Anda di halaman 1dari 23

Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis pada

Pasien di Puskesmas Sekejati

Disusun Oleh:
Rivqy Ramiizah Maajid (305
Syinta Widyawati
Tina Nuraeni
Vina Zuliana
Wella Meiwi Kirana Putri
Wulan Sari
Yusrin Hayati

POLITEKNIK KESEHATAN TNI AU CIUMBULEUIT


PROGRAM STUDI D III FARMASI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusun Proposal Tugas Akhir yang berjudul “Tingkat Kepatuhan
Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien di Puskesmas Sekejati Bandung” Dapat
selesai tepat waktu. Penyusunan Tugas Akhir ini diajukan sebagai menyelesaikan pendidikan
gelar Ahli Madya Program Studi DIII Farmasi Politeknik Kesehatan TNI AU Ciumbuleuit
Bandung. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu yang terhormat :

1. Dr. Krismono Irwanto, MH. Kes. Marsekal Pertama TNI (Purn), selaku Direktur
Politeknik Kesehatan TNI AU Ciumbuleuit Bandung.
2. Eli Sukmawati, SST.,M.Keb selaku Wakil Direktur II Politeknik Kesehatan TNI AU
Ciumbuleuit Bandung.
3. Asep Edi Sukmayadi, M.Si.,Apt. selaku Ka.Prodi Farmasi Politeknik Kesehatan TNI
AU Ciumbuleuit Bandung.
4. Nita Budi Utami, M.Pd. selaku Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan
ketekunan memberikan dorongan perhatian dan bimbingan. Pengarahan, serta saran
dalam pembuatan Proposal Tugas Akhir ini.
5. Seluruh teman-teman anggota kelompok Bahasa Indonesia yang telah membantu dan
menyelesaikan dalam pembuatan Proposal Tugas Akhir ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan Proposal Tugas Akhir ini masih belum sempurna,
maka saran dan kritik yang sangat penulis harapkan demi perbaikan Tugas Akhir selanjutnya.
Penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat.

Bandung, September 2021


Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................5
C. Tujuan penelitian...........................................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian........................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
LANDASAN TEORI..................................................................................................................................6
A. Pengertian Tuberkulosis Paru....................................................................................................6
B. Penyebab Tuberkulosis..............................................................................................................6
C. Cara penularan Tuberkulosis.....................................................................................................7
D. Tanda dan Gejala Tuberkulosis..................................................................................................8
a. Demam......................................................................................................................................8
b. Batuk/Batuk darah.....................................................................................................................8
c. Sesak napas................................................................................................................................8
d. Nyeri dada.................................................................................................................................8
e. Malaise......................................................................................................................................9
f. Pemeriksaan labratorium...........................................................................................................9
E. Pengobatan Tuberkulosis..........................................................................................................9
F. Pencegahan Tuberkulosis............................................................................................................11
G. Komplikasi Tuberkulosis..............................................................................................................11
C. Sumber Data Penelitian...............................................................................................................19
D. Teknik Pengumpulan Data...........................................................................................................19
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun masih
terdapat sekitar sembilan juta penderita Tuberkulosis baru dengan kematian sekitar
1,1 sampai 1,6 juta orang termasuk kasus Tuberkulosis dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif. Penyakit Tuberkulosis masih menjadi
pembunuh nomor dua didunia dari seluruh penyakit infeksi setelah HIV yang
diperkirakan telah membunuh 1,8 juta tahun 2008. Kasus Tuberkulosis didunia
sangatlah tinggi, diperkirakan terjadi sekitar 8-12 juta kasus Tuberkulosis diseluruh
dunia pada tahun 2016. Diperkirakan sekitar 140 orang per 100.000 penduduk
menderita penyakit Tuberkulosis dengan angka kematian mencapai sekitar 1,3 juta
per tahun. WHO menyatakan 22 negara dengan beban tuberkulosis paru tertinggi di
dunia 50%-nya berasal dari negara-negara Afrika dan Asia serta Amerika (Global TB
Report WHO, 2017).

Insiden Tuberkulosis di negara-negara berkembang seperti di ASEAN cukup


tinggi, salah satunya dikarenakan tingkat sosio-ekonomi yang masih menengah
kebawah. Terdapat sekitar 4 juta kasus pada tahun 2016, diperkirakan 163 orang per
100.000 penduduk menderita penyakit Tuberkulosis dengan angka kematian
mencapai 652.000 per tahun. Indonesia menempati urutan pertama penyakit
Tuberkulosis di ASEAN, sekitar 1 juta kasus pada tahun 2016. Diperkirakan 391
orang per 100.000 penduduk menderita penyakit Tuberkulosis dengan angka
kematian mencapai 110.000 per tahun (Global TB Report WHO, 2017).

Kasus penyakit TB di Kota Bandung terus meningkat. Terhitung pada tahun


2016 meningkat secara signifikan dengan angka 2.149 kasus, tahun 2017 ditemukan
9.623 kasus di seluruh rumah sakit di Kota Bandung, dan jumlah tersebut meningkat
tahun 2018 menjadi 10.033 kasus. Jumlah penderita penyakit Tuberkulosis dengan
Basil Tahan Asam (BTA) positif berada pada angka 1.107 penderita. Angka
keberhasilan pengobatan penyakit Tuberkulosis di Kota Bandung mencapai 79,14%
dimana masih jauh dari target minimal yaitu >90%. Jumlah kasus kematian akibat
penyakit Tuberkulosis selama pengobatan, yang dapat dirunut asal domisilinya di
tahun 2016 meningkat 2 kasus dari tahun 2015. Kematian ini terjadi di 12 kecamatan
di Kota Bandung dengan jumlah 18 kasus. Jumlah kematian berasal dari fasilitas
kesehatan lain yang tak dapat diketahui wilayah domisilinya sebanyak 27 kasus
sehingga total kematian akibat Tuberkulosis sebanyak 45 kasus kematian (Dinas
Kesehatan Kota Bandung, 2017).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Tingkat kepatuhan penggunaan obat anti Tuberkulosis pada pasien
rawat jalan di Rumah sakit?
2. Apakah kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis sudah patuh atau tidak ?
C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui tingkat kepatuhan penggunaan obat anti Tuberkulosis pada pasien rawat
jalan di Rumah sakit.
2. Mengetahui kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosi
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penderita TB
Memberikan pengetahuan tentang penyakit tuberculosis dalam meningkatkan
kepatuhan berobat pasien tuberculosis.
2. Bagi Instansi Kesehatan
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita TB Paru.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan atau masalah yang dapat diangkat dalam penyuluhan
bagi pasien, keluarga, masyarakat yang menderita TB Paru agar dapat meningkatkan
pengetahuan dan menggunakan pelayanan kesehatan yang telah disediakan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya (Manaf, Abdul, dkk, 2006). Tuberkulosis merupakan penyakit
menular yang berbahaya. Setiap penderita tuberkulosis dapat menularkan penyakitnya pada
orang lain yang berada disekelilingnya dan atau yang berhubungan erat dengan penderita
(Amiruddin, Jaorana, dkk:2009). TB atau TBC adalah penyakit menular disebabkan oleh
kuman tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis). Umumnya menyerang paru, tetapi bisa
juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang
dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (PPTI, 2010). Penelitian lain menurut
Smeltzer dan Bare (2001) menyatakan bahwa Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh
lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agens infeksius utama
mycobacterium tuberculosis, adalah batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat
dan sensitif, terhadap panas dan sinar ultraviolet.Orang yang terkena tuberkulosis merupakan
sumber stres biologis,karena orang yang terkena tuberkulosis akan berdampak pada
psikologisnya khususnya pada saat di diagnosis BTA (+).
B. Penyebab Tuberkulosis
Penyebab Tuberkulosis adalah Micobacterium tuberculosae, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Kuman TB terdiri atas asam
lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomanan. Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan
juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara
kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini
terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. Didalam jaringan, kuman hidup sebagai
parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi
malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya (Azril Bahar.2001)

Menurut Depkes RI tahun 2002 penyebab dari penyakit Tuberkulosis paru adalah
terinfeksinya paru oleh Micobacterium Tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk
batang dengan ukuran sampai 4 mikron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga paru-paru
merupakan tempat prediksi penyakit tuberkulosis. Kuman ini juga terdiri dari asal lemak
(lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran
kuman TB ini melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi.

C. Cara penularan Tuberkulosis


Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara. Individu
terinfeksi, melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa, atau bernyanyi melepaskan droplet besar,
lebih besar dari 100μ dan kecil 1-5μ (Smeltzer dan Bare, 2001). Setiap orang bisa saja tertular
dan terinfeksi kuman TB. Keadaan yang memudahkan penularan kuman TB seperti tinggal
bersama pasien TB menular dalam waktu yang lama, seperti tinggal serumah, dipenjara,
rumah sakit, dan ditempat-tempat pengungsian. Berperilaku hidup tidak sehat, seperti
meludah disembarang tempat. rumah dan lingkungan tidak sehat, seperti tidak ada ventilasi
rumah (Amiruddin, Jaorana, 2009).

Menurut Manaf, Abdul, dkk, 2006 cara penularan TB meliputi:

a) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

b) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak.

c) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan

dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan

lembab.

d) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

e) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

D. Tanda dan Gejala Tuberkulosis


Sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia,
penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetap. Batuk pada
awalnya mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi adpikal pada
lansia, seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia, dan
penurunan berat badan (Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun,
50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25%
menjadi kasus kronis yang menular (Manaf, Abdul, dkk, 2006). Keluhan yang dirasakan
pasien tuberkulosis dapat bermacam-macamatau malah banyak pasien ditemukan TB paru
tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan (Azril Bahar, 2001), yakni:

a. Demam
Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul
kembali. Kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41ºC. keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
b. Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk
ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluhdarah
yang pecah.

c. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah
bagian paru-paru.

d. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan
napasnya.

e. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi
hilang timbul secara tidak teratur.

f. Pemeriksaan labratorium
Diagnosis pasti tuberkulosis ditegakkan terutama dengan dilakukan pemeriksaan
dahak. Seseorang dipastikan TB jika di dalam pemeriksaan mikroskopis, dahaknya
mengandung kuman TB. Kriteria sputum BTA (+) adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA (+) pada satu sediaan. Bila hasil pemeriksaan dahak kurang
mendukung, sedangkan gejalanya mengarah ke TB, dokter mungkin akan memerlukan
pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan dengan sinar Rotgen (Ro). Pada pemeriksaan
dengan sinar Rotgen lokasi lesi tuberkulosis umumnya didaerah apeks paru (Azril Bahar,
2001).

E. Pengobatan Tuberkulosis
Waktu pengobatan pasien TB paru baru dibagi menjadi 2 tahap yaitu: tahap
intensif/tahap awal (2-4 bulan) obat anti tuberkulosa (OAT) diberikan setiap hari dengan
pengawasan untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Tahap berikutnya yaitu tahap
lanjutan, merupakan tahap setelah tahap intensif dengan cara minum obat OAT 3 kali
seminggu selama 4 bulan.

Lama pengobatan pasien TB yang sebelumnya sudah pernah diobatisebelumnya,


sekitar 8-9 bulan. Pada tahap awal, pasien minum OAT setiaphari selama 3-4 bulan. Pada
tahap lanjutan, pasien minum obat 3 kali seminggu selama 5 bulan (Amiruddin, Jaorana,
2009).

Pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Pada tahap awal pasien mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap awal tersebut
diberikan secara tepat biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu, sebagaian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap yang penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2008).

Pada tahap intensif (awal). Penderita mendapatkan obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifamisin.
Bila pengobatan menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita tuberkulosis paru (basil tahan asam) BTA positif menjadi (basil tahan asam) BTA
negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Sedangkan pada tahap lanjutan penderita
mendapatkan jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama. Tahap lanjutan
ini penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan. Tahap sisipan dilakukan apabila pada akhir tahap awal pengobatan penderita
baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, maka diberikan obat sisipan (HRZE )
setiap hari selama 1 bulan (Depkes RI, 2002).

Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan tuberkulosis paru antara lain :

a. Isoniazid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

b. Rifamisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang
tidak dapat dibuluh oleh INH.
c. Pirasinamid (Z), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
suasana asam.

d. Streptomisin (S), bersifat bakteriasid.

e. Etambuthol (E), bersifat bakteriotatik. (Depkes, RI 2006).

Pasien dengan TBC menunjukkan tanda-tanda dan gejala tertentu. Selama pengkajian
keperawatan, perawat mencoba untuk mencari data-data berikut ini:

a. Apakah pasien telah memiliki riwayat kontak dengan seseorang yang memiliki TB;

b. Apakah pasien memiliki gejala TBC dengan mengajukan pertanyaan dan melakukan
pemeriksaan fisik. apakah ada tanda-tanda batuk produktif, keringat malam, peningkatan
suhu pada siang hari, penurunan berat badan dan nyeri dada. Lakukan auskultasi paru-paru
pasien untuk mendengar bunyi pernapasan yang abnormal.

c. Jika pasien sudah menjalankan terapi obat untuk TBC, perawat menilai tanda-tanda
kelainan hati seperti kelelahan, nyeri sendi, demam, nyeri di daerah hati, tinja berwarna tanah
liat, urin berwarna gelap, perubahan visi, dan kehilangan rasa di tangan dan kaki. Pantau pula
tes fungsi hati laboratorium pasien.

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan respon pasien


terhadap masalah medis yang dalam hal ini adalah tuberkulosis. Diagnosis keperawatan untuk
pasien dengan TBC adalah sebagai berikut :

a. Risiko infeksi yang berhubungan dengan penyakit TBC paru.

b. Pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan penurunan volume paru-paru dan
infeksi paru.

c. Tidak efektifnya regimen terapeutik berhubungan dengan pengobatan jangka panjang dan
kurangnya motivasi.

d. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kelelahan, kurang nafsu makan, dan batuk produktif.

F. Pencegahan Tuberkulosis
Berperilaku hidup bersih dan sehat dapat mengurangi angka kejadian TB (PPTI,
2010) yakni:
a. Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh meningkat untuk
membunuh kuman TB, tidur dan istirahat yang cukup, tidak merokok, minum alkohol dan
menggunakan narkoba, lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan disekitarnya,
membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan rumah karena kuman TB akan
mati bila terkena sinar matahari, imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah
agar kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TB.

b. Bagi pasien TB, yang harus dilakukan agar tidak menularkan kepada orang lain yaitu
seorang pasien TB sebaiknya sadar dan berupaya tidak menularkan penyakitnya kepada
orang lain, antara lain dengan tidak meludah di sembarang tempat, menutup mulut saat batuk
atau bersin, berperilaku hidup bersih dan sehat, berobat sesuai aturan sampai sembuh,
memeriksakan balita yang tinggal serumah.

G. Komplikasi Tuberkulosis
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi
(Azril Bahar, 2001). Komplikasi dibagi atas komplikasi dini (pleuritis, efusi pleura,
laryngitis, menjalar ke organ lain seperti usus) dan komplikasi lanjut (kerusakan parenkim
berat, karsinoma paru). Komplikasi psikologis juga dapat di timbulkan dari penyakit
tuberkulosis yakni bahwa setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda ketika dihadapkan
dengan suatu penyakit, reaksi perilaku dan emosi tersebut tergantung pada penyakit, sikap
orang tersebut dalam menghadapi suatu penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang
dideritanya, dan lain-lain. Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam
kehidupan hanya sedikit menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi orang
tersebut dan keluarga, sedangkan penyakit berat seperti tuberkulosis paru yang dapat
mengancam kehidupan dapat menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas,
seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan menarik diri (Perry & Potter, 2005).

H. Tempat infeksi
Disebut TB paru adalah bila penyakit mengenai parenkim paru. TB ekstra paru adalah
TB tanpa kelainan radiologis di parenkim paru. Termasuk dalam kelompok ini TB kelenjar
getah bening (mediastinum dan/atau hilus) atau TB dengan efusi pleura. Pasien dengan TB
paru dan ekstra paru dicatat sebagai kasus TB paru. TB ekstra paru di beberapa tempat
dikategorikan berdasarkan kelainan pada lokasi yang paling berat.
I. Beratnya penyakit
Banyaknya bakteri, luasnya lesi dan lokasi anatomis menentukan beratnya penyakit
dan pendekatan pengobatan. Dianggap kasus berat bila penyakit tersebut mengancam jiwa
(misalnya TB perikarditis) atau adanya risiko gejala sisa yang serius (misalnya: TB medula
spinalis) atau keduanya. Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstra paru dibagi
menjadi TB ekstra paru berat dan TB ekstra paru ringan.

TB ekstra paru berat: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa


duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. TB ekstra paru
ringan: TB kelenjar getah bening, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

J. Riwayat pengobatan sebelumnya


Penting diketahui apakah sebelum ini pasien sudah mendapat pengobatan anti TB atau
belum, dengan alasan:

- Identifikasi pasien dengan risiko resistensi dan pemilihan obat yang tepat.

- Epidemiologi.

* Kasus baru: Pasien yang belum pernah mendapat anti TB atau mendapat anti TB
selama kurang dari 4 minggu. Relaps: Pasien yang sudah dinyatakan sembuh setelah
menyelesaikan regimen pengobatan, tapi BTA sputum kembali positif.

* Kasus gagal: Pasien yang tetap BTA positif atau menjadi positif lagi setelah
pengobatan selama 5 bulan. Dalam kategori ini termasuk juga pasien dengan BTA negatif
pada awal pengobatan, tapi menjadi positif setelah bulan kedua pengobatan.

* Pengobatan terputus: Pasien yang terputus berobat selama 2 bulan atau lebih dan
kembali dengan keadaan BTA positif (kadang-kadang BTA negatif tapi pemeriksaan
radiologi memberikan kesan TB aktif).

* Kasus kronik: Pasien dengan BTA tetap positif atau menjadi positif lagi setelah
menjalani pengobatan ulang di bawah pengawasan.

K. Prinsip pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan
selama 4-6 bulan. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan
infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum
BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih
panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman
dan mencegah kekambuhan.

Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi selektif.
Penggunaan 4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi
risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak
terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit.
Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah
memadai.

L. Pemantauan hasil terapi


Hasil pengobatan pada pasien BTA positif harus dipantau dengan pemeriksaan
sputum. Pemeriksaan dengan cara lain bukan merupakan keharusan. Untuk pasien BTA
negatif dan TB ekstra paru, hasil pengobatan didasarkan pada pemeriksaan klinis. Biasanya
diperlukan dua kali pemeriksaan ulang sputum. Tabel di atas memperlihatkan saat-saat
pemeriksaan sputum berdasarkan regimen pengobatan.

Kategori I (Kasus baru dengan BTA positif, kasus baru dengan BTA negatif/rongent
positif yang sakit berat dan ekstra paru berat): Hasil negatif menunjukkan hasil yang baik.

Pada akhir bulan kedua, sebagian besar pasien akan menjadi BTA negatif. Pasien
tersebut dapat memasuki pengobatan fase lanjutan. Jika sputum masih positif, hal ini
menunjukkan kemungkinan berikut:

* Pengobatan fase intensif tidak diawasi dengan baik dan kepatuhan pasien buruk.

* Konversi sputum yang lambat, misalnya akibat adanya kavitas yang luas dan jumlah kuman
yang terlalu banyak pada awal terapi.

* Kemungkinan adanya resistensi.

Apapun penyebabnya, bila sputum BTA masih positif pada akhir bulan kedua, maka
pengobatan awal (intensif) harus diteruskan satu bulan lagi dengan obat sisipan dan
pemeriksaan sputum diulangi pada akhir bulan ketiga. Jika sputum menjadi negatif maka
pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan. Jika pada akhir bulan kelima sputum BTA tetap
positif, maka pengobatan dianggap gagal. Pasien ini harus didaftarkan dalam pengobatan
yang gagal dan harus menjalani pengobatan ulang secara penuh sebagai kategori II. Dalam
hal ini pasien perlu dirujuk ke unit perawatan spesialis dan dipertimbangkan untuk diobati
dengan obat sekunder.

Bila tersedia fasilitas kultur, maka kultur sputum harus dilakukan pada awal
pengobatan, di akhir bulan kedua dan pada akhir pengobatan.

 Kategori II (Relaps BTA positif; gagal BTA positif; Pengobatan terputus):

Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir pengobatan fase intensif (akhir bulan
ketiga), selama fase lanjutan (akhir bulan kelima) dan pada akhir pengobatan (akhir bulan
kedelapan). Jika pada akhir bulan ketiga BTA masih positif, pengobatan intensif dilanjutkan
sampai satu bulan lagi dengan obat sisipan dan sputum diperiksa lagi. Jika pada akhir bulan
keempat sputum masih positif, maka sputum dikirim untuk kultur dan uji kepekaan.
Selanjutnya diberikan pengobatan fase lanjutan. Jika hasil kultur dan uji kepekaan
menunjukkan bahwa kuman resisten terhadap dua atau lebih dari tiga obat yang digunakan
untuk fase lanjutan, maka pasien harus dirujuk ke unit perawatan spesialis untuk
kemungkinan pemberian obat sekunder. Jika tidak tersedia fasilitas kultur dan uji kepekaan,
pengobatan diteruskan sampai regimen pengobatan selesai.

 Kategori III (Kasus rontgen positif, pasien ekstra paru ringan):

Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir bulan kedua pengobatan karena dua
kemungkinan berikut ini: kesalahan pemeriksaan pertama (BTA positif yang didiagnosis
sebagai BTA negatif): dan ketidakpatuhan pasien. Jika pada mulanya pasien termasuk
kategori III (sputum negatif) tapi pada akhir bulan kedua ternyata positif, maka pasien
didaftarkan sebagai sputum positif dan dimulai pengobatan untuk kategori I.

M. Pengawasan efek samping


Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang
bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan
klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium tidak harus
dilakukan secara rutin.

Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan
menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera
melaporkannya kepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien
tentang gejala yang dialaminya.

Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan
minor (lihat tabel 5.3). Jika timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan
dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan
simptomatik. Jika timbul efek samping berat (mayor), maka pengobatan harus dihentikan.
Pasien dengan efek samping mayor harus ditangani pada pusat pelayanan khusus.

N. Obat-obat antituberkulosis
Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan murah. Seperti rifampisin,
INH harus diberikan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontraindikasi. Efek
samping yang sering terjadi adalah neuropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-
faktor yang meningkatkan risiko seperti diabetes melitus, alkoholisme, gagal ginjal kronik
dan malnutrisi dan HIV. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin 5-10 mg/hari.
Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.

Rifampisin merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.


Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga sebaiknya selalu diikutkan kecuali bila ada
kontraindikasi.

Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan
sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak
memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi hati yang
serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat penyakit
hati. Selama fase intermiten (fase lanjutan) dilaporkan adanya 6 gejala toks is itas: influenza,
sakit perut, gejala pernafasan, syok, gagal ginjal, purpura trombositopenia, dialami oleh 20-
30% pasien. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme
obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea dan antikoagulan; interaksi:
lihat Lampiran 1. Penting: efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih
cara KB yang lain.

Pirazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif
membelah dan Mycobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan
pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk TB meningitis karena penetrasinya ke dalam
cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycobacterium bovis. Toksisitas hati yang serius kadang-
kadang terjadi.

Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika
risiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi,
etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg bb/hari pada fase intensif dan 15 mg/kg bb
bb/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg bb/hari selama pengobatan). Pada pengobatan
intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg bb 3 kali
seminggu atau 45 mg/kg bb 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi
adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visus, buta warna dan penyempitan lapang
pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi
ginjal.

Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif. Bila hal ini terjadi maka etambutol
harus segera dihentikan sehingga diharapkan fungsi penglihatan akan pulih. Obat ini tidak
dianjurkan untuk diberikan jika pasien tidak dapat mendeteksi perubahan visus yang terjadi.
Pemberian pada anak sebaiknya dihindari sampai usia 5 tahun, yaitu di saat mereka bisa
melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata dianjurkan dilakukan sebelum
pengobatan.

Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat
ini diberikan secara intramuskuler dengan dosis 15 mg/kg bb, maksimal 1 gram perhari.
Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-750
mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali
seminggu dan diturunkan menjadi 750 mg tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50
kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg bb/ hari atau 15-20 mg/kg bb tiga kali seminggu
untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma sebaiknya diukur terutama untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif
100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus.

Obat-obat sekunder diberikan untuk TB yang disebabkan oleh kuman yang resisten,
atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat
sekunder adalah sikloserin, makrolida generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), dan
kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin).
A. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental (observasional) dengan
rancangan penelitian cross-sectional Sumber data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku register pasien tuberkulosis paru.

 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis paru yang berada di
Puskesmas Tombulilato sejumlah 59 pasien.

 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang dapat digunakan sebagai subjek
penelitian yang diambil dan ditentukan melalui sampling, adapun jumlah sampel
menggunakan rumus dari Taro Yamane yaitu sejumlah 38 pasien.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah:
a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi sampel adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar responden dapat
menjadi sampel, yaitu:
1) Tercatat di register/Rekam medik

2) Anak usia 0-14 tahun

b. Kriteria Eksklusi

1) Tidak bersedia diwawancarai/tidak bersedia menjadi subyek penelitian


2) Data yang diperlukan tidak tersedia/kuesioner tidak terisi dengan lengkap
3) Anak didiagnosis menderita campak, tipus, kusta, malaria, HIV/AIDS, silicosis dan
diabetes melitus (bagi kontrol)

 Teknik Sampling
Sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian. Teknik Sampling dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive
sampling yaitu cara memilih sejumlah responden dari wilayah tertentu sampai batas
data yang diinginkan terpenuhi.

 Pengolahan dan Analisis data


Data yang terkumpul diolah secara manual kemudian dengan menggunakan komputer
melalui beberapa tahap yaitu editing, koding,cleaning dan entry. Analisis data
menggunakan analisis univariatuntuk mendapatkan gambaran distribusi fiekuensi dan
proporsi dari berbagai variabel yang diteliti.
A. instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengambilan data, khususnya
pada penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah
wawancara terstruktur dengan kuesioner tertutup. Artinya kuesioner pertanyaan terdiri
dari dua pilihan jawaban dan responden memilih jawaban yang sesuai dengan
kondisinya diantara alatnya yaitu ;
 Angket.
 Wawancara).
 Pengamatan atau Observasi
 Ujian atau Tes
 Dokumentasi

C. Sumber Data Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Poli TB DOTS Puskesmas Sekajati, Jl. Yupiter Tengah B2,
Kec. Buah Batu, Kab. Bandung Timur, Jawa Barat. Penelitian ini akan dilaksanakan pada
bulan Desember 2020 – Januari 2021. Objek dalam penelitian yaitu pasien TB paru dewasa
rawat jalan yang datang untuk berobat pada fase intensif di Poli TB DOTS Puskesmas
Sekajati pada bulan Desember 2020 – Januari 2021 sebanyak 59 responden.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang dapat digunakan sebagai subjek
penelitian. [ CITATION Has11 \l 1033 ]. Subjek yang diambil dan ditentukan melalui sampling,
adapun jumlah sampel menggunakan rumus dari Taro Yamane yaitu sejumlah 38 pasien.
Teknik Sampling atau teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi yang ditentukan peneliti. [ CITATION Jon06 \l 1033 ]
a. Kriteria Inklus
1. Pasien yang bersedia menjadi responden.
2. Pasien yang sedang menjalani pengobatan TB paru fase intensif minimal 2
minggu setelah pengobatan di Puskesmas Sekajati.
3. Pasien TB paru dewasa yang berusia 15-50 tahun.
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang menolak untuk diminta menjadi responden.
2. Pasien TB paru yang baru terdiagnosis penyakit TB paru.

D. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini bersifat analisa observasional dengan rancangan penelitian studi cross-
sectional, yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Artinya setiap
subjek penelitian hanya di obsevasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status
karakter atau variable subjek pada pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek
penelitian diamati pada waktu yang sama. Sumber data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. [ CITATION Pus16 \l 1033 ]

Data primer diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner. Sedangkan data


sekunder diperoleh dari buku register pasien tuberkulosis paru. [ CITATION Ros21 \l 1033 ]

E. Teknis Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi


fiekuensi dan proporsi dari berbagai variabel yang diteliti sehingga didapatkan hasil yang
sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan.

a. Uji Normalitas
Uji normalitas yaitu uji yang dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu
distribusi data yang nantinya hal ini menjadi penting diketahui karena berkaitan
dengan pemilihan uji statistik yang tepat untuk digunakan.
b. Uji Validitas dan Realibilitas
Kuesioner harus melalui uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu sebelum
digunakan sebagai alat untuk memperoleh data. Tujuan uji validitas dan reliabilitas
pada kuesioner adalah agar kuesioner yang digunakan dalam penelitian valid dan
reliabel sehingga dapat digunakan untuk memperoleh data yang akurat. Kuesioner
yang valid adalah kuesioner yang digunakan memiliki skala pengukuran yang dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan kuesioner yang reliabel adalah
kuesioner yang menunjukkan konsistensi dan stabilitas nilai hasil skala pengukuran
tertentu.
c. Analisis deskriptif karakteristik responden data yang dianalisis deskriptif adalah jenis
kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga per bulan, jarak rumah ke
tempat pelayanan kesehatan, dan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru.
d. Analisis hubungan karakteristik dengan tingkat kepatuhan pasien hubungan
karakteristik dengan tingkat pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi dianalisis
dari hasil wawancara yang dikembangkan dari pertanyaan yang selanjutnya akan
diinterpretasikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif.
Daftar Pustaka

Asep Saepul Hamdi, E. B. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Deepublish.


Rosmala Amran, W. A. (2021). Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis pada
Pasien di Puskesmas Tumbolilato Kabupaten Bone Bolango. Indonesian Journal of
Pharmaceutical Educations, 59.
Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai