Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

Oftalmopati graves adalah penyakit autoimun, yang mempunyai hubungan


dengan penyakit tiroid graves.Inflamasi yang dihasilkan oleh sistem imunnya
menyebabkan pembesaran dan fibrosis dari otot ekstraokular dan sistim jaringan
konektif orbita sehingga menyebabkan gambaran klinis berupa retraksi kelopak
mata,proptosis, gangguan gerakan mata dan neuropati optik. 1,2
Pertama kali penyakit ini diperkenalkan oleh Parry (1885 ) kemudian oleh
Graves ( 1830 )dan Basedow ( 1840 ) 3
Oftalmopati graves disebut juga dengan dysthyroid opthalmopahty,
thyroid eye disease, thyroid orbitopathy, thyrotoxic exophthalmos thyroid-
associated ophthalmopathy,merupakan suatu penyakit autoimun kronis yang
mempengaruhi jaringan retrobulber dan otot-otot ekstra okuler, dimana
etiologinya berhubungan dengan penyakit tiroid autoimun. Tapi tidak semua
pasien dengan penyakit Graves mempunyai gejala oftalmopati. Oftalmopati
sering ditemukan pada penyakit Graves aktif ataupun yang telah diterapi, jarang
atau sedikit ditemukan pada hipotiroid primer, kanker tiroid, dan inflamasi tiroid
lainnya.2,4
Hampir semua pasien dengan penyakit Graves mengalami Oftalmopati
bila diperiksa dengan dengan pemeriksaan penunjang yang sensitif tapi secara
klinis hanya dapat dideteksi dalam 25 % - 50%.Oftalmopati yang berat sampai
diperlukan suatu tindakan yang agresif hanya ditemukan pada 3% - 5%
penderita.Delapan puluh persen pasien oftalmopati Gaves adalah hipertiroid,
sedangkan eutiroid dan hipotiroid masing – masing nya 10% penderita. 5,
Pasien dengan Graves Oftalmopati 5% mengalami neuropati optik yang
disebabkan kompresi pada nervus optikus oleh otot – otot ekstra okuler yang
mengalami pembesaran sehingga timbulnya gangguan tajam penglihatan,
gangguan warna, sensivitas kontras dan gangguan lapangan pandang. . 2
Gambaran klinis dari oftalmopati graves disebabkan karena bertambah
nya jaringan otot ekstra okuler dan jaringan lemak retrobulber. Bertambahnya
volume jaringan retrobulber akan meningkatkan tekanan retrobulber, apabila
tekanan terlalu meningkat akan mendorong bola mata kedepan maka terjadilah

1
eksothalmos. Pada pemeriksaan fisik sekitar 50% dari penderita penyakit graves
disertai dengan berbagai tingkat kelainan pada mata .Pada pemeriksaan
Ultrasonografi atau CT – scan sekitar 98% penderita penyakit graves ditemukan
penebalan otot mata ekstra orbita.6
Diagnosis oftalmopati graves ditegakkan bila seorang pasien hipertiroid
ditemukan ada gejala retraksi kelopak mata, eksoftalmus (pemeriksaan dengan
eksoftalmometer ≥ 20 mm, miopati restriktif atau pembesaran otot mata yang
dapat dilihat dengan CT, MRI, atau USG), kemosis, hiperemis konjungtiva yang
menutupi insersi otot rektus horizontal, keratokonjungtivitis limbik superior, dan
penurunan visus akibat eksposure kornea atau neuropati optik. Gambaran klinis
ini dapat unilateral atau bilateral.2
II. EPIDEMIOLOGI
Pada penelitian studi epidemiologi pada pasien kulit putih di Amerika
dengan oftalmopati graves didapat insiden rate untuk wanita 16 kasus per
100.000 populasi pertahun dan untuk pria 3 kasus per 100.000 populasi per
tahun.Oftalmopati graves pada wanita 6 kali lebih sering (86%:14%)
dibandingkan pria. .1
Pada kasus Graves oftalmopati yang berat sering terdapat pada pria
dibandingkan wanita.
Kebanyakan usia yang dikenai pada umur 30 – 50 tahun. 4
III. PATOFISIOLOGI
Penyebab oftalmopati graves adalah pembesaran otot-otot ekstra okuler
dan jaringan adipose dalam rongga orbita. Hal ini akibat dari akumulasi
glikosaminoglikan dan edema jaringan yang menyebabkan peningkatan volume
lemak dan otot-otot orbita, sehingga akan menganggu aliran darah orbita dan
meningkatnya tekanan intra orbita. Akibat perubahan tersebut terjadi berbagai
keadaan dalam rongga orbita yang muncul sebagai tanda dan gejala dari
penyakit ini. Proptosis terjadi jika penambahan volume jaringan orbita
menyebabkan bola mata terdorong ke anterior. Pembesaran dan fibrotik otot-otot
palpebra dan ekstra okuler akan menyebabkan tertahannya gerakan otot-otot
mata dan mengakibatkan diplopia, retraksi kelopak mata dan keratitis eksposure.

2
Pembesaran otot – otot mata di bagian posterior apeks konus dapat menekan
nervus optikus dan menyebabkan neuropati optik, edema pada konjungtiva bulbi
yang mengelilingi kornea dari inflamasi lokal dan terganggu nya aliran darah
orbita.5,7
Sudah diketahui bahwa terdapat autoantigen yang sama pada kedua
orbita dan jaringan tiroid. Respon autoimun terhadap antigen tersebut dapat
menerangkan hubungan erat antara oftalmopati dan hipertiroid pada penyakit
Graves. Reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) merupakan sasaran
utama reaksi autoantigen orbita dan tiroid. Protein reseptor TSH dan RNA
(Riboxy Nucleid Acid) atau variasi fragmen dari reseptor tersebut telah terdeteksii
pada kultur sel orbita, dan jaringan adipose / konektif orbita pasien oftalmopatii
graves, dimana pada orang normal keadaan ini`tidak ditemukan. 8,9
Limfosit T dan makrofag yang ditemukan dalam orbita pasien oftalmopatii
graves memproduksi sitokin, diantaranya interferon Gamma, tumor nekrosis
factor Beta (TNF-interleukin 1- (IL-1) yang akan merangsang proliferasi
dan produksi glikosaminoglikan oleh fibroblast orbita dan juga akan merangsang
ekspresi HLA DR (Human Leucochyte Antigen DR) dan berbagai protein
imunomodulator seperti ICAM 72-kDa hsp (Intercellular Adhesion Molecules 72-
kDa heat shock protein). Komponen lain yang berperan adalah radikal bebas
super oksida. Semuanya berperan dalam proses inflamasi autoimun yang
nantinya akan mencerminkan karakteristik histologi, anatomi dan gambaran klinis
oftalmopati graves.5,10
Diduga bahwa antibodi-antibodi tertentu terhadap tiroglobulin bereaksii
silang dengan asetilkolinesterase okuler sehingga menimbulkan kerusakan otot.
Asetilkolinesterase dimana banyak terdapat pada otot-otot ekstraokuler yang
diinervasi oleh banyak syaraf. Hal ini dijelaskan oleh banyaknya homologi asam
amino dan asam nukleat antara asetilkolinesterase dan bagian C-terminal
tiroglobulin.5,6
Ada bukti yang menunjukkan bahwa antibodi cenderung berikatan dengan
antigen orbita yang belum teridentifikasi sehingga menimbulkan oftalmopati.
Sitotoksisitas yang diperantarai sel dan antibody dependent ditemukan pada

3
penelitian menggunakan sel otot ekstraokuler yang dikultur dan serum penderita
oftalmopati graves. Dengan menggunakan teknik ELISA antibodi yang terdapat
dalam serum penderita oftalmopati graves menunjukkan ikatan spesifik terhadap
sedian membran otot mata. Penelitian lain menunjukkan antibodi spesifik
terhadap antigen otot mata dan korelasi positif antara titer antibodi dan derajat
oftalmopati. IgG penderita oftalmopati graves merangsang síntesis kolagen
fibroblas kulit dan glikosaminoglikan yang mungkin berhubungan dengan
perubahan histopatologi yang didapati secara klinis pada oftalmopati tiroid. 5
IV. GAMBARAN KLINIS
Gambaran awal yang khas sering terlihat berupa retraksi kelopak mata.
Retraksi kelopak mata atas dikenal sebagai tanda Dalrymple yang ditemukan
pada 37-92% pasien oftalmopati tiroid. Posisi normal kelopak mata atas berada
1-2 mm dibawah limbus korneosklera superior. Pada awalnya retraksi kelopak
mata ini mungkin merupakan suatu respon simpatomimetik, sedangkan pada
stadium lanjut retraksi dihubungkan dengan fibrosis jaringan kelopak mata.
Retraksi kelopak mata bawah juga dapat terjadi dan biasanya segera berubah
sesuai dengan derajat proptosis. Normalnya kelopak mata bawah terletak pada
limbus inferior. Jarang terjadi retraksi kelopak mata atas dan bawah tanpa
adanya proptosis..1,11
Terdapat hiperlakrimasi, rasa berpasir, gelisah, fotofobia, penglihatan
kabur dan diplopia. Pada konjungtiva terlihat hiperemis, terutama bagian
temporal (tanda Goldzieher). Pelebaran pembuluh darah terlihat diatas insersi
otot rektus medial atau lateral. Kadang-kadang ditemukan adanya kemosis dan
edema kelopak mata.1,11
Eksoftalmos merupakan penemuan yang khas pada penyakit mata tiroid, t
pada 34-93% pasien. Derajat proptosis dapat diperiksa dengan menggunakan
eksoftalmometer, bila lebih dari 21 mm atau perbedaan lebih dari 2 mm pada
kedua mata, menunjukkan adanya kelainan pada orbita. Onset oftalmopati
biasanya insidius dan progresifitasnya secara gradual. Gambaran khas pada CT
Scan orbita berupa pembesaran otot extra okuler dan secara akurat dapat
menyingkirkan tumor orbita atau kelainan orbita lainnya. Kebanyakan pasien

4
oftalmopati tiroid memiliki derajat eksoftalmos ringan sampai sedang, berkisar
lebih kurang 3 mm. Meskipun eksoftalmos dapat terjadi asimetris, namun
kebanyakan pasien sering ditemui dengan eksoftalmos yang relatif simetris. 1,11
Kelainan gerakan mata sering ditemukan pada oftalmopati tiroid.
Mula nya gerakan terbatas saat elevasi kemudian diikuti dengan keterbatasan
gerakan mata secara horizontal. Keterbatasan gerak ini biasanya berhubungan
dengan diplopia. Meskipun seluruh otot dapat dikenai, namun yang paling sering
11
terlibat ádalah otot rektus inferior, medial, lateral dan superior.
Keratitis eksposure dapat terjadi akibat tidak adekuatnya penutupan
kelopak mata pada pasien dengan proptosis dan disfungsi kelopak mata. Pada
pemeriksaan dengan slit-lamp dan menggunakan pewarnaan rose-bengal dan
fluoresens dapat mengidentifikasi adanya eksposure. Keratitis eksposure yang
tidak diterapi dapat mengakibatkan terjadinya ulkus kornea, perforasi,
panoftalmitis, dan kehilangan mata.11
Penurunan visus merupakan keadaan yang penting tapi merupakan suatu
komplikasi yang jarang terjadi pada penyakit mata tiroid dan biasanya
dihubungkan dengan kelainan neuropati optik. Insiden neuropati optik ini lebih
kurang 5%, dapat berupa edema papil dan perdarahan peripapil, dan pada
keadaan lanjut dapat terjadi atrofi papil yang mengakibatkan kehilangan visus
yang irreversibel. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang dicurigai
adanya neuropati optik dapat berupa pemeriksaan visus, buta warna, pupil
(afferent pupil defect), funduskopi, dan pemeriksaan lapangan pandang.. 11
V. DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Diagnosis oftalmopati graves pada umumnya mudah dilakukan apabila
ditemukan bersamaan dengan adanya hipertiroidisme. Menjadi sulit apabila
kelainan mata ditemukan pada seseorang tanpa adanya gejala klinis
hipertiroidisme dan lebih sulit lagi apabila kelainan mata hanya unilateral, dan
hasil pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid dalam batas normal. Kelainan mata
umunya disebabkan oleh penyakit tiroid tapi perlu juga dipikirkan penyebab
lainnya seperti adanya tumor pada orbita. 12

5
Pada tahun 1960 Dr.Sidney C. Warner seorang internis endokrinologi
pertama kali memperkenalkan klasifikasi kelainan mata pada penyakit graves
yang terdiri atas dua kelas yaitu Oftalmopati non – infiltratif dan infiltratif.
Bentuk infiltratif untuk jenis kelainan mata yang berat, sedang non infiltratif untuk
kelainan mata yang ringan.Pada tahun 1969 klasifikasi ini kurang memuaskan
nya lalu dirobah dan kemudian diakui oleh American Thyroid Association
( ATA ).
Klasifikasi ini disebut  NO SPECS yang merupakan singkatan dari setiap huruf
pertama dari tiap kelas.No menunjukkan kelas 0 menunjukan tidak ada tanda
dan gejala, kelas I memperlihatkan retraksi kelopak mata, kelas II menunjukan
adanya edema jaringan lunak dan inflamasi, kelas III terdapat eksoftalmos, kelas
IV memperlihatkan tanda gangguan pergerakan bola mata serta diplopia, kelas V
sudah memperlihatkan tanda keratopati eksposur, kelas VI dengan tanda –
tanda neuropati optik.12
Sistem ini telah berkembang dengan sistem gradasinya dan masing-masing
kelas dibagi menjadi 4 grade: 0 (tidak ada), A (ringan), B (sedang), C (berat).

Tabel Klasifikasi Werner untuk perubahan mata pada penyakit Graves


(Klasifikasi NOSPECS) 12,14

Class Grade Suggestions for Grading


---------------------------------------------------------------------------------------
0 No physical signs or symtoms
I Only signs
II Soft tissue involvement with
symptoms and signs
0 absent
a minimal
b moderate
c marked
III Proptosis
0 absent
a 3 – 4 mm increase over upper normal
b 5 –7 mm increase
c 8 – mm or increase

IV Extraocular muscle involvement

6
0 absent
a limitation of motion at ektremes of gaze
b evident restriction of motion
c fixation of a globe or globes
V Corneal involment
0 absent
a stippling of cornea
b ulceration
c clouding, necrosis, perforation

VI Sight loss caused by optic


nerve involvement
0 absent
a disc pallor or choking or visual
field defect vision 20/20 to 20/60
b vision 20/70 to 20/200
c vision less than 20/200 ( blindness )
VI. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL3,7
 Sellulitis orbita
 Sellulitis Preseptal
 Pseudotumor
VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan kadar T4 (tiroksin) total dan bebas telah tersedia secara luas
dan sangat berguna pada evaluasi awal pasien yang dicurigai mengalami
disfungsi tiroid. Kadar T4 total dapat diukur dengan pemeriksaan radio imuno
assay (RIA). Karena kadar T4 total dapat dipengaruhi oleh serum pengikat
protein maka pemeriksaan yang lebih akurat adalah dengan memeriksa kadar T4
bebas. Dengan pemeriksaan T3 dan T4 bebas maka secara tidak langsung
dapat diukur kadar thyrokxine binding globulin (TBG) dengan menggunakan
pemeriksaan uptake resin T3. American Thyroid Association telah
merekomendasikan pemeriksaan uptake resin T3 yang diekspresikan berupa
indeks yang disebut THBR (Thyroid Hormon Binding Ratio). Kadar T4, FT4I dan
THBR dapat berubah dengan adanya penyakit tiroid primer. Disfungsi tiroid juga
dapat dideteksi dengan pemeriksaan kadar STSH (Supresion TSH).15
Pengukuran kadar STSH sekarang juga banyak digunakan sebagaii
deteksi awal adanya disfungsi tiroid. Kadar STSH akan meningkat pada keadaan

7
menurunnya kadar T3 dan T4 dan sebaliknya kadar STSH akan menurun pada
keadaan meningkatnya kadar T3 dan T4. Walaupun demikian kadar STSH ini
uga dapat meningkat atau menurun dalam keadaan kadar T3 dan T4 yang
normal, hal ini disebut subklinis hipo atau hipertiroid. 15
Pengukuran kadar antibodi anti tiroid juga dapat dilakukan pada pasien
tertentu. Antibodi antitiroid yang diperiksa adalah antibodi anti mikrosomal yang
akan meningkat hebat pada pasien Hashimoto dan sedikit meningkat pada
pasien penyakit Graves.15
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan merupakan alat diagnostik penunjang penting untuk
mengevaluasi oftalmopati tiroid dimana alat tersebut dapat memperlihatkan
pembesaran otot ekstra okuler yang sering bersifat asimetris. Kelainan ini
ditemukan pada 85% pasien oftalmopati tiroid. 16
Colour Doppler Imaging dapat digunakan untuk mengevaluasi kecepatan
aliran darah orbita, dimana pada oftalmopati kecepatan alirannya meningkat
sesuai dengan pembesaran otot ekstra okuler.16
Meskipun tidak sebaik CT- scan, USG dapat mengevaluasi penyakit
orbita anterior dan intermedia. Pada suatu penelitian, 63% pasien penyakit mata
asimptomatik didapatkan bukti pembesaran otot ekstra okuler. 2
MRI dapat memperlihatkan kelainan pada jaringan lunak. MRI secara
jelas akan menunjukkan adanya neuropati optik kompresi. 17
IX. TERAPI
1. Lokal
Pengobatan ini ditujukan untuk melindungi bola mata serta untuk
mengatasi rasa tidak nyaman pada mata akibat terpapar nya kornea dan
kunjungtiva. Pada keadaan ini dapat diberikan air mata buatan pada siang hari
dan salep mata pada malam hari menjelang tidur.Bila didapatkan tanda – tanda
kerusakan epitel kornea diperlukan observasi lebih ketat dan pemberian
antibiotik topikal atau bila perlu dilakukan tarsorafi. 3,7

2. Sistemik

8
a. Kortikosteroid
Pilihan utama untuk terapi sistemik pada oftalmopati graves adalah
kortikosteroid baik diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan
imunosupresi. Terdapat beberapa hal yang mengindikasikan diberikannya
kortikosteroid pada oftalmopati graves yaitu bila terlihat tanda – tanda inflamasi
akut, neuropati optik, diplopia serta terdapatnya eksothalmos yang berat.selain
itu juga diberikan pada preoperasi dekompresi orbita untuk memperkecil respons
peradangan akibat trauma.3,7,18
Dosis steroid yang diberikan berkisar antara 60 mg hingga 100 mg
peroral, diberikan tiap hari dalam dosis terbagi dalam beberapa hari dan
kemudian dilakukan tappering off sampai beberapa minggu. Umumnya terapi
steroid memberikan respons yang cukup baik, tetapi hanya bersifat sementara
selama kortikosteroid diberikan. Penghentian pengobatan akan menyebabkan
kekambuhan, karena itu pemberian steroid dapat berlangsung beberapa bulan
hingga beberapa tahun dengan tappering off yang amat perlahan hingga
tercapai keadaan yang stabil setelah itu. Pemberian kortikosteroid yang lama
tentu akan menimbulkan komplikasi, karena itu pemberian kortikosteroid kadang
– kadang diikuti dengan pemberian imunosupresif atau radiasi. 3,18
Untuk mengurangi efek samping pemberian steroid secara sistemik
pernah dicoba pemberian injeksi steroid peribulbar,akan tetapi respon yang
timbul tidak sebaik apabila steriod diberikan secara sistemik.
Dilaporkan penggunaan metil prednisolon dan triamsinolon dengan cara injeksi
intraorbita atau subkonjungtiva. Triamsinolon merupakan kortikosteroid sintetik
dengan potensi 5 kali lebih baik dibandingkan kortisol. Penelitian oleh Ebner R,
dkk, didapatkan hasil berkurangnya diplopia dan mengecilnya ukuran otot ekstra
okuler setelah dilakukan injeksi Triamsinolon periokuler pada kuadran
inferolateral orbita. Injeksi dilakukan 1 kali seminggu selama 4 minggu dengan
dosis Triamsinolon 20 mg pada masing-masing mata. 3,19

b. Imunosupresif

9
Obat imunosupresif yang bisa digunakan adalah siklosporin,pengobatan
tunggal siklosporin dilakukan bila pengobatan lain tidak memungkinkan, sedang
dosis rendah siklosporin dikombinasikan dengan steroid digunakan untuk terapi
maintenence jangka panjang.3,18
3. Terapi Radiasi
Radiasi pada oftalmopati graves adalah sebagai terapi pengganti atau
terapi tambahan untuk pemberian steroid atau pembedahan.
Efek terapi radiasi menekan limfosit dan fibroblast, inflamasi dan kongesti orbita
akan berkurang, sedang efek terhadap pembengkakkan otot ekstra okuler
sangat minimal. Karena itu keberhasilan terapi radiasi cenderung sejajar dengan
hasil pengobatan steroid dosis tinggi.3,18
4. Terapi bedah
Terapi bedah pada oftalmopati graves akan memperbaiki beberapa aspek
serta akan menghasilkan perubahan yang bersifat pasti dan permanen. Masalah
yang di utamakan untuk menjalani terapi bedah adalah terdapatnya neuropati
optik, diplopia, kornea yang tereksposure dan kelainan kosmetik,
Terapi bedah seperti dekompresi orbita, operasi strabismus, serta operasi
kelopak mata.3,20

DAFTAR PUSTAKA

10
1. American Academy of Ophthalmology. Evaluation Of Orbital Disorders.
Chapter II. Section 7. USA: Basic And Clinical Science Course; 2001-2002. p.
44 - 51.
2. American Academy of Ophthalmology. Selected Systemic Condition With
Neuro – Ophthalmic Signs. Chapter XIV. Section 5. USA: Basic And Clinical
Science Course; 2001- 2002. p. 313 - 316.
3. M. Sidik. Penatalaksanaan graves Ophthalmopathy. In Continuing
Ophthalmolocal Education 2000. Departement of ophthalmology faculty of
Medicine University of Indonesia. 2000. p. 1 - 5
4. Edsel MD.Thyroid Ophthalmopathy. In Emedicine Instant Access to The
Minds Of Medicene. Articles on March 18 ,2005
5. Indriani, Sidik M, Tanzil M. Gambaran Klinis Oftalmologi Graves Pada
Berbagai status Tiroid. In Ophthalmologica Indonesiana Journal of
TheIndonesia Ophthalmologists Association. Vol 29 No 2.October 2002.p 153
- 160
6. Kumar S, Coenan MJ, Scherer PE et al. Evidence of Enhanced Adipogenesis
in the Orbits of Patients with Graves’s Ophthalmopathy.The J. of Clinical
Endocrinology & Metabolism 2004 ; 82 ( 2 ) : 930 – 935
7. Bartalena L, Pinchera A, Marcoci. Management of Graves’s
Ophthalmopathy : Reality and Perspective. Endocrine Reviews 2000 ; 21
( 2) : 168 – 199.
8. J. Larry Jameson, Anthony P. Weetman. Disorders Of The Thyroid Gland
Di akses dari http://www .harrisonsonline.com
9. Burch HB, Gorman CA, Rebbeca S et al. Ophthalmopathy. In Werner &
Ingbars The Thyroid A Fundamental & Clinical Text, 8 th ed. Edited by
Braverman LE, Utiger RD. Lippincott William & Wilkins Philadelphia, 2000. p.
531 – 544
10. Abramoff MD, Kalmann R, de Graaf MEL et al. Rectus Extraocular Muscle
Paths and Decompression Surgery for Graves’s Orbitopathy : Mechanism of
Motility Disturbances. Invest. Ophthalmol. Visual Science, 2002 ; 43 : 300 –
307
11. Bloch RS, Henkind P. Ocular Manifestations of Endocrine and Metabolic
Disease.In: Duane’s Clinical Ophthalmology vol. 5 ( 21 ). Edited by Tasman
W . Lippincott-Raven, Philadelphia , 1997. p. 1-6 .
12. John MF, Marie J Adam – Sampelan. Oftalmopati Graves, Epidemiologi,
Klasifikasi, dan Penatalaksanaan.In Naskah lengkap Temu Ilmiah Nasional IV
Penyakit kelenjar Tiroid. Badan penerbit Universitas Diponegoro 2005. p.
115 – 124
13. Anthony P. weetman.Graves disease. In The New England Jurnal of medicine
Di akses dari http://www.nejm. Org on October 19,2006
14. Netland PA, Dallow RL. Thyroid Ophthalmopathy. In Principles and practice
of ophthalmology Vol. 5 ( 240 ). edited by Albert DM, Jacobiec FA. WB
Saunders Co. Philadelphia 1994 ; p. 2937 – 2955.

11
15. Kim JM, LaBree L, Levin L et al. The Relation of Graves’s Ophthalmopathy to
Circulating Thyroid Hormone Status.Br. J Ophthalmol. 2004 ; 88 : 72 – 74.
16. Alp MN, Ozgen A, Can I et al. Colour Doppler Imaging of the Orbital
Vasculature in Graves’s Disease with Computed Tomographic Correlation.
Br. J Ophthalmol. 2000 ; 84 : 1027 – 1030.
17. Ott.M, Breiter, Albreecet. Can Contrast Enhanced MRI Predict The Respone
Of Graves Ophthalmopathy to Orbital Radiotherapy. The British Journal of
Radiology .75 ( 2002 ) 514 – 517
18. Dallow RL, Netland PA. Management of Thyroid Ophthalmopathy. In
Principles and practice of ophthalmology Vol. 3 ( 169 ). edited by Albert DM,
Jacobiec FA. WB Saunders Co. Philadelphia 1994 ; p. 1905 – 1922
19. Ebner R, Devoto MH, Weil D et al. Treatment of Thyroid Associated
Ophthalmopathy with Periocular Injection Triamcinolone. Br. J Ophthalmol.
2004 ; 88 : 1380 – 1386.
20. Kalman R, Mourintis M. Coronal Approach for Rehabilitatif Orbital
Decompresion in Graves Ophthalmopathy . Br.J Ophthalmol. 1997. 81; 41 -
45

12
LITERATUR RIVIEW Rencana dibacakan :
Sabtu,6 Oktober 2007
Pk. 09.00 WIB

OFTALMOPATI GRAVES

NOVIANDRI

SUB BAGIAN NEUROPTHALMOLOGI BAGIAN ILMU PENYAKIT


MATA
FK. UNAND - PERJAN RS Dr. M.DJAMIL
PADANG, 2007

13
14

Anda mungkin juga menyukai