Anda di halaman 1dari 11

JURNAL ILMIAH

STUDI KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PENYAKIT


PARU OBSTRUKSI KRONIS DI RUANG INSTALASI GAWAT
DARURAT RSUD RAA. SOEWONDO PATI

Disusun oleh
Endah Sri Lestaria
201203012

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CENDEKIA UTAMA KUDUS
Oktober, 2013

Program Pendidikan Profesi Ners


STIKES Cendekia Utama Kudus
Orasi Ilmiah, Oktober 2013
ABSTRAK

STUDI KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PENYAKIT


PARU OBSTRUKSI KRONIS DI RUANG INTALASI GAWAT
DARURAT RSUD RAA. SOEWONDO PATI
Endah Sri Lestaria1,Noor Faidah2,Luluk Anisatin3
Program Pendidikan Profesi NURSE STIKES Cendekia Utama Kudus
Jl.Lingkar Raya Kudus-Pati Km.5 Jepang Kec. Mejobo, Kudus Telp.(0291) 4248655, 4248656 Fax.
(0291) 4248657 e-mail : orien_endah@yahoo.co.id
Masalah: Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit kronis pada paru ditandai
dengan batuk produktif dan dispnea serta terjadi obstruksi saluran napas. Berdasarkan data di RSUD
RAA. Soewondo Pati angka kejadian PPOK dari bulan Januari sampai Agustus 2013 mencapai 254.
Angka kejadian tersebut tidaklah sedikit sehingga butuh pertolongan pertama yang tepat terutama
pada kegawatan PPOK sehingga meminimalkan mortalitas.
Metode: Asuhan keperawatan pada pasien ini dilakukan selama tiga hari. Data pasien
didapatkan melalui pengkajian primer (Circulation, Airway, dan Breathing), pengkajian sekunder
(riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik), dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa keperawatan,
Nursing Outcome Classification (NOC), dan Nursing Intervention Classification (NIC) ditentukan
berdasarkan diagnosis yang disetujui oleh NANDA dan disesuaikan dengan Way Of Caution (WOC)
dari kasus tersebut.
Hasil: Dalam asuhan keperawatan ini masalah keperawatan yang muncul antara lain
ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum, ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan penyempitan jalan nafas, gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi, perfusi jaringan tidak efektif: perifer berhubungan dengan
gangguan sirkulasi, kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan dari intra sel
ke ekstra sel.
Simpulan: Simpulan dari karya ilmiah ini adalah penanganan yang harus dilakukan pada pasien
PPOK antara lain pengelolaan jalan nafas, pemantauan status pernafasan ventilasi, pemberian
oksigen yang adekuat, status pernafasan: pertukaran gas, perawatan sirkulasi dan pengelolaan
cairan.
Kata Kunci : asuhan keperawatan, penyakit paru obstruksi kronis, instalasi gawat darurat

The Program Nurses Professional Education


The Healthy College
Cendekia Utama Kudus
Scientific Paper, October 2013
ABSTRACT

CASE STUDY CARE NURSING OF CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE PATIENT


IN THE EMERGENCY DEPARTMENT RAA. SOEWONDO PATI HOSPITAL
Endah Sri Lestaria1,Noor Faidah2,Luluk Anisatin3
The Program Professional Education Of Nurse STIKES Cendekia Utama Kudus
Ring Road Kudus-Pati Km.5 Jepang Kec. Mejobo, Kudus Phone.(0291) 4248655, 4248656 Fax. (0291)
4248657 e-mail : orien_endah@yahoo.co.id
Problem: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a chronic disease of the lungs
characterized by productive cough and dyspnea and respiratory tract obstruct.. Based on data in RAA.
Soewondo Pati Hospital, COPD incidence rate from January to August 2013 reached 254. Incidence
rate is not small, it took the right first aid especially in COPD emergency so as to minimize mortality.
method: Nursing care to patients was conducted over three days. Patient data obtained through
primary assessment (Circulation, Airway, and Breathing), secondary assessment (medical history and
physical examination), and investigation. Nursing diagnoses, Nursing Outcome Classification (NOC),
and Nursing Intervention Classification (NIC) determined based diagnoses approved by NANDA and
adapted to the Way Of Caution (WOC) of the cases.
Results: In this nursing care, nursing problems that arise, among others ineffective airway
clearance related to accumulation of sputum, ineffective breathing pattern related to airway
narrowing, impaired gas exchange related to ventilation perfusion inequality, ineffective tissue
perfusion: peripheral associated with circulatory disorders, the excess fluid volume related to fluid
shifts from the intra-cell to the extracell.
Conclusion: The conclusions of this paper is, treatment should be performed in patients with
COPD among others airway management, monitoring respiratory ventilation status, giving adequate
oxygen, respiratory status, gas exchange, circulation treatments and management of fluid.
Keywords: nursing care, cronis obstructive pulmonary disease, emergency department

Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit kronis pada paru ditandai
dengan batuk produktif dan dispnea serta terjadi obstruksi saluran napas. PPOK meskipun
bersifat kronis dan merupakan gabungan dari emfisema, bronkitis kronik maupun asma,
tetapi dalam keadaan tertentu dapat terjadi perburukan dari fungsi pernapasan (Tabrani,
2010).
Menurut WHO, PPOK merupakan salah satu penyebab kematian yang bersaing dengan
HIV/AIDS untuk menempati tempat ke-4 atau ke-5 setelah Penyakit Jantung Koroner,
Penyakit Serebrovaskuler, dan Infeksi Saluran Akut (COPD International, 2004). Hasil survei
penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di
Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada
tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan
(35%) (Depkes RI, 2004). Berdasarkan data di RSUD RAA. Soewondo Pati angka kejadian
PPOK dari bulan Januari sampai Agustus 2013 mencapai 254. Angka kejadian tersebut
tidaklah sedikit, butuh pertolongan pertama yang tepat terutama pada kegawatan PPOK
sehingga meminimalkan mortalitas.
Menurut penelitian Oemiati (2013) faktor resiko penyebab PPOK yaitu merokok, polusi:
polusi indoor, outdoor, dan polusi di tempat kerja; genetik; riwayat infeksi saluran napas
berulang. Beberapa faktor penyebab PPOK diatas dapat menimbulkan gejala klinis berupa
sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum,
batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat (Riyanto & Hisyam, 2006).
Apabila gejala tersebut tidak segera ditangani maka akan menimbulkan keparahan dan
komplikasi pada klien dengan PPOK berupa gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal
napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale (PDPI, 2003).
Tn. T umur 65 tahun datang ke IGD RSUD RAA. Soewondo Pati dengan keluhan sesak
nafas, keluarga mengatakan klien mengalami sesak nafas, selain itu klien juga batuk dan
dahaknya susah keluar. Klien terlihat sianosis, pucat dan gelisah sehingga klien
membutuhkan pertolongan segera di IGD.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai asuhan keperawatan pada Tn. T dengan penyakit paru obstruksi kronis.
Hasil Study Kasus
Hasil study kasus pada Tn. T tanggal 11 September 2013 jam 12.15 WIB di IGD RSUD
RAA. Soewondo Pati selama 3 jam secara auto dan allo anamnesa serta dilakukan pengkajian

fisik secara langsung pada klien. Pengkajian yang didapat yaitu

keluhan sesak nafas,

keluarga mengatakan klien mengalami sesak nafas sejak 2 minggu yang lalu dan hanya
berobat di dokter umum, selain itu klien juga batuk dan dahaknya susah keluar. Klien terlihat
sianosis akral dingin dan keluar keringat dingin, bibir pucat. Pengkajian primer yang didapat
yaitu Airway terdengar suara ngorok (snoring), dari mulut tidak keluar sekret, terdengar
ronchi dan Whezing pada kedua lapang paru. Breathing pergerakan dada simetris, terdapat
retraksi dinding dada, menggunakan otot bantu pernafasan, frekuensi pernafasan 34
x/menit, irama tidak teratur/ dyspneu. Circulation akral dingin, sianosis, mukosa bibir kering
dan pucat, TD : 170/110 mmHg, HR : 96 x/menit, S: 36 0C, CRT (Capilary Refill Time) 4 detik,
SPO2 82%. Disability kesadaran composmentis GCS 15, E = 4 (membuka mata spontan), V = 5
(berorientasi baik), M = 6 (mengikuti perintah). Pemeriksaan sekunder yang didapatkan yaitu
terdapat edema pada kedua ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah, pitting edema kembali
5 detik. Hasil laboratorium didapatkan ureum 68,2 mg/ dl, kreatinin 1,92 mg/ dl, pada BGA
didapatkan hasil PH 7,281, pCO2 48,6, pO2 37,2 mmHg sehingga didapatkan kesimpulan klien
mengalami asidosis respiratorik.
Dari pengkajian tersebut didapatkan diagnosa keperawatan yaitu ketidakefektifan
bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum, ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas, gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi, perfusi jaringan tidak efektif: perifer berhubungan
dengan gangguan sirkulasi, kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan
cairan dari intra sel ke ekstra sel.
Implementasi yang dilakukan untuk masalah bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan penumpukan sputum yaitu memonitor pernafasan klien, memberikan
posisi duduk pada klien, mengajarkan klien cara batuk efektif, memberikan obat oral
ambroxole 30 mg. Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan penyempitan jalan nafas implementasi yang telah dilakukan yaitu memberikan
terapi oksigen Non Rebreathing Mask (NRM) 12 liter/ menit, memonitor pernafasan dan
tanda vital klien. Pada diagnosa keperawatan ketiga gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi implementasi yang dilakukan yaitu memonitor
pernafasan klien, mengukur SPO2, melakukan pemeriksaan BGA pada klien. Diagnosa
keperawatan yang keempat perfusi jaringan tidak efektif: perifer berhubungan dengan
gangguan sirkulasi dilakukan implementasi yaitu mengkaji adanya sianosis, kelembapan
kulit, dan akral klien. Diagnosa keperawatan kelima yaitu kelebihan volume cairan

berhubungan dengan perpindahan cairan dari intra sel ke ekstra sel implementasi yang
dilakukan yaitu mengkaji pitting edema klien, memasang infus RL 12 tpm, memasang drain
cateter pada klien, memberikan obat injeksi Furosemid 40 mg.
Dari implementasi yang dilakukan pada klien selama 3 jam didapatkan evaluasi
keperawatan yaitu klien mengatakan dahaknya belum bisa keluar, snoring masih terdengar,
ronchi dan whezing masih terdengar dikedua lapang paru, klien tidak bisa mengeluarkan
dahak. RR: 28 x/ menit, TD: 150/100 mmHg, N: 110 x/ menit, S: 36,20C, terdapat otot bantu
pernapasan, tidak ada pernapasan cuping hidung, klien terpasang oksigen NRM 12 liter.
Tidak terdapat sianosis, SPO2 99%, hasil BGA asidosis respiratorik, dyspnea berkurang. Akral
masih dingin dan keluar keringat, SPO2 99%, CRT 3 detik, pasien terpasang DC dengan jumlah
urine keluar 200cc, klien terpasang infus RL 12 tpm, pitting edema kembali setelah 5 detik.
Berdasarkan evaluasi tersebut maka rencana keperawatan selanjutnya untuk klien yaitu
lanjutkan intervensi auskultasi bunyi nafas, ajarkan batuk efektif, kaji TTV klien, pantau
pitting edema, batasi pemberian cairan pada klien, pantau gas darah klien dan lanjutkan
pemberian ambroxole 3x30 mg, pemberian oksigen NRM 12 liter, injeksi Furosemid 1x80 mg.
Pembahasan
1.

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum


Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan guna mempertahankan jalan
napas yang bersih (Wilkinson, 2007). Produksi sputum berlebih diparu, reflek batuk
inefektif dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Diagnosa ini muncul pada klien
karena proses peradangan pada paru sehingga terjadi sputum susah keluar (GOLD,
2009).
Adapun rencana tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah bersihan jalan
nafas adalah auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misal : mengi, krekels,
ronki. Suara whezing timbul karena adanya udara yang lewat pada jalan nafas yang
sempit, whezing terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Sedangkan suara ronchi timbul
akibat udara yang melewati cairan, suara ini ada pada klien dengan produksi mukus
berlebih (Black and Jane, 2002). Kemudian beri pasien posisi duduk dan sandaran
tempat tidur dengan peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan
dengan menggunakan gravitasi. Ajarkan teknik nafas dalam batuk efektif, hal tersebut
ditujukan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas. Implementasi pada batuk
efektif tidak berhasil karena sputum klien tidak dapat keluar, menurut Wilson (2006)

batuk efektif dilakukan pada pasien bronkitis kronis, asma, tuberculosis paru,
pneumonia, emfisema. Pada pasien PPOK dapat menggunakan teknik huff choughing,
dengan cara menarik nafas secara perlahan dan mengeluarkan nafas secara cepat
dengan dagu agak diangkat, hal tersebut diulangi hingga sputum terasa ditenggorokan
kemudian baru dibatukkan. Kolaborasi yang dilakukan dengan pemberian obat
ambroxole 30 mg, ambroxole yang berefek mukokinetik dapat mengeluarkan lendir
yang kental dan lengket dari saluran pernafasan dan mengurangi staknasi cairan sekresi.
2.

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penyempitan jalan nafas


Ketidakefektifan pola nafas adalah inspirasi dan ekspirasi yang tidak memberi
ventilasi yang adekuat (Wilkinson, 2007). Diagnosa ini muncul pada klien karena adanya
obstruksi pada jalan nafas yang menyebabkan kurangnya suplay oksigen keparu yang
mengakibatkan sesak nafas sehingga pola nafas menjadi tidak efektif. Ketidakefektifan
pola nafas pada klien ditandai dengan pergerakan dada simetris, terdapat retraksi
dinding dada, menggunakan otot bantu pernafasan, frekuensi pernafasan 34 x/ mnt,
irama tidak teratur/ dyspneu.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.T untuk mengatasi pola nafas
inefektif yaitu klien masuk IGD langsung dipasang oksigen nasal kanul 5 liter. Namun
setelah dicek hasil SPO2 hanya 82%, oksigen nasal kanul diganti dengan oksigen NRM 12
liter. Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ-organ lainnya (PDPI, 2003). Tindakan selanjutnya memantau
pernafasan klien, hasil yang didapatkan pernafasan tidak teratur/ dyspneu, terdapat
retraksi dada, menggunakan otot bantu pernafasan. Kemudian mengukur tanda vital
klien, didapatkan TD: 170/110 mmHg, HR: 96 x/mnt, S: 360C, RR: 34 x/mnt.

3.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi


Gangguan pertukaran gas adalah kelebihan dan kekurangan oksigen dan/ atau
eliminasi karbon dioksida di membran kapilar-alveolar (Wilkinson, 2007). Diagnosa ini
muncul pada klien karena adanya gangguan pada alveolus sehingga udara terperangkap
pada alveolus yang mengakibatkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi yang menyebabkan
adanya gangguan pertukaran gas. Data yang didapatkan pada Tn.T untuk mendukung
diagnosa ini yaitu circulation akral dingin, sianosis, mukosa bibir kering dan pucat, TD:

170/110 mmHg, HR: 96 x/menit, S: 36 0C, CRT 4 detik, hasil BGA asidosis respiratorik
belum kompensasi.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.T untuk mengatasi masalah
gangguan pertukaran gas yaitu mengkaji adanya sianosis, pada klien didapatkan sianosis
pada ekstrimitas klien. Setelah visite dari dokter spesialis dalam dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan BGA pada klien, setelah dilakukan BGA didapatkan hasil
asidosis respiratorik. Asidosis respiratorik adalah suatu kondisi yang menurunkan
ventilasi dan dapat meningkatkan konsentrasi CO2 yang berdampak adanya peningkatan
asam karbonat. Hasil pemeriksaan menunujukkan penurunan PH, PaCO2 meningkat,
HCO3 normal tapi kemudian meningkat karena kompensasi (Asmadi, 2008).
4.

Perfusi jaringan tidak efektif: perifer berhubungan dengan gangguan sirkulasi


Perfusi jaringan tidak efektif: perifer adalah suatu penurunan yang mengakibatkan
kegagalan untuk memelihara jaringan pada tingkat kapiler (Wilkinson, 2007). Diagnosa
ini muncul pada klien karena adanya obstruksi jalan nafas sehingga suplay oksigen
kejaringan tubuh berkurang sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan perifer. Data
yang didapatkan pada Tn.T yaitu Akral dingin, sianosis, mukosa bibir kering dan pucat,
CRT 4 detik, edema pada ekstrimitas tubuh, SPO2 82%.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.T untuk mengatasi masalah
gangguan perfusi jaringan yaitu mengkaji sirkulasi perifer, hasil yang didapatkan yaitu
CRT 4 detik, akral dingin, sianosis pada ekstrimitas klien. Mengobservasi SPO 2 klien,
seharusnya SPO2 dipriksa langsung saat klien tiba di IGD dengan melihat kondisi klien
yang mengalami sesak nafas berat, namun SPO2 dipasang setelah ada visite dari dokter
spesialis dalam. Hal tersebut yang menjadikan kurangnya kecepatan dalam melakukan
tindakan kegawatan pada klien PPOK. Setelah dilakukan pengukuran SPO2 didapatkan
hasil 82%. Kemudian oksigen nasal kanul 5 liter diganti dengan oksigen NRM 12 liter.

5.

kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan dari intra sel ke
ekstra sel
Kelebihan volume cairan adalah kondisi peningkatan retensi cairan isotonik pada
seseorang individu (Wilkinson, 2007). Vasokontriksi pulmo mengakibatkan peningkatan
tekanan arteri pulmonal sehingga terjadi hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal yang
berlangsung lama akan mengakibatkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan, hal ini
akan mengakibatkan penurunan cardiac output sehingga aliran darah keginjal akan
menurun yang mengakibatkan terjadi resistensi cairan. Resistensi cairan yang

berlangsung lama akan mengakibatkan cairan dari intra sel pindah ke ekstra sel sehingga
terjadi edema (Niluh dan Cristantie, 2004). Data yang didapatkan pada Tn.T yaitu
terdapat edema pada kedua ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah, pitting edema
kembali 5 detik.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.T untuk mengatasi kelebihan
volume cairan dilakukan pemasangan DC pada klien, pemasangan DC dilakukan dengan
prinsip steril, setelah DC terpasang urine keluar 100cc dengan warna kuning. Klien
merasa tidak nyaman dengan pemasangan DC, klien mengeluhkan sakit pada alat
kelaminnya dan klien berusaha mencabut DCnya namun perawat berusaha memotivasi
klien agar tidak mencabut DCnya, selain itu perawat juga meminta bantuan kepada
keluarga klien untuk mengawasi klien. Kemudian klien diberi injeksi ekstra furosemid 40
mg untuk memperlancar pengeluaran cairan dalam tubuh sehingga mengurangi edema
dalam tubuh.
Simpulan dan Saran
Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
adanya obstruksi atau sumbatan pada saluran pernafasan. Prinsip penatalaksanaan pada
PPOK adalah menangani segera sumbatan pada jalan nafas klien. Selain itu memberikan
terapi oksigen secara optimal untuk mencegah adanya gagal nafas. Penanganan yang tepat
pada klien PPOK dapat mencegah adanya komplikasi dan kematian.
Pada penelitian terdapat beberapa tindakan yang seharusnya dilakukan segera saat
klien masuk di IGD tetapi tindakan tersebut dilakukan setelah dokter visite. Diharapkan
peneliti berikutnya dapat melakukan pengelolaan asuhan keperawatan kegawatan dengan
memprioritaskan tindakan kegawatan sehingga asuhan keperawatan yang diberikan bisa
lebih optimal dan memberikan dampak peningkatan perbaikan pada kondisi pasien.
Daftar pustaka
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika
Black and Jane. (2002). Medical Surgical Nursing. Philadelphia: Elsevier Saunders
COPD

International.
(2004).
COPD
Statical
Information.
Available
from:
http://www.copdinternational.com/library/statistics.htm (Accessed 13 September
2013)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Direktorat Jendral Pemberantasan


Penyakit Menular & Pengendalian Penyakit. Jakarta: Depkes Republik Indonesia.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2009). Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona:
Medical
Communications
Resources.
Available
from:
http://www.goldcopd.org (Accessed 12 September 2013)
Niluh Gede Yasmin Asih dan Christiantie Efendi. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: EGC.
Oemati, Ratih. (2013). Kajian Epidemologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3130/3104
(Accessed 12 September 2013)
PDPI, (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI
Riyanto, B.S., Hisyam, B., 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam: Sudoyo, A.W., ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI
Tabrani, R., (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku DIAGNOSA KEPERAWATAN. Jakarta: EGC
Wilson, M. Lorraine. (2006). Buku Patofisiologi Keperawatan, Konsep klinis-proses-proses penyakit, Edisi 6.
Volume I. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai