Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS FEBRUARI 2019


MUHAMMADIYAH MAKASSAR

BLEPHAROCHALASIS

OLEH :

Andi Alifya Nurhidayati, S.Ked

10542050413

PEMBIMBING:

dr. Rahasia Taufik, Sp. M (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Andi Alifya Nurhidayati

NIM : 10542050413

Judul Referat : Blepharochalasis

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2019

Pembimbing,

dr. Rahasia Taufik, Sp. M (K)

KATA PENGANTAR

2
AssalamualaikumWr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat

diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda

Besar Nabi Muhammad SAW.

Referat berjudul “Blepharochalasis” ini dapat terselesaikan dengan baik

dan tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan

Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata. Secara khusus penulis

sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. Rahasia

Taufik, Sp. M (K). Selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu

dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi

selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna. Akhir

kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua

orang.

Makassar, Februari 2019

Penulis

BAB I

3
PENDAHULUAN

Blefarokalasis merupakan gangguan yang jarang terjadi dan ditandai

dengan edema palpebra berulang, tak nyeri, dan nonerythemathous. 1

Blefarokalasis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari blepharon dan

chalasis. Blepharon berarti palpebra dan chalasis berarti relaksasi, sehingga

blepharokalasis dapat diartikan sebagai relaksasi kulit palpebra karena atropi

jaringan interseluler.2

Pertama kali dijelaskan oleh Beers pada tahun 1807, namun istilah

blefarokalasis pertama kali diperkenalkan oleh Fuchs pada tahun 1896.

Blefarokalasis dibedakan menjadi bentuk hipertropi dan atropi.3 Sejak saat itu

mulai dilaporkan penemuan klinis dan patologis blefarokalasis. Setelah

mengalami edema, kulit palpebra menjadi berkerut, berlebihan, tak berwarna,

tipis, dan terdapat lekukan vena. Palpebra seperti ini digambarkan oleh Fuchs

sebaga cigarette-paper appereance.4

Penatalaksanaan blepharokalasis adalah pembedahan blepharoplasty.

Penentuan waktu dilakukan operasi ditunggu saat fase inaktif hingga 6 bulan.

Semakin bertambahnya usia, kekambuhan semakin berkurang sehingga

penundaan operasi cukup beralasan.4,5

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PALPEBRA

1. Struktur

Struktur mata yang berfungsi sebagai proteksi lini pertama adalah

palpebra. Fungsinya adalah mencegah benda asing masuk, dan juga

membantu proses lubrikasi permukaan kornea. Pembukaan dan penutupan

palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan muskulus

levator palpebra. Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan

bawah mampu mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada

saat menutup mata. Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari

muskulus orbikularis okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra

di palpebra superior. Otot polos pada palpebra superior atau muskulus

palpebra superior (Müller muscle) juga berfungsi dalam memperlebar

pembukaan dari kelopak tersebut. Sedangkan, palpebra inferior tidak

memiliki muskulus levator sehingga muskulus yang ada hanya berfungsi

secara aktif ketika memandang kebawah (Encyclopædia Britannica, 2007)

Selanjutnya adalah lapisan superfisial dari palpebra yang terdiri

dari kulit, kelenjar Moll dan Zeis, muskulus orbikularis okuli dan levator

palpebra. Lapisan dalam terdiri dari lapisan tarsal, muskulus tarsalis,

konjungtiva palpebralis dan kelenjar meibom (Wagner, 2006).

5
Gambar 1. Anatomi Palpebra potongan sagittal

2. Inervasi

Serabut otot muskulus orbikularis okuli pada kedua palpebra

dipersarafi cabang zigomatikum dari nervus fasialis sedangkan muskulus

levator palpebra dan beberapa muskulus ekstraokuli dipersarafi oleh

nervus okulomotoris. Otot polos pada palpebra dan okuler diaktivasi oleh

saraf simpatis. Oleh sebab itu, sekresi adrenalin akibat rangsangan

simpatis dapat menyebabkan kontraksi otot polos tersebut (Encyclopædia

Britannica, 2007).

3. Fisiologi Mengedip

6
a. Refleks Mengedip

Banyak sekali ilmuan mengemukakan teori mengenai

mekanisme refleks kedip seperti adanya pacemaker atau pusat kedip

yang diregulasi globus palidus atau adanya hubungan dengan sirkuit

dopamin di hipotalamus. Pada penelitian Taylor (1999) telah

dibuktikan adanya hubungan langsung antara jumlah dopamin

Universitas Sumatera Utara di korteks dengan mengedip spontan

dimana pemberian agonis dopamin D1 menunjukkan peningkatan

aktivitas mengedip sedangkan penghambatannya menyebabkan

penurunan refleks kedip mata.

Refleks kedip mata dapat disebabkan oleh hampir semua

stimulus perifer, namun dua refleks fungsional yang signifikan adalah

(Encyclopædia Britannica, 2007):

(1) Stimulasi terhadap nervus trigeminus di kornea, palpebra dan

konjungtiva yang disebut refleks kedip sensoris atau refleks kornea.

Refleks ini berlangsung cepat yaitu 0,1 detik.

(2) Stimulus yang berupa cahaya yang menyilaukan yang disebut

refleks kedip optikus. Refleks ini lebih lambat dibandingkan refleks

kornea.

b. Ritme Mengedip

7
Pada keadaan terbangun, mata mengedip secara reguler dengan

interval dua sampai sepuluh detik dengan lama kedip selama 0,3-0,4

detik. Hal ini merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan

kontinuitas film prekorneal dengan cara menyebabkan sekresi air mata

ke kornea. Selain itu, mengedip dapat membersihkan debris dari

permukaan okuler. Sebagai tambahan, mengedip dapat

mendistribusikan musin yang dihasilkan sel goblet dan meningkatkan

ketebalan lapisan lipid (McMonnies, 2007).

Iwanami (2007) mengemukakan bahwa muskulus Riolan dan

muskulus intertarsal dipercaya berhubungan dengan sekresi kelenjar

meibom. Menurut Hollan (1972), frekuensi mengedip berhubungan

dengan status mental dan juga diregulasi oleh proses kognitif. Kara

Wallace (2006) pada Biennial International Conference on Infant

Studies XVth di Jepang (Abelson, 2007) menyatakan bahwa

berbicara, menghapal, dan perhitungan mental (mental arithmatic)

dihubungkan dengan peningkatan frekuensi mengedip. Sedangkan

melamun, mengarahkan perhatian dan mencari sumber stimulus

diasosiasikan dengan penurunan frekuensi mengedip mata.

Namun, kedipan mata dapat bervariasi pada setiap aktivitas

seperti membaca, menggunakan komputer, menonton televisi,

mengendarai alat transportasi, dan memandang. Frekuensi mengedip

juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti keletihan,

pengaruh medikasi, stres dan keadaan afektif (Doughty, 2001).

8
B. DEFINISI

Blefarokalasis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari blepharon

dan chalasis. Blepharon berarti palpebra dan chalasis berarti relaksasi,

sehingga blepharokalasis dapat diartikan sebagai relaksasi kulit palpebra

karena atropi jaringan interseluler. Blefarokalasis juga disebut dengan ptosis

atonia, ptosis adipose, atau dermatolisis palpebra.2,3

Blefarokalasis adalah kondisi yang jarang ada, belum diketahui

penyebabnya (terkadang familial), dan mirip dengan edema angioneurotik.

Serangan berunutn terjadi menjelang masa pubertas, berkurang pada masa

dewasa, dan berakibat atropi struktur-struktur periorbital.4

Blepharochalasis adalah kelainan langka yang ditandai dengan episode

dari edema kelopak mata non-tender, non-pitting berlanjut ke atrofi kulit

periorbital. Gejala lainnya termasuk ptosis, kemerahan konjungtiva,

blepharophimosis,eritema, dan proptosis.5

C. EPIDEMIOLOGI

Kedua jenis kelamin sama-sama terpengaruh dan timbulnya penyakit

biasanya selama masa kanak-kanak dan masa remaja, dengan rata-rata usia

presentasi 11 tahun.5

Karena ini adalah sindrom langka, data epidemiologis minimal

tersedia. Blepharochalasis telah dilaporkan pada lebih banyak wanita,

meskipun diperkirakan bahwa hal itu mempengaruhi kedua jenis

kelamin pada tingkat yang sama. Pasien melaporkan serangan lebih

9
sering selama masa remaja atau dewasa diikuti oleh serangan yang

sering terjadi saat dewasa.3

D. ETIOLOGI

Etiologi penyakit ini masih belum diketahui. Etiologi hormonal dan

alergi belum didukung;kemungkinan pemicu (stres, demam, saluran

pernapasan atas)infeksi, dll.) telah terjadi pada beberapa pasien. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa antibodi IgA dapat berperan dalam

menyerang serat elastis. Poin penelitian terbaru untuk mekanisme imunologis

yang lebih spesifik yang mungkin melibatkan matrix metalloproteinases

(MMP), yang terdegradasi elastin dan kolagen. Karaconji dkk

menggambarkan dua kasus blepharochalasis yang diobati secara efektif

dengan pemberian doksisiklin, yang menghambat MMP.6

Sebagian besar kasus bersifat sporadis, tetapi dicuragai adanya

autosomal dominant yang dicatat dalam genetik suatu keluarga. Kondisi ini

berkembang secara diam-diam sekitar pubertas, ditandai dengan transien

berulang serangan pembengkakan kelopak mata yang berlangsung selama

beberapa hari, diikuti oleh kelemahan, atrofi, kerutan dan pigmen perubahan

sebagian besar melibatkan kelopak mata atas,meskipun keterlibatan kelopak

mata bagian bawah dan dilaporkan pula blefarokalasis unilateral. Kondisi

sistemik yang berhubungan dengan blepharochalasis adalah ginjal agenesis,

kelainan vertebral dan penyakit jantung bawaan. Perubahan kelopak mata

menyebabkan banyak cacat kosmetik dan orang yang terkena terlihat berusia

10
prematur. Sekitar 10% dari kasus mungkin reduplikasi selaput lendir atas

kelopak mata, menyebabkan penebalan kelopak mata tampak jelas.7

Adapun Trigger yang terlaporkan meliputi menstruasi, kelelahan,

infeksi traktus respiratory atas, sengatan lebah, demam, stres, trauma minor

pada kelopak mata, leukimia. Namun, untuk etiologi pasti terjadinya

blefarokalasis belum pasti.8

E. PATOFISIOLOGI

Blefarokalasis merupakan bentuk angioedema kronik dengan dilatasi

vascular local dan ekstravasasi cairan yang mengandung protein. Pemicu

berupa reaksi imun dan faktor lingkungan. Deposit immunoglobulin A pada

lesi di kulit mengarahkan adanya penyebab imunopatogenesis. Pada satu

kasus didapatkan peningkatan kadar immunoglobulin E yang menunjukkan

keterlibatan atopi pada blefarokalasis.5

Infiltrat perivaskular sebanding dengan degradasi elastin dan kolagen

di dermis, hal ini menunjukkan adanya pengaruh inflamasi. Ekspresi mRNA

elastin pada blefarokalasis normal setelah dibandingkan dengan control, hal

ini menunjukkan adanya gangguan dari lingkungan seperti enzimatik

postinflamasi.5

Beberapa teori tentang patogenesis dan patofisiologi blepharochalasis

telah dieksplorasi, meskipun belum ada yang dikonfirmasi. Edema kelopak

mata episodik yang menurun secara spontan mungkin menunjukkan

angioedema idiopatik, di mana ekstravasasi cairan dari kapiler menyebabkan

edema lokal. Hasilnya meregang, jaringan atrofi. Namun, infiltrat

11
perivaskular yang telah dilaporkan pada pemeriksaan histologis jaringan

kelopak mata pada pasien dengan blepharochalasis dapat mendukung proses

inflamasi alternatif atau bersamaan. Mengapa peradangan atau angioedema

idiopatik ini terbatas pada kelopak mata juga masih belum diketahui.3

F. MANIFESTASI KLINIK

Pasien mengeluhkan bengkak pada kelopak mata atas baik pada satu

maupun kedua mata tanpa nyeri, diikuti penipisan kulit. Kasus ini biasa

dialami pada usia 10 hingga 20 tahun. Kebanyakan kasus terjadi bilateral,

namun unilateral juga dapat terjadi. Biasanya didapatkan riwayat alergi.5

Pada tahap awal didapatkan edem nonerythematous palpebra superior

baik unilateral maupun bilateral. Jarang didapatkan edem nonerythematous

palpebra inferior. Penipisan kulit palpebra superior dapat ditemukan tahap

aktif penyakit ini. Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan adalah

proptosis, blepharoptosis, blepharofimosis, injeksi konjunctiva, dan malposisi

palpebra.5

Tiga tahap dijelaskan dalam evolusi blepharochalasis. Yang pertama

adalah yang kasus berulang angioedema, sedangkan tahap kedua, yaitu

ditandai dengan kulit yang berubah warna, lembek dan longgar, disebut tahap

atonia ptosis. Di tahap ketiga, ada adalah relaksasi lebih lanjut dari jaringan

septum orbital,dengan prolaps lemak orbital yang menyebabkan gangguan

penglihatan. Tahap ini disebut ptosis adipose.7

12
Gambar 2 Bilateral blepharochalasis

Gambar 3. Bilateral blepharosis (kiri). Diperbesar mata kiri (kanan)

Gejala sisa dari tahap aktif merupakan fase atropi dari blefarokalasis yang

terdiri dari5:

1. Penipisan kulit palpebra yang berat

2. Kerutan halus kulit palpebra (cigarette-paper skin)

3. Peregangan, kulit palpebra berlebihan, yang dapat menyebabkan

obstruksi visual

4. Telangektase subkutan

5. Perubahan pigmentasi kulit yang disebabkan deposit bronze

6. Blepharoptosis

7. Malposisi palpebra

8. Blepharofimosis

13
9. Atropi lemak medial sehingga terjadi psuedoepichantus

10. Prolaps lemak orbita

11. Prolaps kelenjar lakrimal

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil dalam batas normal.

Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan lain

penyebab edema palpebra seperti distroid orbithopaty, inflamasi orbita

idiopatik, Pencitraan dianjurkan pada kasus dengan gambaran klinis atipikal.5

Pemeriksaan histology dari biopsy sampel kulit yang diserang

menunjukkan deposit immunoglobulin A pada dermoepidermal junction serta

hilangnya serat elastic kolagen di dermis. Selain itu juga didapatkan sel

inflamasi perivaskular berupa limfosit, sel plasma, sel mast, histiosit, dan

eosinofil.8

H. DIAGNOSIS

Diagnosis blefarokalasis ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada anamnesa didapatkan bengkak kelopak mata atas

baik hanya pada satu maupun keduanya. Pembengkakan dapat terjadi

berulang tanpa disertai nyeri. Selain itu juga ditanyakan usia saat pertama kali

keluhan muncul, faktor pemicu stress emosional, riwayat menstruasi, riwayat

alergi, keluarga yang menderita keluhan serupa, dan adanya penyakit lain.8

14
Pemeriksaan fisik akan didapatkan edem nonerythematous pada

palpebra superior, jarang didapatkan di inferior. Juga didapatkan cigarette-

paper skin, proptosis, blepharoptosis, blepharofimosis, injeksi konjunctiva,

dan malposisi palpebra.5

I. PENATALAKSANAAN

Hingga saat ini belum ada penatalaksanaan farmakologis yang terbukti

bermanfaat dalam terapi blefarokalasis. Kemampuan antihistamin, steroid,

mast sel stabilizer, dan kompres dingin dalam mengurangi gejala serangan

akut belum ditentukan.5

Penatalaksanaan merupakan intervensi bedah yaitu blepharoplasty.

dilakukan adalah blepharoplasty transkutaneus palpebra inferior.

Blepharoplasty transkutaneus palpebra inferior memiliki keuntungan dapat

mengkoreksi kelebihan kulit dan kelemahan otot, sedangkan kerugiannya

yaitu meningkatkan resiko retraksi palpebra inferior. Ahli bedah biasanya

menunda operasi sampai penyakit tenang, biasanya paling tidak 6 bulan

karena bila tidak demikian operasi dapat gagal dan terjadi edema palpebra

postoperative.3,5

Kelebihan kulit palpebra superior dikoreksi dengan blepharoplasty

dengan membentuk kembali lipatan palpebra melalui jahitan. Eksisi lemak

orbita yang prolaps dapat dipertimbangkan, namun biasanya dilakukan

konservatif. Kelenjar lakrimal yang turut mengalami prolaps dapat

dikembalikan ke posisi semula.5

15
Blepharoptosis bagian atas dikoreksi dengan memperbaiki dehisense

levator. Canthoplasty lateral efektif dalam memperbaiki blepharofimosis

karena redaman struktur penyokong canthus lateralis. Perbaikan dilakukan

dengan melekatkan lidah tarsal lateralis ke periosteoum di internal rima

orbita lateralirs dengan jahitan nonabsorbable.5

Atropi lemak dan defek sulcus superior dapat diatasi dengan teknik

grafting termasuk reposisi lemak orbita, grafting lemak dermis, dan transfer

lemak yang teraspirasi. Injeksi bahan pengisi sintetik seperti asam

hialuronat, asam atau kalsium hidroksialapatit dapat dipertimbangkan.5

Berikut adalah gambar kasus blepharokalasis pada wanita 23 tahun

dengan riwayat edem palpebra superior berulang selama 16 tahun. Episode

edema telah mereda 2 minggu dan kembali kambuh 2 hari terakhir.9

Gambar 4 Blefarokalasis bilateral, mata terbuka (atas) dan tertutup (bawah)

16
Gambar 5 Perioperatif blepharoplasty pada bilateral palpebra superior, tampak

jaringan prolaps melalui septum orbita.

Gambar 6 Postoperatif

Saat ini telah dikembangkan metode blepharoplasty dengan

memanfaatkan laser. Metode ini mulai digunakan sejak satu decade yang

lalu. Penggunaan laser untuk incise memberikan keuntungan berupa lebih

sedikit menyebabkan stimulasi nervus sensorik, kurang beresiko menciderai

musculus obliqus inferior, perdarahan minimal, dan lebih sedikit echimosis

17
postooperatif. Hasil penggunaan laser ini menunjukkan hasil dengan

kualitas yang baik, komplikasi rendah, dan peningkatan kepuasan pasien.10

Blephaaroplasty dengan laser biasanya memakan waktu 3 hingga 4

jam. Anastesi yang diberikan merupakan kombinasi anastesi local dan

general. Laser yang digunakan merupakan laser karbon dioksida. Waktu

penyembuhan yang diperlukan pada metode ini lebih sedikit dibandingkan

metode konvensional.11

J. PROGNOSIS

Frekuensi serangan akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.

Namun, episode ulangan dapat muncul kembali secara tak terduga setelah

periode inaktif. Bahkan, blepharokalasis dapat muncul kembali setelah

dilakukan operasi blepharoplasty.4,5

18
BAB III

KESIMPULAN

1. Blefarokalasis merupakan sindrom yang jarang terjadi berupa edema palpebra

superior sehubungan dengan penipisan, peregangan, dan pengerutan kulit

palpebra.
2. Etiologi hinggi kini belum jelas, dihubungkan dengan pengaruh hormonal,

infeksi, alergi, kelainan sistemik, dan herediter.


3. Manifestasi khas berupa bengkak kelopak mata atas tanpa nyeri diikuti

penipisan kulit.
4. Penatalaksanaan berupa pembedahan yaitu blepharoplasty baik konvensional

maupun dengan laser.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Bergin DJ, McCord CD, Berger T, Friedberg H, Waterhouse W.
Blepharochalasis. British Journal of Ophtalmology, 1988. 72, page : 863-67.

2. Farlex. Blepharochalasis. The Free Dictionary.[Online]diakses tanggal 25


Februari 2019, http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/blepharochalasis.

3. Brar BK, Puri N. Blepharovhalasis – A Rare Entity. Dermatology Online


Journal. 2008. 14, 1, page: 8.

4. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. 2009. Jakarta :
EGC. Hal. 82

5. Kotlus BS. Blepharochalasis Syndrome Treatment and Management.


Medscape Reference, Drugs, Diseases, and Procedure. [Online] diakses
tanggal 27 Februari 2019, http://emedicine.medscape.com/article/1214014-
treatment#showall.

6. Dworak DP, Patel SA, Thompson LS. An Unusual Case of Blepharochalasis.


1Department of Surgery, John H. Stroger, Jr. Hospital of Cook County Division
of Ophthalmology, Chicago, IL, USA. Department of Surgery, Medical Eye
Services, IL, USA. 2017. Journal of Ophthalmic and Vision Research. 1-3 pp

7. Anonim. Blepharochalasis. Indian Journal Dermatol Venereol Leprol. Vol.75.


Issue 2. 2009. 197-9 pp

8. Kotlus BS. Blepharochalasis Syndrome Workup. Medscape Reference, Drugs,


Diseases, and Procedure. [Online] diakses tanggal 27 Februari 2019,
http://emedicine.medscape.com/article/1214014--workup#showall.

9. Hundal KS, Mearza AA, Joshi N. Lacrimal Gland prolapsed in


Blepharochalasis. Letter to The Journal. Eye. 2004. 18, page: 429-30.

10. Roberts TL. Laser Blepharoplasty and Laser Resurfacing of The Periorbital
Area. Abstract. Clin Plast Surg. 1998. 25,1, page : 95-108.

20
11. Anonim. Laser Eyelid Surgery (Blepharoplasty). DocShopcom. 2011. [Online]
diakses tanggal 27 Februari 2019,
http://www.docshop.com/education/cosmetic/face/eyelid-surgery/laser

21

Anda mungkin juga menyukai