotik berbeda-beda
sesuai dengan kondisi etiologis penyakit, golongan penyakit, serta pola
pertumbuhan pasien. Sehingga diperlukan pendekatan khusus kepada pasien
untuk memenuhi nutrisi yang dibutuhkan selama perawatan. Sebagai contoh
apabila terdapat pasien sindrom nefrotik yang juga mengalami edema harus
diadakan pembatasan konsumsi cairan untuk sementara waktu. Lalu, apabila
pasien SN yang mengalami hyponatremia, maka akan terdapat pembatasan
natrium selama perawatan berlangsung. 16
Usia Natrium
0-6 bulan 120 mg/hari atau 1-2 mEq/kg
7-12 bulan 370 mg/hari
1-3 tahun 370 mg/hari
9-18 tahun 1000 mg/hari
Tabel 2 Rekomendasi pembatasan natrium1
Sumber: Stephien RE. Siklus Menu 10 Hari Anak Penderita Sindrom Nefrotik di Rumah Sakit
Els. 2021;

Prinsip Gizi Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak, yaitu:


1. Energi
Energi yang diperlukan harus cukup untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen positif (kondisi dimana asupan nitrogen melebihi

32
pengeluaran nitrogen), yaitu: 100-150 kkal/kg BB/hari atau dapat disesuaikan
dengan AKG 2019.16
2. Protein
Protein yang dibutuhkan yaitu protein sedang yaitu sekitar 0,8-1,0 gr/kg
BB dan 0,8 gr/kg BB dosis ini merupakan yang paling efektif pada pasien
sindrom nefrotik. Penelitian banyak menyebutkan bahwa protein yang berasal
dari kedelai lebih bermanfaat dalam menurunkan proteinuria, menurunkan
kadar lipid, serta mengurangi progresifitas dari penyakit. Diet rendah protein
(kurang dari 0,8 g/kg BB/hari) sangat tidak direkomendasikan. Konsumsi
suplemen protein juga tidak bermanfaat bagi pasien penderita.16
3. Lemak
Lemak yang dibutuhkan adalah rendah lemak dimana asupan kalori
kurang dari 30% dan kolestrol ≤ 200 mg/hari. Diet rendah lemak dapat
membantu pemulihan dari hiperlipidemia, dimana menurut American Heart
Association penyakit ini menunjukkan kondisi dari berlebihnya substansi
lemak yaitu lipid, sebagian besar adalah trigliserida dan kolestrol dalam darah.
Tingkat keparahan dari gangguan ini tergantung juga pada tingkat keparahan
dari proteinuria. Pada pasien sindrom nefrotik, konsumsi dari lemak harus
dibatasi dan yang ditingkatkan yaitu proporsi dari lemak tidak jenuh.
Makanan yang memiliki kolestrol tinggi antara lain kuning telur, daging
merah, makanan cepat saji, serta gorengan. 16
4. Mineral dan Vitamin
Pasien sindrom nefrotik mengalami penurunan kandungan zat besi, seng,
tembaga, serta kalsium akibat darai peningkatan ekskresi protein di urin, serta
gangguan metabolisme. Kekurangan seng pada tubuh diakibatkan oleh
ekskresi yang berlebihan, hypoalbuminemia, serta gangguan penyerapan di
usus. Pemberian tembaga dengan dosis 10 mg/hari dapat mengurangi tingkat
rekurensi dari sindrom nefrotik.
Kekurangan vitamin D pada tubuh orang dengan sindrom nefrotik dapat

33
menyebabkan hipokalasemia, penurunan kepadatan dari tulang, serta
hiperparatiroidisme. Lalu, kepadatan tulang akibat kurangnya vitamin D
menyebabkan pemburukan dari penggunaan kortikosteroid pada pasien
sindrom nefrotik. Sehingga dianjurkan pasien dengan menjalani terapi
kortikosteroid menerima 1000 IU vitamin D serta 500 mg/hari kalsium selama
dua belas minggu.16
5. Cairan dan Garam
Edema menjadi gejala paling umum yang terjadi pada pasien sindrom
neftorik, termasuk pada anak-anak. Edema ini disebabkan terjadinya retensi
air dan garam pada jaringan tubuh. Sehingga, total asupan untuk garam harus
dibatasi dengan rentan ≤ 2 g/hari. Konsumsi dari air juga harus dibatasi
dengan kisaran 1-1,5 liter/hari.16

Jenis Tidak Dianjurkan Dianjurkan


Makanan
Susu dan keju Keju yang sudah diproses, Susu skim, susu rendah
misalnya saus keju lemak, keju keras,
puding
Daging Daging olahan seperti sosis, Daging segar atau beku
daging sapi asap, kornet, dan yang belum diproses
nugget ayam
Ikan Ikan asin dan ikan dalam Ikan segar
kemasan seperti sarden
Tepung, roti, Roti asin, nasi siap saji dalam Roti tawar putih, roti
dan sereal kemasan, keripik kentang tawar gandum, pancake,
dalam kemasan, mi instan, dan waffle, nasi putih, nasi
mi pabrikan merah, sereal gandum
polos, kentang rebus,

34
kentang goreng tanpa
garam
Buah - Buah segar, buah dalam
kaleng, atau buah beku
Sayuran Sayuran yang diasinkan dan Sayur segar, sayur beku,
jus sayur dalam kemasan dan sayuran dalam
kaleng yang rendah
sodium
Makanan Makanan ringan kemasan, Coklat dan sup yang
ringan potato chips, popcorn, dan sup dimasak sendiri tanpa
dalam kaleng garam

Bumbu Garam, monosodium Cabe bubuk, bubuk kari,


glutamate, olives (zaitun), saus cengkeh, pala, lada hitam
barbekyu, saus dan sambal dan putih, cuka, bawang
kemasan, mustard, salad putih, bawang bombay,
dressing paprika, daun salam,
daun kemangi
Lemak Lemak dari daging seperti Mentega, margarin,
bacon minyak sayur,
mayonnaise
Minuman Minuman ringan berkarbonasi, Air putih
jus buah dalam kemasan, dan
minuman penambah energi

Tabel 3 Jenis bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan untuk pasien sindrom
nefrotik
Sumber: Stephien RE. Siklus Menu 10 Hari Anak Penderita Sindrom Nefrotik di Rumah
Sakit Els. 2021.

35
Tidak ada batasan aktivitas fisik untuk pasien dengan sindrom nefrotik, dan
tetap aktif lebih baik daripada tirah baring karena dapat mengurangi risiko
pembekuan darah. Efek samping steroid, seperti pertumbuhan yang lambat, dapat
dideteksi dengan memantau pasien setiap tiga bulan di klinik rawat jalan. Pasien
harus mendapatkan pemeriksaan tahunan untuk mencari katarak.12
Di masyarakat, pasien dengan sindrom nefrotik harus dipantau dalam hal
vaksinasi mereka. Pasien Sindrom Nefrotik yang sedang mendapat pengobatan
kortikosteroid >2 mg/kgBB/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien Sindrom Nefrotik dalam keadaan
ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (Inactivated Polio Vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk
mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela. 12

36
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan skenario dan learning objective, Sindom nefrotik merupakan
sindrom klinis yang didefinisikan oleh proteinuria masif (lebih dari 40
mg/m2/jam) yang menyebabkan hipoalbuminemia (kurang dari 30 g/L), dengan
akibat hiperlipidemia, edema, dan berbagai komplikasi lainnya. Sindrom nefrotik
terjadi karena peningkatan permeabilitas melalui membran basal yang rusak di
glomerulus ginjal.
Untuk diagnosis, pasien biasanya datang dengan keluhan utama edema dan
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan efusi pleura dan shifthing dullness (+).
Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium yang terdiri dari
pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar albumin dan kolesterol serum. Selain itu,
pemeriksaan penunjang yang wajib dilakukan adalah biopsi ginjal untuk
mengkonfirmasi subtipe penyakitnya atau untuk konfirmasi diagnosis.
Selanjutnya, diagnosis banding dari sindrom nefrotik diantaranya gagal jantung
kongestif, sirosis hati, glomerulonefritis akut, dan angioedema.
Tatalaksana pasien dengan sindrom nefrotik adalah diitetik protein normal,
diuretik jika ada edema berat. Pada tatalaksana khusus dapat diberikan
kortikosteroid seperti prednison dan prednisolone, namun perlu diperhatikan
kontraindikasinya.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu hiperlipidemia, komplikasi
kardiovaskular, tromboemboli, cedera ginjal akut, infeksi dan anemia. Oleh
karena itu, pasien sindrom nefrotik sebaiknya mendapat perawatan di rumah sakit
untuk mempermudah penatalaksanaan dan evaluasi. Orang tua diedukasi untuk
memantau nutrisi anak seperti melakukan diet rendah garam dan protein. Selain
itu, pasien sindrom nefrotik immunocompromised dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti Inactivated Poliovirus
Vaccine.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Amalia TQ. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik pada
Anak. J Kedokt Nanggroe Med. 2018;1(2):81–8.

2. Suwontopo ML, Umboh AWilar R. Analisis Hubungan Angka Kejadian,


Gambaran Klinik Dan Laboratorium Anak Dengan Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. JKK (Jurnal Kedokteran
Klin. 2020;4(1):6–14.
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014. 2080-7 p.

4. Hayuningrum DF. The Diagnose of Pleura Effusion. Jurnal Penelitian Perawat


Profesional. 2020;2(4):529-36.
5. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Kesehatan Primer. IDI. Jakarta Pusat: 2017; h. 189-97.
6. Netter FH. The Netter Collection of Medical Illustrations: Urinary Sistem. Ed.
2. Elsevier. Philadelphia: 2012; h.100-3
7. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. [Updated 2023 May 29]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470444/
8. Aulia D. Gambaran Laboratorium pada Sindrom Nefrotik. JK Unila. 2019;
3(2): h. 290-5.
9. Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20
buku
10. Chattopadhyay A. Standard Treatment Guidelines 2022 - Nephrotic Syndrome.
Indian Academy of Pediatrics IAP. 2022

vii
11. Sinaga HP, Rusdidjas, Ramayati R, Ramayani OR, Siregar R, Siregar B.
Peningkatan Tekanan Intraokular Pada Anak dengan Sindroma Nefrotik. J Med
Sch. 2019;52(2):44–9.
12. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede Sudung O. Konsensus
Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. 2nd ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. 2–20 p.
13. Busuioc RM, Mircescu G. Nephrotic Syndrome Complications - New and Old.
Part 1. Maedica (Buchar) [Internet]. 2022;17(1):153–68. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/35733752%0Ahttp://www.pubmedcentr
al.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC9168581
14. Busuioc RM, Mircescu G. Nephrotic Syndrome Complications - New and Old.
Part 2. Maedica (Buchar) [Internet]. 2022;17(1):153–68. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/35733752%0Ahttp://www.pubmedcentr
al.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC9168581
15. Hilmanto D, Mawardi F, Lestari AS, Widiasta A. Disease-Associated Systemic
Complications in Childhood Nephrotic Syndrome: A Systematic Review. Int J
Nephrol Renovasc Dis. 2022;15:53–62.
16. Stephien RE. Siklus Menu 10 Hari Anak Penderita Sindrom Nefrotik di Rumah
Sakit Els. 2021;.

viii

Anda mungkin juga menyukai