Anda di halaman 1dari 55

BAGIAN IKM-IKK LAPORAN KASUS

KEKARANTINAAN DAN OKUPASI Januari 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

LOW BACK PAIN PADA STAFF CHECK IN COUNTER DI BANDAR


UDARA HALU OLEO KENDARI

Oleh:

Musdah Mulya, S. Ked K1A1 13 087


Sidrati Nugraha Teno, S.Keda K1A1 15 041
Thiufatin Terezky Brilyanti, S.Ked K1A1 15 045
Nur Fitriyani Rundu, S. Ked K1A1 10 073

Pembimbing:

dr. Arimaswati, M. Sc

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANKITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEDOKTERAN
KOMUNITAS BAGIAN KEDOKTERAN OKUPASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Musdah Mulya, S.Ked K1A1 13 087


Sidrati Nugraha Teno, S.Ked K1A1 15 041
Thiufatin Terezky Brilyanti, S.Ked K1A1 15 045
Nur Fitriani Rundu K1A1 10 073

Judul Laporan : Low Back Pain Pada Staff Check In Counter di Bandar
Udara Halu Oleo Kendari
Telah menyelesaikan tugas kelompok dalam rangka kepaniteraan klinik
pada Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Januari 2020


Mengetahui, Pembimbing

dr. Arimaswati, M. Sc
NIP. 19821213 200912 2 003

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan
kasus ini dengan baik. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan laporan kasus ini
sebagai tugas dalam rangka menyelesaikan stase ilmu kesehatan masyarakat dan
ilmu kedokteran komunitas dengan judul “Low Back Pain Pada Staff Check In
Counter di Bandar Udara Halu Oleo Kendari”
Penulis tentu menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan
kasus ini, supaya nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada laporan ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen pembimbing kami yang telah membimbing dalam penulisan laporan
kasus ini. Demikian, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, Januari 2020

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Tujuan.................................................................................................3
C. Manfaat...............................................................................................3
BAB II. PROFIL PERUSAHAAN
A. Profil Perusahaan................................................................................4
B. Analisis Potensi Bahaya.....................................................................8
C. Upaya Kesehatan Kerja......................................................................8
BAB III. LAPORAN KASUS
A. Identifikasi Pasien...............................................................................9
B. Anamnesis Klinis................................................................................9
C. Anamnesis Okupasi............................................................................10
D. Pemeriksaan Fisik...............................................................................14
E. Resume...............................................................................................19
F. Pemeriksaan Penunjang......................................................................19
G. Diagnosis Kerja..................................................................................19
H. 7 Langkah Diagnosis Okupasi............................................................19
I. Kategori Kesehatan.............................................................................21
J. Prognosis............................................................................................21
K. Permasalahan Pasien & Rencana Penatalaksanaannya......................22
BAB IV. PEMBAHASAN
A. Definisi...............................................................................................23
B. Epidemiologi .....................................................................................23
C. Etiologi...............................................................................................23
D. Patofisiologi........................................................................................25
E. Klasifikasi...........................................................................................29
F. Manifestasi Klinik .............................................................................31
G. Faktor Risiko......................................................................................32
H. Diagnosis Klinis.................................................................................39
I. Tata Laksana.......................................................................................42
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................50

iv
B. Saran...................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................34
LAMPIRAN ........................................................................................................36

v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Low back pain (LBP) adalah nyeri atau rasa tidak nyaman di bawah
arcus costa dan di atas inferior gluteal folds, dengan atau tanpa nyeri di kaki
yang menjalar. Hal ini mungkin dirasakan sebagai rasa sakit, rasa terbakar,
rasa tertusuk, tajam atau lemah, dapat didefinisikan dengan baik, atau samar
dengan intensitas menengah sampai berat (Duthey, 2013). Low back pain
dilaporkan sebagai masalah kesehatan yang sangat umum dimana WHO
memperlihatkan proporsi yang hampir sama di beberapa negara
(Manchikanti, 2000). Sekitar seperempat dari penduduk dewasa Amerika
Serikat dilaporkan memiliki LBP setidaknya 1 hari penuh dalam 3 bulan
terakhir (Deyo dkk., 2006) dan 7,6 % dilaporkan mengalami setidaknya 1
episode LBP akut berat dalam satu tahun terakhir (Carey dkk., 1996). The
2010 Global Burden of Disease Study bahkan memperkirakan low back pain
berada pada 10 penyakit teratas yang termasuk dalam Disability-adjusted life
years (DALY) di dunia (Priority Medicines for Europe and Worldwide,
2013). Data prevalensi kejadian LBP di Indonesia disebutkan sebanyak 18%
(Eko dan Putra, 2009).
Potensi bahaya terdapat hampir di setiap tempat dimana dilakukan
suatu aktivitas, baik di rumah, di jalan, maupun di tempat kerja. Apabila
potensi bahaya tersebut tidak dikendalikan dengan tepat akan dapat
menyebabkan kelelahan, sakit, cidera, dan bahkan kecelakaan yang serius.
Dalam Undang - Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
pengurus perusahaan mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat kerja
yang memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan. Sedangkan tenaga kerja
mempunyai kewajiban untuk mematuhi setiap syarat keselamatan dan
kesehatan yang ditetapkan baginya. Syarat-syarat keselamatan dan kesehatan
sesuai Undang-undang Keselamatan Kerja tersebut antara lain untuk
mencegah dan mengurangi kecelakaan, mencegah dan mengendalikan
timbulnya penyakit akibat kerja, mencegah dan mengendalikan pencemaran

1
udara serta menyediakan penerangan dan mikroklimat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi biaya
perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan
produktivitas kerja, meningkatkan moral dan hubungan atau relasi perusahaan
yang lebih baik (Tarwaka, 2008).
Mengingat potensi bahaya terdapat hampir diseluruh tempat kerja,
maka upaya untuk mencegah dan mengurangi risiko yang mungkin timbul
akibat proses pekerjaan perlu segera dilakukan. Melalui hazard management
proccess, risiko yang mungkin timbul dapat diidentifikasi, dinilai dan
dikendalikan sedini mungkin melalui pendekatan preventif, inovatif dan
partisipatif (Tarwaka, 2008).
Kondisi perekonomian yang semakin kondusif serta pendapatan
masyarakat yang meningkat lebih baik menjadikan masyarakat menengah ke
bawah telah dapat menikmati perjalanan menggunakan pesawat udara.
Meningkatnya jumlah penumpang dan barang yang diangkut pesawat udara
menjadikan fungsi bandar udara sebagai prasarana penerbangan adalah sangat
penting terutama pada bandar udara yang besar dengan pergerakan pesawat
tinggi dimana dalam pengoperasiannya harus menyediakan fasilitas yang
lengkap dalam upaya menyediakan kemudahan dan pelayanan yang prima
kepada calon penumpang dan pengunjung. Bandar udara merupakan tempat
bertemunya banyak orang dari berbagai tempat. Selain itu juga tempat
berkumpulnya banyak orang yang melakukan kegiatan dan bekerja untuk
menunjang operasi penerbangan yang lancar, aman, nyaman dan selamat baik
bagi pesawat yang mendarat maupun yang tinggal landas (Tarwaka, 2008).
Sehubungan banyaknya pekerja dan petugas yang terlibat pekerjaan di
dalam dan di lingkungan bandar udara, maka masalah kesehatan kerja yang
terkait lingkungan di bandar udara sangat perlu diperhatikan. Beberapa
kondisi yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada pekerja dan
petugas yang beraktifitas di bandar udara antara lain potensi bahaya fisika,
kimia, ergonomis dan psikososial.

2
Sebagaimana diketahui potensi bahaya ergonomis dapat menimbulkan
gangguan kesehatan bagi para personel/pekerja yang setiap hari
melaksanakan pekerjaan dalam posisi duduk, salah satunya adalah staff
chekin bandara. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (Bagian keenam, pasal 23) tentang Kesehatan Kerja pada
ayat (3) menyebutkan “setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan
kesehatan kerja”. Sehubungan hal tersebut perlu dilakukan suatu kajian
mengenai kesehatan kerja staff check in counter di Bandar Udara Halu Oleo
Kendari.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan diagnosis kedokteran okupasi penyakit akibat kerja
pada pegawai staff check in counter di Bandar Udara Halu Oleo Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien low back pain pada pegawai staff
check in counter di Bandar Udara Halu Oleo Kendari.
b. Mengetahui potensi bahaya yang timbul pada pasien low back pain
pada pegawai staff check in counter di Bandar Udara Halu Oleo
Kendari.
c. Melakukan pendekatan diagnosis penyakit akibat kerja (PAK) dan
penyakit akibat hubungan kerja (PAHK).
C. Manfaat
1. Manfaat Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran okupasi, mampu
melakukan penilaian bahaya potensial dan mampu melakukan pendekatan
diagnosis penyakit akibat kerja (PAK) dan penyakit akibat hubungan kerja
(PAHK).
2. Bagi Pasien
Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakit yang diderita
akibat hubungan kerja (PAHK) dan bahaya potensial yang dapat terjadi.

BAB II
PROFIL PERUSAHAAN

A. Profil Umum Perusahaan

3
Gambar 1. Bandar Udara Halu Oleo Kendari

Pada awalnya setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, seluruh


peninggalan Jepang menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia termasuk
Pangkalan TNI Angkatan Udara yang berada di Kendari. Kemudian pada tahun
1950 sampai dengan tahun 1958 terbentuklah Detasemen Angkatan Udara yang
bermarkas di Pangkalan TNI Angkatan Udara Kendari dan pada tanggal 27 Mei
1958 nama Detasemen Angkatan Udara dirubah menjadi Pangkalan TNI Angkatan
Udara Wolter Monginsidi Kendari.
Tahun 1975 terbentuklah Satuan Kerja Direktorat Jenderal Perhubungan
Udara sesuai Surat Perintah Direktur Jenderal Perhubungan Udara No.
SPRINT/23/VIII/1975 tanggal 01 Agustus 1975 dan efektif beroperasi tanggal 01
April 1976 dan berada dalam wilayah/tanah TNI-AU di Pangkalan Udara Wolter
Monginsidi Kendari.
Tahun 1979 status Pejabat Kepala Perwakilan Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara di Kendari dengan No. SPRINT/692/VII/1979 tanggal 01 Juli
1979 dirubah menjadi Pejabat Pelaksana Harian Kepala Pelabuhan Udara Kelas
III Wolter Monginsidi Kendari.
Tahun 1985 sesuai Intruksi Menteri Perhubungan No.
379/PLX/PHB/VIII/1985 tanggal 28 Agustus 1985, istilah Pelabuhan Udara
diganti menjadi Bandar Udara yang disingkat “BANDARA” Terhitung 01
September 1985 dan terakhir disempurnakan dengan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 1995 tanggal 31 Januari 1995 tentang

4
Penyempurnaan Bandara, Bandar Udara Wolter Monginsidi ditingkatkan kelasnya
dari Bandar Udara Kelas III Menjadi Bandar Udara Kelas II, Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dan terakhir
disempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 7 Tahun 2008
Tanggal 28 Januari 2010. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan
No. KM 43 Tahun 2010, Bandar Udara Wolter Monginsidi Kendari berganti nama
menjadi Bandar Udara Haluoleo Kendari hingga sekarang. Segala kebijakan
Bandar Udara adalah implementasi dari kebijakan dan peraturan Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara serta dioperasikan untuk Bandar Udara Umum.
Tahun 2014 sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
nomor PM 40 Tahun 2014 tanggal 12 September 2014 istilah Bandar Udara
diganti menjadi Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU), dan melalui PM
tersebut juga Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Haluoleo Kendari
ditingkatkan kelasnya dari Bandar Udara Kelas II (dua) menjadi Bandar Udara
Kelas I (satu). Sejak terbentuknya Satuan Kerja Perwakilan Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara sampai saat ini telah mengalami pergantian pimpinan masing-
masing:
D. E. Harahap Periode
1 sebagai Kaperlan / Kapelud
(Kapten Udara LLU). 1975-1981
F. Soenardi Periode
2 sebagai Kapelud / Kabandara
(Mayor Udara LLU). 1981-1985
Periode
3 Soedarno sebagai Kabandara
1985-1995
Periode
4 Imam Soedjali sebagai Kabandara
1995-1999
Periode
5 H. J. Soemarno, SH. MH sebagai Kabandara
2000-2003
Periode
6 Drs. Zainuddin. CM sebagai Kabandara
2003-2005
Periode
7 Ir. Widjaja Lagha sebagai Kabandara
2005-2007
Periode
8 Drs. Norman Dani, M.Si sebagai Kabandara
2007-2010
Periode
9 Usman Effendi, SE. MSM sebagai Kabandara
2010 - 2014
Periode
10 Ir. Anies Wardhana, MM sebagai Kepala UPBU
2014 - 2015

5
Periode
11 Kol. (Pnb). Sarmanto sebagai Kepala UPBU
2015 – 2017
Periode
12 Rudi Richardo, SH,MH Sebagai Kepala UPBU 2017 -
Sekarang
Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : PM. 40 Tahun 2014
Tanggal 12 September 2014, bahwa Bandar Udara Haluoleo Kendari berubah
nama menjadi Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Haluoleo Kelas
I, merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Perhubungan
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal
Perhubungan Udara yang dipimpin oleh seorang Kepala Kantor.
Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Haluoleo Kendari
mempunyai tugas melaksanakan Pelayanan Jasa Kebandarudaraan dan Kerjasama
terkait Bandar Udara, Kegiatan Operasional Keamanan, Keselamatan dan
Ketertiban Penerbangan serta Pelayanan Darurat di Bandar Udara, dan
melaksanakan koordinasi kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan
Kabupaten Konawe Selatan. Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara Haluoleo
Kendari mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Pelaksanaan penyusunan rencana dan program, urusan keuangan,
kepegawaian, ketatausahaan dan kerumahtanggaan, hukum, hubungan
masyarakat, koordinasi dengan instansi/ lembaga terkait penyelenggaraan
Bandar udara serta evaluasi dan pelaporan;
b. Pelaksanaan pengoperasian, perawatan dan perbaikan fasilitas
keselamatan, sisi udara, sisi darat, dan alat-alat besar Bandar udara serta
fasilitas penunjang, pelayanan pengaturan pergerakan pesawat udara (Apron
Movement Control/ AMC), penyusunan jadwal penerbangan (slot time) dan
penyiapan penyusunan Rencana Induk Bandar Udara (RIBU) dan Aerodrome
Manual;
c. Pelaksanaan pengamanan pelayanan pengangkutan penumpang,
awak pesawat udara, barang jinjingan, pos dan kargo serta barang berbahaya
dan senjata, pengawasan, pengendalian keamanan dan ketertiban di lingkungan
kerja serta pengoperasian, perawatan dan perbaikan fasilitas keamanan
penerbangan dan pelayanan darurat Bandar udara, penyusunan Program

6
Keamanan Bandar Udara (Airport Security Program/ASP), Program
Penanggulangan Keadaan Darurat (Airport Emergency Plan/AEP), dan
contingency plan;
d. Pengoperasian dan Pelayanan fasilitas terminal penumpang, kargo
dan penunjang serta pengelolaan dan pengendalian hygiene dan sanitasi,
pengawasan dan pengendalian pelayanan minimal bandar udara, informasi
penerbangan, pelaksanaan kerja sama dan pengembangan usaha jasa
kebandarudaraan dan jasa terkait bandar udara.

7
B. Analisis Potensi Bahaya
Tabel 1. Potensi bahaya di bagian check in counter Bandar Udara Halu Oleo
Bahaya Potensial Risiko
Urutan
Fisiologik/ Gangguan Kecelakaan
Kegiatan Fisik Kimia Biologi Psikologi
Ergonomi Kesehatan Kerja
Pemeriksaan
Duduk lama,
tiket dan
Sikap duduk Kerja Low back pain,
mencocokkan Radiasi
- - yang salah, yang stress, -
data sesuai Komputer
gerakan monoton penurunan visus
identitas
repetitif
penumpang

Gangguan Tertimpa
Penimbangan Kerja
Mengangkat muskuloskeletal beban berat,
bagasi - - - yang
beban berat , stress, trauma Terkilir,
penumpang monoton
cavitis Terjerembap

C. Upaya Kesehatan Kerja


Upaya kesehatan kerja yang dilakukan oleh bagian check in counter
Bandar Udara Halu Oleo dinilai belum maksimal dalam upaya promotif dan
preventif pada saat melakukan kunjungan dan wawancara kepada staf.
a. Pelayanan promotif
Bagian check in counter maskapai Lion Air di Bandar Udara Halu
Oleo belum melakukan upaya edukasi tentang ergonomis yang baik bagi
staff check in counter.
b. Pelayanan preventif
Perlindungan pada staff check in counter maskapai Lion Air belum
dilakukan.
c. Pelayanan kuratif
Terdapat Kantor Kesehatan Pelabuhan di kawasan Bandar Udara
Halu Oleo sehingga jika sakit pekerja langsung dapat berobat.
d. Pelayanan rehabilitatif
Belum terdapat pelayanan rehabilitatif disebabkan pekerja belum
ada yang mengalami penyakit parah atau kecelakaan parah yang telah
mengakibat cacat permanen.

BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien

8
Nama : Tn. MF
Umur : 29 tahun
Alamat : Kecamatan Konda
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Menikah
Kedudukan dalam keluarga : Anak pertama dari empat bersaudara
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Staf check-in counter

B. Anamnesa Penyakit (autoanamnesa pada 25 Januari 2020)

Keluhan Utama
Rasa sakit dan tidak nyaman di daerah punggung bagian bawah
Riwayat perjalanan penyakit sekarang
Selama satu tahun terakhir, Tn. MF merasakan rasa sakit dan tidak
nyaman di daerah punggung bagian bawah yang dirasakan setelah bekerja. Rasa
sakit dan tidak nyaman tidak dirasakan menjalar ke regio lain, tidak terasa panas
ataupun tertusuk-tusuk. Nyeri dirasakan pertama kali saat pasien telah
menyelesaikan shift sebagai staf check-in counter di Bandar Udara Halu Oleo.
Nyeri bertambah berat terutama ketika pasien mengangkat barang dari lantai,
duduk teralalu lama saat bekerja atau berdiri terlalu lama. Nyeri berkurang
dirasakan saat berisirahat atau berbaring. Pasien tidak pernah melakukan
pengobatan spesifik terhadap keluhan yang dideritanya. Pasien hanya melakukan
peregangan atau diurut ketika merasakan keluhan. Nafsu makan pasien masih baik
dan tidak terjadi penurunan berat badan yang bermakna. Pasien tidak
mengeluhkan demam, mual muntah, batuk, sesak, maupun kelemahan anggota
gerak. Pasien tidak mengeluhkan gangguan BAB dan BAK.
Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada riwayat penyakit yang sama sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam keluarga

9
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat kebiasaan
Riwayat kebiasaan dalam hal ini yaitu pola makan berlebih (-), konsumsi
karbohidrat berlebih (+), berolahraga rutin (-), riwayat merokok (-), duduk dalam
durasi yang lama (+), mengangkat beban berlebihan (+), posisi kerja yang tidak
ergonomis (+).
Riwayat pekerjaan
Pasien bekerja di Bandar Udara Halu Oleo sebagai staf check-in counter
sejak 2 tahun yang lalu. Pasien bertugas dalam pemeriksaan tiket dan
penimbangan barang bawaan penumpang. Pasien bekerja shift selama 8 jam sehari
selama 6 hari dan off 1 hari. Pasien tidak memiliki pekerjaan sampingan.

C. Anamnesis Okupasi
1. Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Bahan/material Tempat kerja Masa kerja
yang digunakan (perusahaan) (dalam
bulan/tahun)
Staf check-in Komputer, Bandar Udara Halu 2 tahun
counter timbangan, kursi, Oleo
meja

2. Uraian Tugas
Waktu (WITA) Kegiatan
04.00 – 04.30 Bangun pagi dan merapikan rumah
04.30 – 05.00 Mandi, solat dan bersiap – siap untuk kerja
05.00 – 05.30 Sarapan pagi
05.30 – 06.00 Berangkat kerja
06.00 – 06.01 Mengisi daftar hadir

10
06.02 – 11.45 Duduk di depan komputer untuk mengerjakan administrasi
penumpang pesawat yang akan terbang.
11.46 – 12.15 Istirahat Solat dan makan siang
12.16 – 14.00 Duduk di depan komputer untuk mengerjakan administrasi
penumpang pesawat yang akan terbang.
14.01 Pulang kerja

3. Bahaya Potensial
Tabel 2. Potensi bahaya di bagian check in counter Bandar Udara Halu Oleo
Bahaya Potensial Risiko
Urutan
Fisiologik/ Gangguan Kecelakaan
Kegiatan Fisik Kimia Biologi Psikologi
Ergonomi Kesehatan Kerja
Pemeriksaan
Duduk lama,
tiket dan
Sikap duduk Kerja Low back pain,
mencocokkan Radiasi
- - yang salah, yang stress, -
data sesuai Komputer
gerakan monoton penurunan visus
identitas
repetitif
penumpang

Gangguan Tertimpa
Penimbangan Kerja
Mengangkat muskuloskeletal beban berat,
bagasi - - - yang
beban berat , stress, trauma Terkilir,
penumpang monoton
cavitis Terjerembap

11
4. Analisis Hubungan Pekerjaan Dengan Penyakit Yang Diderita
Pasien saat ini bekerja sebagai staf check–in counter yang
mewajibkannya duduk dalam durasi yang lama dan mengangkat beban bagasi
penumpang. Sikap yang tidak ergonomis selama bekerja mengakibatkan
pasien merasa sakit dan tidak nyaman di punggung bawah.
5. Body Discomfort Map

Ket : Nyeri:

12
Keterangan:
 Tangan kanan-kiri
(skor = 1) risiko
rendah
 Siku kanan-kiri (skor
= 1) risiko rendah
 Bahu kanan-kiri
(skor=1) risiko
rendah
 Leher (skor = 3)
risiko tinggi
 Tungkai Kanan-Kiri
(skor = 3) risiko
tinggi
3 3 3 3 3 3 3 3 3  Punggung (skor = 3)
risiko tinggi

13
D. Pemeriksaan Fisik
Identitas Responden
a. Nama : Tn. MF
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Tanggal Lahir : 11 April 1981
d. Pekerjaan :
a) Nama Pekerjaan : Staf check-in counter
b) Nama Tempat Kerja : Bandar Udara Halu Oleo
1. Tanda Vital
a. Nadi : 84 x/menit c. Tekanan Darah (duduk) : 130/90 mmHg
b. Pernapasan : 20 x/menit d. Suhu Badan : 36,9oC
e.

Berdasarkan pemeriksaan didapatkan nilai VAS = 3.


Interpretasi : Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan
Nilai VAS 4 - <7 = nyeri sedang
Nilai VAS 7 – 10 = nyeri berat
2. Status Gizi
a. Tinggi Badan : 157 cm
b. Berat Badan : 50 kg
c. IMT : 20,32 kg/m2
d. Bentuk Badan: Astenikus
3. Tingkat Kesadaran dan Keadaan Umum
a. Kesadaran : Compos Mentis
b. Tampak Kesakitan : Tidak
c. Gangguan Saat Berjalan : Tidak
4. Kelenjar Getah Bening
a. Leher : Normal
b. Submandibula : Normal
c. Ketiak : Normal
d. Inguinal : Normal
5. Mata Mata Kanan Mata Kiri
a. Persepsi Warna Normal Normal
b. Kelopak Mata Normal Normal
c. Konjungtiva Normal Normal
d. Kesegarisan/gerak bola mata Normal Normal
e. Sklera Normal Normal
f. Lensa Mata Tidak keruh Tidak keruh
g. Bulu Mata Normal Normal
h. Penglihatan 3 dimensi Normal Normal
i. Visus Mata : tanpa koreksi : -
Dengan koreksi : -
6. Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri
a. Daun telinga Normal Normal

14
b. Liang telinga Normal Normal
- Serumen Tidak ada Tidak ada
c. Membrana timpani Intak Intak
d. Test berbisik Normal Normal
7. Hidung
a. Meatus Nasi Normal
b. Septum Nasi Normal
c. Konka Nasal Normal
d. Nyeri Ketok Sinus Maxillaris Normal
8. Tenggorokan
a. Pharynx Normal
b. Tonsil : Kanan : T0 T1 T2 T3 Kiri : T0 T1 T2 T3
c. Ukuran  Normal  Hiperemis  Normal 
Hiperemis
d. Palatum Normal
e. Lain-lain
9. Leher
a. Gerakan Leher  Normal  Terbatas
b. Kelenjar Thyroid  Normal  Tidak normal
c. Pulsasi Carotis  Normal  Bruit
d. Tekanan Vena Jugularis  Normal  Tidak normal
e. Trachea  Normal  Deviasi
f. Lain-lain : ……….
10. Dada Keterangan
a. Bentuk  Simetris  Asimetris
b. Mammae  Normal  Tidak normal Tumor : Ukuran
Letak
Konsistensi
c. Lain-lain : ………...
11. Paru-paru dan Jantung
Keterangan
a. Palpasi  Normal  Tidak normal
Kanan Kiri
b. Perkusi  Sonor  Redup  Hipersonor  Sonor  Redup
 Hipersonor
Ictus Cordis :  Normal  Tidak normal,
sebutkan
Batas Jantung:  Normal  Tidak normal,
sebutkan
c. Auskultasi :
- Bunyi napas  Vesikuler  Bronchovesikul  Vesikuler
 Bronchovesikuler
- Bunyi napas tambahan  tak ada  ronkhi  wheezing  tak ada
 ronkhi  wheezing

15
- Bunyi jantung  Normal  Tidak normal, sebutkan
12. Abdomen
Keterangan
a. Inspeksi Normal  Tidak normal
b. Perkusi  Timpani  Redup
c. Auskultasi : Bising Usus  Normal  Tidak normal
d. Hati  Normal  Tidak terabam
e. Limpa  Normal  Teraba shoeffne
Kanan :  Normal Kiri :  Normal
Tidak  Tidak
f. Ginjal  Normal
Kanan :  Normal Kiri :  Normal
Tidak  Tidak
g. Ballottement  Normal
Kanan :  Normal Kiri :  Normal
Tidak  Tidak
13. a. Tulang/Sendi Ekstremitas Atas
Kanan Kiri
- Gerakan  Normal  Tidak normal  Normal  Tidak normal
- Tulang  Normal  Tidak normal  Normal  Tidak normal
- Sensibilitas  Baik  Tidak baik  Normal  Tidak baik
- Oedema  Tidak ada  Ada  Tidak ada  Ada
- Varises  Tidak ada  Ada  Tidak ada  Ada
- Kekuatan otot
- Vaskularisasi  Baik  Tidak baik  Normal  Tidak baik
- Kelainan Kuku Jari  Tidak ada  Ada  Tidak ada  Ada
Pemeriksaan Khusus :
b.Tulang/Sendi Estremitas Bawah
Kanan Kiri
- Gerakan  Normal  Tidak normal  Normal  Tidak normal
- Tulang  Normal  Tidak normal  Normal  Tidak normal
- Sensibilitas  Baik  Tidak baik  Normal  Tidak baik
- Oedema  Tidak ada  Ada  Tidak ada  Ada
- Varises  Tidak ada  Ada  Tidak ada  Ada
- Kekuatan otot
- Vaskularisasi  Baik  Tidak baik  Normal  Tidak baik
- Kelainan Kuku Jari  Tidak ada  Ada  Tidak ada  Ada
Pemeriksaan Khusus :

d. Otot Motorik Kanan Kiri


1. Trofi  Normal  Tidak normal  Normal  Tidak normal
2. Tonus  Normal  Tidak normal  Normal  Tidak normal
3. Kekuatan 5/5/5/5 5/5/5/5
4. Gerakan abnormal :

16
 Tidak ada
 Tic  Ataxia  Lainnya …..
14. Refleks
Kanan Kiri
a. Refleks Fisiologis patella Normal  Tidak normal  Normal  Tidak
normal
Lainnya…...
b. Refleks Patologis : Babinsky Negatif  Positif  Negatif  Positif
Lainnya…..
15. Kulit
Lokasinya
a. Kulit  Normal  Tidak normal
b. Selaput Lendir  Normal  Tidak normal
c. Kuku  Normal  Tidak normal

1. Status Lokalis
Nyeri (tenderness) pada kulit daerah lumbal, tidak terdapat tanda-tanda fraktur
vertebrae.

16. Pemeriksaan khusus


Posisi tegak : Deformitas :-
Nyeri tekan :+
Gerakan aktif : Sedikit terbatas karena nyeri
Tes Laseque : (+)

E. Resume Kelainan yang Didapat :


Selama kurang lebih 6 bulan terakhir, Tn. MF merasakan nyeri di
punggung bagian bawah yang terasa seperti ditusuk. Nyeri dirasakan
meningkat terutama setelah bekerja beberapa jam. Nyeri tidak menjalar. Nyeri
bertambah berat terutama ketika pasien mengangkat barang dari lantai, duduk
teralalu lama saat bekerja atau berdiri terlalu lama. Nyeri berkurang dirasakan
saat berisirahat atau berbaring.
Tn. MF bekerja di sebagai staff check-in di Bandara Haluoleo. Sehari-
hari Tn. MF bertugas dalam posisi duduk di depan komputer untuk
mengerjakan administrasi penumpang pesawat yang akan terbang. Tn. MF
telah bekerja di bandara selama ±2 tahun. Tn. MF tidak memiliki riwayat

17
trauma dan kelainan tulang belakang sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, status generalis dalam batas
normal, status lokalis terdapat nyeri pada lumbal dan tidak terdapat tanda
fraktur vertebrae.
F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada
G. Diagnosa Kerja
Low Back Pain
H. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi

Langkah Diagnosis Uraian


1.Penegakan Low back pain
Diagnosis Klinis
Dasar Diagnosis Nyeri di punggung bagian bawah, terasa seperti
ditusuk. Nyeri dirasakan meningkat terutama setelah
duduk bekerja beberapa jam. Nyeri tidak menjalar. .
Nyeri bertambah berat terutama ketika pasien
mengangkat barang dari lantai, duduk teralalu lama
saat bekerja atau berdiri terlalu lama. Nyeri berkurang
dirasakan saat berisirahat atau berbaring. Tidak ada
riwayat demam. Tidak ada riwayat trauma. Tidak ada
riwayat kelainan tulang belakang. Pada pemeriksaan
fisik di dapatkan TD : 130/80 mmhg, N : 80 x/menit,
P : 18x/menit, suhu : 36.8oC, dan didapatkan nyeri
tekan pada bagian paravertebra L5-S1
2.Pajanan di Kimia : Tidak ada.
tempat kerja Fisika : Paparan radiasi layar komputer.
Biologi : Tidak ada.
Ergonomi: Posisi duduk yang lama dengan posisi yang
tidak ergonomis.
Psikososial : Pekerjaaan yang monoton.
3.Hubungan Pada kasus, pasien merupakan staf check-in counter di
pajanan dengan Bandar Udara Halu Oleo sejak 2 tahun yang lalu.
penyakit Pasien bertugas dalam pemeriksaan tiket dan
penimbangan barang bawaan penumpang. Pasien
bekerja shift selama 8 jam sehari selama 6 hari dan off
1 hari.
Risiko terjadinya keluhan LBP akan semakin
meningkat apabila seseorang mempertahankan dalam
posisi yang sama dalam waktu yang lama, terutama
jika posisi tersebut adalah posisi yang tidak baik.
Durasi postur janggal yang berisiko apabila postur
tersebut dipertahankan > 10 detik. Posisi duduk akan
menungkatkan tekanan pada diskus intervertebralis

18
sebesar 30% (Syamsiah, 2017). Tekanan ini akan
semakin meningkat jika duduk dalam posisi
membungkuk. Penelitian yang dilakuan oleh sari, dkk
(2015) dari 30 sampel operator komputer perusahaan
travel, 90% menderita nyeri punggungbawah dan ada
hubungan kuat dengan lama duduk. Posisi duduk
paling berisiko menyebabkan LBP adalah posisi duduk
tegak dan membungkuk dengan lama duduk 5-6 jam.
4. Apakah Pajanan Low Back Pain merupakan masalah kesehatan global.
Cukup Orang dewasa menghabiskan waktu sekitar 6-8 jam per
hari atau lebih dari 45-50% dalam posisi duduk.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa posisi
duduk yang lama merupakan faktor risiko low back
pain. Sebuah penelitian cross-sectional
menginvestigasi hubungan antara durasi duduk dengan
kejadian low back pain pada pekerja kantor dan
didapatkan sebanyak 16% dari pekerja dilaporkan
mengalami low back pain kategori tinggi. Pekerja
dengan durasi duduk yang lama memiliki risiko yang
tinggi terkena low back pain, baik dalam total waktu
duduk, duduk dalam waktu senggang dan dalam waktu
kerja. Kesimpulannya adalah terdapatnya hubungan
antara lama duduk, dinilai secara objektif selama
beberapa hari dengan intensitas low back pain (Gupta
dkk, 2015).
Pada pasien didapatkan :
- Masa kerja : 2 tahun
- Jumlah jam pajanan : 8 jam/hari
- Pemakaian APD : tidak ada
- Konsentrasi pajanan : cukup besar, pasien hanya
beristirahat selama 30 menit
Kesimpulan : pajanan cukup menimbulkan keluhan
5.Faktor Individu 1. Jenis Kelamin : pasien
seorang laki-laki. Prevalensi LBP lebih banyak pada
wanita dibandingkan pada laki-laki.
2. Usia : pasien berusia 29
tahun. Degenerasi tulang berupa kerusakan jaringan,
penggantian jaringan menjadi jaringan parut serta
pengurangan cairan mulai terjadi sejak manusia
menginjak usia 30 tahun dan berdampak pada
stabilitas tulan dan otot.
3. Kebiasaan : pasien tidak
memilki kebiasaan lain yang menyebabkan nyeri di
bagian punggung bawah
4. Riwayat penyakit
keluarga : (-)

19
5. Riwayat atopi: (-)
6. Penyakit penyerta ; (-)
6. Faktor Lain Di Pasien tidak memiliki pekerjaan selain sebagai staf
Luar Tempat Kerja check-in counter.
7.Diagnosis Low Back Pain akibat kerja
Okupasi
I. Kategori Kesehatan
Kesehatan cukup baik dengan kelainan yang dapat dipulihkan.
J. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam

K. Permasalahan Pasien & Rencana Penatalaksanaan


Jenis Permasalahan Hasil yang
Medis & Non Rencana Tindakan diharapkan
Medis (okupasi, dll)
Low Back Pain 1. Terapi Medikamentosa Keluhan
Meloxicam 15 mg/24 jam/oral dapat
Asam mefenamat 500 mg /8 jam/oral berkurang
2. Terapi non medikamentosa
 Edukasi mengenai penyakit
 Menyarankan pasien bekerja
dengan posisi yang benar
 Meregangkan badan di sela-sela
pekerjaan
3. Okupasi
a. Penetapan Kelaikan Kerja: staf
check-in counter tersebut
disarankan untuk melakukan
stretching disela-sela pekerjaan
b. Program Kembali Bekerja: staf
check-in counter tersebut
sebaiknya menggunakan korset
untuk menopang punggung
bawahnya agar tidak terlalu
membungkuk sehingga nyeri
berkurang
c. Penentuan Kecacatan: pihak
maskapai sebaiknya
memperhatikan risiko kecelakaan
kerja sehingga asuransi kesehatan
pegawainya bisa terjamin.

20
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Low Back Pain


1. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (IASP, 1994). Menurut
Kamus Kedokteran oleh Farlex, nyeri adalah perasaan yang tidak
menyenangkan yang dibawa ke otak oleh neuron sensorik.
Menurut Duthey (2013), daerah punggung bawah ialah daerah yang
berada di antara costal margin dan di atas inferior gluteal folds.
Adapun pengertian dari low back pain (LBP) ialah nyeri dan rasa tidak
nyaman di bawah costal margin dan di atas inferior gluteal folds, dengan atau
tanpa nyeri yang menjalar pada kaki (Duthey, 2013).
2. Epidemiologi
Menurut Meliala (lihat Kreshananda, 2016), LBP di Indonesia banyak
dijumpai pada golongan usia 40 tahun. Secara keseluruhan, LBP merupakan
keluhan yang paling banyak dijumpai dengan angka prevalensi mencapai
49%. Namun, sekitar 80-90% pengidap LBP tidak melakukan upaya apapun
untuk menghilangkan rasa nyerinya. Dengan kata lain, hanya sekitar 10-20%
saja yang mencari pengobatan medis untuk menyembuhkan gejala LBP.
Penelitian yang dilakukan pada lingkungan kerja anestesiologi Rumah
Sakir Dr. Hasan Sadikin Bandung oleh Patrianingrum (2015) menemukan
bahwa prevalensi LBP total yang timbul sebelum dan sesudah masuk di

21
lingkungan kerja anestesiologi dan terapi intensif adala 79,5% dan prevalensi
LBP yang terjadi setelah masuk lingkungan kerja anestesiologi dan terapi
intensif adalah 35,7%.
3. Etiologi
Andersson (1999) dalam Duthey (2013) menjelaskan bahwa LBP bisa
disebabkan beberapa faktor seperti: karakteristik individual, kondisi kerja
seperti banyak kerja fisik yang berat, diam terlalu lama dan postur bekerja
dinamis, pekerjan manual dengan tangan dan mengangkat, faktor gaya hidup,
dan faktor psikologis.
Andersson (1999) dalam Duthey (2013) juga menyebutkan jarang
terdapat kasus LBP yang ditimbulkan dari trauma punggung, osteoporosis
atau penggunaan kosrtikosteroid yang lama. Kasus yang sedikit umum ialah
infeksi tulang belakang, tumor dan metastasis tulang.
Penyebab pasti dari LBP sulit untuk diidentifikasi. Low back pain yang
tidak spesifik adalah masalah umum untuk diagnosis dan tata laksana. Low
back pain bisa dihasilkan dari jaringan yang berbeda seperti otot, jaringan
ikat halus, ligamen, kartilago kapsul sendi, dan pembuluh darah. Jaringan-
jaringan ini mungkin didorong, ditarik dan diregangkan dan menimbulkan
inflamasi yang menghasilkan senyawa-senyawa inflamasi seperti sitokin
dan/atau kemokin. Senyawa-senyawa ini menstimulasi serabut-serabut saraf
di sekitarnya yang menghasilkan sensasi nyeri. Proses inflamasi
menghasilkan pembengkakan. Pengurangan suplai darah pada area yang
terkena bisa menyebabkan penyebaran nutrien dan oksigen kurang optimal
dan melemahnya proses penyembuhan iritasi yang berasal dari produk-
produk inflamasi, sehingga menciptakan siklus umpan balik inflamasi dan
nyeri (Andersson, 1999 dalam Duthey, 2013).
Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang terjadi
pada tulang belakang, otot, diskus intervertebralis, sendi, amupun struktur
lain yang menyokong tulang belakang. Kelainan tersebut antara lain (Fauci,
2008):
1. Kelainan kongenital/kelainan perkembangan: spondilosis dan
spondilolistesis, kiposkoliosis, spina bifida, gangguan korda spinalis.
2. Trauma minor: regangan, cedera whiplash.

22
3. Fraktur: traumatik - jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, atraumatik –
osteoporosis, infiltrasi neoplastik, steroid eksogen.
4. Herniasi diskus intervertebral.
5. Degeneratif: kompleks diskus-osteofit, gangguan diskus internal, stenosis
spinalis dengan klaudikasio neurogenik, gangguan sendi vertebral,
gangguan sendi atlantoaksial (misalnya arthritis reumatoid).
6. Arthritis: spondilosis, artropati facet atau sakroiliaka, autoimun (misalnya
ankylosing spondilitis, sindrom reiter).
7. Neoplasma – metastasis, hematologic, tumor tulang primer.
8. Infeksi/inflamasi: osteomyelitis vertebral, abses epidural, sepsis diskus,
meningitis, arachnoiditis lumbalis.
9. Metabolik: osteoporosis – hiperparatiroid, imobilitas, osteosklerosis
(misalnya penyakit paget).
10. Vaskular: aneurisma aorta abdominal, diseksi arteri vertebral.
11. Lainnya: nyeri alih dari gangguan visceral, sikap tubuh, psikiatrik, pura-
pura sakit, sindrom nyeri kronik.
4. Patofisiologi
Hubungan antara degenerasi discus intervertebralis dengan LBP tidak
dimengerti secara keseluruhan. Perubahan pada struktur biomekanis dari
struktur discus intervertebralis, sensitisasi dari ujung saraf dengan pelepasan
mediator kimia, dan pertumbuhan neurovaskular ke dalam discus
intervertebralis yang berdegenerasi berkontribusi dalam peningkatan rasa
nyeri. Discus intervertebralis yang berdegenerasi dikenal melalui
pertumbuhan dari serabut saraf dan pembuluh darah ke dalam anulus fibrosus
dan nukleus pulposus (Coppes dkk., 1997 dalam Biyani dan Andersson,
2004). Hilangnya struktur dalam discus intervertebralis juga mengubah
susunan dari columna spinalis di bawahnya termasuk facet joints, ligamen
dan otot paraspinalis, yang sebenarnya bisa menjadi pemicu nyeri tambahan.
Nyeri punggung dan radikuler dapat muncul meskipun tidak disertai
dengan perubahan morfologis; sebaliknya, banyak pasien melaporkan tidak
adanya nyeri, meskipun didapatkan suatu degenerasi (Coppes dkk., 1997
dalam Biyani dan Andersson, 2004). Autologous nucleus pulposus terbukti
menghasilkan inflamasi dan perubahan degeneratif yang menimbulkan
kerusakan pada akar saraf tanpa kompres mekanis (McCarron dkk., 1987
dalam Biyani dan Andersson, 2004). Konsep mengenai mediasi kimia nyeri

23
oleh jaringan yang terluka mulai diperhatikan. Beberapa sitokin telah
teridentifikasi yang bisa saja bertanggung jawab dalam mediasi kimia nyeri.
Tabel 3. Substansi kimia yang umum dan fungsinya

Substansi Kimia Fungsi


A2 fosfolipase Mediasi hiperalgesia mekanis
Nitrit oksida Menghambat hiperalgesia mekanis dan
memproduksi hiperalgesia termal
MMP-2 (gelatinosa A) dan Degradasi gelatin (kolagen fibrilar
MMP-9 (gelatinosa) yang terdenaturasi) dan molekul
matriks lainnya
Bekerja secara sienergis dengan MMP-
1
MMP-1 (kolagenase-1) MMP-1 mendegradasi kolagen
MMP-3 (stromelisin-1) MMP-1 dan MMP-3 berperan dalam
rgresi dari discus intervertebralis yang
mengalami herniasi
IL-1,TNF-α, prostaglandin
Mendorong degradasi matriks
E2
CGRP. Gluatamat,
Modulasi respon ganglion dorsal root
substansi P
IL-6 Induksi sintesis TIMP-1
TIMP-1 Inhibisi MMPs
TGF-β Blok sintesis MMPs
IGF-1, PDGF Efek antiapoptotik
Sumber: Biyani dan Andersson, 2004
Nitrit oksida telah dideteksi dalam jaringan yang bergranulasi di sekitar
discus intervertebralis tulang belakang yang tertekan dengan teknik
histokima dan hibridisasi in situ (Kang dkk., 1996 dalam Biyani dan
Andersson, 2004). Beberapa peneliti telah mengaitkan A2 fosfolipase, derivat
dari nukleus pulposus yang mengalami herniasi, dalam menghasilkan nyeri
dengan mengiritasi akar saraf (Kawakami dkk., 1998 dalam Biyani dan
Andersson, 2004), namun masih menjadi bahan perdebatan. Penelitian yang
diakukan Kawakami dkk (lihat Biyan dan Andresson, 2004) menyimpulkan
bahwa autologous nucleus pulposus yang ditempatkan pada akar saraf lumbar
memproduksi hiperalgesia mekanis dan anulus fibrosus memprovokasi
hiperalgesia termal. Hiperalgesia mekanis mungkin dimediasi oleh aktivasi A2
fosfolipase karena mepakrin, adalah inhibitor selektif dari A 2 fosfolipase
secara relatif, menghilangkan hiperalgesia mekanis yang dihasilkan nukleus

24
pulposus. Hiperalgesia termal yang dihasilkan anulus fibrosus autolog
mungkin diinduksi oleh efek langsung dari nitrit oksida pada tingkat dorsal
root ganglion. Kawakami dkk (lihat Biyani dan Andresson, 2004)
berspekulasi bahwa nitrit oksida mungkin menghambat hiperalgesia mekanis
dan memproduksi hiperalgesia termal secara paradoks, tergantung dari jumlah
asam nitrat yang diprosuksi.
Matriks metalloproteinase (MMPs) merupakan keluarga dari enzim
zinc-dependent yang mampu mendegradasi komponen lamina basalis dan
ekstraseluler. Matriks metalloproteinase berperan dalam remodelling matriks
ekstraseluler yang normal pada jaringan ikat. Active form dan inactive
proform dari MMP-2 dan MMP-9 telah ditemukan meningkat pada spesimen
discus intervertebralis yang berdegenerasi (Kang dkk., 1996 dalam Biyani
dan Andresson, 2004) dan MMP-1 (kolagenase-1) dan MMP-3 (stromelisin-
1) berimplikasi pada patogenesis herniasi discus intervertebralis. Aktivitas
MMP juga lebih banyak pada herniasi discus intervertebralis dibandingkan
kelainan discus intervertebralis lainnya (Nemoto dkk., 1997 dalam Biyani
dan Andersson, 2004). Kang dkk (lihat Biyani dan Andersson, 2004)
menemukan pengingkatan produksi MMP secara in vivo pada herniasi diskus
lumbaris pasien yang menjalani diskectomy dibandingkan dengan spesimen
diskectomy dari pasien yang menjalani operasi anterior untuk skoliosis dan
fraktur burst traumatis.
Penekanan pada nukleus pulposus ke spatium epidural memicu respon
autoimun dan infiltrasi sel inflamasi. Sel-sel inflamasi ini mensekresikan
sitokin kemotatik yang lebih lanjut membentuk makrofag. Sitokin, seperti
interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) dipercaya
meningkatkan produksi MMP (Nemoto dkk., 1997 dalam Biyani dan
Andersson, 2004). Takahashi dkk (lihat Biyani dan Andersson, 2004)
menunjukkan analisis biokimia dan imunohistokimia dari jaringan discus
intervertebralis 77 pasien dengan discus intervertebalis yang mengalami
herniasi dan menemukan peningkatan produksi prostaglandin E 2 dan adanya
IL-1, IL-6 dan TNF-α. MMP diproduksi dengan menginvasi pembuluh darah,
jaringan perivaskular, dan sel-sel pada discus intervertebralis.

25
Ekspresi MMP-1 dan MMP-3 telah ditemukan lebih tinggi pada
jaringan granulasi, kondrosit, makrofag, dan fibroblas dari penekanan
transligamen dan spesimen yang diisolasi dari discus intervertebralis yang
mengalami protrusi. Penemuan ini menunjukkan jaringan inflamasi
menyebabkan degradasi pada material diskus dan kolagen yang terdapat pada
posterior longitudinal ligament (PLL), yang menimbulkan kelemahan bahkan
rupturnya PLL. Kemungkinan lain ialah peningkatan produksi MMP setelah
PLL ruptur (Matsui dkk., 1998 dalam Biyani dan Andersson, 2004).
Penelitian menunjukkan bahwa proform dari MMPs, seperti
prostromelisin, disekeresikan oleh sel diskus intervertebralis dan proform ini
kemudian bisa menjadi teraktivasi oleh sitokin (Kang dkk., 1996 dalam
Biyani dan Andersson, 2004) Sedowofla dkk (lihat Biyani dan Andersson,
2004) melaporkan bahwa bentuk laten dari kolagenase lebih banyak 3,5 kali
daripada bentuk aktif dalam nukeus pulposus. Mereka juga melaporkan
kuantitas dari kolagenase laten 1,5 kali lebih besar daripada bentuk aktif
dalam anulus fibrosus.
Imhibitor endogen dari MMPs juga telah diidentifikasi. Tissue inhibitor
of metalloproteinase-2 (TIMP-2) dieksprsikan dalam kadar yang rendah di
semua jaringan, sedangkan ekspresi TIMP-1 meningkat ditingkatkan pada
material diskus intervertebralis yang patologis (Robert dkk., 2000 dalam
Biyani dan Andresson, 2004). Ketidakseimbangan antara MMPs dengan
TIMP endogen memainkan peranan yang penting dalam proses degenerasi
yang dinduksi resorpsi diskus (Doita dkk., 2001 dalam Byani dan Andersson,
2004). Doita dkk (lihat Biyani dan Andersson. 2004) melaporkan bahwa sel
yang diisolasi dari material diskus yang tertekan kemudian distimulasi dengan
IL-1α, IL-1β dan TNF-α memproduksi MMP-1 dan MMP-3 lebih banyak
secara in vitro dibandingkan dengan sel dari material diskus yang mengalami
protrusi dengan perlakuan yang sama. Rasio MMP-3:TIMP lebih tinggi pada
material diskus yang tertekan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Doita
dkk., 2001 dalam Biyani dan Andersson, 2004). IL-6 dipercaya meningkatkan
produksi TIMP-1 (Nemoto dkk., 1997 dalam Biyani dan Andersson, 2004).

26
MMPs juga memainkan peran dalam riwayat herniasi diskus
intervertebralis. Degenerasi spontan khususnya herniasi diskus yang besar
dan mengalami protrusi dianggap berkaitan dengan peningkatan sintesis dari
MMPs. Mekanisme dari resorpsi diskus intervertebralis secara tepat belum
jelas, namun neovaskularisasi, infiltrasi makrofag, dan sitokin inflamasi
dipercaya berkaitan dengan proses resorpsi ni. Sitokin inflamasi seperti IL-1,
IL-6, dan TNF-α menginduksi dan meningkatkan ekspresi MMPs, yang
menimbulkan perburukan dari diskus intervertebralis yang mengalami
herniasi. Fibroblast growth factor juga mengatur aktivitas proteolitik dari
materil discus intervertebralis (Roberts dkk., 2000 dalam Biyani dan
Andersson, 2004) .
Brown dkk (lihat Biyani dan Andersson, 2004) menduga bahwa
terdapat proliferasi dari vaskuler dan saraf sensoris berisi gen kalsitonin
terkait peptida pada regio end-plate dan corpus vertevralis berhubungan
dengan degenerasi dikus. Peningkatan densitas saraf sensoris dan defek
lempeng kartilago menandakan kemungkinan adanya peran dari end plate dan
corpus vertebralis sebagai pemicu nyeri pada pasien dengan discus
intervertebralis yang mengalami herniasi.
5. Klasifikasi
Menurut Duthey (2013), terdapat beberapa tipe dari low back pain
sebagai berikut.
1) Nyeri punggung kronik (chronic back pain/ CLBP) didefinisikan sebagai
low back pain yang dirasakan lebih dari 7-12 minggu, atau setelah masa
penyembuhan atau nyeri punggung rekurens yang mempengaruhi
seseorang secara terus-menerus dalam waktu yang lama.
2) Nyeri punggung akut (acute back pain) didefinisikan sebagai low back
pain yang dirasakan kurang dari 12 minggu.
3) Nyeri punggung subakut (subacute pain) didefinisikan sebagai low back
pain yang dirasakan antara 6 minggu dan 3 bulan.
Jerkins (2002) memberikan 4 klasifikasi LBP yang didasarkan pada
perbedaan penyebab dan tingkat penatalaksanaan. Klasifikasi menurut Jerkins
adalah sebagai berikut.
1) Simple Mechanical Low Back Pain

27
Jenis LBP ini biasanya cocok ditatalaksana dengan perawatan
konservatif. Kategori terdiri dari banyak kondisi benigna dari LBP yang
bisa sembuh sendiri dalam 2-8 minggu (Souza, 1998 dalam Jerkins,
2002). Target utama dari penatalaksanaan adalah pengurangan masa
disabilitas dan pencegahan kronisitas dan gangguan psikologi. Terdapat
banyak penyebab dari simple mechanical low back pain dan biasanya
ditentukan dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Beberapa sindrom
yang termasuk simple mechanical low back pain adalah facet syndrome,
sacroliliac joint syndrome, myofascial pain syndromes and lumbar
muscle sprain, spondylolysis, dan spondylolisthesis.
2) Low Back Pain with Radiculopathy
Low back pain with radiculopathy merupakan kondisi yang lebih
serius daripada simple mechanical low back pain. Low back pain ini
masih bisa ditangani dengan perawatan konservatif namun pemantauan
harus sering dilakukan untuk memastikan kondisi pasien membaik dan
gejala tidak menjadi lebih parah. Penyebab utama dari low back pain
with radiculopathy adalah herniasi diskus lumbar dan stenosis lumbar.
Akar saraf yang diiritasi oleh kedua kondisi tersebut akan menyebabkan
shooting pain dan paraestesia, sedangkan akar saraf yang terkompresi
akan menyebabkan kehilangan fungsi motoris dan sensoris pada daerah
distribusinya. Beberapa penyakit yang termasuk dalam low back pain
with radiculopathy adalah herniasi diskus lumbaris dan stenosis spinal
lumbaris (Jerkins, 2002).
3) Serious Pathological Low Back Pain
Pasien dengan gejala dan tanda yang mengarah ke serious
pathological low back pain membutuhkan investigasi lebih jauh dengan
segera. Hal ini termasuk pemeriksaan radiologi dengan X-Ray, CT scan,
MRI, bine scan, dan USG atau pemeriksaan darah. Penyakit-penyakit
yang termasuk dalam serious pathological low back pain ialah sindrom
kauda equina, artritis psoriastik, sindrom Reiter, artritis enteropatik dan
tumor tulang sekunder (Jerkins, 2002).
4) Low Back Pain with a Psychological Overlay

28
Beberapa kasus dari LBP mungkin disertai gejala psikologis
tambahan yang membuat tatalaksana konservatif menjadi tidak efektif,
misalnya pasien dengan klaim kompensasi untuk LBP-nya memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak
memiliki klaim (Borenstein, 1996 dalam Jerkins, 2002). Penyebab-
penyebab lain termasuk ketidakpuasan dalam bekerja, nyeri kronis atau
kelainan psikologis yang mendasari, seperti depresi, ansietas atau
somatisasi.
Beberapa tanda yang mugkin ditunjukkan dari pasien dengan tipe
LBP ini adalah deskripsi penyebaran nyeri yang tidak anatomis dan hasil
tes yang tidak konsisten. Penggambaran lokasi nyeri bisa digunakan
untuk membedakan LBP yang organik dan non-organik, atau
psikologikal, berdasarkan reaksi pasien terhadap nyeri (Swenson, 1999
dalam Jerkins, 2002). Hasil tes yang tidak konsisten meliputi hasil positif
yang seharusnya mustahil secara fungsional seperti LBP yang disebabkan
oleh kompresi dari vertex kepala, atau Lasegue test yang positif dan
slump test yang negatif. Hal penting yang harus diketahui ialah
kelemahan yang tidak fisiologis, penggunaan narkotika yang berlebihan
dan distrakbilitas atau reaksi yang belebihan (Swenson, 1999 dalam
Jerkins, 2002).
6. Gejala Klinis
Menurut Duthey (2013), gejala-gejala klinis dari LBP adalah sebagai
berikut.
1) Ada rasa nyeri dan rasa tidak nyaman di bawah costal margin dan di atas
inferior gluteal folds, dengan atau tanpa nyeri yang menjalar pada kaki,
2) Rasa sakitnya bisa tiba-tiba atau meningkat secara bertahap,
3) Terdapat beberapa kasus LBP yang didasari penyakit tertentu, seperti
infeksi, tumor, osteoporosis, ankylosing spondylitis, fraktur, proses
inflamasi, sindrom radikuler, dan sindrom cauda equina.
7. Faktor Risiko
Menurut Lionel (2014), faktor risiko yang mempengaruhi kejadian LBP
pada orang dewasa ialah sebagai berikut.
1) Postur Tubuh Saat Bekerja

29
Studi ini mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang cukup
signifikan antara LBP dengan postur tubuh yang buruk. Orang-orang
dengan postur tubuh yang buruk lebih berisiko 128,2 kali untuk
mendapatkan keluhan LBP (Lionel, 2014). Postur tubuh yang buruk
meningkatkan tekanan intramuskular dalam otot paraspinal dan tekanan
dalam diskus intervertebralis (Makhosus dkk., 2009 dalam Lionel, 2014).
2) Olahraga
Orang-orang yang jarang berolahraga mempunyai risiko 24,5 kali
lebih besar untuk mendapatkan keluhan LBP (Lionel, 2014). Otot-otot
punggung yang baik dapat menyokong tulang belakang dan memelihara
stabilitas tulang belakang. Kelemahan dari otot-otot tulang belakang
karena kurangnya aktivitas dan olahraga bisa menyebabkan LBP dan
diketahui sebagai sebab utama dari rekurensi (Lee dkk., 2012 dalam
Lionel, 2014).
3) Riwayat Keluarga
Orang-orang dengan riwayat keluarga yang positif LBP memiliki
risiko 16,2 kali lebih besar untuk mendapatkan keluhan LBP
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memilikinya (Zhang dkk.,
2008 dalam Lionel, 2014). IL-1 adalah salah satu sitokin paling penting
yang memengaruhi proses degenerasi diskus. Diskus intervertebralis
yang berdegenerasi menunjukkan ekspresi gen reseptor IL-1 10 kali lebih
banyak dibangdingkan diskus intervertebralis yang tidak berdegenerasi
(Zhang dkk., 2008 dalam Lionel, 2014). Otot tulang belakang dan
abdomen yang kuat penting dalam pencegahan LBP (Lee dkk., 2012
dalam Lionel, 2014). Serat otot mempunyai fitur berbeda yang
bertanggung jawab untuk tenaga, kecepatan kontraksi, stamina, kapasitas
oksidasi/glikolisis, dll. Fitur fisiologis dari serat yang akan terbentuk bisa
berubah pada hewan dewasa sampai perubahan pada penggunaannya
seperti kegaiatn fisik. Sinyal perubahan ini kebanyakan dikirimkan oleh
perubahan pada pola aktivitas listrik yang dihasilkan oleh saraf, dan pada
wilayah yang luas dapat menimbulkan perubahan pada ekspresi gen
(Gundersen, 2011 dalam Lionel, 2014).
4) Indeks Massa Tubuh

30
Orang-orang dengan IMT yang tinggi memiliki risiko 1,6 kali lebih
besar untuk mendapatkan atau memperberat keluhan LBP dibandingkan
dengan orang-orang dengan IMT normal (Lionel, 2014).
5) Tingkat Pendapatan
Orang-orang dengan pendapatan tinggi memiliki risiko 2,6 kali
lebih besar untuk mendapatkan atau memperberat LBP dibandingkan
dengan orang-orang dengan pendapatan yang renda dan menengah
(Lionel, 2014). Orang-orang dengan pendapatan tinggi lebih banyak
mengkonsumsi diet tinggi kalori dan lebih jarang melakukan aktivitas
fisik. Faktor ini bisa dikaitkan dengan obesitas, dimana obesitas juga
berkaitan dengan perkembangan keluhan LBP (Schumman dkk., 2010
dalam Lionel, 2014).
6) Tingkat Pendidikan
Orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai 2,2 kali
lebih besar untuk mendapatkan LBP dibandingkan dengan orang-orang
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Lionel, 2014). Orang-orang
India yang mempunyai tingkat pendidikan, pekerjaan dan sosioekonomi
yang rendah mempunyai prevalensi yang tinggi pada obesitas, kolestrol
HDL yang rendah, hipertrigliseridemia, merokok atau penggunaan
tembakau, dan aktivitas fisik yang rendah (Gupta, 2012 dalam Lionel,
2014), sehingga memiliki risiko yang tinggi untuk mendapatkan LBP.
Menurut penelitian yang dilakukan di Norwegia, tingkat pendidikan yang
tinggi berhubungan dengan jumlah perokok yang kecil. Kebiasaan tidak
merokok pada penduduk Norwegia dan Pakistan berhubungan dengan
tingkat pendidikan. Pendidikan mengoptimalkan fungsi tubuh dan tingkat
kesadaran akan kesehatan karena meningkatkan tingkat kesadaran
personal yang menambah dan memberikan gaya hidup sehat seperti jalan
secara rutin, latihan otot, minum dengan teratur, meghindari berat badan
berlebih dan merokok (Mirowsky dan Ross, 2003 dalam Lionel, 2014).
7) Konsumsi Alkohol
Orang-orang yang sering mengkonsumsi alkohol memiliki risiko
3,4 kali lebih besar untuk meperberat keluhan LBP dibandingkan dengan
orang-orang yang jarang mengkonsumsi alkohol. Peningkatan frekuensi

31
dan kuantitas konsumsi alkohol berhubungan dengan peningkatan berat
badan yang signifikan secara statistik (French dkk., 2010 dalam Lionel,
2014). Orang-orang yang tidak pernah minum alkohol memiliki
prevalensi sindrom metabolik yang lebih rendah dibandingkan dengan
orang-orang yang mengkonsumsi alkohol sebanyak 2-4 kali/hari (French
dkk., 2010 dalam Lionel, 2014). Sindrom metabolik adalah kelainan
dengan peningkatan obesitas abdominal, serum trigliserida yang tinggi,
dan tingkat HDL yang rendah (French dkk., 2010 dalam Lionel, 2014).
Penelitian menunjukkan berat badan berlebih dan IMT yang berlebihan
berhubungan dengan risiko yang lebih besar untuk memperparah
penyakit diskus lumbar (Schumman dkk., 2010 dalam Lionel, 2014).
Aterosklerosis diketahui menyebabkan obstruksi aliran darah dan
mengurangi suplai darah ke diskus intervertebralis. Pengurangan suplai
darah adalah penyebab dari degenerasi diskus yang bisa menyebabkan
LBP (Suri dkk., 2012 dalam Lionel, 2014).

Andini (2015) membagi faktor risiko LBP ke dalam 3 bagian sebagai


berikut.
1) Faktor Individu
a) Usia
Degenerasi tulang berupa kerusakan jaringan, penggantian
jaringan menjadi jaringan parut, serta pengurangan cairan mulai
terjadi sejak manusia menginjak usia 30 tahun (Bridger, 2008 dalam
Andini, 2015) dan berdampak pada pengurangan stabilitas tulang
dan otot. Hal inilah yang memicu terjadinya gejala LBP yang
berkisar pada usia 25-65 tahun (Kantana, 2010 dalam Andini, 2015).
b) Jenis Kelamin
Prevalensi LBP pada wanita lebih banyak dibandingkan pada
laki-laki. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa wanita lebih
banyak izin untuk tidak bekerja karena LBP (Hoy, 2010 dalam

32
Andini, 2015). Hal ini didasarkan pada kemampuan otot wanita yang
lebih rendah dibandingkan dengan pria.
c) Indeks Massa Tubuh
Berat badan yang belebihan akan menyebabkan meningkatnya
beban yang dirasakan oleh tulang belakang sehingga kerusakan pada
struktur ini sangat rentan terjadi. Hal inilah yang menyebabkan
orang-orang dengan IMT overweight 5 kali lebih berisiko untuk
mendapatkan LBP dibandingkan dengan orang-orang dengan IMT
normal (Purnamasari, 2010 dalam Andini, 2015).
d) Masa Kerja
LBP membutuhkan waktu yang lama untuk berkembang dan
menimbulkan manifestasi, sehingga dengan lamanya waktu terpajan
dengan faktor risiko dari pekerjaannya maka akan semakin besar
risiko untuk mengidap LBP (Kantana, 2010 dalam Andini, 2015).
Hal inilah yang mendasari pengaruh masa kerja terhadap kejadian
LBP pada pekerja. Penelitian yang dilakukan Umami (lihat Andini,
2015) mendapatkan bahwa pekerja dengan masa kerja >10 tahun
lebih banyak mengidap LBP dibandingkan dengan pekerja dengan
masa kerja <5 tahun dan 5-10 tahun.
e) Kebiasaan Merokok
Merokok dapat mengurangi aliran darah ke jaringan serta
mengurangi kandungan mineral pada tulang sehingga memicu
adanya nyeri akibat kerusakan atau keretakan tulang pada pekerja-
pekerja yang banyak mengerahkan kekuatan pinggang (Kantana,
2010 dalam Andini, 2015). Penelitian yang dilakukan Tana (lihat
Andini, 2015) melaporkan bahwa orang-orang dengan perilaku
merokok lebih banyak mengidap LBP daripada orang-orang yang
tidak merokok sama sekali.
f) Riwayat Pendidikan
Andini (2015) menjelaskan bahwa pendidikan seseorang
menentukan pengetahuannya dalam menentukan postur tubuh yang
baik dalam bekerja, Semakin baik tingkat pendidikan seseorang,
maka pengetahuan mengenai postur tubuh yang baik akan semakin
banyak.

33
g) Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan pekerja mempengaruhi masa kerja dan
mempengaruhi kejadian LBP secara tidak langsung. Hal ini
didasarkan pada penerapan sistem kerja 5 hari dan 6 hari. Standar
pengupahan Indonesia yang rendah membuat para pekerja berpikir
bekerja selama 5 atau 6 hari akan mempengaruhi pendapatan
mereka. Hal ini sebenarnya kurang tepat karena pekerjaan yang
dilakukan dengan efisien dan lebih produktif akan membuat
pekerjaan selesai tepat waktu tanpa adanya kerja lembur. Namun,
para pekerja beranggapan mereka tidak akan mendapatkan tambahan
pendapatan jika tidak lembur yang mempengaruhi produktivitas
kerja mereka (Andini, 2015).

h) Aktivitas Fisik
Andini (2015) menjelaskan bahwa aktivitas fisik yang baik
dan dilakukan dengan rutin dapat memperbaiki kualitias hidup,
mencegah osteoporosis dan berbagai jenis penyakit rangka lainnya.
Hal ini disebabkan aktivitas fisik yang baik dapat meningkatkan
suplai oksigen ke dalam otot sehingga menurunkan risiko untuk
mendapatkan keluhan muskuloskeletal termasuk LBP.
i) Riwayat Penyakit Terkait Rangka dan Riwayat Trauma
Beberapa penyakit dan kelainan pada rangka mempengaruhi
besarnya risiko mengidap LBP. Menurut Bridger (lihat Andini,
2015), orang dengan kasus spondylolisthesis akan berisiko
mendapatkan LBP pada jenis pekerjaan berat, tetapi kondisi seperti
ini sangat langka. Pasien dengan kelainan spina bifida acculta dan
jumlah ruas tulang belakang abnormal tidak memiliki konsekuensi.
Riwayat terjadinya trauma dapat meningkatkan risiko mendapatkan
LBP karena trauma merusak struktur tulang belakang yang dapat
mengakibatkan nyeri yang terus menerus.
2) Faktor Pekerjaan
a) Beban Kerja

34
Harrianto (lihat Andini, 2015) menjelaskan bahwa pekerjaan
atau gerakan yang menggunakan tenaga besar akan memberikan
beban yang besar pada otot, tendon, ligamen dan sendi sehingga
menyebabkan iritasi, inflamasi, kelelahan otot, kerusakan otot dan
jaringan lainnya. Penelitian yang dilakukan Nurwahyuni (lihat
Andini, 2015) melaporkan bahwa responden yang paling banyak
mengalami LBP adalah pekerja dengan berat beban >25 kg.
b) Posisi Kerja
Posisi kerja yang salah dapat meningkatkan energi yang
dibutuhkan dalam bekerja serta membuat transfer tenaga dari otot ke
jaringan rangka tidak efisien yang menyebabkan kelelahan. Posisi
kerja yang salah juga termasuk pengulangan atau waktu lama dalam
posisi menggapai, berputar, memiringkan badan, berlutut, jongkok,
memegang dalam posisi statis dan menjepit dengan tangan. Posisi-
posisi tadi memperbesar risiko cedera pada beberapa area tubuh
seperti bahu, punggung dan lutut (Straker, 2000 dalam Andini,
2015).
c) Repetisi
Frekuensi gerakaan yang terlalu sering akan memicu
kelelahan dan ketegangan otot tendon. Ketegangan tersebut dapat
dipulihkan dengan memberikan jeda waktu istirahat untuk
peregangan otot. Dampak repetisi gerakan dapat meningkat bila
gerakan tersebut dilakukan bersama posisi kerja yang salah, beban
yang berat dan dalam jangka waktu yang lama. Hal inilah yang
membuat repetisi gerakan bisa memperbesar risiko untuk
mendapatkan LBP (Bridger, 2008 dalam Andini, 2015).
d) Durasi
Durasi gerakan, terutama dalam posisi kerja yang salah, lebih
dari 10 detik akan membuat kontraksi otot lebih lama dan pasokan
oksigen ke dalam otot akan lebih sedikit. Hal ini mendasari adanya
kelelahan otot dan risiko mendapatkan LBP lebih besar (Straker,
2000 dalam Andini, 2015).
3) Faktor Lingkungan
a) Getaran

35
Getaran dapat menimbulkan kontraksi otot meningkat dan
menyebabkan peredaran darah yang tidak lancar dan penimbunan
asam laktat yang meningkat sehingga menimbulkan nyeri (Tarwaka,
2004 dalam Andini, 2015). Hal ini menyebabkan pekerja-pekerja
yang bekerja di lingkungan kerja dengan hazard getaran akan
meningkatkan risiko mereka untuk mendapatkan LBP.

b) Kebisingan
Andini (2015) menjelaskan bahwa kebisingan yang ada di
lingkungan kerja dapat memicu stres pekerja sehingga memicu dan
meningkatkan rasa nyeri akibat LBP.
8. Diagnosis Klinis
1) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Gejala yang sering dirasakan pasien adalah nyeri saat bangun pagi
atau nyeri yang timbul setelah membungkukkan badan, meliukkan badan,
atau mengangkat benda. Episode rekurens biasanya lebih nyeri dengan
gejala-gejala yang lebih berat. Red flag sering digunakan untuk
menentukan episode yang umum atau benigna dari masalah yang lebih
signifikan yang membutuhkan pemeriksaan atau tatalaksana secepatnya
(Henscheke dkk., 2009 dalam Casazza, 2012).
Tabel 4. Red flag diagnosis penyakit LBP

Etiologi Hasil Anamnesis Hasil Pemeriksaan Fisis


Kanker Kuat : Metastasis kanker Lemah: tulang
ke tulang belakang melunak,
Intermediat : Penurunan keterbatasan range of
berat badan yang motion tulang
tidak dapat dijelaskan belakang.
Lemah : Kanker, nyeri
meningkat atau tidak
menghilang saat
istirahat
Sindroma Kuat : inkontinensia Kuat : kelemahan
cauda vesica urinaria, motor major,
equina retensi urin, kehilangan tonus anal
kehilangan bertahap sphincter, anastesia
motorik dan sensorik sadel

36
Lemah : keterbatasan
range of motion tulang
belakang.
Fraktur Kuat : trauma yang Lemah : tulang
signifikan terkait belakang melunak,
umur keterbatasan range of
Intermediat : penggunaan motion tulang
steroid dalam jangka belakang.
waktu lama
Lemah : umur lebih dari
70 tahun, riwayat
osteoporosis
Infeksi Kuat : nyeri berat dan Kuat : demam, infeksi
operasi lumbar spine traktus urinarius, luka
dalam setahun pada regio tulang
terakhir belakang
Intermediat : penggunaan Lemah : tulang
obat IV, belakang melunak,
imunosupresi, nyeri keterbatasan range of
berat dan operasi motion tulang
lumbar spine dalam belakang.
waktu lebih dari
setahun
Lemah : peningkatan rasa
nyeri atau tidak hilang
dengan istirahat.
Sumber: Casazza, 2012
Nyeri dari tulang belakang, seperti muskulatur, ligamen, facet
sendi, dan diskus, bisa menejalar ke regio paha, tetapi jarang ke area di
bawah lutut. Nyeri yang terkait sendi sakroiliaka sering menjalar ke paha,
tetapi bisa juga merambat ke bawah lutut. Iritasi, impingement, atau
kompresi dari lumbar root sering menimbulkan lebih banyak nyeri paha
dibandingkan nyeri punggung. Nyeri yang berasal dari nervus L1-L3
akan merambat ke pinggul dan/atau paha, sedangkan nyeri yang berasal
dari nervus L4-S1 akan merambat ke bawah lutut (Casazza, 2012).
Pemeriksaan neurologik dari ekstremitas bawah meliputi kekuatan,
sensasi, dan tes refleks, meskipun tidak ditemukan nyeri pinggang yang
signifikan. Tes Lasegue positif untuk nyeri akibat nervus L4-S1 jika
nyerinya merambat sampai ke bawah lutut. Reverse straight leg raise test
positif untuk nyeri akibat nervus L3 jika nyerinya merambat ke anterior

37
paha. Herniasi discus intervertebralis sentral, parasentral, atau lateral
bisa mempengaruhi nervus yang berbeda pada level yang sama.
Pemeriksaan dari lumbosakral, pelvis, dan regio abdominal bisa
memberikan petunjuk pada penyebab yang mendasari terjadinya nyeri
punggung (Casazza, 2012).

Tabel 5. Hasil pemeriksaan neurologis pada pasien LBP akut

Nervus Herniasi diskus


Defisit Defisit
yang Refleks
motorik sensorik Sentral Parasentral Lateral
terkena
Anterior/
Di atas
L3 Fleksi hip medial Patella L2-L3 L3-L4
L2-L3
femur
Anterior
Di atas
L4 Ekstensi lutut leg/medial Patella L3-L4 L4-L5
L3-L4
foot
Lateral
Dorsofleksi Medial Di atas
L5 leg/dorsal L4-L5 L5-S1
ibu jari kaki hamstring L4-L5
foot
Posterior
Tendon Di atas Tidak
S1 Plantarfleksi leg/lateral L5-S1
Achiles L5-S1 ada
foot
Sumber: Casazza, 2012
2) Pemeriksaan Diagnostik
Imaging tidak bisa membantu pada kebanyakan LBP akut.
Imaging tidak meningkatkan outcome klinis pada pasien-pasien yang
tidak menunjukkan tanda dan gejala yang mengindikasikan kondisi yang
serius (Chou dkk., 2009 dalam Casazza 2012). Pengobatan selama 4-6
minggu lebih baik sebelum mempertimbangkan imaging meskipun
dengan beberapa red flag lemah (Henschke dkk., 2009 dalam Casazza,
2012). Magnetic resonance imaging (MRI) biasanya lebih cocok jika
diduga terdapat kondisi-kondisi yang serius. Computed tomography (CT)
adalah alternatif jika terdapat kontraindikasi MRI atau alat MRI tidak ada
(Davis dkk., 2011 dalam Casazza, 2012). Korelasi klinis dari hasil
pemeriksaan MRI atau CT bersifat esensial karena kemungkinan untuk
terjadinya hasil positif palsu meningkat seiring pertambahan usia (Boden
dkk. 1994 dalam Casazza, 2012). Radiografi mungkin membantu untuk

38
screening kondisi serius, tetapi memiliki nilai diagnostik yang kecil
karena sensitivitas dan spesifitasnya yang rendah (Davis dkk., 2011
dalam Casazza, 2012).
Tes laboratorium seperti hitung darah lengkap dengan diferensial,
laju sedimentasi eritrosit, dan kadar C-reactive protein mungkin bisa
menguntungkan jika pemeriksa menduga terdapat infeksi atau neoplasma
sumsum tulang. Tes-tes ini bisa menjadi tes yang paling sensitif pada
kasus infeksi spinal karena tidak adanya demam dan normalnya hitung
darah lengkap sangat umum terjadi pada kasus ini (Acosta, 2006 dalam
Casazza, 2012). MRI dengan atau tanpa kontras dan, pada kebanyakan
kasus, biopsi sangat esensial untuk diagnosis yang akut karena
spesifisitas tes laboratorium yang kurang (Acosta , 2006 dalam Casazza,
2012).
9. Tata Laksana
1) Edukasi
Edukasi umum yang bisa diberikan untuk LBP yang tidak spesifik
ialah saran untuk tetap aktif bergerak, dimana pilihan ini lebih efektif
dibandingkan bedrest untuk pasien LBP akut dan subakut (Hagen dkk.,
2004 dalam Chou dkk., 2007). Pasien yang benar-benar membutuhkan
bedrest untuk meredakan rasa sakitnya harus dianjurkan untuk kembali
ke aktivitas normal secepat mungkin. Beberapa buku self-management
sangat disarankan untuk dimiliki penderita karena harganya tidak mahal
serta informatif (Chou dkk., 2007).
2) Terapi Farmakologik
a) Nonsteroid anti inflammation drugs (NSAID) dan asetaminofen,
merupakan pengobatan lini pertama untuk kasus LBP (Zhang dkk.,
2004 dalam Chou dkk., 2007). Beberapa efek samping yang dapat
ditimbulkan NSAID, seperti peningkatan kadar aminotransferase,
infark miokardium, penyakit gastrointestinal, harus disampaikan
kepada pasien (Kearney dkk., 2006 dalam Chou dkk., 2007).
b) Analgesik opioid atau tramadol dipakai dengan sangat hati-hati pada
pasien LBP akut atau kronik yang parah dan tidak bisa dikontrol
dengan asetaminofen dan NSAID (Chou dkk., 2007).

39
c) Antidepresan trisiklik adalah pilihan penghilang rasa nyeri untuk
pasien LBP kronik dan tidak mempunyai kontraindikasi dengan jenis
obat ini (Salerno dkk., 2002 dalam Chou dkk., 2007).
3) Terapi Nonfarmakologik
a) Untuk LBP akut (durasi <4 minggu), manipulasi spinal dapat
memberikan perbaikan kecil hingga menengah dalam jangka waktu
yang cepat (Assendelft dkk., 2003 dalam Chou dkk., 2007).
b) Untuk LBP subakut (durasi >4 sampai 8 minggu), rehabilitasi
interdisiplin secara intensif sangat efektif (Karjalainen dkk., 2001
dalam Chou dkk., 2009), dan restorasi fungsional dengan komponen
cognitive-behavioral mengurangi ketidakhadiran akibat LBP
(Schonstein dkk., 2003 dalam Chou dkk., 2007).
c) Untuk LBP kronik (durasi >8 minggu), terapi nonfarmakologik yang
efektif ialah akupuntur (Furlan dkk., 2005 dalam Chou dkk., 2007),
terapi latihan (Hayden dkk., 2005 dalam Chou dkk., 2007), terapi
pijat (Furlan dkk., 2002 dalam Chou dkk., 2007), yoga Viniyoga-
style (Sherman dkk., 2005 dalam Chou dkk., 2007), terapi cognitive-
behavioral (Hoffman dkk., 2007 dalam Chou dkk. 2007), manipulasi
spinal (Assendelft dkk., 2003 dalam Chou dkk., 2007) dan
rehabilitasi interdisiplin intensif (Guzman dkk., 2001 dalam Chou
dkk., 2007).

B. Identifikasi Bahaya

1. Bahaya Radiasi Komputer


Pegawai staff check in counter terus terpapar oleh penerangan yang
berlebihan terutama dari komputer sebagai alat kerjanya. Penerangan yang baik
hendaknya memungkinkan tenaga kerja dapat melihat objek-objek yang
dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu
(Soedirman, 2014). Penerangan yang cukup dan diatur secara baik akan
membantu menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan
sehingga dapat memelihara kegairahan kerja (Tarwaka, 2010).
Pegawai staff check in counter yang terus bekerja berhadapan dengan
komputer menyebabkan mata harus berakomodasi dalam jangka waktu yang

40
panjang sehingga memicu adanya kelelahan mata. Kelelahan mata adalah
ketegangan pada mata dan disebabkan oleh penggunaan indera penglihatan
dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam jangka
waktu yang lama dan biasanya timbul sebagai stres intensif pada fungsi-fungsi
mata (Phesant, 1991). Kelelahan mata ditandai dengan gejala sebagai berikut:
1. Gejala ocular: merupakan gejala seperti mata merasa tidak nyaman, panas,
sakit, cepat lelah, merah, dan berair.
2. Gejala visual: terjadi karena mata mengalami gangguan untuk memfokuskan
bayangan pada retina. Mata menjadi sensitif terhadap cahaya. Kelelahan ini
akan menyebabkan penglihatan ganda atau kabur.
3. Gejala umum lainnya yang sering dikeluhkan adalah rasa sakit kepala, sakit
punggung, pinggang dan vertigo (Mangunkusumo, 2002).
Penerangan yang didesain tidak baik dapat menimbulkan gangguan atau
kelelahan mata selama kerja (Grandjean, 1993). Hal ini akan bermuara pada
penurunan performance kerja, termasuk:
1. Kehilangan produktivitas
2. Kualitas kerjanya rendah
3. Banyak terjadi kesalahan
4. Kecelakaan kerja meningkat
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak
hazard ini ialah sebagai berikut.
1. Memberikan penerangan yang cukup
2. Memberikan kontras cat dinding yang terang
3. Memperhatikan jam kerja pekerja
4. Menghindari stres
5. Memperbaiki sikap kerja
2. Bahaya Ergonomis
Selain itu, pegawai staff check in counter juga terpapar hazard
ergonomis. Ergonomi berarti aturan kerja atau hukum kerja alami, yaitu aturan
dalam bekerja agar mengeluarkan tenaga sekecil-kecilnya untuk mendapatkan
hasil sebesar-besarnya. Pada hakikatnya ergonomi berarti ilmu tentang kerja,
yaitu bagaimana pekerjaan dilakuka dan bagaimana bekerja lebih baik
sehingga ergonomi berguna dalam desain pelayanan atau proses. Ergonomi
berguna untuk membantu menentukan bagaimana digunakan, bagaimana

41
memenuhi kebutuhan, dan membuat nyaman serta efisien agar sesuai dengan
karakteristik manusia (to fit the job to the man). Penerapan ergonomi dalam
kerja dapat mengurangi beban kerja. Beban kerja dapat dukur dengan evaluasi
fisiologis, evaluasi psikologis dan dengan cara-cara lainnya. Modifikasi beban
kerja dan beban kerja tambahan yang sesuai dengan kapasitas atau kemampuan
kerja dianjurkan dengan tujuan untuk menjamin kesehatan tenaga kerja dan
peningkatan produktivitas. Evaluasi kapasitas kerja dengan beban kerja harus
memperhatikan kegiatan fisik, yaitu: (Soedirman, 2014)
1. Intensitas kerja
2. Tempo kerja
3. Jam kerja dan waktu istirahat
4. Pengaru kondisi lingkungan (suhu, kelembapan, kecepatan gerakan
udara, bising, penerangan, warna, debu, gas, dan sebagainya)
5. Data biologis (modifikasi makan dan minum, pemulihan sesudah tidur
dan istirahat, perubahan kapasitas kerja karena usia)
6. Kekhususan jenis pekerjaan (adanya getaran mekanis, kerja malam,
kerja bergilir)
Penerapan ergonomi dapat mencegah timbulnya tekanan mental,
kelelahan, kekurangwaspadaan, gangguan fisiologis, dan kesalahan sehingga
produktivitas meningkat dan terpelihara dengan baik. Jadi ergonomi berkaitan
dengan optimalisasi kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia dalam
melaksanakan peerjaan di tempat kerja. Kegiatan penanganan material seperti
mengangkat, membawa, mendorong, dan menarik akan menimbulkan gaya
yang signifikan pada tulang belakang bagian bawah, yaitu pada vertebra
lumbalis 5 dan sacrum 1, lokasi tempat sering terjadinya nyeri punggung.
Pelaksanaan aktivitas yang berat dan penggunaan kerja otot yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan gangguan pada otot rangka, yang dikenal
dengan gangguan otot rangka (musculoskeletal disorder, MSD), yaitu:
(Soedirman, 2014)

1. Kelelahan dan keletihan terus-menerus yang disebabkan oleh kegiatan


yang dilakkan dengan frekuensi atau periode waktu yang lama dari

42
upaya otot, pengulangan aktivtas atau upaya yang terus-menerus dari
bagian tubuh yangsama pada posisi tubuh yang statis.
2. Kerusakan tiba-tiba yang disebabkan oleh aktivitas yang sangat kuat
dan berat atau pergerakan yang tidak terduga.
Upaya pengendalian hazard ergonomi melalui pengendalian teknik dan
pengendalian administratif. Pengendalian teknik dilakukan dengan
menggunakan alat-alat yang sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi dan
memperbaiki sikap kerja yang tidak ergonomis. Pengendalian administriatif
dilakuakn dengan mengurangi beban dan frekuensi tugas berisiko MSD,
memberikan pendidikan dan pelatihan teknik pengendalian hazard ergonomi
dan berperilaku kerja yang baik dengan mengikuti SOP (Kurnawidjadja dkk,
2014).

3. Bahaya Psikososial
Selain itu, pegawai staff check in counter juga terpapar sumber potensial
hazard psikososial yang ada di tempat kerja meliputi: bekerja dalam shift,
beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan, tidak
jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja (Kemenkes, 2011).
Gangguan kesehatan yang bisa diakibatkan adalah sebagai berikut.
1. Stress Akibat Kerja
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
mendefinisikan stres akibat kerja sebagai respon fisik dan emosional
berbahaya yang timbul apabila tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan
kemampuan atau kebutuhan pekerja (Kemenkes, 2011). Stres dipicu
oleh perubahan ekonomi dan kemajuan teknologi yang pesat yang
menambah tekanan para pekerja untuk menghasilkan lebih banyak
prosuk dalam waktu yang lebih singkat.

2. Burn Out (Kelelahan Berat/Kejenuhan)


Burn out merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan
kelelahan berat yang prosesnya bertahap dan dalam responnya terhadap
stres maupun ketegangan fisik, mental, dan emosional yang

43
berkepanjangan, melepaskan diri dari pekerjaan dan hubungan
bermakna lainnya. Akibatnya, karyawan akan mudah mengalami
sinisme, kebingungan, perasaan yang terkuras, merasa tidak memiliki
sesuatu lagi untuk memberi, serta produktivitas menurun. Penyebab
burn out yang berkaitan dengan faktor psikososial seperti merasa hanya
mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada otoritas dalam melaksanakan
pekerjaannya, kurangnyapengakuan atau reward atas pekerjaan yang
baik, ketidakjelasan fungsi atau tugasnya, terlalu menuntut atau
mempunyai harapan yang lebih terhadap tempat dia bekerja, melakukan
pekerjaan yang monoton, bekerja dalam suasana tegang. Penyebab burn
out yang berkaitan dengan gaya hidup seperti bekerja terlalu banyak
atau berat tanpa diimbangi waktu untuk bersantai atau hanya untuk
sekedar bersosialisasi dengan yang lain, menjadi seseorang yang
mempunyai banyak figur bagi orang lain, mengambil cukup banyak
yanggung jawab tanpa bantuan orang lain, kurang waktu tidur,
hubungan yang kurang baik dengan orang terdekarnya, mempunyai
beberapa kecenderungan kepribadian seperti perfeksionis, dan
pesimistis.
3. Ansietas (Gangguan Cemas/ Gangguan Ansietas Menyeluruh)
4. Gangguan Penyalahgunaan Napza dan Alkohol
5. Depresi
Depresi ialah perasaan yang sedih dan kehilangan minat terhadap segala
sesuatu. Kondisi ini bisa disebabkan oleh faktor risiko yang sama
dengan penyebab stres kerja.
6. Gangguan Somatoform Akibat Kerja
Gangguan somatoform ialah sekumpulan gangguan yang memiliki
gejala fisik, seperti nyeri, mual, dan pusing namun secara medis tidak
ditemukan secara jelas apa penyebabnya. Pasien yang menderita
gangguan somatoform akan mengalami penderitaan emosional dan
keluhan somatik yang sangat mengganggu karena penyebabnya tidak
bisa dihilangkan begitu saja dengan perawatan medis (Kemenkes,
2011).

44
Upaya yang dapat meminimalisir dampak negatif dari hazard psikososial
yang diterima pegawai staff check in counter ialah sebagai berikut.
1. Faktor tuntutan di tempat kerja
a. Menyesuaikan antara kapasitas kerja karyawan dengan beban kerya
yang dikerjakan sesuai UU No. 13 Tahun 2003.
b. Mengusahakan lingkugan kerja yang lebih nyaman dengan cara
mengupayakan sistem reward baik berupa materi maupun apresiasi
terhadap hasil kerja untuk meningkatkan bagi pekerja serta
menciptakan komunikasi secara lebih aktif antara manajemen
dengan pekerja.
c. Sebaiknya perusahaan mempertimbangkan adanya kenaikan gaji
bagi karyawan dengan jam kerja penuh sesuai dengan standar.
2. Faktor organisasi kerja dan konten pekerjaan
a. Peningkatan motivasi pekerja seperti pemberian reward yang
diharapkan meningkatkan kepercayaan pekerja terhadap organisasi
sehingga menganggap dirinya memang pantas dan merasa memiliki
peran yang penting di tempat dia bekerja.
b. Pemberlakuan sistem job rotation agar tidak terjadi monotonisasi
dalam pekerjaan serta pekerja bisa belajar lebih banyak mengenai
sesuatu yang baru di tempat dia bekerja.
3. Faktor hubungan interpersonal dan kepemimpinan. Menjalin dan
memperbaiki komunikasi yang baik antara pihak manajemen dan
pekerja.
4. Faktor bekerja antarmuka individu
a. Pemberian reward untuk meningkatkan kinerja serta motivasi
pekerja dan berdampak baik bagi kelangsungan produktivitas
perusahaan.
b. Melakukan kegiatan relaksasi baik dari pekerja pribadi ataupun dari
program program yang ditetapkan perusahaan untuk mengatasi
kondisi pekerjaan yang menguras banyak energi dan waktu.
5. Faktor nilai-nilai di level tempat kerja. Melakukan komunikasi lebih
aktif untuk menumbuhkan kepercayaan pekerja terhadap pihak
manajemen dalam hal penyampaian informasi terkait pekerjaan dan
mempercayai kemampuan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaan
dengan baik dan tepat waktu.

45
6. Faktor kesehatan dan kesejahteraan
a. Meningkatkan dukungan sosial berupa motivasi dan sikap
kepedulian dari pihak manajemen maupun karyawan lain.
b. Menyesuaikan antara kapasitas kerja dengan beba kerja yang
dibebankan terhadap pekerja (40 jam kerja dalam seminggu).
c. Diadakannya penyuluhan terkait menjaga pola hidup sehat bagi
pekerja (Kemenkes, 2011).

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pasien low back pain tersebut adalah seorang laki-laki berusia 29 tahun,
sudah menikah, memiliki pendidikan terakhir S1 dan bekerja sebagai staf
check-in counter sejak 2 tahun yang lalu. Pasien memiliki IMT normal,
riwayat merokok (-), duduk dalam durasi yang lama (+), mengangkat
beban berlebihan (+), posisi kerja yang tidak ergonomis (+), dan memiliki
durasi kerja selama 8 jam/hari selama 6 hari.
2. Potensi bahaya yang timbul meliputi bahaya fisik (radiasi), ergonomis
(duduk lama, mengangkat beban berat) dan bahaya psikososial (stres
kerja).

46
3. Diagnosis yang ditegakkan adalah low back pain akibat kerja.
B. Saran
1. Sebaiknya penulis lebih sering mempelajari undang-undang tentang
penyakit akibat kerja dan latihan melakukan diagnosis okupasi.
2. Menyarankan pihak Maskapai Lion Air di Bandar Udara Halu Oleo untuk
melakukan penyuluhan tentang pentingnya ergonomis yang baik dalam
pekerjaan pada pegawainya.

DAFTAR PUSTAKA

Andini, F. 2014. Risk Factors of Low Back Pain in Workers. J Majority 4(1): 12-
19.

Biyani, A., Andersson, G.B.J. 2004. Low Back Pain: Patophysiology and
Management. J Am Acad Orthop Surg 12(2): 106-115

Carey T.S., Evans A.T., Hadler N.M., Lieberman G., Kalsbeek W.D., Jackman
A.M., dkk. 1996. Acute severe low back pain. A population-based study
of prevalence and care-seeking. Spine 21:339-344.

Casazza, B.A. 2012. Diagnosis and Treatment of Acute Low Back Pain. American
Family Physician 4(85): 343-50

Chou R., Qaseem A., Snow V., Casey D., Cross J.T., Shekelle P. 2007. Diagnosis
and Treatment of Low Back Pain: A Joint Clinical Practice Guideline
from the American College of Physicians and the American Pain Society.
Ann Intern Med 147: 478-91.

47
Deyo R.A., Mirza S.K., Martin B.I. 2006. Back pain prevalence and visit rates:
estimates from U.S. national surveys. Spine. 31:2724-2727.

Duthey, B. 2013. Background Paper 6.24 Low back pain.


http://www.who.int/medicines/areas/priority_medicines/BP6_24LBP.pdf
19 Agustus 2019 (10:18)

Grandjean, E. 1993. Fitting the Task to the Man. Taylor & Franciss. London.

Gupta, N., dkk. 2015. Is Objectively Measured Sitting Time Associated with Low
Back Pain? A Cross-Sectional Investigation in the NOMAD Study. Plos
One 10(3).

Jerkins, H. 2002. Classsification of Low Back Pain. ACO 10(2): 91-97.

Kementerian Kesehatan. 2011. Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja


bagi Petugas Kesehatan: Gangguan Kesehatan Akibat Faktor
Psikososial di Tempat Kerja. Kementerian Kesehatan. Jakarta.

Kurnawidjaja, L.M., Purnomo, E., Maretti, N., Pujriani, I. 2014. Pengendalian


Risiko Ergonomi Kasus Low Back Pain pada Perawat di Rumah Sakit.
MKB 46(4): 225-233

Lionel, K.A. 2014. Risk Factors for Chronic Low Back Pain in Adults. A Case
Sontrol Study Done in Sri Lanka. Journal Pain Relief 3(5): 1-9.

Mangunkusumo, V. 2002. Penggunaan Komputer dan Kesehatan Mata. Seminar


Sehari Komputer dan Kesehatan Mata. Jakarta.

Phesant, S. 1991. Ergonomics: Work dan Health. Aspen. Maryland.

Profil Bandara Halu Oleo Tahun 2018.

Putra, R.N.Y., Ermawati, Amir, A. 2016. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
denga Usia Menarche pada Siswi SMP Negeri 1 Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 5(3): 551-556

Sari, N.P.L.N.I,. Mogi, T.I., Angliadi, E. 2015. Hubungan Lama Duduk dengan
Kejadian Low Back Pain pada Operator Komputer Perusahaan Travel di
Manado. Jurnal e-Clinic 3(2) : 687-694.

Soedirman, S. 2014. Kesehatan Kerja dalam Perspektif Hiperkes dan


Keselamatan Kerja. Penerbit Erlangga. Jakarta.

48
Syamsiah, I.R., Djodosugito, M.A., Argadireja, D.S. 2017. Hubungan Posisi
Duduk dan Lama Duduk dengan Kejadian Nyeri Punggung Bawah pada
Pegawai Administrasi Universitas Islam Bandung Tahun 2017. Prosiding
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung : 339-
345.
Tarwaka. 2008. Managemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Harapan
Press. Surakarta.

Tarwaka. 2010. Ergonomi Industri. Harapan Press. Surakarta.

Zatadin, Z.M. 2018. Hubungan Posisi Duduk dan Lama Duduk Terhadap Kejadian
Nyeri Punggung Bawah (NPB) Pada Penjahit Sektor Informal di
Kecamatan Laweyan Kota Surakarta. Skripsi. Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.

DOKUMENTASI

49
50

Anda mungkin juga menyukai