Anda di halaman 1dari 21

Referat

FAKTOR KETERLAMBATAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian SMF Pulmunologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Rumah Sakit
Meuraxa Banda Aceh Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Oleh :

Yanti Muhardina, S.Ked


18174077

Preseptor :

dr. Nurfitriani, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN PULMUNOLOGI


RUMAH SAKIT MEURAXA KOTA BANDA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ABULYATAMA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3


2.1. Definisi ........................................................................................................3
2.2. Etiologi ........................................................................................................3
2.3. Klasifikasi.....................................................................................................3
2.4. Cara Penularan.............................................................................................5
2.5. Risiko Penularan..........................................................................................5
2.6. Gejala Klinis.................................................................................................7
2.7. Pemeriksaan Fisik........................................................................................7
2.8. Pemeriksaan Penunjang................................................................................7
2.9. Penatalaksanaan............................................................................................8
2.10. Keterlambatan Pengobatan TB.................................................................11
2.11. Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan TB.......................................14
2.12. Dampak Keterlambatan TB......................................................................16

BAB III PENUTUP.............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis telah dapat
menyelesaikan refarat yang berjudul “ FAKTOR KETERLAMBATAN
PENGOBATAN TUBERKULOSIS” Refarat ini merupakan salah satu
pemenuhan syarat Kepaniteraan Klinik Senior Program Studi Profesi Dokter
bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penulisan refarat ini, khususnya kepada dr. Nurfitriani, Sp. P
sebagai pembimbing yang telah memberikan saran bimbingan, dukungan moral
dan materi dalam menyusun refarat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam
menyusun refarat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran sebagai masukan
untuk perbaikan demi kesempurnaan refarat ini.

Banda Aceh, 29 September 2020

Yanti Muhardina, S. Ked


BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular langsung yang


disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) dengan gejala utama
batuk selama 2 minggu atau lebih. Batuk disertai gejala tambahan yaitu dahak,
dahak bercampur darah, sesak nafas, malaise, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, demam lebih dari 1 bulan dan berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik. Penyakit TB paru dinyatakan pada responden untuk
kurun waktu kurang dari 1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya oleh tenaga kesehatan.1
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2016 menunjukkan
terdapat 10,4 juta kasus TB dengan 90% adalah orang dewasa, 65% laki-laki dan
10% adalah pasien HIV. Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar
terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga
sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan
jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 kasus. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).
Seorang penderita TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai
4 bulan. Hal tersebut menyebabkan hilangnya pendapatan tahunan rumah tangga
sekitar 20-30%.2,3
Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB nomor dua tertinggi setelah
India yang didapatkan setiap tahun yaitu 1 juta kasus baru TB. Data survei
didapatkan 26% dari pupolasi umum dapat diidentifikasikan tanda dan gejala TB.
Selanjutnya 19% mengetahui bahwa TB bisa diobati secara gratis. Indonesia telah
mencapai kemajuan yang bermakna dalam upaya pengendalian TB di Indonesia
bahkan beberapa target Millenium Development Goals (MDGs) telah tercapai jauh
sebelum waktunya. Namun perlu diwaspadai karena masih ada beberapa
tantangan utama yang harus dihadapi agar tidak menghambat laju pencapaian
target program selanjutnya. Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi
adalah masih banyak kasus TB yang hilang atau tidak dilaporkan ke program.
Tahun 2012 diperkirakan terdapat sekitar 130.000 kasus TB yang ada tetapi belum
dilaporkan.2,3

1
Keterlambatan terhadap pengobatan TB menyebabkan peningkatan angka
kematian yang tinggi. Kasus TB yang resisten terhadap beberapa obat dan
tingginya biaya pengobatan TB menyebabkan meningkatnya kasus TB yang
membebani bangsa, mitra dan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi
keterlambatan dalam berobat seperti dari pasien individu, penyedia perawatan
kesehatan, pola pemberian layanan kesehatan dan faktor terkait sosio-ekonomi
yang mempengaruhi keterlambatan terhadap pengobatan TB paru.4
Keterlambatan penegakan diagnosis TB akan berisiko meningkatkan
transmisi penularan infeksi yang luas daan berkepanjangan, meningkatkan risiko
kematian serta berpotensi memperburuk keadaan ekonomi pasien maupun
keluarga. Menurut WHO keterlambatan diagnosis TB paru adalah jarah waktu
antara timbul gejala awal sampai pasien dinyatakan menderika TB paru.
Keterlambatan penegakan diagnosis dipengaruhi oleh dua aspek utama yaitu
aspen penderita (patient’s delay) dan sistem pelayanan kesehatan (yankes/health
care system’s delay). Faktor risiko terjadinya keterlambatan penegakan diagnosis
TB paru adalah umur, tempat tinggal, jenis kelamin, tingkat pendidikan, akses dan
konsultasi pertama penderita kepada penyedia yankes.2,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) melalui perantaran ludah atau
dahak yang mengandung basil berkulosis paru. Gejala utama adalah batuk selama
2 minggu atau lebih. Batuk disertai gejala tambahan yaitu dahak, dahak
bercampur darah, malaise, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun dan demam lebih dari 1 bulan. Ditegakkan oleh tenaga kesehatan
berdasarkan diagnosis melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya.
Penyakit TB paru dinyatakan pada responden untuk kurun waktu kurang dari 1
tahun.1,5

2.2 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri aerob yang berbentuk batang namun tidak membentuk spora
dengan ukuran panjang 1-4µm dan tebal 0,3-0,6µm. Bersifat tahan asam dikenal
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sumber penularan TB adalah penderita
tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk dan bersin. Sekali batuk dapat
menghasilkan 3000 percikan dahak yang dapat menyebar kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Droplet yang mengandung kuman dapat
tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Namun bakteri ini
tidak tahan atau dapat mati apabila terkena paparan langsung terhadap sinar
matahari dalam waktu beberapa menit.6-7

2.3 Klasifikasi Tuberkulosis


1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:2
Tuberkulosis paru adalah sekitar 80% sering dijumpai menyerang jaringan
parenkim paru tidak termasuk kelenjar hilus dan pleura (selaput paru) yang mudah
tertular kepada manusia lainnya. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis
yang menyerang organ tubuh lain selain paru seperti pluera, tulang, kulit, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), ginjal, usus, saluran kencing, kelenjar limfe
dan lain-lain. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditegakkan dengan penemuan

3
4

Mycobacterium tuberculosis berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau


klinis.
2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis:7
1. Tuberkulosis Paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS) yang didapatkan hasilnya BTA positif.
- Didapatkan hasilnya BTA positif pada 1 spesimen dahak SPS
dan foto toraks dada menunjukkan gambaran biakan kuman
tuberkulosis.
- Didapatkan 1 atau lebih spesimen dahak setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya dengan hasil BTA
negatif dan setelah pemberian antibiotika non OAT tidak ada
perbaikan.
2. Tuberkulosis Paru BTA negatif
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif meliputi:
- Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnomal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
- Bagi pasien dengan HIV negatif tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:7
1. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobatin OAT dengan
pemeriksaan BTA positif atau negatif atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus yang sebelumnya diobati
- Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan didiagnosis kembali
dengan BTA positif secara apusan atau kultur padahal sudah
dinyatakan sembuh atau pengobatan secara lengkap.
- Kasus setelah putus berobat (Default)
5

Adalah didapatkan hasil BTA positif pada pasien yang sudah


berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih.
- Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
- Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
- Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas
seperti kasus kronik pada pemeriksaan BTA positif setelah
menjalankan pengobatan ulang dan tidak diketahui riwayat
pengobatan sebelumnya.

2.4 Cara Penularan Tuberkulosis


Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB BTA positif yang terjadi
ketika pasien TB batuk atau bersin. Pasien dapat menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percik dahak. Keadaan gelap dan lembab percikan tersebut dapat
bertahan selama beberapa jam. Adanya ventilasi di dalam ruangan dapat
mengurangi jumlah percikan dan keberadaan sinar matahari secara langsung dapat
membunuh kuman tersebut.14 Banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-paru
pasien TB sangat menentukan daya penularannya. Dikatakan menularnya pasien
tersebut karena semakin tingginya derajat positif pada hasil pemeriksaan
dahaknya. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak
yang ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.8

2.5 Risiko Penularan Tuberkulosis


Lingkungan yang padat serta pemukiman di wilayah perkotaan dapat
mempermudah proses penularan dan peningkatan jumlah kasus TB. Penularan
penyakit tuberkulosis dipengaruhi oleh banyaknya kuman dalam paru-paru yang
6

menyebar di udara melalui dahak berupa droplet. Kuman tersebut dapat dilihat
langsung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahak. Kuman TB paru dan BTA
positif berbentuk droplet sangat kecil akan bertebaran diudara pada saat penderita
batuk atau bersin. Risiko untuk tertularnya TB paru tergantung dari tingkat
pajanan percikan dahak. Risiko lebih besar pada penderita TB paru BTA positif
dibandingkan penderita TB paru BTA negatif.6

2.6 Manifestasi Klinis


Pemeriksaan kesehatan dengan keluhan yang dirasakan pasien TB paru
bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan
sama sekali. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk disertai dahak bercampur
darah, batuk darah, badan lemas, malaise, sesak nafas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, demam meriang lebih dari satu bulan dan berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik. Gejala klinik TB paru ada dua golongan yaitu
gejala respiratorik dan gejala sistemik.1
1) Gejala respiratorik9,10
Gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk lebih dari 2
minggu atau lebih dan disertai darah. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, kemungkinan
batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering yaitu non-produktif kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif menghasilkan sputum. Keadaan yang lanjut adalah berupa
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada tuberkulosis terjadi pada kavitas tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus. Gejala respiratorik lainnya adalah nyeri dada pada tuberkulosis termasuk
nyeri pleuritik ringan namun jarang ditemukan. Gejala ini timbul apabila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Sesak nafas pada
penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut. Keadaan kronis dapat
menimbulkan sesak napas yang disebabkan karena infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru. Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru
7

sudah luas atau karena ada hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumotorak,
anemia dan lain-lain.
2) Gejala sistemik9,10
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam.
Biasanya subfebril mencapai 40-41oC menyerupai demam influenza yang timbul
pada sore hari atau malam hari. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar
tetapi dapat timbul kembali dan semakin lama semakin panjang seranganya.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Gejala sistemik lainnya adalah malaise,
keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.

2.7 Pemeriksaan Fisik


Kelainan yang akan dijumpai pada pemeriksaan fisik tergantung dari
organ yang terlibat. Secara umum ditemukan konjungtiva kulit atau mata yang
meningkat karena demam, anemia, dan berat badan menurun. Kasus dini atau
yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainan. Kelainan yang didapatkan tergantung luas kelainan struktur paru.
Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling sering dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas
bronkial bila dicurigai adanya infiltrat yang luas. Didapatkan juga suara napas
tambahan berupa ronki basah, nyaring dan kasar bila infiltrat diliputi oleh
penebalan pleura dan suara napas vesikular melemah.7,11

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi:7
1) Pemeriksaan darah
Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan
sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan daya tahan tubuh
yaitu dalam keadaan supresi atau tidak. Proses aktif LED sering meningkat tetapi
LED yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Saat tuberkulosis baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah
8

mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal
dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal
lagi.3,7
2) Pemeriksaan sputum
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan temuan Basil Tahan Asam (BTA)
pada pemeriksaan sputum. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan di lapangan dengan
mudah dan murah. Sebelum pemeriksaan sputum, satu hari sebelum pemeriksaan
pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks
batuk. Kuman BTA terkadang sulit untuk ditemukan. Kuman baru dapat
ditemukan bila bronkus terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung kuman
BTA mudah ke luar. Jika didapatkan sekurang-kurangnya 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan maka sudah termasuk ke dalam kriteria sputum BTA positif.7

2.9 Penatalaksanaan
1) Tujuan dan prinsip Pengobatan11
Pengobatan TB bertujuan mencegah kekambuhan, menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen
terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi
prinsip yaitu pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat,
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
Pemantauan secara langsung oleh PMO sampai selesai pengobatan dan
pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup mulai dari tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
2) Tahap Pengobatan7
- Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
secara efektif meminimalisirkan pengaruh dari sebagian kecil kuman
yang mungkin sudah resistensi sebelum pasien mendapatkan
pengobatan dan menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
pasien. Pengobatan tahap awal harus diberikan selama 2 bulan pada
semua pasien baru. Umumnya daya penularan sudah sangat menurun
9

setelah pengobatan selama 2 minggu dengan pengobatan secara teratur


dan tanpa adanya penyulit.
- Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.
3) Obat Anti Tuberkulosis2
Tabel 2.1 OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek samping
Kejang, neuropati perifer, psikosis
Isoniazid (H) Bakterisidal
toksik, gangguan fungsi hati
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urin berwarna merah, gangguan fungsi
Rifampisin (R) Bakterisidal
hati, skin rash, trombositopeni, demam,
sesak nafas
Gangguan gastrointestinal, gout artritis,
Pirazinamid (Z) Bakterisidal
gangguan fungsi hati
Nyeri di tempat suntikan, anemia,
gangguan keseimbangan dan
Streptomisin (S) Bakterisidal
pendengaran, renjatan anafilaktik,
trombositopeni, agranulositosis
Gangguan penglihatan, buta warna,
Etambutol (E) Bakterisidal
neuritis perifer
Dikutip dari (2)
Tabel 2.2 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Dosis
Harian 3x/minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) harian (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
Dikutip dari (2)
Catatan:
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
badan <50 kg tidak dapat mentoleransi dosis >500 mg/hari. Beberapa rujukan
menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/kg/BB/hari.
10

4) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia2

- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
- Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin dan Moksifloksasin. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini
ke-1 yaitu Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2
disediakan dalam bentuk paket berupa OAT-KDT. Tablet OAT-KDT terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien dan dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paduan OAT lini pertama2,7
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negatif tetapi foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 1
Tahap intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
Berat badan selama 56 hari RHZE selama 16 minggu RH (150/150)
(150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Dikutip dari (7)
2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya, yaitu:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
11

Tabel 2.4 Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2


Tahap intensif Tahap Lanjutan
setiap hari RHZE 3 kali seminggu RH
Berat
(150/75/400/275) + S (150/150) + E (400)
Badan
Selama Selama Selama
56 hari 28 hari 20 minggu
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
30-37kg 2 tab 4KDT
+ 500mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
38-54kg 3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
3 tab 4KDT 4 tab 2KDT
55-70kg 4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
71kg 5 tab 4KDT
+1000 mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol
Dikutip dari (7)
Catatan:
Dosis maksimal untuk Streptomisin adalah 500 mg untuk pasien yang
berumur 60 tahun ke atas tanpa memperhatikan berat badan dan untuk perempuan
hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

2.10 Keterlambatan Pengobatan Tuberkulosis


2.10.1 Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif 15-50 tahun. Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis
seseorang menurun sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk
penyakit TB paru. Hal ini dikarenakan terjadinya transisi demografi yang
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Umur bisa saja tidak
berpengaruh terhadap tindakan seseorang karena adanya faktor perantara seperti
sikap seseorang dan faktor lain yang mempengaruhi kehendak seseorang.8,9
2.10.2 Jenis Kelamin
Penyakit TB paru lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan karena rokok dan minuman alkohol dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik DOTS Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar ditemukan bahwa penderita TB yang
mangkir didominasi oleh laki-laki (80%) dan perempuan (20%). Kejadian ini
menandakan bahwa laki-laki memiliki tingkat kepatuhan yang lebih rendah
dibandingkan perempuan. Kecenderungan laki-laki lebih tinggi untuk mangkir
12

berobat kemungkinan karena laki-laki aktivitasnya lebih tinggi dalam sehari-hari,


serta laki-laki merupakan tulang punggung keluarga yang harus bekerja.6,12
2.10.3 Jenis Pekerjaan
Semakin tinggi pendidikan seseorang kesadaran untuk berobat semakin
meningkat. Pendekatan ini bertumpu pada asumsi bahwa seseorang mempunyai
latar belakang tertentu misalnya bekerja atau tidak bekerja akan memiliki
pandangan tersendiri terhadap pengobatan. Penelitian di Padang ditemukan bahwa
tingkat kepatuhan banyak terjadi pada penderita yang bekerja Pegawai Swasta
(41,2%), Nelayan (23,9%), Ibu Rumah Tangga (11,7%), Pegawai Negeri Sipil
(5,8%) dan Pedagang (5,8%).12
2.10.4 Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses penyempurnaan kehidupan manusia
dan perubahan perilaku menuju kepada kedewasaan. Pendidikan mempengaruhi
kesuksesan atau ketuntasan pengobatan penderita. Semakin tinggi tingkat
pendidikan penderita maka akan semakin baik penerimaan informasi tentang
pengobatan dan penyakitnya sehingga akan semakin memudahkan proses
pengobatan dan penyembuhannya. Pendidikan juga merupakan suatu kegiatan
atau usaha untuk meningkatkan kepribadian dengan jalan membina potensi
pribadi yang berupa rohani dan jasmani.8,9
2.10.5 Efek Samping Obat
Efek samping OAT merupakan masalah dalam pengobatan penderita TB.
Beratnya efek samping yang dialami penderita akan berdampak pada
ketidakpatuhan berobat dan tingginya keterlambatan dalam pengobatan.
Meningkatnya kejadian TB disebabkan karena cepatnya penyebaran bakteri yang
diakibatkan oleh penularan penyakit yang begitu mudah yaitu melalui percikan
Droplet nuclei yang mengandung Mycobacterium tuberculosis.20 Efek samping
OAT merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan dalam pengobatan TB.
Hal ini bisa berkurang dengan adanya penyuluhan terhadap penderita sebelumnya
sehingga penderita akan mengetahui efek samping obat dan tidak cemas apabila
pada saat pengobatan terjadi efek samping obat.13

Tabel 2.5 Efek samping ringan OAT


13

Penyebab Efek samping Penatalaksanaan


Obat ditelan malam sebelum tidur.
Apabila keluhan masih ada obat
Tidak ada nafsu makan,
H, R, Z ditelan dengan sedikit makanan.
mual, sakit perut
Apabila keluhan semakin berat
maka rujuk ke dokter spesialis.
Beri aspirin, parasetamol atau obat
Z Nyeri sendi
anti-inflamasi non steroid.
Kesemutan s/d rasa Beri vitamin B6 (piridoxin) 50-75
H terbakar di telapak kaki mg per hari.
atau tangan
Tidak membutuhkan penanganan
Warna kemerahan pada air lanjut tetapi beri penjelasan pada
R
seni pasien bahwa hal tersebut tidak
berbahaya.
R dosis Demam, menggigil, lemas, Pemberian R dirubah menjadi
intermiten sakit kepala, nyeri tulang setiap hari.
Dikutip dari (11)
Tabel 2.6 Efek samping berat OAT
Penyebab Efek samping Penatalaksanaan
Bercak kemerahan kulit Pengobatan simtomatis dengan
H, R, Z, S (rash) dengan atau tanpa antihistamin serta pelembab kulit
gatal
S Gangguan pendengaran S dihentikan
S Gangguan keseimbangan S dihentikan
Ikterus tanpa penyebab Semua OAT dihentikan sampai
H, R, Z
lain ikterus menghilang
Bingung, mual-muntah Semua OAT dihentikan, segera
Semua jenis (dicurigai terjadi gangguan lakukan tes fungsi hati
OAT hati apabila disertai
ikterus)
E Gangguan pengelihatan E dihentikan
Purpura, renjatan(syok), R dihentikan
R
gagal ginjal akut
S Penurunan produksi urin S dihentikan
Dikutip dari (11)
2.10.6 Persepsi
Minimnya persepsi kemanfaatan atau perceived benefit mungkin berperan
juga terhadap pasien TB untuk mencari unit pelayanan kesehatan. Disisi lain
terdapat beberapa persepsi masyarakat di Indonesia yang masih memperacayai
akan obat-obat tradisional dan dukun sebagai alternatif pengobatan pada pasien
dengan TB paru. Seperti hasil temuan peneliti oleh Olantuji et. All (2011) bahwa
14

sekitar 49,6% masyarakat Afrika dengan TB paru, masih menggunakan


pengobatan ortodok dan obat-obatan herbal lainnya.14

2.11 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan15


Beberapa faktor telah diidentifikasi dapat mempengaruhi keterlambatan
dalam diagnosis dan memulai pengobatan TB paru, termasuk persepsi pasien
terhadap penyakit, tingkat sosial ekonomi, stigma, tingkat kesadaran tentang
penyakit TB paru, tingkat keparahan penyakit, jarak antara tempat tinggal pasien
dan pelayanan kesehatan, pengobatan sebelumnya yang tidak jelas seperti pasien
berobat ke mantri, bidan bahkan dukun. Keterlambatan juga dapat berasal dari
dokter, ketersediaan fasilitas kesehatan seperti laboratorium, foto toraks ataupun
faktor ketersediaan obat.
Pada penelitian Tauseef pada tahun 2011 di Pakistan menemukan bahwa
keterlambatan oleh pasien adalah kompleks dan multifaktorial seperti:
1. Usia dimana pada umumnya TB paru terjadi pada usia produktif yaitu
15-35 tahun.
2. Jenis kelamin juga cukup berpengaruh, dimana pria lebih sering berada
diluar rumah dan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain yang
mungkin saja merupakan pasien TB paru BTA positif.
3. Pengetahuan tentang mengenai gejala TB yang tidak adekuat, dimana
mereka menduga batuk yang mereka derita bukan oleh karena TB, dan
pasien baru mencari pertolongan pengobatan ketika merasakan batuk
semakin parah atau produktif.
4. Tingkat pendidikan berdasarkan hasil penelitian didapati sebagian besar
pasien TB paru ada orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang
cukup bahkan buta huruf, hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap
upaya pencarian nformasi mengenai gejala penyakit yang dialaminya.
5. Pekerjaan, ditemukan bahwa lebih banyak pasien TB paru yang
memiliki pekerjaan daripada yang pengangguran
6. Pengetahuan pasien mengenai penyakit TB paru, hal ini sangatlah
berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis, dimana pasien yang
mengetahui mengenai penyakit TB paru baik gejala klinis dan
15

penanganan nya maka ia akan segera mendatangi tempat pengobatan


yang tepat, sehingga diagnosis dapat dilakukan secara cepat dan tepat
7. Stigma terhadap TB, dimana pasien takut dan malu menderita jika
orang mengetahui bahwa ia mengidap penyakit TB paru karena mereka
takut dikucilkan dari masyarakat, sehingga pasien TB paru cenderung
menutup-nutupi penyakitnya
8. Gejala klinis. Berdasarkan hasil penelitian gejala yang paling sering
muncul pada pasien TB paru adalah batuk, demam dan penurunan berat
badan sehingga pasien cenderung mengganggap hal tersebut adalah
keadaan yang biasa. Yang pada akhirnya pasien baru mendatangi
pelayanan kesehatan ketika gejala dirasakan pasien sudah berat.
9. Riwayat pengobatan sebelumnya. Pada umumnya pasien akan berusaha
mengobati sendiri gejala yang dirasakannya, berobat ke mantri,
pengobatan tradisional bahkan ke dukun. Pasien lebih suka ke praktek
dokter umum daripada pusat pelayanan yang dikelola oleh pemerintah
karena mudah dijangkau, waktu menunggu singkat, waktu kerja lebih
panjang dan petugas kesehatan yang lebih ramah serta lebih pengertian.
Pasien juga cenderung tidak nyaman atau takut akan mengenai
diagnosis apa yang akan diterimanya jika ia berobat ke dokter spesialis.
10. Jarak ke tempat pengobatan yang kurang terjangkau dimana pusat
pelayanan kesehatan waktu kerjanya terlalu singkat dan jaraknya yang
jauh dari tempat tinggal pasien. Sehingga pasien tidak dapat langsung
mendatangi pelayanan kesehatan yang tepat ketika gejala mereka
rasakan.
11. Sumber informasi mengenai penyakit TB paru yang kurang.
12. Beban biaya seperti: hilangnya waktu kerja, ongkos yang mahal, biaya
obat-obatan, biaya sosial oleh karena perceraian dan anak-anak yang
terpaksa berhenti sekolah.
16

Sedang keterlambatan oleh dokter umumnya dilakukan oleh dokter yang


berpraktek umum. Yang disebabkan oleh karena:
1. Kurangnya pengetahuan/kewaspadaan terhadap rekomendasi
pengobatan yang terbaik
2. Kurang terlibat dalam program nasional pemberantasan TB

2.12 Dampak Keterlambatan16-7


Dampak dari keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB adalah sebagai
berikut:
a. Penyebaran infeksi dan penyakit pada kontak serumah
b. Bertambah beratnya penyakit
c. Bertambah lamanya masa pengobatan yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan dan adanya jaringan parut pada paru
d. Meningkatnya angka kematian.

Keterlambatan diagnosis TB akhirnya akan menyebabkan penularan di


dalam rumah tangga akan semakin besar, terutama terhadap anak-anak yang
sangat rentan untuk tertular. Komplikasi TB pada anak juga berat seperti
meningitis TB. Seorang pasien dengan sputum BTA positif akan menginfeksi
lebih dari 10 kontak pertahunnya. Mengakibatkan banyak orang tertular dan
mengidap penyakit TB paru, sehingga TB akan semakin sulit ditanggulangi.
Produktivitas pasien akan sangat menurun, pasien akan mangkir bekerja yang
berdampak terhadap pendapatan keluarga dan ekonomi nasional. Dampak
ekonomi tersebut mengakibatkan munculnya Kemiskinan, anak-anak akan
terlantar bahkan sampai putus sekolah oleh karena ketiadaan biaya. Keterlambatan
juga membutuhkan biaya pengobatan yang lebih besar, karena proses penyakit
yang sudah lanjut disertai kerusakan jaringan paru bahkan sampai komplikasi
penyakit ke organ lain. Puncaknya keterlambatan dignosis dan pengobatan TB
akan memberikan dampak peningkatan jumlah kematian akibat TB.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. Hal. 69-71.

2. Subuh M, Priohutomo S. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014. Hal. 1-2.

3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2017.

4. Obwoge RO, Sang RA, Wakube AW. Factors associated to non-adherence


in tuberculosis treatment Baringo County Kenya. Int J Sci Res Innov
Technol. 2016;3(2):2313-3759.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional


pengendalian tuberkulosis. Dinihari TN, Siagian V, editors. Jakarta; 2014.
Hal 6-20.

6. Naga SS. Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. Jogjakarta: DIVA
Press; 2014. Hal 308-17.

7. Aditama TY, Subuh M. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.


Jakarta: Departemen Kesehatan; 2014. Hal. 19-21.

8. Tao L, Kendall K. Sinopsis organ system pulmonologi. Banten: Karisma


publising group; 2014. Hal. 170-201.
9. Padila. Asuhan keperawatan penyakit dalam. Cetakan pertama.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2013. Hal 230.

10. Setiati S, Alwi I, Sudoyono AW, Simadibrata KM dkk. Tuberkulosis paru.


Dalam: Sudoyo, WA dkk, editor. Buku ajar llmu penyakit dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2013. Hal. 836-80.

11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional


pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI; 2014.

12. Rahmi N, Medison I, Suryadi I. Hubungan tingkat kepatuhan penderita


tuberkulosis paru dengan perilaku kesehatan, efek samping OAT dan
peran PMO pada pengobatan fase intensif. Padang; Jurnal Kesehatan
Andalas. 2017;6(2):345-50.

13. Erawatyningsih E, Purwanta, Subekti, H. Faktor-faktor yang


mempengaruhi keterlambatan berobat pada penderita tuberkulosis paru.
Berita Kedokteran Masyarakat. 2009;25(3):117-24.

17
18

14. Maryoto M, Suci H. Faktor Keterlambatan Pencarian Pengobatan Pasien


Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas. Purwokerto; Viva
Medika.2016;17(09):72-82.

15. World Health Organization. Diagnostic and Treatment delay in


tuberculossi. Cairo: WHO. 2006:H10-39.

16. Harrison AC. Awareness, clinical features and early diagnosis of


tuberculosis. In. Guidelines for tuberculosis control in New Zealand. 2013.

17. Guneylioglu D, Yilmaz A, Bilgin S, Bayram U, Akkaya E. Factors


affecting delay in diagnosis and treatment of pulmonary tuberkulosis in A
Tertiary care hospital in Istanbul, Turkey. Med Sci Monit, 2004; 10 (2):
CR 62-7.

Anda mungkin juga menyukai