Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

MENINGITIS

Oleh :
Akbar Muzakki A 1940312027
Muhammad Fathurrahman S 1840312441
Putri Wulandari 1840312292

Preseptor :
dr. H. Edi Nirwan, Sp.S, M.Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan case dengan judul “Meningitis”.
Pembuatan case ini untuk memmenuhi salah satu syarat mengikut kepaniteraan klinik senior
di bagian Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Edi Nirwan, Sp.S M.Biomed selaku
preseptor case ini dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan case ini.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dan kesalahan yang terdapat pada case ini.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
untuk kesempurnaan case ini. Semoga case ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 4 Oktober 2019

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis adalah inflamasi (peradangan) pada meningens terutama arakhnoid dan
piameter, yang terjadi karena adanya invasi bakteri, virus, jamur, ataupun protozoa ke dalam
ruang subaraknoid. Mikroorganisme dapat masuk ke setiap bagian ruang subaraknoid dan
dengan cepat menyebar ke tempat lain. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. [1]
[2]

Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan
otak yang jernih. Penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosis. Penyebab lain seperti
lues, virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia. Meningitis serosa masih banyak ditemuk di
Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. [1] [2] [3]
Meningitis purulenta adalah radang selaput otak araknoid dan piemeter yang disertai
cairan otak yang keruh. Penyebab utama adalah Haemophillus, Pneumococcus,
Meningococcus, Staphylococcus, dan Streptococcus. Sedangkan pada bayi penyebab tersering
adalah E.coli, Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus. [1] [2] [3]

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, prognosis dan komplikasi dari meningitis.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang definisi,
etiologi, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis dari meningitis.

1.4 Metode Penulisian


Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk ke beberapa literatur.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Meningitis adalah inflamasi pada meningen yang melapisi otak dan medula spinalis.
Penyebab tersering meningitis adalah infeksi (bakteri, virus, jamur). Meningitis dapat juga
terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subaraknoid, neoplasma atau keadaan lainnya. [4]

2.2 Anatomi Fisiologi Meningen [3]


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang
melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan
serebrospinal / CSS) dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan,
yaitu durameter, araknoid dan piameter.
1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medulla spinalis. Sifat dari durameter
yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu. Bagian putih dura falk
serebri yang memisahkan kedua hemisfer di bagian longitudinal dan tentorium, yang
merupakan lipatn dari dura yang membentuk jaring-jaring membran yang kuat. Jaring
ini mendukung hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa
superior).
2. Araknoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut araknoid. Membran
ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding araknoid terdapat flexus
koroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Membran
ini mempunyai bentuk seperti jari tangan yang disebut araknoid vili, yang
mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS diproduksi 500 cc dan diabsorbsi
vili 150 cc.
3. Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan,
yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan darah otak. Piameter berhubungan
dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Piameter
merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti setiap
lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura, juga melekat pada permukaan
2
batang otak dan medulla spinalis, teru ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis
setinggi korpus vertebra.

2.3 Epidemiologi
Meningitis bakterialis lebih banyak ditemukan pada pria, dengan insiden 2-6/100.000
per tahun dengan puncak kejadian pada kelompok bayi, remaja, lansia. Tingkat insiden tahunan
per 100.000 sesuai bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumonia 1,1, Neisseria
meningitidis 0,6, Streptococcus 0,3, Listeria monocytogenes 0,2, Haemophillus influenzae 0,2.
[5]. Meningitis TB sering ditemukan di negara berkembang. Meningitis tuberkulosis
merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan yang tepat karena
angka mortalitasnya mencapai 30%. Sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki
gangguan neurologis walaupun telah diberikan pengobatan adekuat.

2.4 Etiologi
1. Bakteri
- Pneumococcus (Streptococcus pneumoniae)
- Meningococcus (Neisseria meningitidis)
- Haemophillus influenzae
- Staphylococcus
- Escherichia coli
- Salmonella
- Mycobacterium tuberculosis
2. Virus
- Enterovirus
3. Jamur
- Cryptococcus neoformans
- Coccidiodea immitris
Pada dewasa imunokompeten, Pneumococcus dan Meningococcus adalah patogen
utama penyebab meningitis bakterialis karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak. Sedangkan basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Klebshiella sp, Staphylococcus epsidermidis, dan Pseudomonas sp biasanya
merupakan penyebab meningitis bakterial nosokomial, yang lebih mudah terjadi pada pasien
kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal/eksternal /dan trauma kepala. [5]

3
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada otak, meningitis dibagi menjadi :
1. Meningitis serosa
Adalah peradangan selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosis. Penyebab lain
seperti lues, virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia. Meningitis serosa masih banyak
ditemuk di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. [1] [2] [3]
2. Meningitis purulenta
Adalah peradangan selaput otak araknoid dan piemeter yang disertai cairan otak
yang keruh. Penyebab utama adalah Haemophillus, Pneumococcus, Meningococcus,
Staphylococcus, dan Streptococcus. Sedangkan pada bayi penyebab tersering adalah
E.coli, Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus. [1] [2] [3]

Berdasarkan penyebabnya, meningitis dibagi menjadi :


1. Meningitis bakterialis (MB)
Meningitis bakterialis memiliki resiko tinggi dalam menimbulkan kematian dan
kecatatan. Meningitis bakterialis selalu bersifat purulenta. Pada umumnya meningitis
purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Meningitis purulenta dapat timbul
sebagai komplikasi dari otitis media atau sinusitis. Penyebab dari meningitis bakterialis
yaitu S.pneumoniae, N.meningitidis, Streptococcus group B, L.monocytogenes,
H.influenzae, Staphylococcus aureus.
2. Meningitis tuberkulosis
Adalah peradangan meningen oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Terjadinya meningitis tuberkulosis bukanlah karena terinfeksinya meningens oleh
penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel
pada permukaan otak, medulla spinalis atau vertebrae yang kemudian pecah ke rongga
araknoid. Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosis ternyata merupakan
meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama
pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat tersebut dapat
menyebabkan obstruksi pada sisterna basalis. [6]
3. Meningitis virus / meningitis aseptik
Disebut juga meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir/sekuele dari
penyakit oleh virus seperti campak, mumps, herpes simpleks dan herpes zooster. Pada
pemeriksaan CSS meningitis virus, tidak terbentuk eksudat dan tidak ditemukannya
4
kuman. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter dan meningens. Terjadinya
kerusakan otak pada meningitis virus bergantung dari jenis sel yang terkena. Pada
herpes simpleks, virus ini menganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain juga
dapat menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmitter.
4. Meningitis Jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang
ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien imunodefisiensi, kejadiannya semakin
meningkat. Masalah yang dihadapi adalah ketepatan diagnosis dan terapi yang efektif.
Meningitis akibat jamur tidak langsung difikirkan sebagai penyebab dan jamur tidak
sering ditemukan dalam CSS pasien yang terinfeksi.

2.6 Faktor Resiko


Faktor resiko pada meningitis adalah status immunocompromised seperti pada infeksi
HIV, kanker, dalam terapi obat imunosupresan, splenektomi. Faktor resiko lainnya yaitu
trauma tembus kranial, fraktur basis kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru,
infeksi gigi, adanya benda asing dalam sistem saraf pusat seperti VP shunt, penyakit kronik
(gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol dan sirosis hepatik) [5]

2.7 Patofisiologi
1. Meningitis bakterial
Pada meningitis bakterial, terjadi rekruitmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal
(CSS). Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tetapi juga mengenai
parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medulla
spinalis. Kerusakan neuron terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab
potensial defisit neuropsikogenik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis bakterial.
[6].
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv.diploica, erosi fokus osteomyelitis,
atau secara iatrogenik (pasca VP shunt, atau prosedur bedah otak lainnya). [5]
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung
dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam SSP merupakan mekanisme yang kompleks.
Awlanya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada sel epitel
menggunakan villi adhesive dan membran protein. Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan
5
cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus koronoid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri
terjadi melalui kerusakan endotelnya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak,
medulla spinalis dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan
cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur serebrospinal.
Infeksi juga dapat mengenai ventrikel baik secara langsung melalui pleksus koroid maupun
refluks lewat foramina Magendie dan Luschka. [5]
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respon humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi proses
inflamasi di meningens dan parenkim otak. Akibatnya permeabilitas sawar darah otak
meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan memicu
inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid. Eksudat akan
menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke selubung
saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan menginfiltrasi dinding arteri dan
menyebabkan penebalan tunika intima serta vasokontriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia
serebral. Tunika adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian
dari membran araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami
proses inflamasi bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius).
Selanjutnya dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat
mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, meningitis bakterialis dapat menyebabkan
trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal.
Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi araknoid atau
menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau
komunikans yang disertai edema serebral interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi
saraf kranial dan menyebabkan neuropati kranial fokal. [5]
2. Meningitis tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahapan pertama ketika basil
M.tuberkulosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru
dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen
atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa foci subependimal yang disebut rich
foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam
subaraknoid dan mengakibatkan meningitis. Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk
tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan gejala sisa yang permanen.

6
2.8 Manifestasi klinik
Meningitis memiliki trias klasik yaitu demam, sakit kepala dan kaku kuduk. Tidak
jarang juga disertai dengan kejang umum dan gangguan kesadaran. Keluhan pertama biasanya
nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku
kuduk idsebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat dapat terjadi
opistotonus yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Tanda Brudzinski dan Kernig juga dapat ditentukan serta memiliki signifikansi
klinik yang sama dengan kaku kuduk, namun sulit ditemukan. Diagnosis meningitis dapat
menjadi sulit jika manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku kuduk tidak
selalu ditemukan pada pasien sopor, koma atau pada lansia. [5]
Meningitis meningokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat
cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam petekie atau purpura,
syok sirkulasi atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam petekie muncul pada sekitar 50%
infeksi meningokokal, manifestasi tersebut mengindikaskan pemberian antibiotik secepatnya.
[5]. Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus atau katup
jantung. Etiologi pneumokokal juga dicurigai pada pasien alkoholik, pasca-splenektomi,
lansia, anemia bulan sabit dan fraktur basis kranium. Sedangkan etiologi H.influenzae biasanya
terjadi setelah infeksi telinga dan saluran nafas atas pada anak-anak.
Meningitis setelah prosedur bedah saraf biasanya disebabkan oleh infeksi stafilokokus.
Infeksi HIV, gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor, osteomyelitis),
penyakit kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah kondisi yang memudah
terjadinya meningitis oleh Enterobacteriaceae, Listeria, dan Pseudomonas. [5]

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu darah rutin, laju endap darah, kadar glukosa,
kadar ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit serum untuk
melihat adanya dehidrasi. Pada meningitis bakterialis, didapatkan leukositosis dengan shift to
the left.
2. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi dapat menganalisa jumlah sel dan protein cairan serebrospinal. Lumbal
pungsi tidak boleh dilakukan jika terdapat tanda peningkatan intrakranial pada pasien (mual
muntah, kejang, kesadaran menurun).

7
a. Pada meingitis serosa terdapat peningkatan tekanan intrakranial yang bervariasi,
cairan jernih, leukosit meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif.
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan intrakranial yang meningkat, cairan
keruh, jumlah leukosit meningkat (pleositosis lebih dari 1000/mm3), protein
meningkat, glukosa menurun, kultur positif terhadap penyebab infeksi bakteri.
Diagnosis meningitis dapat ditegakkan melalui kultur darah, analisis CSS, pewarnaan
dan kultur CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan atau ensefalitis. Pewarnaan gram CSS memberikan hasil meningokokus positif
pada sekitar 50% pasien dengan meningitis meningokokal akut. Kultur darah dapat membantu,
namun tak selalu bisa diandalkan. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) bersifat
sensitif terhadap Streptoccus pneumonia dan Neisseria meningitidis. Karakteristik CSS pada
meningitis terlihat pada tabel 2.2 [2]

Tabel 2.1 Karakteristik CSS pada meningitis


Normal Bakterial Viral TB Fungal
Makroskopis Jernih, tak Keruh Jernih Jernih Jernih
berwarna (opalescent) (opalescent)
Tekanan Normal Meningkat Normal/ Meningkat Normal /
meningkat meningkat
Sel 0-5 /mm3 100-60.000 5-100 /mm3 5-1000 /mm3 20-500 /mm3
/mm3
Netrofil Tak ada >80% <50% <50% <50%
Glukosa 75% glukosa Rendah Normal Rendah Rendah
darah (<40% (<50% (<80%
glukosa glukosa glukosa
darah) darah) darah)
Protein <0,4 gr/L 1-5 gr/L >0,4 – 0.9 1-5 gr/L 0,5 – 5 gr/L
gr/L
Lainnya Gram positif PCR kultur Kultur 50- Gram
<90%, kultur positif <50% 80% negatif,
positif kultur positif
<80%, kultur 25-50%
darah positif
<60%

3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT scan dan
MRI. Foto thorax dapat melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru, atau foto kepala untuk
melihat adanya mastoiditis atau sinusitis.

8
Pemeriksaan CT scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis pasti
meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya enhancement meningeal, namun jika
tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat disingkirkan. Temuan pada CT Scan dan MRI
dapat normal, penipisan sulcus, enhancement konstras yang lebih konveks. Pada stadium lanjut
dapat pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

Gambar 2.1 CT-Scan pada Meningitis . Gambar 2.2 MRI pada meningitis.
Didapatkan ependimal enhancement dan Didapatkan leptomeningeal enhancement
ventrikulitis

Pencitraan otak harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa,


hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika
pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan
kesadaran, keadaan immunocompromised, riwayat penyakit SSP (lesi massa, stroke, infeksi
fokal), defisit neurologi fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang memperlihatkan
tanda-tanda ancaman herniasi.

2.10 Diagnosis
Diagnosis meningitis dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti pungsi lumbal. Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat
hanya setelah dilakukan lumbal pungsi pada pasien dengan gejala dan tanda gangguan SSP,
adanya hasil BTA positif atau terdeteksi M.tuberculosis dengan metode molekular atau kultur
CSS. Diagnosis atau suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis yang
disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosis dan hasil foto rontgen dan cairan
serebrospinalis menunjukkan adanya infeksi oleh M.tuberculosis. Gejala klinis saat akut adalah
defisit kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal
yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia dan demam. Gejala klasik berupa
trias meningitis yaitu demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Meningitis tuberkulosis terdiri dari
3 stadium :

9
1. Stadium 1 (prodromal)
Berlangsung selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Permulaan penyakit bersifat subakut, pada dewasa didapatkan demam
yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi dan sangat gelisah
2. Stadium II (transisi)
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat, dimana
pasien mengalami nyeri kepala yang hebat, gangguan kesadaran. Tanda rangsang
meningeal mulai nyata, terjadi parase nervus kranialis, hemiparese atau quadriparese,
seluruh tubuh menjadi kaku, terdapat tanda peningkatan intrakranial (muntah hebat)
3. Stadium III (terminal)
Ditandai dengan kelumpuhan semakin parah dan gangguan kesadaran lebih
berat sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3
minggu bila tidak mendapat pengobatan adekuat.

2.11 Penatalaksanaan
1. Meningitis bakterialis
Meningitis bakterialis (MB) dalah kegawatdaruratan medik. Pemilihan antibiotik yang
tepat adalah langkah penting karena harus bersifat bakterisidal pada kuman yang dicurigai dan
dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai
sambil menunggu hasil tes diagnostik dan natinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik.
Pilihan antibiotik empirik pada MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien, dan
adanya penyakit yang mendasari atau faktor resiko penyerta. Antibiotik harus segera diberikan
bila ada syok septik. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan cairan dan mungkin
memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial,
pertimbangkan pemberian mannitol. [5]
Antibiotik empirik dapat diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil kultur
sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit dan
jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi secara
efektif dengan satu dosis ceftriaxone IV sesuai dengan rekomendasi WHO. Namun WHO
merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi non epidemik atau
jika terjadi koma / kejang yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Di negara maju, disarankan
terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan haemofilus, dan 10-14 hari
ntuk meningitis pneumokokal. [5]
10
Terapi deksametason yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna, terutama pada
meningitis pneumokokal. Deksametason dapat menurunkan respons inflamasi di ruang
subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan resiko edema serebral, peningkatan
TIK, gangguan aliran darah otak, vaskulitis dan cedera neuron. Deksametason diberikan
selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara IV. [5]
Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi
antikonvulsan sering diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang, maka pasien
terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus dipertahankan dalam
status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor perlu diberikan untuk
mencegah stress-induced gastritis. Jika kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam
setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS ulang harus dilakukan. [5]
2. Meningitis TB
Pengobatan meningitis TB adalah dengan OAT yang dilakukan selama 9-12 bulan.
Tatalaksana line 1 untuk TB Diberikan selama 12 bulan yang dibagi menjadi 2 fase, yaitu
pengobatan 2 bulan pertama dengan 4 kombinasi obat RHZE, dan pengobatan 10 bulan
berikutnya dengan 2 obat yaitu RH (2 RHZE + 10 RH). Jika sebelumnya sudah mendapat obat
anti tuberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan tergantung kategorinya. Dosis obat anti
tuberkulosis yang dapat diberikan terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.2 Dosis OAT line pertama


Obat Dosis Harian Anak Dosis Harian Dewasa
Isoniazid 10 mg/kgbb (6-15 mg/kgbb) 5 mg/kgbb (4-6 mg/kgbb)
Rifampisin 15 mg/kgbb (10-20 mg/kgbb) 10 mg/kgbb (8-12 mg/kgbb)
Pirazinamid 35 mg/kgbb (30-40 mg/kgbb) 25 mg/kgbb (20-30 mg/kgbb)
Streptomisin 17,5 mg/kgbb (15-20 mg/kgbb) 15 mg/kgbb (12-18 mg/kgbb)
Etambutol 20 mg/kgbb (15-25 mg/kgbb) 15 mg/kgbb (15-20 mg/kgbb)

2.1 Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya kuman pada selaput otak, jenis meningitis dan lama
penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita neonatus, anak dan lansia memiliki prognosis
yang buruk. Pada meningitis tuberkulosis, angka kecacatan dan kematian pada umumnya
tinggi. Prognosis jelak pada bayi dan orangtua. Angka kematian TB dipengaruhi oleh umur dan

11
pada stadium berapa pasien mencari pengobatan. Pasien dapat meninggal dalam waktu 6-8
minggu. [6]
Meningitis bakterialis yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis
pneumokokal memiliki tingkat fatalitas tertinggi (19-37%). Pada sekitar 30% pasien yang
bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologis seperti gangguan pendengaran dan defisit
neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor prognosis buruk adalah pasien
immunocompromised, usia >55 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yagn rendah,
dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang
mampu bertahan dari MB. [5]

2.12 Komplikasi
Komplikasi meningitis pada onset akut berupa perubahan status mental, edema serebri,
peningkatan TIK, kejang, efusi subdural, parase nervus kranialis, hidrosefalus, defisit
sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut dapat terjadi
epilepsi, ataksia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang menurun dan lainnya.
Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik, DIC, gangguan fungsi hipotalamus,
disfungsi endokrin, kolaps vasomotor, dan bahkan dapat menyebabkan kematian. [8]

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn.JH
No RM : 51.87.67
Nama Ibu Kandung : Ny. I
Tanggal Lahir/Umur : 16 Januari 1988 / 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Supir
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Alamat : Bukittinggi
Tanggal Masuk RS : 15 September 2019

ANAMNESIS
Alloanamnesis : Istri Pasien ( Ny. Feni )

Keluhan Utama
- Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


- Penurunan kesadaran sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit, penurunan
kesadaran terjadi berangsur-angsur , awalnya pasien kejang selama 10 menit dan
kemudian pasien tidak lagi menyahut dan membuka mata jika dipanggil.
- 3 bulan sebelumnya, pasien sering mengeluhkan sakit kepala, sakit diseluruh bagian
kepala seperti dihimpit, sakit kepala hilang timbul, hilang saat dibawa istirahat tidur.
Sakit kepala ini mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.
- Pasien mengeluhkan adanya kelemahan pada anggota gerak kanan sejak 1 bulan yang
lalu.
- Nafsu makan menurun sejak 3 bulan yang lalu yang disertai dengan penururunan berat
badan dari 58 kg menjadi 50 kg.

13
- Demam sejak 1 hari yang lalu, tinggi, mengigil, dan mengeluarkan berkeringat.
- Batuk ada, 2 minggu sebelum masuk RS, batuk disertai dahak, batuk tidak berdarah
- Muntah ada, sejak 1 hari sebelum masuk RS, tidak menyemprot, berisikan apa yang
dikonsumsi.
- Sesak nafas tidak ada
- Gigi berlubang tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak ada
- Trauma sebelumnya tidak ada
- Mual tidak ada.
- Kelemahan anggota gerak tidak disadari keluarga.
- BAB frekuensi lebih jarang, warna dan konsistensi biasa. BAK warna dan jumlah biasa

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Pasien dikenal dengan diagnosa TB sejak bulan Mei 2019, rutin minum obat OAT.
Setelah 2 kali konsul, pasien menghentikan pengobatan TB, Pasien melanjutkan
kembali pengobatan pada tanggal 31 Agustus 2019
- Riwayat ISPA tidak ada
- Riwayat Hipertensi, DM, stroke dan penyakit jantung tidak ada
- Riwayat keganasan tidak ada
- Riwayat trauma sebelumnya tidak ada
- Pasien sebelumnya tidak pernah memiliki riwayat di operasi serta tidak ada riwayat
dilakukan tindakan anastesi umum

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama
- Tidak ada anggota keluarga yang batuk-batuk lama ataupun minum obat rutin 6 bulan
- Tidak ada anggota keluarga dengan hipertensi, DM, stroke dan penyakit jantung
- Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat keganasan

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi:


- Pasien seorang supir travel dengan aktivitas sedang
- Pasien tidak memiliki riwayat minum alkohol
- Pasien merokok sejak 10 tahun yang lalu sebanyak 1 bungkus / hari

14
- Pasien tinggal dirumah permanen dengan ventilasi cukup, pencahayaan cukup
-

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Berat


Kesadaran : Soporous (GCS 7 E2M4V1)
Kooperatif : Tidak
Nadi/Irama : 105 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Suhu : 36,7˚C
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Keadaan gizi : Kurang
Turgor kulit : Baik
Kulit dan kuku : tidak ditemukan kelainan
Kelenjar getah bening :
Leher : tidak ditemukan pembesaran
Aksila : tidak ditemukan pembesaran
Inguinal : tidak ditemukan pembesaran
Thorak :
Paru :
Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus sulit dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : Redup dibagian paru kanan ketimbang kiri, Suara nafas
bronkoesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
Abdomen :

15
Inspeksi : perut tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Korpus Vertebrae :
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)

STATUS NEUROLOGIS
1. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Tanda Kernig : (-)

2. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial


Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya + /+ menurun, refleks kornea +/+

3. Pemeriksaan Nervus Kranialis


1. N I (Olfaktorius)

Penciuman Kanan Kiri


Subjektif Sulit dinilai Sulit dinilai
Objektif (dengan bahan) Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan

2. N II (Optikus)

Penglihatan Kanan Kiri


Tajam penglihatan Sulit dinilai Sulit dinilai
Lapangan pandang Sulit dinilai Sulit dinilai
Melihat warna Sulit dinilai Sulit dinilai
Funduskopi Tidak dilakukan pemeriksaan

16
3. N III (Okulomotorius)

Kanan Kiri
Bola mata Normal Normal
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Doll’s eye movement (+) Doll’s eye movement (+)
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endoftalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) menurun (+) menurun
Refleks akomodasi Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks konvergensi Sulit dinilai Sulit dinilai

4. N IV (Troklearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Sulit dinilai Sulit dinilai
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia Sulit dinilai Sulit dinilai

5. N VI (Abdusen)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Sulit dinilai Sulit dinilai
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia Sulit dinilai Sulit dinilai

6. N V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut Sulit dinilai Sulit dinilai
Menggerakkan rahang Sulit dinilai Sulit dinilai

17
Menggigit Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengunyah Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensorik
Divisi Oftalmika
Refleks kornea (+) (+)
Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai
Divisi maksila
Refleks masseter Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai
Divisi mandibula
Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai

7. N VII Fasialis
Kanan Kiri
Raut wajah Normal Normal
Sekresi air mata Normal Normal
Fisura palpebra Normal Normal
Menggerakkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Mencibir/bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensasi lidah 2/3 Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiperakusis Sulit dinilai Sulit dinilai

8. N VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri
Suara berisik Sulit dinilai Sulit dinilai
Detik arloji Sulit dinilai Sulit dinilai
Rinne test Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
Weber test Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
Swabach test
Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
Memanjang

18
Memendek
Nistagmus (-) (-)
Pendular
Vertikal
Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)

9. N IX (Glossopharingeus)

Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks muntah/Gag reflex Sulit dinilai Sulit dinilai

10. N X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
Menelan Sulit dinilai
Suara (+)
Nadi Teratur

11. N XI (Asesorius)

Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Sulit dinilai Sulit dinilai
Menolah ke kiri Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu ke kanan Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu ke kiri Sulit dinilai Sulit dinilai

12. N XII (Hipoglosus)

Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Sulit dinilai
Kedudukan lidah dijulurkan Sulit dinilai

19
Tremor Sulit dinilai
Fasikulasi Sulit dinilai
Atrofi Sulit dinilai

4. Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan


Keseimbangan:
Romberg test Tidak dapat dilakukan
Romberg test dipertajam Tidak dapat dilakukan
Stepping gait Tidak dapat dilakukan
Tandem gait Tidak dapat dilakukan
Koordinasi:
Jari-jari Tidak dapat dilakukan
Hidung-jari Tidak dapat dilakukan
Pronasi-supinasi Tidak dapat dilakukan
Test tumit lutut Tudak dapat dilakukan
Rebound phenomen Tidak dapat dilakukan

5. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Respirasi Spontan
A. Badan
Duduk Sulit dinilai
Gerakan spontan Sulit dinilai
Tremor (-)
B. Berdiri dan berjalan Atetosis (-)
Mioklonik (-)
Khorea (-)
Superior Inferior
C. Ekstremitas
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Kekuatan Lateralisasi ke kanan
Trofi Hipotrofi Hipotrofi Hipotrofi Hipotrofi
Tonus Hipertonus Hipertonus Hipertonus Hipertonus

20
6. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Sulit dinilai
Sensibilitas nyeri (+)
Sensibilitas termis Sulit dinilai
Sensibilitas sendi dan posisi Sulit dinilai
Sensibilitas getar Sulit dinilai
Sensibilitas kortikal Sulit dinilai
Stereognosis Sulit dinilai
Pengenalan 2 titik Sulit dinilai
Pengenalan rabaan Sulit dinilai

7. Sistem Refleks
1. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
Berbamgkis Triseps ++ ++
Laring APR ++ ++
Maseter KPR ++ ++
Dinding perut Bulbokavernosus
Atas Cremaster
Tengah Sfingter
Bawah

2. Patologis
Lengan Tungkai
Hoffman-Tromner (-) (-) Babinski (+) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

21
8. Fungsi otonom
 Miksi : terpasang kateter
 Defekasi : baik
 Sekresi keringat : baik

9. Fungsi luhur
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Sulit dinilai Refleks glabela (-)
Fungsi intelek Sulit dinilai Refleks snout (-)
Reaksi emosi Sulit dinilai Refleks menghisap (-)
Refleks memegang (-)
Refleks palmomental (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
 Rutin
- Hb : 15,2 g/dl
- Leukosit : 14.420/mm3
- Trombosit : 564.000
- Hematokrit : 44 %
 Kimia Klinik
- GDP : 93 mg/dl
- Ureum/kreatinin : 21 mg/dL / 0,6 mg/dL
- Natrium/kalium/Cl : 129 mmol/L / 3 mmol/L / 99,4 mmol/L

Pemeriksaan Penunjang
Analisa LCS (LP LCS 12 Januari 2018):
 Makroskopis : volume 2 cc, kekeruhan (+), warna bening kekuningan
 Mikroskopis : jumlah sel 97/mm3, hitung jenis PMN 4 %, MN 96 %
 Kimia : protein reagen tidak ada, glukosa 78 mg/dl

Brain CT Scan + Kontras

22
Hasil Expertise Brain CT Scan :
 Sulci dan gyri baik
 Tak tampak lesi patologi hipo/hiperdens intraparenkimal kedua hemisfer cerebri
 Tampak area enhance disulci kedua hemisfer setelah pemberian kontras intravena.
 Sistem ventrikel dan sisterna melebar dan terpasang tip VP Shunt di ventrikel lateral
kanan kornu medial kanan
 Sella dan parasella baik
 Pons cerebellum dan CPA tak tampak kelainan
 Tampak defek di Os Parietal Kanan post pemasangan VP disertai pembengkakan
jaringan subgaleal kanan

Kesan : Sugestif meningitis dengan hidrosefalus dan Abses di subgaleal parietal kiri.

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran ec meningitis + hemiparase dextra
Dianosis Topik : Leptomeningen
Diagnosis Etiologi : Infeksi bakterialis
Diagnosis Sekunder : TB Paru on OAT
Diagnosis Banding : Meningitis TB

PENATALAKSANAAN
Umum :

23
 Elevasi kepala 30 derajat
 IVFD NaCl 0,9 % 12 jam/kolf
 Awasi keadaan umum (ABCD)
 O2 3L/menit
 Pasang NGT, diet MC 1800 kkal/ hari
 Kateterisasi urine, hitung balance cairan

Khusus :
 INH 1x300 mg (po)
 Pyrazinamide 1x 1000 mg (po)
 Rifampisin 1x 450 mg (po)
 Etambutol 1 x 750 mg (po)
 Dexametason 3x5 mg (IV) tapp off
 Paracetamol 3x500 mg (po)
 B6 3 X 1 tab (po)

RENCANA PEMERIKSAAN
 Kultur dan Sensitivitas Sputum
 Operasi VP shunt

PROGNOSIS:
 Quo ad vitam : dubia ad malam
 Quo ad sanam : dubia ad malam
 Quo ad fungsionam : dubia ad malam

24
BAB IV

DISKUSI

Telah dirawat pasien perempuan, 23 tahun dengan diagnosis meningitis tuberkulosa.

Dari alloanamnesis terhadap keluarga, didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama

penurunan kesadaran sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Penurunan kesadaran terjadi secara

berangsur-angsur 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan

sakit kepala dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran soporous dengan GCS
o
10 (E3V2M5) dan temperatur tubuh 38,7 C, serta ditemukan tanda ransangan meningeal

berupa kaku kuduk dan kernig yang positif. Data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas

telah memenuhi trias meningitis, yaitu nyeri kepala, demam dan kaku kuduk.

Pasien memiliki riwayat demam hilang timbul 1 bulan terakhir, disertai batuk berdahak,

lemah dan lesu, penurunan nafsu makan dan berat badan. Gejala ini mengarah kepada gejala

sugestif tuberculosis. Selain itu, sakit kepala yang dialami pasien sudah berlangsung beberapa

bulan sebelumnya dan penurunan kesadaran terjadi secara berangsur-angsur. Menurut

kepustakaan, sebagian besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala

dengan keluhan tidak khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal.

Gejala nonspesifik ini meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia dan sakit kepala.

Riwayat tuberkulosis hanya didapatkan pada sekitar 10% pasien. Durasi gejala sebelum

ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 10 (soporous), suhu 38,7oc, tekanan darah 110/80,

nadi takikardi, nafas 21 x. Tanda peningkatan intrakranial tidak ditemukan pada pasien ini,

muntah proyektil tidak ada, pupil tampak isokor, diameter 4 mm, hipertensi tidak ada,

bradikardi tidak ada dengan tidak ada takipneu. Pemeriksaan tanda ransangan meningeal

positif, ditemukan kaku kuduk dan kernig. Pada pemeriksaan motorik didapatkan lateralisasi

ke arah kanan, refleks fisiologis ++ dan reflek patologis negatif. Pada pasien juga ditemukan

25
adanya clonus dan peningkatan tonus otot.

Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan

serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di sekeliling

otak dan medula spinalis serta ventrikel.

Patogenesis penyakit ini diduga terjadi dalam dua tahap. Pada tahap awal, bakteremia

membawa basil tuberkulosis ke sirkulasi serebral dan menyebabkan terbentuknya lesi primer

tuberkulosis di otak yang dapat mengalami dorman dalam waktu lama. Pada tahap kedua,

meningitis tuberkulosis terjadi akibat pelepasan basil Mycobacterium tuberculosis ke dalam

ruang meningen dari lesi subependimal atau subpial (terutama di fisura Sylvii). Proses patologi

yang menyebabkan defisit neurologis pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat dapat

menyebabkan obstruksi aliran CSS sehingga terjadi hidrosefalus, granuloma dapat bergabung

membentuk tuberkuloma atau abses sehingga terjadi defisit neurologis fokal, dan vaskulitis

obliteratif yang dapat menyebabkan infark dan sindrom stroke. Pada beberapa kondisi,

meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat, dengan penurunan

kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang. Pada pasien telah ditemukan adanya

penurunan kesadaran, hemiparese dextra dan hidrosefalus ( post shunting).

Diagnosis pasti meningitis ditegakkan melalui analisis, pewarnaan dan kultur cairan

serebrospinal (CSS). Pada prinsipnya, prosedur pengambilan sampel cairan serebrospinal

melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan pada setiap kecurigaan meningitis dan/atau

ensefalitis. Kelainan CSS klasik pada meningitis tuberkulosis adalah peningkatan kadar

protein, penurunan kadar glukosa, dan adanya pleositosis dengan sel mononuclear

predominant. Peningkatan protein didefinisikan dengan ada atau tidaknya peningkatan protein

>45 mgdL. Penurunan glukosa didefinisikan ada atau tidaknya penurunan > 50% glukosa LCS

dibandingkan glukosa serum. Pleositosis dengan sel mononuclear predominat didefinisikan ada

atau tidak peningkatan kadar lekosit total LCS lebih dari 50 lekosit/mm3

26
Pada kasus ini, pada analisa LCS ditemukan cairan LCS warna bening kekuningan,

jumlah sel 97/mm3, hitung jenis PMN 4 %, hitung jenis MN 96 % dan glukosa 78 mg/dl. Pada

LCS ditemukan peningkatan jumlah sel dengan peningkatan sel mononuklear yang lebih

dominan dan penurunan glukosa > 50% glukosa serum. Hasil LCS ini menyerupai hasil LCS

pada meningitis TB.

Dengan pemeriksaan kultur, dapat ditemukan Mycobacterium tuberculosis pada 75%

pasien setelah 3-6 minggu biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

dengan teknik PCR dan diagnostik molekular lainnya. Sensitivitas teknik PCR untuk deteksi

DNA Mycobacterium tuberculosis dalam CSS sekitar 54%, namun hasil positif-palsu juga

dapat terjadi sekitar 3-20% kasus.

Pemeriksaan radiologi berupa CT Scan tidak selalu spesifik menggambarkan adanya

kelainan pada meningitis tuberkulosis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh eksudat

isodens atau hiperdens ringan temuan yang paling umum ditemukan. Gambaran yang lebih

baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI dengan kontras yang

menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna. Manifestasi lainnya yang dapat

ditemukan pada gambaran radiologi meningitis tuberkulosis adalah komplikasi yang mungkin

terjadi, yaitu hidrosefalus, vaskulitis, infark dan neuropati kranial. Pada kasus ini, hasil dari CT

Scan menunjukan adanya hidrosefalus, yang merupakan salah satu komplikasi dari meningitis.

Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang

sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan

rifampisin, isoniazid selama 10 bulan fase lanjutan (2RHZE/10RH). Para ahli

merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis

selama minimal 9 hingga 12 bulan. Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-

6) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari; rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600

mg/hari; pirazinamid 25 (20– 30) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 15 (15–20)

27
mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid

antara lain deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB.

Peran kortikosteroid pada terapi meningitis tuberkulosis telah dilaporkan bermanfaat

dalam sejumlah penelitian. Angka mortalitas menurun dengan pemberian kortikosteroid

intravena. Terapi dengan deksametason atau prednisolon yang ditappering off selama 6-8

minggu direkomendasikan pada pasien meningitis tuberkulosis. Kortikosteroid sebaiknya

diberikan intravena pada awalnya dan dilanjutkan dengan pemberian per oral sesuai klinis

pasien. Respon jaringan terhadap inflamasi pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat

inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar otak, nervus dan pembuluh darah di daerah

ini. Proses ini yang mendorong penggunaan antiinflamasi kortikosteroid untuk memodifikasi

kerusakan jaringan yang terjadi. Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi

dalam ruang subaraknoid sehingga mengurangi risiko edema serebral, peningkatan tekanan

intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu, pemberian

kortikosteroid terbukti memperbaiki outcome dengan penurunan tingkat mortalitas dan

keparahan dari komplikasi neurologis.

Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad malam. Prognosis berdasarkan diagnosis

pasien saat ini yaitu meningitis tuberkulosis dengan GCS 10 yang memiliki risiko kematian

yang tinggi. Tingginya angka mortalitas pada pasien meningitis terkait dengan hidrosefalus,

resistensi obat, gagal terapi, lanjut usia, kejang, penurunan kesadaran dengan GCS 10 dan

infeksi HIV. Pasien dengan meningitis yang bertahan hidup sebagian besar mengalami sekuele

neurologis. Defisit neurologis pada 1 tahun follow up diketahui berhubungan dengan defisit

saat pasien masuk rumah sakit. Stroke terjadi pada 30- 45% pasien meningitis tuberkulosis.

Stroke pada meningitis dapat terjadi karena gangguan aliran darah akibat inflamasi pada

pembuluh darah yang meninggalkan meningen untuk masuk ke otak.

28
DAFTAR PUSTAKA

[1] Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, "Infeksi," in Buku Ajar Neurologi Klinis,
Edisi Pertama, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1996, pp. 181-187.
[2] Mardjono M, Sidharta P, "Mekanisme INfeksi Susunan Saraf," in Neurologi Klinis Dasar,
Jakarta, Dian Rakyat, 2003, pp. 303-320.
[3] Price SA & Wilson LM, "Infeksi SSP dan gangguan inflamasi," in Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Jakarta , Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003,
pp. 1153-1156.
[4] WHO, "Meningitis," 2013. [Online]. Available:
http://www.who.int/topics/meningitis/en/. [Accessed Februari 2019].
[5] S. A. E. R. Meisadona G, "Diagnosis dan tatalaksana meningitis bakterialis," CDK-224,
vol. 42, no. 1, pp. 15-19, 2015.
[6] M. bytes, "Mycobacterium tuberculosis," 2007. [Online]. Available:
http://www.microbiologybytes.com/Mtuberculosis. [Accessed February 2019].
[7] Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005.
[8] Emad, "Neurologic complications of bacterial meningitis," 2012. [Online]. Available:
http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTecheurologic_complications_of_bacterial_me
ningitis.pdf. [Accessed Februari 2019].
[9] R. Hasbu, "Meningitis," 2013. [Online]. Available:
http://emedicine/medscape.com/article/232915-overview#showall. [Accessed Februari
2019].
[10 P. Nasional, Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
] 2006.

29

Anda mungkin juga menyukai