Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Indek kerja Individu di RS Paru Dr. H. A. Rotinsulu

Disusun Oleh :
NUNUNG NURAENI
NIP : 197602092002122001

RS Paru Dr. H. A. Rotinsulu


Tahun 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur dilimpahkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Asuhan Keperawatan Pada Kasus Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan makalah ini tidak lepas dari dukungan
serta bantuan dari berbagai pihak, tak lupa kami menyadari dengan segala keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan.

Bandung, Maret 2022


Penulis

Nunung Nuraeni

ii
DAFTAR ISI

KOVER.................................................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN LITERATUR....................................................................... 4

A. Pengertian............................................................................................. 4
B. Etiologi.................................................................................................. 5
C. Patogenesis............................................................................................ 6
D. Patofisiologi.......................................................................................... 6
E. Tanda dan Gejala.................................................................................. 9
F. Pemeriksaan Diagnostik........................................................................ 10
G. Multidisiplinary Manajemen pengelolaan kasus PPOK....................... 11
H. Treatment.............................................................................................. 17

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah salah satu dari penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversible. Keterbatasan saluran nafas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respon inflamasi (GOLD, 2017). Adanya obstruksi udara
pernapas ditentukan oleh penurunan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama
(FEV1) terhadap kapasitas vital paksa (FVC) (Lyndon, 2013)
PPOK diderita oleh 10% populasi, dan prevalensinya mencapai 50% pada
perokok berat (Hanania, 2010) PPOK merupakan penyebab kematian keempat
yang mengenai lebih dari 10 juta orang di USA. PPOK diperkirakan akan naik dari
urutan keenam menjadi urutan ketiga dari penyebab kematian terbanyak di dunia
pada tahun 2020(Ridha, 2013). Prevalensi PPOK pada lansia ≥65 tahun
diperkirakan 14,2% (11-18%) dibandingkan dengan 9,9% (8,2-11,8%) pada usia
≥40 tahun. Prevalensi PPOK naik dua kali lipat setiap kenaikan usia 10 tahun
(Hanania, 2010). Di Indonesia, country rate untuk PPOK sebesar 2,6, sedangkan
country rate tertinggi di dunia 4,6 (WHO, 2017) Penyakit paru (termasuk PPOK)
merupakan penyebab kematian nomer 5 di Indonesia, dengan age-standardized
death rate sebesar 53,01 per 100.000 penduduk, menempati urutan ke-14 di antara
negara-negara di dunia (World life expectancy, 2014)
Faktor risiko utama terjadinya PPOK adalah merokok (GOLD, 2017;
WHO, 2017 Reilly Jr. & Silverman, 2012; Mueller, 2004; Bergman & Hawk.,
2010), bahkan ketika merokok sudah dihentikan, stress inflamasi masih terus
merusak jaringan paru (Mueller, 2004). Faktor genetik yang diketahui sebagai
faktor risiko adalah defisiensi berat dari a-1 antitripsin (Reilly Jr. & Silverman,
2012; GOLD, 2017). Malnutrisi juga merupakan salah satu faktor risiko PPOK.
Faktor risiko lainnya meliputi pemaparan terhadap debu atau zat kimia, polusi
udara (termasuk memasak dengan kayu bakar dan/atau di tempat tanpa ventilasi

1 1
udara yang baik), gangguan pertumbuhan dan perkembangan paru, stress oksidatif,
infeksi virus atau bakteri, sosial ekonomi yang rendah, serta asma (Mueller, 2004;
GOLD, 2017).
Gejala klinis PPOK antara lain batuk, produksi sputum, sesak nafas dan
keterbatasan aktivitas. Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi
bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya
saja, tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor, salah satunya adalah penurunan
fungsi otot skeletal. Penurunan kapasitas vital paru pada PPOK dapat
menyebabkan berkurangnya compliance paru. Compliance adalah ukuran tingkat
perubahan volume paru yang ditimbulkan oleh gradien tekanan transmural (gaya
yang meregangkan paru) tertentu (GOLD, 2017)
Penatalaksanaan penderita PPOK, disamping pemberian terapi secara
farmakologis dan penghentian merokok juga diperlukan terapi nonfarmakologis
yaitu rehabilitasi paru. Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan
pengobatan standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala dan
meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup
mandiri dan berguna bagi masyarakat. Tujuan program rehabilitasi pada pasien
PPOK adalah meningkatkan toleransi terhadap latihan dan memperbaiki kualitas
hidup pasien latihan pernafasan dirancang dan dijalankan untuk mencapai ventilasi
yang lebih efisiensi dan terkontrol dalam meningkatkan inflasi alveolar maksimal,
menghilangkan ansietas, meningkatkan relaksasi otot, menyingkirkan pola
aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi,
melambatkan frekuensi pernafasan, serta mengurangi udara yang terperangkap.
Latihan yang teratur juga akan mengakibatkan meningkatnya aktifitas beta
adrenergik saluran pernafasan yang menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus dan
menghambat sekresi mukus, sehingga paru dapat memasukkan dan mengeluarkan
udara dengan lebih baik (Surya W, 2014).

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK)
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
b. Mampu melakukan assessment, analisa dan interprestasi data (hasil
assessment) pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) diarea
keperawatan kritis
c. Mampu menetapkan prioritas masalah keperawatan pada pasien dengan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) diarea keperawatan kritis
d. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) diarea keperawatan kritis
e. Mampu melakukan intervensi keperawatan pada pasien dengan Penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) diarea keperawatan kritis
f. Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) diarea keperawatan kritis

3
BAB II
KAJIAN LITERATUR

A. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan penyakit yang ditandai
keterbatasan aliran udara yang tidak reversible sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara
biasanya progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi abnormal pada paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya atau defisiensi α1-antitripsin yang
diturunkan. Istilah PPOK digunakan pada beberapa gabungan penyakit, yang meliputi
emfisema dan bronchitis kronis (Morton Patricia, 2017)
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) menurut GOLD (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease) adalah penyakit paru kronik ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun berbahaya (GOLD, 2017).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang
tidak dapat dicegah dan ditangani, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang
progresif. Hal ini berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal dari paru-
paru yang tidak sepenuhnya reversibel (Theresia Kurniati, 2018)
Biasanya PPOK digambarkan terdiri dari bronkitis kronis (didefinisikan sebagai
batuk dan produksi sputum 250 ml/ hari selama minimal 3 bulan pertahun selama 2
tahun berturut-turut) dan emfisema yang melibatkan destruksi dari alveoli atau
didefinisikan sebagai kehilangan elastisitas paru dan pembesaran abnormal serta
permanen pada ruang udara yang jauh dari bronkiolus terminal. Ada tiga tipe
emfisema sentrilobularis, emfisema panasiran dan emfisema paraseptal. Emfisema
sentrilobular paling sering terjadi pada perokok dan terlokasi pada bagian paru atas,
emfisema panasiran paling sering ditemukan pada pasien yang mengalami defisiensi
inhibitor α1-protease dan sering terlokasi pada lobus bawah, sedangkan emfisema
paraseptal juga sering terjadi pada peroko da nterlokasi secara perifer, yang

4
4
kemungkinan pembentukan bula yang besar. Penyakit paru obstruktif kronis
merupakan penyakit yang progresif dan irevesibel; tidak ada obatnya dan tujuannya
adalah untuk mengelola gejala dan membatasi perkembangan penyakit. Pasien sering
datang keruangan emergensi dengan eksaserbasi akut atau saat tingkat pengobatan
terakhir yang mereka dapat tidak lagi adekuat (Theresia Kurniati, 2018; Morton dkk,
2017).

B. ETIOLOGI
Menurut Morton, dkk (2017) Kondisi yang Memicu Eksaserbasi Penyakit Paru
Obstruktif Kronik, diantaranya;
1. Infeksi : bakteri atau superinfeksi bakteri proses virus primer (trakeobronkitis akut)
2. Merokok
3. Gagal ventrikel kiri
4. Disritmia jantung

5
5. Pneumothoraks
6. Tromboembolisme paru
7. Obstruksi jalan napas atas
8. Aspirasi
9. Rinistis atau Sinusitis
10. Asma
11. Refluks gastroesofagus
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Niagara, 2013)faktor resiko terjadinya
PPOK yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, merokok, dan riwayat penyakit sistem
pernafasan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridha (2013), faktor-faktor
yang dapat menyebabkan PPOK adalah riwayat merokok lama, riwayat infeksi saluran
nafas, riwayat paparan debu yang lama ditempat kerja dan kurangnya pengetahuan
tentang penyakit PPOK.

C. Patogenesis PPOK

Inhalasi bahan berbahaya

Inflamasi

Mekanisme perlindungan Mekanisme perbaikan

Kerusakan jaringan paru

Penyempitan saluran Destruksi parenkim Hipersekresi mukus


napas dan fibrosis

D. Patofisiologi
Merokok merupakan faktor risiko utama timbulnya PPOK. Rokok memberikan
respon inflamasi terhadap saluran napas dan paru yang menyebabkan terjadinya
perubahan patologi dan menimbulkan obstruksi pada saluran napas. Pada akhirnya
akan terjadi retensi karbondioksida yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

6
parsial karbondioksida (PaCO2) didalam darah (McConville et al., 2012).
Karbonmonoksida (CO) yang terdapat didalam asap rokok menyebabkan berkurangnya
tingkat saturasi oksigen, hal tersebut terjadi karena CO memiliki afinitas sekitar 250
kali lebih kuat dengan hemoglobin (Hb) dibandingkan dengan oksigen (Guyton et al.,
2008). Berkurangnya saturasi oksigen dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan
jumlah nfluenza (Cameron et al., 2006). Perubahan patologi pada saluran napas dan
paru akan semakin memburuk jika terpapar dengan berbagai faktor pencetus seperti
infeksi pada saluran napas atas dan gangguan terhadap terapi pemeliharaan pada
keadaan stabil. (GOLD, 2017). Abnormalitas ini terjadi ketika volume ekspirasi kuat
dalam satu detik (forced respiratory volume in 1 second :FEV1) dan kapasitas vital
kuat (forced vital capacity :FVC) menurun, hal ini berhubungan dengan peningkatan
ketebalan dinding jalan napas kelekatan alveolar, dan penurunan recoil elastis paru.
Menurut Global Intiative for Chronic Obstruktive Lung Disease (GOLD) 2017,
adanya FEV1 pasca broncodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasi
dengan rasio FEV1/FVC kurang dari 70% menegaskan adanya keterbatasan aliran
udara yang tidak reversible sepenuhnya. Pada PPOK berat, udara terperangkap di paru
selama ekspirasi kuat, yang menyebabkan kapasitas residual fungsional (functional
residual capacity, FRC) tinggi secara abnormal. Peningkatan FRC menyebabkan
hiperinflasi pulmonal. (Morton, dkk, 2017)
Penderita PPOK yang mengalami eksaserbasi derajat berat dapat memicu
terjadinya gagal napas karena tidak mampu untuk mempertahankan nilai gas darah
dalam batas normal (Cukic, 2014). Ketika eksaserbasi terjadi peningkatan gas trapping
yang dapat menyebabkan peningkatan volume udara residu. Keadaan tersebut akan
semakin menurunkan aliran udara pernapasan dan gangguan pada pertukaran gas di
dalam paru sehingga dapat menimbulkan hipoksemia. Tekanan parsial karbondioksida
(PaCO2) akan semakin meningkat (hiperkapnia) akibat peningkatan retensi CO2
(GOLD, 2017; McConville et al., 2012). Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
asidosis respiratorik yaitu penurunan pH akibat peningkatan PaCO2 (Madjid et al.,
2008). Keadaan asidosis ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh karena hampir semua
aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH darah. Untuk mempertahankan keseimbangan

7
asam basa maka terjadi peningkatan bikarbonat (HCO3-) sebagai kompensasi terhadap
asidosis respiratorik (Guyton et al., 2008).

8
PATHWAY

PPOK

Kerusakan jaringan Penyempitan saluran Destruksi Parenkim Hipersekresi Mukus Perokok Aktif dan
paru Nafas Pasif

Eksaserbasi Akut

Sesak Nafas Produksi Sputum Meningkat Bersihan jalan nafas tidak efektif

Dinding alveoli rusak akibat


Peningkatan tekanan
infeksi
Hidrostatik pulmonal

Kerusakan difusi O2 Kompensasi vaskuler


Peningkatan aliran limpatik

Hipoksemia Hipertensi pulmonal


Cairan transudate ke alveolus

Dinding alveoli rusak akibat Gagal Jantung


Edema Pulmonal infeksi
Gagal pompa ventrikel kiri Gagal pompa ventrikel kanan Tekanan diastole meningkat
PaCo2 meningkat
Forward failure Back failure Bendungan antrium kanan
Gangguan pertukaran gas Gagal Nafas
Bendungan vena sistemik
LVED Meningkat

Lien Hepar
Suplai darah jaringan menurun Suplai o2 otak menurun Renal flow menurun Tekanan vena pulmonalis
meningkat Splenomegali Hepatomegali
Metabolisme anaerob
Sinkop RAA menurun Tekanan kapiler paru
meningkat
Asidosis Metabolik
Penurunanan Perfusi jaringan Aldosterone meningkat Edema paru Bebean ventrikel
ATP Menurun
ADH meningkat Ronchi basa Hipertropi ventrikel kanan
Fatique
Iritasi mukosa paru
Retensi Na+O2 Penyempitan lumen ventrikel kanan
Intoleransi Aktivitas Replek baruk menurun
Kelebihan volume cairan
Penumpukan sekret Bersihan jalan nafas tidak efektif

8
E. Tanda dan Gejala Eksaserbasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Menurut Morton (2017), tanda dan gejala eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik
antara lain:
a. Perburukan penyakit yang stabil sebelumnya
b. Peningkatan influen
c. Peningkatan mengi
d. Peningkatan batuk
e. Peningkatan volume sputum
f. Peningkatan kepekatan dan purulensi sputum
g. Derajat reterensi air yang bervariasi
h. Perburukan pertukaran gas dan hubungan ventilasi perfusi
i. Peningkatan hiperventilasi
j. Peningkatan kerja pernapasan
k. Dada sesak
Menurut Theresia Kurniati (2018), tanda dan gejala PPOK adalah sebagai berikut;
a. Serangan akut, biasanya pada musim dingin, dipicu oleh infeksi pernapasan akibat
virus
b. Meningkatnya dyspnea, takipnea, dan hipoksemia
c. Perubahan pada jumlah dan warna sputum
d. Suara napas yang menjauh, ronchi yang menyebar, mengi (wheezes) dan crackles
e. Hiperresonan pada perkusi
f. Kelelahan
g. Kemungkinan terjadi cor pulmonale (gagal jantung kanan akibat penyakit .

9
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pulse Oxymetry berguna untuk menyesuaikan terapi suplemen oksigen, penilaian
AGD penting jika ditemukan tanda akut atau acute on chronic respiratory failure
(PaO2< 8.0 kPa (60mmHg) dengan atau tanpa PaCO2 > 6.7 kPa (50 mmHg) pada
konsentrasi udara ruangan ). Pemeriksaan AGD harus dilakukan sebelum tindakan
ventilasi mekanik. Spirometri dilakukan untuk mendiagnosa pasien dengan COPD
agar mengurangi kesalahan klasifikasi (Kronborg, Hangaard, Cichosz, & Hejlesen,
2019)
2. Foto Torak berguna dalam menyingkirkan diagnose alternative
3. EKG membantu dalam mendiagnosis problem kardiak yang menyertai
4. Pemeriksaan darah lengkap dapat engidentifikasi adanya polistemia, anemia, atau
lekositosis
5. Sputum purulent selama eksaserbasi cukup sebagai indikasi terapi antibiotic
empirik. Haemophilis influenzae, Moraxella catharrhis, S. penumoniae merupakan
mikroorganisme yang sering ditemukan pada eksaserbasi. Pada pasien dengan
GOLD 3 dan GOLD 4 pseudomonas aeruginosa menjadi penting. Jika infeksi pada
eksaserbasi tidak berespon terhadap antibantibioticial, sputum kultur dan tes
resistensi harus dilakukan.
6. Tes abnormalitas biokimia termasuk gangguan elektrolit dan hiperglikemia bisa
berhubungan dengan eksaserbasi. Kelainan ini juga dapat merupakan komorbiditas
yang menyertai.

No Stadium Karakteristik Terapi yang direkomendasikan


1 Semua a. Menghindari faktor risiko
b. Vaksinasi influenza
2 0: Berisiko a. Gejala kronik (Batuk, Sputum)
b. Pajanan terhadap factor risiko
c. Spirometer normal
3 1: Ringan a. FEV1/FVC < 70% Bronkodilator kerja singkat jika
b. FEV1 ≥ 80% yang diprediksi diperlukan
c. Dengan atau tanpa gejala
4 II: Sedang IIA a. Terapi teratur dengan satu atau
a. FEV1/FVC < 70% lebih bronkodilator
b. 50% ≤ FEV1 ≤ 80% yang b. Rehabilitasi
diprediksi c. Inhalasi glukokortiksteroid

10
c. Dengan atau tanpa geajala jika terjadi gejala signifikan
dan respons fungsi paru
IIB
a. FEV1/FVC < 70% a. Terapi teratur dengan satu atau
b. 30% ≤ FEV1 < 50% yang lebih bronkodilator
diprediki b. Rehabilitasi
c. Dengan atau tanpa gejala c. Inhalasi glukokortiksteroid
jika terjadi gejala signifikan
dan respons fungsi paru atau
jika terjadi eksaserbasi
berulang
5 III: Berat a. FEV1/FVC < 70% a. Terapi teratur dengan satu atau
b. FEV1 < 30% yang diprediki lebih bronkodilator
atau ada gagal napas atau b. Inhalasi glukokortiksteroid
gagal jantung kanan jika terjadi gejala signifikan
dan respons fungsi paru atau
jika terjadi eksaserbasi
berulang
c. Terapi komplikasi
d. Rehabilitasi
e. Terapi oksigen jangka panjang
jika terjadi gagal napas
f. Pertimbangkan terapi
pembedahan
(FEV1: forced expiratory volume in 1 second, FVC: forced vital cavacity)

G. Multidisiplinary Manajemen pengelolaan kasus PPOK


1. Manajemen Nonfarmakologi
a. Aktivitas Olahraga
Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri atas sepeda
ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur waktunya, dan
frekuensinya dapat berkisar dari setiap hari sampai setiap minggu, dengan durasi
10-45 menit persesi, dan intensitas latihan dari 50% konsumsi oksigen puncak
sampai maksimum yang ditoleransi. Manfaat aktivitas olahraga pada pasien
PPOK meliputi hal-hal berikut ini:
1) Memperbaiki kapasitas aktivitas fisik
2) Mengurangi intensitas sesak napas (yang dirasakan)
3) Memperbaiki kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan
4) Mengurangi jumlah hospitalisasi dari hari rawat dirumah sakit

11
5) Mengurangi ansietas dan depresi yang berkaitan dengan PPOK
6) Memperbaiki fungsi lengan dengan latihan kekuatan dan daya tahan
ekstremitas atas
7) Manfaat yang melebihi periode latihan segera
8) Memperbaiki harapan hidup
b. Konseling Nutrisi
Malnutrisi adalah masalah umum pada pasien PPOK dan terjadi lebih
dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi
sesuai dengan derajat abnormalitas pertukaran gas. Malnutrisi mengakibatkan
penurunan otot pernapasan dan kelemahan otot pernapasan lebih lanjut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari dkk, (2016), hubungan
yang penting antara nutrisi dan PPOK ialah melalui efek katabolisme, salah
satunya dengan melihat status gizi. Jika asupan kalori berkurang, maka tubuh
akan memecah protein yang terdapat dalam otot termasuk otot-otot pernapasan.
Hilangnya lean body mass pada setiap otot akan berdampak pada fungsi otot
tersebut. Kaitan yang erat lainnya antara nutrisi dan fungsi paru adalah bahwa
malnutrisi mempunyai pengaruh terhadap struktur, elastisitas dan fungsi paru,
kekuatan dan ketahanan otot pernafasan, mekanisme pertahanan imunitas paru
dan pengaturan nafas. Sebaliknya, penyakit paru (termasuk PPOK) akan dapat
menurunkan asupan nutrisi. Perawat penting memahami tentang nutrisi untuk
pasien dengan COPD, menjelaskan nutrisi kepada pasien dan skrining untuk
kekurangan gizi, serta merencanakan intervensi yang efektif adalah bagian
penting dari manajemen COPD (Walker, 2019)
c. Penyuluhan
Memberikan pendidikan kesehatan tentang berhenti merokok adalah metode
tunggal yang paling efektif dalam mengurangi risiko terjadinya PPOK dan
memperlambat kemajuan penyakit, selain itu metode ini adalah metode yang
sangat hemat biaya. Sesi konseling singkat untuk mendorong perokok berhenti
merokok menjadi 5% sampai 10%.

12
2. Manajemen Farmakologi
Menurut panduan GOLD 2001, terapi farmakologis untuk pasien PPOK yang stabil
terutama adalah bronkodilator, kortikosteroid dan antibiotik.
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah bagian penting penatalaksanaan gejala pada
pasien PPOK dan diresepkan sesuai kebutuhan atau secara teratur untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Bronkodilator memperbaiki pengosongan
paru, mengurangi hiperinflasi pada saat istirahat dan selama latihan serta
memperbaiki performa latihan. Bronkodilator memperbaiki FEV1 dengan
memperlebar tonus otot polos jalan napas, bukan dengan mengubah sifat
rekoilelastis paru. Bronkodilator kerja lama paling sesuai untuk kondisi ini.
Inhalasi merupakan rute pemberian yang lebih dipilih. Agen bronkodilator
utama adalah agonis beta2 – adrenergic, antikolinergik dan teofilin; kombinasi
obat-obat ini efektif. Pilihan bentuk tertentu terapi bronkodilator bergantung
pada ketersediaan dan respon pasien dalam hal pengurangan gejala dan efek
samping. Terapi kombinasi, bukan peningkatan dosis agen tunggal, dapat
menyebabkan perbaikan efektifitas dan penurunan risiko efek samping
(Jenkins, Chapman, Donohue, Roche, & Tsiligianni, 2017)
b. Kortiksteroid
Data dari penelitian secondary health care mengindikasikan bahwa
kortikosteroid pada PPOK eksaserbasi akut memperpendek waktu
penyembuhan, memperbaiki fungsi patu (FEV 1), dan hipoksia arterial (PaO2),
serta mengurangi risiko relaps, kegagalan terapi dan panjangnya waktu
perawatan di RS. Dosis 30-40mg prednisolone/ hari untuk 10-14 hari
direkomendasikan. Terapi dengan prednisolone oral lebih dipilih. Nebulisasi
budesonide bisa sebagai alternative (meskipun lebih mahal).
c. Antibiotic
Meskipun agen infeksi pada PPOK eksaserbasi bisa viral atau bakteri,
penggunaan antibiotic pada eksaserbasi masih kontroversi.

13
Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan PPOK eksaserbasi yang
memiliki 3 gejala cardinal: sesak napas yang makin bertambah; jumlah sputum
meningkat; dan sputum purulent, mempunyai 2 gejala cardinal, jika meningkat
sputum purulent merupakan salah satu dari 2 gejala atau memerlukan ventilasi
(invasif atau non invasif), waktu pemberian antibiotic yang direkomendasikan
biasanya 5-10 hari. Rute pemberian antibiotic (oral atau intravena) tergantung
pada kemampuan kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik obat,
meskipun lebih dipilih antibiotic diberikan per oral. Perbaikan sesak nafas dan
sputum purulent merupakan keberhasilan klinis.
d. Terapi tambahan
Tergantung dari kondisi klinis pasien, keseimbangan cairan dengan perhatian
khusus pemberian diuretic, antikoagulan, terapi terhadap komorbid dan aspek
nutrisi harus dipertimbangkan
3. Terapi oksigen
Hal ini merupakan komponen kunci dari terapi eksaserbasi di Rumah Sakit.
Suplemen oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki gejala hipoksemia dengan
target saturasi 88-92%. Ketika oksigen diberikan, AGD harus diperiksa 30-60
menit berikutnya untuk memastikan kecukupan oksigen tanpa retensi
karbondioksida atau asidosis. Venturi masker menawarkan pemberian oksigen
yang lebih akurat dibandingkan nasal kanul.
4. Dukungan Ventilasi
Beberapa pasien membutuhkan terapi segera di ICU. Ventilatory support pada
kondisi eksaserbasi bisa berupa non invasif (nasal atau face mask) atau invasif
(oro-tracheal tube atau tracheostomy). Stimulasi respirasi tidak direkomendasikan
pada kondisi gagal nafas akut.
a. Ventilasi mekanik non invasive
Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al., (2017) didapatkan hasil bahwa
Penggunaan awal teknik invasive dapat meningkatkan analisa gas darah dan
mortalitas rumah sakit lebih rendah serta komplikasi yang minimal, ventilasi
mekanik non invasif / non invasive ventilation (NIV) memperbaiki asidosis

14
respirasi (meningkatkan Ph dan menurunkan PCO2) dan menurunkan
respiratory rate, sesak nafas, komplikasi seperti VAP, dan waktu perawatan di
RS (Evidence A). yang paling penting mortalitas dan intubasi dikurangi dengan
intervensi ini (Evidence A)
Indikasi Ventilasi Mekanik Non Invasif Sekurang-kurangnya satu dari hal
berikut:
- Asidosis respiratory (Ph Arteri < 7.35 dan atau PaCO2 > 45mmHg
- Sesak nafas berat dengan tanda klinis kemungkinan kelelahan otot
respirasi, peningkatan usaha nafas atau keduanya, seperti penggunaan otot
pernafasan tambahan, pergerakan paradok dari abdomen, atau retraksi
interkostal
1) CPAP
Tekanan inspirasi yang di berikan oleh ventilator dicetuskan oleh nafas pasien.
Besarnya tekanan ini disesuaikan dengan upaya nafas yang dimiliki pasien .
Beberapa mesin akan memberikan frekuensi nafas dengan rasio I:E secara
otomatis sesuai dengan kebutuhan. volume tidal yang dihasilkan tergantung dari
komplian paru-paru
2) BiPAP (Bi-level Positif Airways Pressure)

Mesin ventilator ini dapat mengatur PS dan PEEP. Laju nafas bisa berasal

dari pasien dan/atau mesin. Beberapa mesin BiPAP menggunakan udara

luar untuk meningkatkan FiO2, sedangkan pemberian O2 dapat dilakukan

melalui lubang masuk yang berada pada masker.

b. Ventilasi Mekanik invasif


Indikasi ventilasi mekanik invasif
- Tidak bisa mentoleransi NIV atau kegagalan NIV
- Respiratory atau cardiac arrest
- Henti nafas dengan kehilangan kesadaran

15
- Berkurangnya kesadaran, agitasi psikomotor yang tidak bisa dikontrol
dengan sedasi
- Aspirasi massif
- Ketidakmampuan persisten dalam membersihkan sekresi respirasi
- HR < 50 x/ menit dengan kehilangan kesadaran
- Hemodinamik tidak stabil berat tanpa respon terhadap cairan dan obat
vasoaktif
- Aritmia ventrikel yang berat
- Hipoksemia mengancam jiwa yang tidak bisa di toleransi oleh NIV

5. Terapi pembedahan
Bedah Reduksi Volume Paru (lung volume reduction sugery, LVRS) adalah
prosedur pembedahana yakni bagian-bagian paru direseksi untuk mengurangi
hiperinflasi sehingga memperbaiki efisiensi mekanis otot pernapasan,
meningkatkan tekanan nflue elastis paru, dan pada akhirnya memperbaiki
kecepartan aliran ekspirasi. Saat ini, LVRS, atau pneumektomi, dirancang untuk
mengurangi dispnea dan memperbaiki fungsi paru (FEV1, FVC, AGD, dan
kapasitas latihan).
6. Indikasi rawat ICU
- Sesak berat setelah tatalaksana di IGD/ ruang rawat
- Penurunan kesadaran, kelemahan otor repirasi, hemodinamik tidak stabil
- Setelah pemberian oksigen, terjadi hipoksemia atau PaO2 < 50 mmHg atau
PaCO2 > 50 mmHg,
- Membutuhkan ventilasi mekanik invasif

16
H. Treatment / Alogaritma Penanganan PPOK

Penilaian pasien
periksa AGD mulai
berikan O2

Pastikan PaO2 > 8


kPA sesuaikan O2
dengan SaO2 90%

Hypercapnia
(PaCO2 >6.7
kPA)

Ya
Tidak

Tidak ada Ph < 7.35?


perubahan setting (dengan PaO2
oksigen > 8 kPA)

Nilai ulang AGD


dalam 1-2 jam Ya Tidak

Pertahankan O2 Ya
SaO2 90%

Hypercapnia
Evaluasi ulang
(PaCO2 >6.7
AGD dalam 2 jari
kPA)

Pertimbangkan
Ph < 7.35?
ventilasi mekanik
Tidak (dengan PaO2
yes (NPPV) atau
> 8 kPA) intubasi
Pertahankan O2
SaO2 90%
Tidak

Tidak ada
perubahan setting
oksigen

Bagan 1. Alogaritma PPOK – Koreksi hipoksemia pada serangan akut pasien PPOK.
AGD :Analisa Gas Darah Anlisa, PaO2 : Tekanan O2 di arteri, SaO2 : Saturasi O2 di arteri, PaCo2 : Tekanan Co2
di arteri, NPPV : Non Invasive Positif Pressure Ventilasi, kPA : Kilo Pascal (satuan tekanan/tegangan).
Sumber : Dahlan et al, 2013 dalam Kompedium Perhimpunan Respirologi Indonesia 17
PPOK Eksaserbasi Yang memerlukan dukungan Ventilasi

Kontraindikasi
untuk NPPV

Ya Tidak

NPPV dengan
Intubasi
pemantauan
MV

Penyapihan
Peningkatan
Ph, PaCO2
status klinis
Ya

Lanjutkan
NPPV
Tidak

Sapih untuk Intubasi


melepaskan secara MV 48 Jam
sempurna

2 jam tes T-tube

Berhasil Gagal

Hentikan MV NPPV

Bagan 3. Alogaritma penggunaan ventilasi tekanan positif non invasive selama PPOK.
MV : Ventilasi Mekanik, PaCo2 : Tekanan Co2 di arteri, NPPV : Non Invasive Positif Pressure
Ventilasi

18
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menyebabkan angka motalitas dan morbiditas yang cukup tinggi, karena
pada pasien yang mengalami PPOK terjadi hambatan aliran udara di jalan napas sehingga
menyebabkan masalah pada oksigenasi serta berujung ke gagal napas apa bila tidak
ditangani dengan segera. Sebagian besar penyakit paru obstruksi kronik disebabkan
karena kebiasaan merokok berat sehingga terjadinya inflamasi dan menyebabkan
kerusakan bagian paru, penyempitan saluran napas, hipersekresi mukus serta distruksi
parenkim.

Manajemen kasus PPOK perlu dilakukan secara komprehensif untuk


meningkatkan derajat kesehatan pasien, Sebelum memberikan penanganan kepada pasien
PPOK, perawat terlebih dahulu menentukan stadium PPOK untuk mempermudah dalam
memberikan tindakan yang sesuai. Selain manajemen mandiri perawat juga melakukan
manajemen kolaborasi dalam mengatasi masalah pasien. Seperti pemberian oksigen,
terapi farmakologi serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya. Penyakit paru
obstruksi koronik dibagi menjadi tiga stadium, ringan sedang dan berat, pada stadium 3
atau stadium berat perlu penanganan segera untuk mencegah terjadinya gagal napas,
sehingga diberikan terapi oksigen untuk mempertahankan Pao2 > 60 mmHg atau sat O2 >
90%.

19
Daftar Pustaka

Bergman and Hawk. 2010. Diseases of the Respiratory System, in: Nutrition Therapy and
Patophysiology, 2nd ed., Nelms M, Sucher KP, Lacey K, Roth SL. Wadsworth,
Cengage Learning, USA.
Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM (2006). Fisika Tubuh Manusia. Edisi 2, Jakarta:
Penerbit EGC.
Cukic V (2014). The change of arterial blood gases in COPD during four-year periode.
Med Arh. 68(1):14-18.
Guyton, Hall (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11 .EGC. pp: 401- 420, 541-
544, 550-551, 557-558, 1023.
GOLD. (2017). Global Strategy for Diagnosis Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Germany: GOLD Committee.
Hanania. (2010). COPD in the Elderly Patient. Geneva: Semin Respir Crit Care Med.
Jenkins, C. R., Chapman, K. R., Donohue, J. F., Roche, N., & Tsiligianni, I. (2017).
Improving the Management of COPD in Women, (March), 686–696.
https://doi.org/10.1016/j.chest.2016.10.031
Kronborg, T., Hangaard, S., Cichosz, S. L., & Hejlesen, O. (2019). Increased Accuracy
After Adjustment of Spirometry Threshold for Diagnosing COPD Based on Pre-
Bronchodilator FEV 1 / FVC, 85–91. https://doi.org/10.4187/respcare.06148
Lyndon, S. (2013). Buku Saku Harrison Pulmonologi. Tangerang Selatan: Karisma
Publishing Group.
Morton Patricia. (2017). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Vol 1. Jakarta:
EGC.
Mueller.(2004). Medical Nutrition Therapy for Pulmonary Disease, in: Krause’s Food,
Nutrition, and Diet Therapy, 11th ed., Mahan LK and Escott-Stump S. Saunders
Elsevier, USA, 2004: 945 – 948.
Niagara. (2013). Gambaran Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK), 26.
Ridha. (2013). Dyspneu Et Causa Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pada Laki-Laki
Kepala Keluarga Dengan Riwayat Merokok >25 Tahun Dan Pengetahuan Yang
Rendah. Medula, Volume 1, Nomor 2, 1(2), 79–88.

20
Surya. (2014), Latihan pernafasan kunci utama tingkatkan kualitas hidup pasien penyakit
paru obstruktif kronik.http://www.spektrumonline.bpnsmki.org/2014/05/latihan-
pernapasankunci-utama.html
Theresia Kurniati, 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Singapure:
Elsevier
Peramatasari. (2016). Gambaran Status Gizi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Yang Menjalani Rawat Jalan Di Rsud Arifin Achmad Pekanbaru. JOM FK
Volume 3 No.2.
Walker, J. (2019). Enabling good nutritional care for oundare People, 33(4).
Wang, J., Cui, Z., Liu, S., Gao, X., Gao, P., Shi, Y., … Li, P. (2017). A prospective cohort
study, 12(February), 2–9.
WHO. (2017). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Who. Retrieved from
http://www.who.int/respiratory/copd/en/
World life expectancy. (2014). Health Profile Indonesia. LeDuc Media. Retrieved from
http://www.worldlifeexpectancy.com/country-health-profile/indonesia

21

Anda mungkin juga menyukai