Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS KATARAK
DI PUSKESMAS KARANG PULE
TANGGAL 23 DESEMBER 2021

Oleh :

IKA NURLYA RAMADHONA


NIM. P07120421099N

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN PRODI PROFESI NERS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga tugas laporan asuhan keperawatan ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya dan sesuai dengan yang diinginkan. Tidak lupa ucapan terima kasih yang sedalam -
dalamnya kepada dosen bidang studi yang bersangkutan serta pembimbing lahan dan teman -
teman yang telah membimbing dan membantu dalam penyusunan laporan asuhan
keperawatan ini.
Menyadari bahwa laporan asuhan keperawatan yang telah disusun ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan, maka hal itu semua tidak lepas dari ketidaksempurnaan dan
kekhilafan yang telah diperbuat.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangatlah
diharapkan.
Demikian, semoga laporan asuhan keperawatan ini dapat bermanfaat ke depannya dan
dapat menjadi acuan serta koreksi untuk lebih baik lagi.

Jumat, 23 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman judul
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
LEMBAR PENGESAHAN III
LAPORAN PENDAHULUAN I
A. Pengertian Katarak 1
B. Jenis Katarak 2
C. Anatomi Katarak 3
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN 39
DAFTAR PUSTAKA
KONSEP DASAR MOBILITAS FISIK

A. Pengertian
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak dan
melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, baik secara mandiri, dengan bantuan orang lain, maupun hanya
dengan bantuan alat (Wulandari, 2018).
Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang tidak
dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas),
misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan
sebagainya (Wulandari, 2018). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas
adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan
terarah.

B. Jenis Mobilitas
Kemampuan mobilitas secara umum dibedakan menjadi dua, mobilitas penuh dan
mobilitas sebagian. Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
atau beraktivitas secara bebas tidak terbatas, sehingga dapat melakukan interaksi sosial
dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi dari saraf
motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
Sedangkan mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena adanya gangguan
pada saraf motorik dan sensorik di satu atau lebih ekstremitas tubuhnya. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilitas sebagian temporer
Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
2. Mobilitas sebagian permanen
Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi
hemiplegia karena stroke, parapelgia karena cedera tulang belakang, poliomielitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).
C. Jenis Imobilitas
1. Imobilitas Fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan
mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan
hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga
tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas Intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan
daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas Emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang
paling dicintai.
4. Imobilitas Sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat memengaruhi perannya
dalam kehidupan sosial (Widuri, 2010).

D. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal


1. Tulang (Osteon)
Struktur tulang terdiri atas dua macam yaitu; tulang padat (compact) dan tulang
berongga (spongiosa). Tulang padat biasanya terdapat pada bagian luar semua tulang
sedangkan tulang berongga biasanya terdapat pada bagian dalam tulang, kecuali
bagian yang digantikan oleh sumsum tulang.
Bila tulang diklasifikasikan berdasarkan morfologi (bentuknya), maka dapat
dibagi menjadi lima jenis yaitu ; tulang panjang/tulang pipa (long bone), tulang
pendek (short bone), tulang tipis/pipih (flat bone), tulang tidak teratur (irreguler bone)
dan tulang sesamoid.
Terdapat 11 tulang rangka penyusun tubuh manusia yang apabila dihitung
mencapai 206 tulang. Berikut tabel rinciannya (Purwanto, 2016):
Tabel 1. Tulang Rangka Penyusun Tubuh Manusia

No. Jenis Tulang Rangka Jumlah


1. Tulang tengkorak 6 buah
2. Tulang wajah 14 buah
3. Tulang telinga dalam 6 buah
4. Tulang lidah 1 buah
5. Tulang belakang (ruas tulang belakang) 26 buah
6. Tulang iga 24 buah
7. Tulang dada 1 buah
8. Tulang gelang bahu 4 buah
9. Tulang anggota gerak/badan atas 60 buah
10. Tulang gelng panggul 2 buah
11. Tulang anggota gerak/badan bawah 60 buah
2. Sendi (Artikulasio)
Klasifikasi sendi secara fungsional ada tiga, yaitu sendi yang tidak dapat bergerak
(sinartrosis), sendi yang gerakannya minimal (amfiartrosis) dan sendi yang bergerak
bebas (diartrosis).
Klasifikasi sendi secara struktural ada dua yaitu; sendi fibrosa (dihubungankan
dengan jaringan fibrosa) seperti sutura, sindesmosis, gomfosis, sendi kartilago (sendi
yang dihubungkan dengan jaringan kartilago) seperti sinkondrosis, simfisis, dan 3)
sendi sinovial. Sedangkan berdasarkan tipe gerakkan yang ditimbulkan, sendi sinovial
dapat digolongkan menjadi; sendi datar, sendi engsel, sendi poros, sendi elipsoid,
sendi pelanan, dan sendi peluru (Purwanto, 2016).
3. Ligamen, Otot, Fasia, dan Tendon
Otot dapat dibedakan berdasarkan lokasi, struktur mikroskopis dan kontrol
persyarafannya. Terdapat tiga jenis otot yaitu : otot skelet, otot jantung dan otot polos.
a. Otot Skelet / Otot Rangka / Otot Lurik, dengan karakter:
1) Terdapat pada rangka dan dinamai sesuai dengan tulang yang berhubungan
2) Bergaris
3) Volunter (bekerja dengan pengendalian secara sadar)
b. Otot Jantung
1) Membentuk dinding jantung
2) Bergaris
c. Otot Polos
1) Terdapat pada dinding struktur interna (visera) antara lain: lambung, kandung
kemih, pembuluh darah dll.
2) Tidak bergaris
3) Involunter (bekerja di luar kesadaran)
Secara makroskopis, otot memiliki bagian-bagian antara lain: 1) Origo, yaitu tempat
perlekatan ujung proksimal pada otot rangka, 2) Venter (badan otot), yaitu bagian
tengah dari otot (di antara ujung proksimal dan distal), dan 3) Insersio, yaitu tempat
perlekatan ujung distal otot pada rangka (Purwanto, 2016).
4. Fungsi Pokok Otot
a. Motion
Yaitu fungsi untuk menghasilkan gerakan, baik gerakan seluruh tubuh (berjalan,
lari, dll). Maupun gerakan lokal (memegang, mengangguk, dll)
b. Mempertahankan postur
Yaitu fungsi otot rangka dalam berkontraksi guna mempertahankan tubuh dalam
posisi tetap saimbang, seperti duduk tegak, berdiri, dll.
c. Menghasilkan kalori
Yaitu fungsi untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal melalui panas yang
dihasilkan oleh otot rangka saat berkontraksi.
Agar otot dapat berkontraksi, maka diperlukan suatu stimulus. Adapun proses
stimulus adalah sebagai berikut :
a. Stimulus datang dan diterima oleh sel saraf (neuron sensorik) yang selajutnya
diubah menjadi impuls saraf
b. Impuls dilanjutkan oleh neuron motorik menuju otot, melalui myoneura junction
(motor end plate), yaitu pertemuan antara neuron motorik dan otot. Pada tempat
ini terdapat sinapsis, yaitu tempat penyaluran neurotransmitter dari neuron ke otot.
c. Di sinapsis, neurotransmitter meneruskan impuls ke sarkolemma dan akhirnya
kontraksi dimulai (Purwanto, 2016).
5. Fungsi Tendon
Tendon merupakan serabut kolagen yang melekatkan otot ke tulang. Tendon
menyalurkan gaya yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi ke tulang dan dengan
demikian menggerakkan tulang. Sedangkan fungsi ligamen adalah membatasi
pergerakan sendi, karena ligamen adalah taut fibrosa yang kuat antar tulang, biasanya
terletak di sendi (Purwanto, 2016).
6. Fungsi Tulang
Tulang yang matur terdiri dari 30% materi organik dan 70% deposit garam.
Materi organik terdiri dari 90% serabut kolagen dan 10% proteoglikan. Deposit garam
terpenting adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium bikarbonat, dan
ion magnesium.
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh stimulasi hormonal, faktor makanan, dan
stres tulang (keberadaan osteoblas).
Aktivitas osteoblas ditentukan oleh diet, stimulasi hormonal, dan olahraga.
Vitamin D mampu menstimulasi kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja
pada osteoblas, dan secara tidak langsung dengan menstimulasi absorpsi kalsium di
usus. Peningkatan absorpsi kalsium meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang
mendorong kalsifikasi tulang, dengan demikian peranan vitamin D sangat penting.
Tulang memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Kerangka penunjang badan (penopang badan)
b. Pengungkit untuk otot (tempat otot bertumpu)
c. Pelindung alat tubuh tertentu
d. Sebagai tempat pembuatan sel-sel darah (sistem hemopoiesis)
e. Sebagai gudang penyimpanan kalsium dan fosfor (Purwanto, 2016).

E. Pathway
Sistem Muskuloskeletal

Tulang Otot Sendi Gangguan Neuromuskuler

Kekakuan sendi Kerusakan pusat gerakan


Kerusakan Tendon
kartilago dari ligamen motorik di lobus frontalis
tulang melemah (hemisper/hemiplagia)
Terbatasnya
gerakan sendi

Hilangnya
kekuatan otot
Tirah
Gangguan mobilitas fisik
baring

Resiko cedera

Defisit Resiko kerusakan


perawatan diri integritas kulit
(dekubitus)
F. Etiologi
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut :
1. Penurunan kendali otot
2. Penurunan kekuatan otot
3. Kekakuan sendi
4. Kontraktur
5. Gangguan muskoloskeletal
6. Gangguan neuromuskular
7. Keengganan melakukan pergerakan

G. Manifestasi Klinis
Respon fisiologis dari perubahan mobilisasi yang mungkin muncul, diantaranya :
1. Muskuloskeletal sepeeti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
2. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
3. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas.
4. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium;
dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi).
5. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan
batu ginjal.
6. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan.
7. Neurosensori: sensori deprivation (Wulandari, 2018).

H. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Saputra (2013) dalam Adha (2017), ada beberapa penatalaksanaan gangguan
mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu :
1. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan
dengan tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent,
lithotomi, dan genu pectoral.
a. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di mana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
b. Posisi Sim
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini dilakukan untuk
memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria).
c. Posisi Trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke
otak.
d. Posisi Dorsal Recumbent
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan
memeriksa genitalia serta pada proses persalinan.
e. Posisi Lithotomi
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia
pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
f. Posisi Genu Pectoral
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum
dan sigmoid.
2. Latihan ROM Pasif dan Aktif
Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit, diabilitas, atau trauma
memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi
(2011) dalam Adha (2017) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah
stabil baru diperbolehkan dilakukannya mobilisasi.
Berikut beberapa gerakan latihan ROM yang dilakukan untuk memelihara dan
mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian :
a. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan
b. Fleksi dan Ekstensi Siku
c. Pronasi dan Supinasi Lengan
d. Pronasi Fleksi Bahu
e. Abduksi dan Adduksi
f. Rotasi Bahu
g. Fleksi dan Ekstensi Jari – jari
h. Infersi dan Efersi Kaki
i. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Kaki
j. Fleksi dan Ekstensi Lutut
k. Rotasi Pangkal Paha
l. Abduksi dan Adduksi Pangkal Paha
3. Latihan Ambulasi
a. Duduk diatas tempat tidur
b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda
c. Membantu berjalan

I. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan (sekarang dan dahulu)
c. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola pengkajian ADL
a. Pola nutrisi
b. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan diri secara
mandiri karena kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami
gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan mudah lelah.
Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut jantung
menjadi lebih tinggi sehingga otot jantung harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi. Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering memompa, maka
makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat (Adha, 2017).
c. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien lebih banyak tidur dan istirahan karena semua sistem tubuhnya
akan mengalami penurunan kerja dan penurunan kesadaran sehingga lebih banyak
diam (Adha, 2017).
d. Pola eliminasi
Kemungkinan terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas dan
pengontrolan urinasi menurun, dan terjadi konstipasi dan diare akibat impaksi
fekal (Adha, 2017).
4. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian pada mobilisaasi berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan
toleransi aktivitas, serta keseimbangan tubuh. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan
ganguan mobilisasi bertujuan untuk menilai adanya fraktur terbuka/tertutup, dislokasi
sendi, paralisis/paresis motorik: hemiplegia/hemiperesis, kelemahan otot wajah,
tangan, gangguan sensorik: kehilangan sensasi pada wajah, lengan, dan ektermitas
bawah, disphagia : kesulitan mengunyah, menelan, paralisis lidah, dan laring,
gangguan visual : pandangan ganda, lapang padang menyempit, kesulitan
berkomunikasi: kesulitan menulis, kesulitan membaca, disatria ( kesulitan
mengucapkan artikulasi/pelo, cadel), kelemahan, otot wajah, lidah, langitlangit atas,
pharing, dan bibir, kemampuan emosi : perasaan, ekspresi 15 wajah, penerimaan
terhadap kondisi dirinya, memori : pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat,
waktu, tingkat kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel.
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan mengidentifikasi jika adanya area perdarahan
(biasanya untuk pemakaian darurat) dan MRI (Magnetik Resonance Imaging)
mengidentifikasi lokasi iskemik (Basuki, 2018).

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul untuk klien dengan gangguan sistem
muskuloskeletal adalah (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Defisit perawatan diri
K. Rencana Keperawatan

No. Diagnosa
Tujuan Keperawatan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
DX Keperawatan
1 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x Dukungan Ambulasi
24 jam O:
fisik - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
Mobilitas Fisik membaik dengan kriteria hasil :
lainnya
Subyektif : - Pergerakan ekstremitas meningkat - Identifikasi toleransi fisik melakukan
- Kekuatan otot meningkat ambulasi
- Mengeluh sulit - Nyeri menurun - Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
menggerakkan - Kecemasan menurun sebelum memulai ambulasi
ekstremitas - Monitor kondisi umum selama melakukan
ambulasi
- Nyeri saat bergerak T:
- Merasa cemas saat - Fasilitasi aktivitsas ambulasi dengan alat
bantu (mis. tongkat, kruk, dsb)
bergerak - Fasilitasi melakkan mobilisaasi fisik, jika
- Enggan melakukan perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien
pergerakan dalam meningkatkan ambulasi
Obyektif : E:
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
- Kekuatan oto - Anjurkan mobilasi dini
menurun - Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
- Rentang gerak hari
(ROM) menurun
- Sendi kaku
- Gerakan tidak
terkoordimasi
- Gerakan terbatas
- Fisik lemah
2 Defisit perawatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x Dukungan perawatan diri
diri 24 jam O:
Perawatan diri meningkat dengan kriteria hasil : - Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
Subyektif : - Kemampuan mandi meningkat sesuai usia
- Kemampuan mengenakan pakaian meningkat - Monitor tingkat kemandirian
- Menolak - Kemampuan makan meningkat - Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
melakukan - Kemampuan ke toiley (BAB/BAK) meningkat diri, berpakaian, berhias, dan makan.
perawatan diri - Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri T:
- Mempertahankan kebersihan mulut - Sediakan lingkungan yang terapeutik
Obyektif : - Siapkan keperluan pribadi
- Dampingi dalam melakukan perawatan diri
- Tidak mampu sampai mandiri
mandi / - Fasilitasi untuk menerima keadaan
mengenakan ketergantungan
- Jadwalkan rutinitas perawatan diri
pakaian / makan / E:
ke toilet / berhias - Anjurkan melakukan perawatan diri secara
secara mandiri konsisten sesuai kemampuan
- Minat melakukan
perawaatan diri
kurang
3 Resiko cedera Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x Pencegahan cidera
. 24 jam O:
Faktor Resiko : Termoregulas - Identifikasi obat yang berpotensi
i menyebabkan cidera
- Ketidakamanan - Kejadian cedera menurun - - Identifikasi kesesuaian alas kaki pada
transportasi Luka / lecet menurun ekstremitas bawah
- Kegagalan - Pendarahan menurun - T:
mekanisme Fraktur menurun - Sediakan pencahayaan yang memadai
pertahanan tubuh - Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan
- Perubahan fungsi lingkungan rawat inap
- Sedaiakan alas kaki antislip
psikomotor
- Sediakan urinal untuk eliminasi di dekat
- Perubahan fungsi tempat tidur, jika perlu
kognitif - Pastikan barang-barang pribadi mudah
dijangkau
- Tingkatkan frekuensi observasi dan
pengawasan pasien, sesuai kebutuhan
E:
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh
ke pasien dan keluarga
- Anjurkan berganti posisi perlahan dan duduk
beberapa menit sebelum berdiri

Manajemen keselamatan lingkungan


O:
- Identifikasi kebutuhan keselamatan
- Monitor perubahan status keselamatan
lingkungan
T:
- Hilangkan bahaya keselamatan, jika
memungkinkan
- Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
risiko
- Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
- Gunakan perangkat pelindung (mis. rel
samping, kunci, dsb)
E:
- Ajarkan individu, keluarga, dan kelompok
rsiko tinggi bahaya lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Adha, S.A. (2017). Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Di IRNA C RSSN Bukittinggi. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Padang.
Basuki, L. penerapan ROM (Range of Motion) Pada Asuhan Keperawatan Pasien Stroke
Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Di RSUD Wates Kulon Progo. Karya Tulis Ilmiah.
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC_NOC. Yogyakarta; MediAction.
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan Medikal Bedah II.
Jakarta Selatan; Pusdik SDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperaatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definis dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Widuri, H. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia (Aspek Mobilitas dan Istirahat Tidur). (Riyadi,
S, Ed.) Yogyakarta; Gosyen Publishing.
Wulandari, N.K.V. gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pasca Stroke Non Hemoragik
Dengan Gangguan Pemenuhan Mobilitas Fisik (Di Wilayah Keja UPT Kesmas
Sukawati I) Tahun 2018. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai