Disusun oleh
Endah Sri Lestaria
201203012
Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit kronis pada paru ditandai
dengan batuk produktif dan dispnea serta terjadi obstruksi saluran napas. PPOK meskipun
bersifat kronis dan merupakan gabungan dari emfisema, bronkitis kronik maupun asma,
tetapi dalam keadaan tertentu dapat terjadi perburukan dari fungsi pernapasan (Tabrani,
2010).
Menurut WHO, PPOK merupakan salah satu penyebab kematian yang bersaing dengan
HIV/AIDS untuk menempati tempat ke-4 atau ke-5 setelah Penyakit Jantung Koroner,
Penyakit Serebrovaskuler, dan Infeksi Saluran Akut (COPD International, 2004). Hasil survei
penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di
Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada
tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan
(35%) (Depkes RI, 2004). Berdasarkan data di RSUD RAA. Soewondo Pati angka kejadian
PPOK dari bulan Januari sampai Agustus 2013 mencapai 254. Angka kejadian tersebut
tidaklah sedikit, butuh pertolongan pertama yang tepat terutama pada kegawatan PPOK
sehingga meminimalkan mortalitas.
Menurut penelitian Oemiati (2013) faktor resiko penyebab PPOK yaitu merokok, polusi:
polusi indoor, outdoor, dan polusi di tempat kerja; genetik; riwayat infeksi saluran napas
berulang. Beberapa faktor penyebab PPOK diatas dapat menimbulkan gejala klinis berupa
sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum,
batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat (Riyanto & Hisyam, 2006).
Apabila gejala tersebut tidak segera ditangani maka akan menimbulkan keparahan dan
komplikasi pada klien dengan PPOK berupa gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal
napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale (PDPI, 2003).
Tn. T umur 65 tahun datang ke IGD RSUD RAA. Soewondo Pati dengan keluhan sesak
nafas, keluarga mengatakan klien mengalami sesak nafas, selain itu klien juga batuk dan
dahaknya susah keluar. Klien terlihat sianosis, pucat dan gelisah sehingga klien
membutuhkan pertolongan segera di IGD.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai asuhan keperawatan pada Tn. T dengan penyakit paru obstruksi kronis.
Hasil Study Kasus
Hasil study kasus pada Tn. T tanggal 11 September 2013 jam 12.15 WIB di IGD RSUD
RAA. Soewondo Pati selama 3 jam secara auto dan allo anamnesa serta dilakukan pengkajian
keluarga mengatakan klien mengalami sesak nafas sejak 2 minggu yang lalu dan hanya
berobat di dokter umum, selain itu klien juga batuk dan dahaknya susah keluar. Klien terlihat
sianosis akral dingin dan keluar keringat dingin, bibir pucat. Pengkajian primer yang didapat
yaitu Airway terdengar suara ngorok (snoring), dari mulut tidak keluar sekret, terdengar
ronchi dan Whezing pada kedua lapang paru. Breathing pergerakan dada simetris, terdapat
retraksi dinding dada, menggunakan otot bantu pernafasan, frekuensi pernafasan 34
x/menit, irama tidak teratur/ dyspneu. Circulation akral dingin, sianosis, mukosa bibir kering
dan pucat, TD : 170/110 mmHg, HR : 96 x/menit, S: 36 0C, CRT (Capilary Refill Time) 4 detik,
SPO2 82%. Disability kesadaran composmentis GCS 15, E = 4 (membuka mata spontan), V = 5
(berorientasi baik), M = 6 (mengikuti perintah). Pemeriksaan sekunder yang didapatkan yaitu
terdapat edema pada kedua ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah, pitting edema kembali
5 detik. Hasil laboratorium didapatkan ureum 68,2 mg/ dl, kreatinin 1,92 mg/ dl, pada BGA
didapatkan hasil PH 7,281, pCO2 48,6, pO2 37,2 mmHg sehingga didapatkan kesimpulan klien
mengalami asidosis respiratorik.
Dari pengkajian tersebut didapatkan diagnosa keperawatan yaitu ketidakefektifan
bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum, ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas, gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi, perfusi jaringan tidak efektif: perifer berhubungan
dengan gangguan sirkulasi, kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan
cairan dari intra sel ke ekstra sel.
Implementasi yang dilakukan untuk masalah bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan penumpukan sputum yaitu memonitor pernafasan klien, memberikan
posisi duduk pada klien, mengajarkan klien cara batuk efektif, memberikan obat oral
ambroxole 30 mg. Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan penyempitan jalan nafas implementasi yang telah dilakukan yaitu memberikan
terapi oksigen Non Rebreathing Mask (NRM) 12 liter/ menit, memonitor pernafasan dan
tanda vital klien. Pada diagnosa keperawatan ketiga gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi implementasi yang dilakukan yaitu memonitor
pernafasan klien, mengukur SPO2, melakukan pemeriksaan BGA pada klien. Diagnosa
keperawatan yang keempat perfusi jaringan tidak efektif: perifer berhubungan dengan
gangguan sirkulasi dilakukan implementasi yaitu mengkaji adanya sianosis, kelembapan
kulit, dan akral klien. Diagnosa keperawatan kelima yaitu kelebihan volume cairan
berhubungan dengan perpindahan cairan dari intra sel ke ekstra sel implementasi yang
dilakukan yaitu mengkaji pitting edema klien, memasang infus RL 12 tpm, memasang drain
cateter pada klien, memberikan obat injeksi Furosemid 40 mg.
Dari implementasi yang dilakukan pada klien selama 3 jam didapatkan evaluasi
keperawatan yaitu klien mengatakan dahaknya belum bisa keluar, snoring masih terdengar,
ronchi dan whezing masih terdengar dikedua lapang paru, klien tidak bisa mengeluarkan
dahak. RR: 28 x/ menit, TD: 150/100 mmHg, N: 110 x/ menit, S: 36,20C, terdapat otot bantu
pernapasan, tidak ada pernapasan cuping hidung, klien terpasang oksigen NRM 12 liter.
Tidak terdapat sianosis, SPO2 99%, hasil BGA asidosis respiratorik, dyspnea berkurang. Akral
masih dingin dan keluar keringat, SPO2 99%, CRT 3 detik, pasien terpasang DC dengan jumlah
urine keluar 200cc, klien terpasang infus RL 12 tpm, pitting edema kembali setelah 5 detik.
Berdasarkan evaluasi tersebut maka rencana keperawatan selanjutnya untuk klien yaitu
lanjutkan intervensi auskultasi bunyi nafas, ajarkan batuk efektif, kaji TTV klien, pantau
pitting edema, batasi pemberian cairan pada klien, pantau gas darah klien dan lanjutkan
pemberian ambroxole 3x30 mg, pemberian oksigen NRM 12 liter, injeksi Furosemid 1x80 mg.
Pembahasan
1.
batuk efektif dilakukan pada pasien bronkitis kronis, asma, tuberculosis paru,
pneumonia, emfisema. Pada pasien PPOK dapat menggunakan teknik huff choughing,
dengan cara menarik nafas secara perlahan dan mengeluarkan nafas secara cepat
dengan dagu agak diangkat, hal tersebut diulangi hingga sputum terasa ditenggorokan
kemudian baru dibatukkan. Kolaborasi yang dilakukan dengan pemberian obat
ambroxole 30 mg, ambroxole yang berefek mukokinetik dapat mengeluarkan lendir
yang kental dan lengket dari saluran pernafasan dan mengurangi staknasi cairan sekresi.
2.
3.
170/110 mmHg, HR: 96 x/menit, S: 36 0C, CRT 4 detik, hasil BGA asidosis respiratorik
belum kompensasi.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.T untuk mengatasi masalah
gangguan pertukaran gas yaitu mengkaji adanya sianosis, pada klien didapatkan sianosis
pada ekstrimitas klien. Setelah visite dari dokter spesialis dalam dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan BGA pada klien, setelah dilakukan BGA didapatkan hasil
asidosis respiratorik. Asidosis respiratorik adalah suatu kondisi yang menurunkan
ventilasi dan dapat meningkatkan konsentrasi CO2 yang berdampak adanya peningkatan
asam karbonat. Hasil pemeriksaan menunujukkan penurunan PH, PaCO2 meningkat,
HCO3 normal tapi kemudian meningkat karena kompensasi (Asmadi, 2008).
4.
5.
kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan dari intra sel ke
ekstra sel
Kelebihan volume cairan adalah kondisi peningkatan retensi cairan isotonik pada
seseorang individu (Wilkinson, 2007). Vasokontriksi pulmo mengakibatkan peningkatan
tekanan arteri pulmonal sehingga terjadi hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal yang
berlangsung lama akan mengakibatkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan, hal ini
akan mengakibatkan penurunan cardiac output sehingga aliran darah keginjal akan
menurun yang mengakibatkan terjadi resistensi cairan. Resistensi cairan yang
berlangsung lama akan mengakibatkan cairan dari intra sel pindah ke ekstra sel sehingga
terjadi edema (Niluh dan Cristantie, 2004). Data yang didapatkan pada Tn.T yaitu
terdapat edema pada kedua ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah, pitting edema
kembali 5 detik.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.T untuk mengatasi kelebihan
volume cairan dilakukan pemasangan DC pada klien, pemasangan DC dilakukan dengan
prinsip steril, setelah DC terpasang urine keluar 100cc dengan warna kuning. Klien
merasa tidak nyaman dengan pemasangan DC, klien mengeluhkan sakit pada alat
kelaminnya dan klien berusaha mencabut DCnya namun perawat berusaha memotivasi
klien agar tidak mencabut DCnya, selain itu perawat juga meminta bantuan kepada
keluarga klien untuk mengawasi klien. Kemudian klien diberi injeksi ekstra furosemid 40
mg untuk memperlancar pengeluaran cairan dalam tubuh sehingga mengurangi edema
dalam tubuh.
Simpulan dan Saran
Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
adanya obstruksi atau sumbatan pada saluran pernafasan. Prinsip penatalaksanaan pada
PPOK adalah menangani segera sumbatan pada jalan nafas klien. Selain itu memberikan
terapi oksigen secara optimal untuk mencegah adanya gagal nafas. Penanganan yang tepat
pada klien PPOK dapat mencegah adanya komplikasi dan kematian.
Pada penelitian terdapat beberapa tindakan yang seharusnya dilakukan segera saat
klien masuk di IGD tetapi tindakan tersebut dilakukan setelah dokter visite. Diharapkan
peneliti berikutnya dapat melakukan pengelolaan asuhan keperawatan kegawatan dengan
memprioritaskan tindakan kegawatan sehingga asuhan keperawatan yang diberikan bisa
lebih optimal dan memberikan dampak peningkatan perbaikan pada kondisi pasien.
Daftar pustaka
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika
Black and Jane. (2002). Medical Surgical Nursing. Philadelphia: Elsevier Saunders
COPD
International.
(2004).
COPD
Statical
Information.
Available
from:
http://www.copdinternational.com/library/statistics.htm (Accessed 13 September
2013)
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2009). Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona:
Medical
Communications
Resources.
Available
from:
http://www.goldcopd.org (Accessed 12 September 2013)
Niluh Gede Yasmin Asih dan Christiantie Efendi. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: EGC.
Oemati, Ratih. (2013). Kajian Epidemologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3130/3104
(Accessed 12 September 2013)
PDPI, (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI
Riyanto, B.S., Hisyam, B., 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam: Sudoyo, A.W., ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI
Tabrani, R., (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku DIAGNOSA KEPERAWATAN. Jakarta: EGC
Wilson, M. Lorraine. (2006). Buku Patofisiologi Keperawatan, Konsep klinis-proses-proses penyakit, Edisi 6.
Volume I. Jakarta: EGC