Anda di halaman 1dari 34

APLIKASI SENAM KAKI TERHADAP KADAR GULA DARAH SEWAKTU

PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA SUPRATIF KRONIK +


DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG RAJAWALI 2A
RSUP DR KARIADI SEMARANG

Disusun Oleh :
Rifyal Lamani
NIM.G3A018023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh resistensi
insulin (Soegondo, 2011). World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan
penderita DM dalam lima golongan klinis, yaitu DM tergantung insulin (DM tipe
1), DM tidak tergantung insulin (DM tipe 2), DM berkaitan dengan malnutrisi
(MRDM), DM karena toleransi glukosa terganggu (IGT), dan DM karena
kehamilan (GDM) (Sudoyo, 2009). WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita
diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030, sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional (FDI) pada
tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penderita diabetes melitus dari 7,0
juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (Persi, 2011).
Peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol (hiperglikemia) pada
penderita diabetes, menyebabkan respon sistem imun menjadi lambat saat terpapar
oleh suatu kuman penyakit. Kondisi hiperglikemia juga cenderung menguntungkan
bagi kuman, karena kadar glukosa tinggi dapat meningkatkan kemampuan kuman
untuk tumbuh dan menyebar lebih cepat. Hiperglikemia juga meningkatkan
peluang infeksi dengan cara menghambat aliran darah ke setiap sudut permukaan
tubuh. Sehingga dengan adanya luka terbuka, infeksi lebih mudah terjadi karena
distribusi nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan dan melawan kuman
menjadi terhambat. Permukaan kulit yang kekurangan nutrisi juga akan menjadi
lebih mudah kering dan permukaan jaringan yang mudah dilalui kuman penyakit ke
dalam tubuh (Persi, 2011).
Infeksi pada penderita diabetes memiliki pola yang khas, karena hampir
hanya ditemukan pada penderita diabetes. Pada dasarnya, infeksi lebih mudah
terjadi pada kulit dan rongga hidung dan telinga pada bagian kepala namun juga
mungkin terjadi pada saluran kencing bahkan pada ginjal.
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah
secara terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening,
atau berupa nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran (Mansjoer, 2001).
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut dengan
istilah sehari-hari congek. Dalam perjalanannya penyakit ini dapat berasal dari
OMA stadium perforasi yang berlanjut, sekret tetap keluar dari telinga tengah
dalam bentuk encer, bening ataupun mukopurulen. Proses hilang timbul atau terus
menerus lebih dari 2 minggu berturut-turut. Tetap terjadi perforasi pada membran
timpani. Perforasi yaitu membran timpani tidak intake atu terdapat lubang pada
membran timpani itu sendiri.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini adalah :
1. Tujuan Umum
Penulis mampu memahami aplikasi senam kaki asuhan terhadap kadar gula
darah pada pasien dengan Otitis Media Supratif Kronik (OMSK) + DM Tipe II
di Ruang Rajawawali 2A RSUP DR Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Membahas tentang konsep dasar penyakit Otitis Media Supratif Kronik
(OMSK)
b. Membahas tentang konsep dasar penyakit Diabetes Melitus Tipe II
c. Membahas tentang konsep senam kaki
d. Membahas tentang resume keperawatan pada pasien dengan Otitis Media
Supratif Kronik (OMSK) + DM Tipe II di Ruang Rajawawali 2A RSUP DR
Kariadi Semarang
e. Membahas tentang aplikasi jurnal Evidance Based Nursing Riset aplikasi
senam kaki asuhan terhadap kadar gula darah pada pasien diabetes melitus
BAB II
A. Konsep Dasar Penyakit Otitis Media Supratif Kronis (OMSK)
1. Pengertian
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga
tengah secara terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau
kental, bening, atau berupa nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran
(Mansjoer, 2001).
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut dengan
istilah sehari-hari congek. Dalam perjalanannya penyakit ini dapat berasal dari
OMA stadium perforasi yang berlanjut, sekret tetap keluar dari telinga tengah
dalam bentuk encer, bening ataupun mukopurulen. Proses hilang timbul atau
terus menerus lebih dari 2 minggu berturut-turut. Tetap terjadi perforasi pada
membran timpani. Perforasi yaitu membran timpani tidak intake atu terdapat
lubang pada membran timpani itu sendiri.
2. Klasifikasi
OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a. OMSK tipe benigna (tipe mukosa = tipe aman)
Proses peradangan terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak
mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe
benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe
benigna tidak terdapat kolesteatom.
b. OMSK tipe maligna (tipe tulang = tipe bahaya)
OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan
kolesteatoma. Perforasi terletak pada marginal atau di atik, kadang-kadang
terdapat juga kolesteatoma dengan perforasi subtotal. Sebagian komplikasi
yang berbahaya atau total timbul pada atau fatal, timbul pada OMSK tipe
maligna.
3. Etiologi
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan maligna
atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara
aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang (Mansjoer, 2001).
Pada OMSK benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak
mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang menimbulkan komplikasi
berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom (Mansjoer, 2001).
OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak
marginal, subtotal, atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang
berbahaya atau fatal (Mansjoer, 2001).
Kolesteotoma yaitu suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel
(keratin). Deskuamasi terbentuk terus, lalu menumpuk. Sehingga kolesteotoma
bertambah besar.
4. Patofisiologi
Sebagian besar Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan
kelanjutan dari Otitis Media Akut (OMA) yang prosesnya sudah berjalan lebih
dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi yang terlambat, terapi
tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, dan daya tahan tubuh rendah. Bila
kurang dari 2 bulan disebut subakut. Sebagian kecil disebabkan oleh perforasi
membran timpani terjadi akibat trauma telinga tengah. Kuman penyebab
biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah berlangsung lama
sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman anaerob (Mansjoer, 2001).
Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%),
Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis (10,3%), gram
positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%). Biasanya pasien
mendapat infeksi telinga ini setelah menderita saluran napas atas misalnya
influenza atau sakit tenggorokan. Melalui saluran yang menghubungkan antara
hidup dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di saluran napas atas yang tidak
diobati dengan baik dapat menjalar sampai mengenai telinga.
5. Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga atau gangguan
pendengaran (Mansjoer, 2001). Nyeri telinga atau tidak nyaman biasanya
ringan dan seperti merasakan adanya tekanan ditelinga. Gejala-gejala tersebut
dapat terjadi secara terus menerus atau intermiten dan dapat terjadi pada salah
satu atau pada kedua telinga (Fung, 2004).
a. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan
encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh
aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe
jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali
sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani
dan infeksi. Keluarnya sekretbiasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah
sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari
liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif
tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna
kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk
degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih,
mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah
berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret
yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan
polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya.
Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.
b. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanyadijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat
bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom,
tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga
tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang
dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea.
c. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat
karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau
dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga
mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri
merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
d. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius
lainnya. Keluhanvertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel
labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul
biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada
panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi
besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga
akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat
komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena
infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga
dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanj ut menjadi
meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat
vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada
membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga
tengah.
6. Penatalaksanaan
Menurut Arief Mansjoer, dkk. (2001), prinsip terapi OMSK tipe benigna
dan maligna berbeda, yaitu :
a. Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan
medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat
pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret
berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga
yang mengandung antibiotika dan kartikosteroid. Banyak ahli berpendapat
bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung
antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab itu penulis menganjurkan
agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1
atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan
antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi
terhadap penisilin), sebelum tes resistensi diterima. Pada infeksi yang
dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat
diberikan ampisilin asam klavulanat. Bila sekret telah kering, tetapi
perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya
dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani
yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran. Bila
terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya
infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu,
mungkin juga perlu melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan
tonsilektomi.
b. Prinsip terapi OMSK tipe maligna ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi.
Jadi, bila terdapat OMSK tipe maligna, maka terapi yang tepat ialah dengan
melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanopplasti. Terapi
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara
sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal
retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum
kemudian dilakukan mastoidektomi. Infeksi telinga tengah dan
mastoid.Rongga telinga tengah dan rongga mastoid berhubungan langsung
melalui aditus adantrum. Oleh karena itu infeksi kronis telinga tengah yang
sudah berlangsung lama biasanya disertai infeksi kronis di rongga mastoid.
Infeksi rongga mastoid dikenal dengan mastoiditis. Beberapa ahli
menggolongkan mastoiditis ke dalam komplikasi OMSK.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik
sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati
tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya
ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga tengah. Para
peneliti melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural
yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani
melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan
ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal
terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek
kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang,
sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (
audiometri atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan
membandingkan rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi
percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen dengan skala ANSI
1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964
dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
1) Normal : -10 dB sampai 26 dB
2) Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
3) Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
4) Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
5) Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
6) Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan
fungsi kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran
udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang
pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi
rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk
melakukan evaluasi ini, observasi berikut bias membantu :
1) Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari
15-20 dB
2) Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli
konduktif30-50 dB apabila disertai perforasi.
3) Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran
yang masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4) Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun
keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian
pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri
tutur dengan maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif
bilateral dan tuli campur.
b. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan
audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang
tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit
dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang,
terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Proyeksi radiografi
yang sekarang biasa digunakan adalah :
1) Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid
dariarah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena
memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid
yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli bedah
untuk menghindari dura atau sinus lateral.
2) Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga
tengah. Akantampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik
sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai
struktur-struktur.
3) Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid
petrosusdan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna,
vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan
antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya
pembesaran akibatkolesteatom.
4) Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal
sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.
Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan
tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang-tulang
pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang
berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu
seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan
adanya penyakit mastoid.
B. Konsep Dasar Penyakit Diabetes Melitus
1. Pengertian
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi
dan kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin, dimana
tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan
resisten sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa
hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan
hormonal yang menimbulkan komplikasi kronik pada sistem tubuh (Pinzur,
2008).
2. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(1997) sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
adalah:
a. Diabetes Mellitus Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes Melitus tipe ini dikenal sebagai diabetes yang tergantung
insulin. Tipe ini berkembang jika tubuh tidak mampu memproduksi insulin.
Jenis ini biasanya muncul sebelum usia 40 tahun. Menurut Suddarth &
Brunner (2002) Diabets Melitus tipe ini disebabkan oleh Faktor Genetik
dimana penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya
Diabetes Melitus tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA. Faktor Imunologi yaitu adanya
respon autoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu
autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen. Faktor
lingkungan dimana Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun
yang menimbulkan destruksi sel beta.
b. Diabetes Mellitus Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM)
Diabetes Melitus yang tidak tergantung insulin dan terjadi akibat
penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). Disebabkan
karena turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya,
artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa. Namun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain, berarti
sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer dkk,
2001).
c. Diabetes Mellitus Tipe III
Diabetes Melitus tipe ini dapat disebabkan oleh faktor atau kondisi
lainnya seperti: Subtipe genetik spesifik, biasanya disebut Maturity-onset
diabetes of the young (MODY) , defek genetic yang terjadi akibat disfungsi
sel- beta, perbedaan encoding reseptor insulin. Penyakit Eksokrin pada
pancreas berkaitan dengan agenesis pankreas yaitu insulin promotor faktor
1 mengalami gangguan. Toksik dengan pemakaian bahan-bahan kimia dan
obat-obatan dalam jangka panjang mengakibatkan encoding kromosom dan
reseptor berubah. Dapat juga disebabkan oleh Diabetes Melitus yang
berkaitan dengan imunitas tubuh Autoantibodi.
d. Diabetes Melitus Gestasional
Merupakan suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau
diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung (Nursemierva, 2001).
Definisi ini juga mencakup pasien yang sebetulnya masih mengidap
Diabetes Melitus tetapi belum terdeteksi, dan baru diketahui saat kehamilan
berlangsung. Faktor resiko Diabetes Melitus Gestasional ialah abortus
berulang, riwayat melahirkan anak meninggal tanpa sebab yang jelas,
riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan, pernah melahirkan
bayi lebih dari 4000 gram, pernah pre-eklamsia, Polihidramion. Faktor
predisposisi Diabetes Melitus Gestasional adalah umur ibu hamil lebih dari
30 tahun, riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga, pernah mengalami
diabetes melitus gestasional pada kehamilan sebelumnya, infeksi saluran
kemih berulang-ulang selama hamil (PERKENI, 2002).
3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis awal pada Diabetes Melitus adalah Poliuri (banyak
kencing) disebabkan karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui
daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotik diuresis dimana
gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak
kencing. Polidipsi (banyak minum) disebabkan pembakaran terlalu banyak dan
kehilangan cairan banyak karena poliuri sehingga untuk mengimbangi klien
lebih banyak minum. Polifagi (banyak makan) disebabkan karena glukosa tidak
sampai ke sel-sel yang mengalami starvasi (lapar) sehingga untuk
memenuhinya klien akan terus makan. Walaupun klien banyak makan, tetap
saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah. Berat
badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga berkurang disebabkan karena
kehabisan glikogen yang telah dilebur menjadi glukosa, maka tubuh mendapat
peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena
tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan
makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak
sehingga klien dengan Diabetes Melitus walaupun banyak makan akan tetap
kurus. Mata kabur yang disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa –
sarbitol fruktasi) karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan
sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
4. Faktor Resiko
Faktor resiko Diabetes Melitus dibagi menjadi faktor yang dapat diubah dan
faktor yang tidak dapat diubah. Faktor resiko yang dapat diubah yaitu Berat
badan berlebih dan obesitas. Obesitas berhubungan dengan besarnya lapisan
lemak dan adanya gangguan metabolik. Kelainan metabolik tersebut umumnya
berupa resistensi terhadap insulin yang muncul pada jaringan lemak yang luas.
Sebagai kompensasi akan dibentuk insulin yang lebih banyak oleh sel beta
pankreas sehingga mengakibatkan hiperinsulinemia. Obesitas berhubungan
pula dengan adanya kekurangan reseptor insulin pada otot, hati, monosit dan
permukaan sel lemak. Hal ini akan memperberat resistensi terhadap insulin.
Gula darah tinggi yang tidak ditatalaksana dapat menyebabkan kerusakan saraf,
masalah ginjal atau mata, penyakit jantung, serta stroke (Harbuwono, 2008).
Hal-hal yang dapat meningkatkan gula darah dapat berupa; Makanan atau
snack dengan karbohidrat yang lebih banyak dari biasanya, kurangnya aktivitas
fisik, infeksi atau penyakit lain, perubahan hormon, misalnya selama
menstruasi, dan stress. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula
darah tinggi adalah pemeriksaan gula darah puasa (GDP). Seseorang dikatakan
menderita diabetes apabila kadar GDP =126 mg/dl (PERKENI, 2002) Tekanan
darah tinggi yang menyebabkan jantung akan bekerja lebih keras dan resiko
untuk penyakit jantung dan diabetes lebih tinggi. Kurangnya aktifitas fisik
dapat diatasi cukup dengan menambah kegiatan harian. Merokok, dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan peningkatan tekanan darah. Faktor
resiko yang tidak dapat diubah (Harbuwono, 2008) yaitu Usia, bertambahnya
usia menyebabkan risiko diabetes dan penyakit jantung semakin meningkat.
Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih dari 45
tahun. Ras dan suku bangsa, dimana bangsa Amerika Afrika, Amerika
Meksiko, Indian Amerika, Hawaii, dan sebagian Amerika Asia memiliki risiko
diabetes dan penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan
oleh tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi
tersebut. Jenis kelamin yang memungkinan pria menderita penyakit jantung
lebih besar daripada wanita. Namun, jika wanita telah menopause maka
kemungkinan menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun
prevalensinya tidak setinggi pria. Riwayat Keluarga yang salah satu anggota
keluarganya menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang
diabetes pun meningkat.
5. Penatalaksanaan
a. Perencanaan makan
Tahap pertama dalam perencanaan makan adalah mendapatkan
riwayat diet untuk mengidentifikasi kebiasaan makan pasien dan gaya
hidupnya. Tujuan yang paling penting dalam penatalaksanaan diet bagi
penderita diabetes adalah pengendalian asupan kalori total untuk mencapai
atau mempertahankan berat badan yang sesuai dan pengendalian kadar
glukosa darah. Persentase kalori yang berasal dari karbohidrat, protein, dan
lemak. Distribusi kalori dari karbohidrat saat ini lebih dianjurkan dari pada
protein dan lemak. Sesuai dengan standar makanan berikut ini, makanan
yang berkomposisi karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-
25% inilah makanan yang dianjurkan pada pasien diabetes (Sukardji, 2004).
b. Perencanaan latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu prinsip dalam
penatalaksanaan penyakit Diabetes Melitus. Kegiatan jasmani sehari-hari
dan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes. Latihan
jasmani yang dimaksud adalah berjalan, bersepeda santai, jogging senam
dan berenang. Latihan jasmani ini sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Batasi atau jangan terlalu lama melakukan
kegiatan yang kurang memerlukan pergerakan, seperti menonton televisi
(PERKENI,2002).
c. Intervensi farmakologi
Menurut PERKENI, (2002) ada beberapa intervensi yang dapat
diberikan kepada pasien DM seperti obat Pemicu sekresi insulin;
Sulfonilurea yang bekerja meningkatkan sekresi insulin. Salah satu
contohnya yaitu klorpropamid, biasanya dosis yang diberikan adalah 100-
250 mg/tab. Adapun cara kerja sulfonilurea ini utamanya adalah
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas, meningkatkan
performance dan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak,
meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensiasi stimulasi insulin
transpor karbohidrat ke sel otot dan jaringan lemak, serta penurunan
produksi glukosa oleh hati. Cara kerja obat ini pada umumnya melalui suatu
alur kalsium yang sensitif terhadap ATP. Berikutnya adalah Glinid,
merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea
dengan meninngkatkan sekresi insulin fase pertama yang terdiri dari dua
macam obat, yaitu Repaglinid dan Nateglinid (Soegondo, 2004). Dosisnya,
untuk Repaglinid 0,5 mg/tab dan untuk Nateglinid 120 mg/tab (PERKENI,
2002). Selain obat pemicu insulin diberikan juga obat penambah sensitifitas
terhadap insulin, seperti Methformin bekerja untuk mengurangi produksi
glukosa hati, metformin ini tidak merangsang sekresi insulin dan
menurunkan kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) dan tidak
pernah menyebabkan hipoglikemia. Methformin menurunkan glukosa darah
dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel otot. Methformin
menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis
dan glukoneogenesis dan juga dapat menurunkan kadar trigliserida, LDL
kolesterol dan kolesterol total (Soegondo, 2004). Biasanya dosis yang
digunakan adalah 500-850 mg/tab (PERKENI, 2002). Thiazolindion dapat
diberikan untuk mengurangi resistensi insulin yang berikatan pada
peroxisome proliferator activated receptor gamma, suatu reseptor inti di sel
otot dan sel lemak yang terbagi atas dua golongan yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon yang memiliki efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah pentranspor glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer (Soegondo, 2004). Dosisnya untuk pioglitazon adalah 15-
30 mg/tab dan untuk rosiglitazon 4 mg/tab (PERKENI, 2002). Pengobatan
yang selanjutnya adalah Terapi insulin. Berdasarkan cara kerjanya insulin
ini dibagi tiga yaitu; Insulin yang kerja cepat contohnya insulin reguler
bekerja paling cepat dan KGD dapat turun dalam waktu 20 menit, insulin
kerja sedang contohnya insulin suspense, dan insulin kerja lama contohnya
insulin suspensi seng (PERKENI,2002).
BAB III
RESUME ASKEP
A. Pengkajian Fokus
Nama Mahasiswa : Rifyal Lamani
NIM : G3A018023
Tempat Praktek : Ruang Rajawali 2A
Tanggal : 08 April 2019

1. Identitas Pasien
Nama : Ny.S (P)
No.RM : C747709
Tgl lahir : 02-09-1968 ( 50 thn)
Pendidikan Terakhir : SLTA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : IRT
Alamat : Tlugo Bayem, Mugassari, Semarang

Diagnosa Medik : Otitis Media Supratif Kronik (OMSK) + Diabetes


Melitus Tipe II

2. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Tn.I
Umur : 69 thn
Jenis Kelamin : (L)
Agama : Islam
Suku : Jawa
Hubungan Dengan Pasien : Suami
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Tlugo Bayem, Mugassari, Semarang
3. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama : Nyeri pada telinga
P : Nyeri tambah dirasakan saat efek obat anti nyeri habis
Q : Seperti tertusuk-tusuk
R : Di area kepala bagian kiri (telinga) menjalar sampai ke leher
S : Skala 5 dari 0-10
T : Terus menerus
2) Alasan Masuk Rumah Sakit :
3 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh keluarnya
cairan terus menerus dari telinga kiri. Diakuinya telinga terasa penuh ,
berdengung dan juga merasakan pusing. Sejak seminggu yang lalu
muncul benjolan di belakang telinga kiri dan semakin membengkak,
memerah dan bertambah nyeri. Keluarga juga mengatakan bahwa
pasien mempunyai riwayat diabetes melitus. Saat pengkajian
didapatkan pasien mengeluh sakit kepala sebelah berputar, terjadi
penurunan pendengaran. Cairan yang keluar dari telinga berwarna
kuning kemerahan. Terdapat benjolan di atas telinga sebelah kiri.
Pasien mengatakan ada nyeri tekan di daerah benjolan. Sekarang
benjolan sudah sebesar 5x1 cm, ada massa lunak. Pasien mengeluhkan
fungsi pendengaran berkurang, telinga sebelah kiri tidak bisa
mendengarkan suara karena gendang telinga yang pecah, tetapi telinga
sebelah kanan masih bisa mendengarkan dengan normal. TTV TD :
140/90 mmHg, N 84 x/m, RR 20 x/m, S 36,70C. KGDS : 396 g/dl
3) Faktor pencetus : Pecahnya gendang telinga dan adanya
benjolan pada belakang telinga
4) Lamanya keluhan : Keluhan dapat timbul dalam waktu yang
lama
5) Timbulnya keluhan : Terus menerus
b. Status kesehatan masa lalu
1) Penyakit yang pernah dialami : Tidak ada
2) Kecelakaan : Tidak pernah
3) Pernah dirawat : Tidak pernah
4) Riwayat Operasi : Tidak ada

PENGKAJIAN POLA FUNGSI DAN PEMERIKSAAN FISIK


A. Pengkajian Pola Fungsi
1) Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga (IRT). Pasien terbuka dengan
orang yang baru dikenal. Pasien berharap penyakitnya segera sembuh dan
tidak merasakan nyeri lagi.Keluarga mengatakan selalu periksa di dokter
puskesmas atau poli jika ada keluarga yang sakit. Pasien baru menyadari
adanya benjolan di belakang telinga dan semakin membesar. Pasien merasa
malu dengan kondisinya sekarang ini terutama cairan yang keluar dari
telinganya.
2) Nutrisi, Cairan dan metabolik
Sebelum sakit Pasien makan 3x sehari dengan menu nasi, lauk dan sayur.
Tidak ada alergi makanan. Sedangkan pola minum pasien sehari 6 gelas air
putih dan setiap hari suka minum teh.Selama sakit Pasien mendapatkan 3x
porsi diet nasi dari RS. Pasien mengatakan selalu menghabiskan satu porsi
diet dari RS setiap kali makan. Pasien minum sekitar 1 liter perhari. Pasien
mengatakan selama di RS pasien hanya minum teh dan air putih.
3) Aktivitas dan latihan
Sebelum sakit dapat menjalankan aktivitasnya sebagai seorang ibu rumah
tangga. Namun saat sakit, aktivitas klien terbatas dikarenakan sering
merasakan lemas dan nyeri kepala.
4) Istirahat
Sebelum sakit pasien tidak ada keluhan dengan kebiasaan tidurnya yaitu 6- 8
jam/ hari. Ketika sakit pasien mengeluh kesulitan untuk tidur karena nyeri
yang ia rasakan.
5) Sirkulasi
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Saat pengkajian CRT 2 dtk,
konjungtiva merah, tidak sianosis.
6) Eliminasi
Sebelum sakit pasien mengatakan pasien BAB 1 kali sehari setiap pagi,
sedangkan BAK 4-5 kali sehari. Tidak ada keluhan berkemih. Selama sakit
pasien BAK 6 kali sehari, tidak ada keluhan. Pasien mengatakan BAB sekali
satu hari dengan konsistensi lembek, tidak ada keluhan saat BAB.
7) Keamanan
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi obat apapun, pasien merasa nyeri
sehingga merasa tidak nyaman.
8) Persepsi diri
Pasien cukup paham dengan penyakitnya. Pasien berharap penyakitnya
segera sembuh dan tidak merasakan nyeri lagi.
9) Interaksi sosial
Hubungan pasien dengan keluarga sangat baik terbukti bahwa saat di rumah
sakit pasien dijaga keluarganya.
B. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
1. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Suhu : 36,7º C
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
VAS : 5 dari 0-10
2. Status gizi
Berat Badan : 79 kg
Tinggi Badan : 163 cm
IMT : 79/(1,63)2 kg/m2 = 29,81 kg/m2 (Overweight)
Head To Toe
1. Kepala
Bentuk kepala mesochepal. Terlihat bersih dan tidak terlihat adanya
luka. Pasien terlihat menyeringai saat kesakitan.
2. Mata
Pasien menggunakan alat bantu penglihatan (kacamata).
Konjungtiva tidak anemis. Mata terlihat sayu. Ada kantung mata.
3. Telinga
Bentuk telinga simetris, terlihat cairan berwarna kekuningan keluar
dari telinga sebelah kiri, lubang telinga ditutup dengan kassa untuk
menyumbat cairan yang keluar. Terjadi gangguan fungsi pendengaran
di telinga sebelah kiri. Dilakukan tes detik jam tangan, terjadi gangguan
fungsi pendengaran di telinga sebelah kiri, fungsi pendengaran telinga
sebelah kanan masih normal. Terlihat benjolan di belakang telinga kiri
bagian atas berdiameter 5x1 cm, tada nyeri tekan, teraba massa lunak.
Pasien terlihat melindungi telinganya.
4. Hidung
Hidung tidak ada luka, tidak ada cairan yang keluar dari hidung.
Tidak terlihat pernapasan cuping hidung.
5. Leher
Tidak ada pembesaran tiroid, tidak terlihat benjolan. Tidak ada
gangguan menelan.
6. Dada
Inspeksi
Bentuk dada simetris, tidak terlihat penggunaan otot aksesoris
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi, tidak ada retraksi dinding
dada
Perkusi
Suara lapang paru sonor
Auskultasi
Suara pernafasan vesikuler
7. Abdomen
Inspeksi
Bentuk simetris, warna coklat merata, tidak ada lesi, tidak ada jejas,
tidak terlihat benjolan
Palpasi
Tidak teraba benjolan, tidak ada nyeri tekan
Perkusi
Timpani
Auskultasi
Peristaltik usus 12x/menit
8. Genetalia
Tidak terpasang alat bantu BAK.
9. Ekstremitas
Ekstremitas atas
Terpasang IVFD NaCl 20 tpm di tangan sebelah kanan dengan kondisi
balutan terlihat bersih, tidak terlihat rembesan darah dan cairan.
Ekstremitas bawah
Terdapat oedem.

DATA PENUNJANG DAN TERAPI


Data Penunjang :
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi Paket
Hemoglobin 9.8 g/dL 12.00-15.00 L
Hematokrit 29.6 % 35-47 L
Eritrosit 3.75 10^6/ul 4.4-5.9 L
MCH 26.1 pg 27.00-32.00 L
MCV 78.9 fL 76-96
MCHC 33.1 g/dL 29.00-36.00
Leukosit 23.4 10^3/uL 3.6-11 H
Trombosit 230 10^3/uL 150-400
RDW 14.2 % 11.60-14.80
MPV 8.6 fl 4.00-11.00
Kimia Klinik
Eliktrolit
Natrium 132 Mmol/L 136-145
Kalium 4.6 Mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 98 Mmol/L 98-107
SGOT 10 U/L 15-34
GPT 15 U/L 15-60
Albumin 2.5 g/Dl 3.4-5.0
Ureum 181 Mg/Dl 15-39
Kreatinin 6.2 Mg/dl 0.60-1.30

Terapi :
Infus :
NaCl 0,9% 20 tpm IV
D5% 6 tpm IV

Ciprofloxacin 400 mg/12 jam IV


Metrodinazole 500 mg/8 jam IV
Metilprednisolon 52.5 mg/24 jam IV
Ranitidin 50 mg/12 jam IV
Ketorolac 30 mg/8 jam IV

Lisinopril 5 mg/24 jam P.O


Lansoprazole 30 mg/24 jam P.O
Bicnat 500 mg/8 jam P.O
Asam folat 1 mg/24 jam P.O
Paracetamol 1000 mg/8 jam P.O

Novorapid 10-10-10 SC
Lantus 20 unit SC

B. Diagnosa Keperawatan
Analisa Data
Data (DS dan DO) Problem (P) Etiologi (E)
DS : Nyeri akut Agen cedera biologis
Klien mengatakan nyeri (peradangan)
pada telinga
P: Nyeri tambah
dirasakan saat efek obat
anti nyeri habis
Q : Seperti tertusuk-
tusuk
R : Di area kepala
bagian kiri (telinga)
menjalar sampai ke leher
S: Skala 5 dari 0-10
T : Terus menerus
DO :
- Pasien terlihat
menyeringai saat
kesakitan
- Pasien terlihat
melindungi area nyeri
- TTV
TD : 140/90 mmHg, S:
36,7º C, N: 84 x/menit,
R: 20 x/menit

DS : Gangguan sensori Perubahan sensori


- Terjadi penurunan persepsi : pendengaran persepsi pendengaran
pendengaran di telinga
kiri (tidak dapat
mendengar suara)
- Sering keluar cairan
berwarna kekuningan
dari telinga kiri
- Telinga mendengung
DO :
- Terdapat benjolan di
belakang telinga kiri
sebesar 5 x 1 cm
- Tes pendengaran
Dilakukan tes detik
jam tangan, terjadi
gangguan fungsi
pendengaran di telinga
sebelah kiri, fungsi
pendengaran telinga
sebelah kanan masih
normal
DS : Klien mengatakan Ketidakstabilan kadar Disfungsi pankreas
mempunyai riwayat glukosa darah
diabetes
DO :
- KGDS 396 g/dl
- IMT 29,81
(Overweight)

1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (peradangan)


2. Gangguan sensori persepsi : pendengaran b.d Perubahan sensori persepsi
pendengaran
3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d disfungsi pankreas
C. Intervensi

No.Dx Tanggal Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 8 April Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi tanda-tanda
2019 keperawatan selama 1 x 24 jam, vital : TD,N, R, S
diharapkan pasien tidak 2. Lakukan pengkajian nyeri
merasakan nyeri dengan kriteria 3. Observasi reaksi non
hasil : verbal dari nyeri
1. Pasien melaporkan nyeri 4. Atur posisi pasien
berkurang senyaman mungkin
2. Tanda-tanda vital normal 5. Ajarkan teknik
3. Skala nyeri berkurang manajemen nyeri non
menjadi 4 dari 0-10 farmakologik : teknik
4. Pasien terlihat rileks distraksi relasasi, nafas
5. Pasien mengerti mengenai dalam
manajemen nyeri non 6. Kelola pemberian
farmakologi analgetik Ketorolac 30
mg/12 jam per IV
2 8 April Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi kemampuan
2019 keperawatan selama 1 x 24 jam, pendengaran
diharapkan pasien tidak terjadi 2. Observasi cairan keluar
gangguan pendengaran dengan dari telinga
kriteria hasil : 3. Bersihkan cairan dengan
1. Kemampuan pendengaran kasa/tissu
baik 4. Lakukan tes pendengaran :
2. Tidak ada cairan keluar dari suara bisik, detik jam
telinga tangan atau garpu tala
5. Kelola pemberian
antibiotik Ciprofloxacin
400 mg/12 jam/IV
3 8 April Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor kadar glukosa
2019 keperawatan selama 1 x 24 jam, 2. Monitor tanda dan gejala
kadar glukosa pasien stabil hiperglikemia, poliuri,
kriteria hasil : polidipsi, kelelahan, mata
1. Kadar gula klien terkontrol kabur dan sakit kepala
2. Kadar glukosa dalam rentang 3. Monitor tekanan darah
normal (GD Puasa 60-100) dan nadi
GD Sewaktu (70-100) 4. Ajarkan senam kaki
diabetes
5. Kelola pemberian insulin
Novorapid 10-10-10 dan
lantus 20 unit
BAB IV
APLIKASI JURNAL EVIDANCE BASED NURSING (EBN)
A. Identitas Klien
Ny.S dengan No.RM C747709 berusia 50 thn, berpendidikan terakhir
SLTA, bersuku jawa dan penganut agama islam. Ny.S merupakan seorang Ibu
Rumah Tangga yang bertempat tinggal di Tlugo Bayem Mugassari Semarang.
Ny.S di diagnosa medis menderita Otitis Media Supratif Kronik (OMSK) +
Diabetes Melitus Tipe II.
B. Data Fokus
Keluhan utama : Nyeri pada telinga. Pengkajian PQRST : P : Nyeri tambah
dirasakan saat efek obat anti nyeri habis, Q : Seperti tertusuk-tusuk, R : Di area
kepala bagian kiri (telinga) menjalar sampai ke leher, S : Skala 5 dari 0-10 dan T :
Terus menerus.
Alasan Masuk Rumah Sakit yaitu 3 minggu sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengeluh keluarnya cairan terus menerus dari telinga kiri. Diakuinya telinga
terasa penuh , berdengung dan juga merasakan pusing. Sejak seminggu yang lalu
muncul benjolan di belakang telinga kiri dan semakin membengkak, memerah dan
bertambah nyeri. Keluarga juga mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat
diabetes melitus. Saat pengkajian didapatkan pasien mengeluh sakit kepala sebelah
berputar, terjadi penurunan pendengaran. Cairan yang keluar dari telinga berwarna
kuning kemerahan. Terdapat benjolan di atas telinga sebelah kiri. Pasien
mengatakan ada nyeri tekan di daerah benjolan. Sekarang benjolan sudah sebesar
5x1 cm, ada massa lunak. Pasien mengeluhkan fungsi pendengaran berkurang,
telinga sebelah kiri tidak bisa mendengarkan suara karena gendang telinga yang
pecah, tetapi telinga sebelah kanan masih bisa mendengarkan dengan normal. TTV
TD : 140/90 mmHg, N 84 x/m, RR 20 x/m, S 36,70C. KGDS : 396 g/dl
Analisa Data
Data (DS & DO) Problem Etiologi
DS : Klien mengatakan Ketidakstabilan kadar Disfungsi pankreas
mempunyai riwayat glukosa darah
diabetes
DO :
- KGDS 396 g/dl
- IMT 29,81
(Overweight)
C. Diagnosa Keperawatan Yang Berhubungan Dengan Jurnal Evidance Based
Nursing Yang Diaplikasikan
Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d disfungsi pankreas
D. Evidance Based Nursing Practice Yang Diterapkan Pada Pasien
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Kadar Gula Darah Sewaktu Pada Penderita
Diabetes Melitus Tipe II Wilayah Kerja Puskesmas Cawas Oleh Anggraini Sri
Sulistyowati
E. Analisa Sintesa
Senam Kaki Diabetes

Peningkatan aliran darah

Jala-jala kapiler terbuka

Reseptor insulin lebih banyak dan menjadi aktif

Penurunan glukosa
(Soegondo, 2009)
F. Landasan Teori
Sirkulasi darah adalah aliran darah yang dipompakan jantung ke pembuluh
darah dan dialirkan oleh arteri ke seluruh organ-organ tubuh (Hayens, 2003) salah
satunya pada organ kaki. Normal sirkulasi darah pada kaki menurut (Vowden,
2001) adalah 1,0 yang diperoleh dari rumus ABPI(An ankle Brachial Pressure
Index). Sedangkan keadaan yang tidak normal dapat diperoleh bila nilai APBI <
0,9 diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki, APBI > 0,5 dan < 0,9 pasien perlu
perawatan tindak lanjut, dan APBI < 0,5 diindikasikan kaki sudah mengalami kaki
nekrotik, gangren, ulkus, borok yang perlu penanganan dokter ahli bedah Vaskular.
Dasar terjadinya luka atau kelainan pada kaki pasien penderita diabetes
adalah adanya suatu kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian
adanya infeksi. Dari ketiga hal tersebut, yang paling berperan adalah kelainan pada
saraf, sedangkan kelainan pembuluh darah lebih berperan nyata pada penyembuhan
luka sehingga menentukan nasib kaki. Keadaan kelainan saraf dapat mengenai
saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf otonom (Prabowo, 2007).
Bila mengenai saraf sensoris akan terjadi hilang rasa yang menyebabkan
penderita tidak dapat merasakan rangsang nyeri sehingga kehilangan daya
kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsang dari luar. Akibatnya, kaki lebih
rentan terhadap luka meskipun terhadap benturan kecil. Bila sudah terjadi luka,
akan memudahkan kuman masuk yang menyebabkan infeksi. Bila infeksi ini tidak
diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan (gangren) bahkan
dapat diamputasi (Prabowo, 2007).
Gangguan pada serabut saraf motorik (serabut saraf yang menuju otot)
dapat mengakibatkan pengecilan atrofi otot interosseus pada kaki. Akibat lanjut
dari keadaan ini terjadi ketidakseimbangan otot kaki, terjadi perubahan bentuk
deformitas pada kaki seperti jari menekuk cock up toes, bergesernya sendi luksasi
pada sendi kaki depan metatarsofalangeal dan terjadi penipisan bantalan lemak di
bawah daerah pangkal jari kaki kaput metatarsal. Hal ini menyebabkan adanya
perluasan daerah yang mengalami penekanan, terutama di bawah kaput metatarsal
(Prabowo,2007).
Selain itu, terjadi perubahan daya membesar-mengecil pembuluh darah
vasodilatasi-vasokonstriksi di daerah tungkai bawah, akibatnya sendi menjadi
kaku. Keadaan lebih lanjut terjadi perubahan bentuk kaki Charchot, yang
menyebabkan perubahan daerah tekanan kaki yang baru dan berisiko terjadinya
luka (Prabowo, 2007). Kelainan pembuluh darah berakibat tersumbatnya pembuluh
darah sehingga menghambat aliran darah, mengganggu suplai oksigen, bahan
makanan atau obat antibiotika yang dapat menggagu proses penyembuhan luka.
Bila pengobatan infeksi ini tidak sempurna dapat menyebabkan pembusukan
gangren. Gangren yang luas dapat pula terjadi akibat sumbatan pembuluh darah
yang luas sehingga kemungkinannya dilakukan amputasi kaki di atas lutut (Igra,
2009).
Dari beberapa kasus di atas pasien Diabetes Melitus perlu melakukan
senam ini untuk membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki,
memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya
kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha, dan mengatasi
keterbatasan gerak sendi. Peran kita sebagai perawat adalah membimbing pasien
untuk melakukan senam kaki agar pasien dapat melakukan senam kaki secara
mandiri .
BAB V
PEMBAHASAN
A. Justifikasi
Pengelolaan penyakit DM dikenal dengan empat pilar utama yaitu
penyuluhan atau edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani atau aktivitas fisik dan
intervensi farmakologis. Keempat pilar pengelolaan tersebut dapat diterapkan pada
semua jenis tipe DM termasuk DM tipe II. Untuk mencapai fokus pengelolaan DM
yang optimal maka perlu adanya keteraturan terhadap keempat pilar utama tersebut
(PERKENI, 2015).
Komponen latihan jasmani atau olahraga sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah
dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin (Smeltzer & Brenda, 2002). Latihan jasmani akan menyebabkan terjadinya
peningkatan aliran darah, maka akan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka
sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi aktif yang
akan berpengaruh terhadap penurunan glukosa darah pada pasien diabetes
(Soegondo, 2013).
Latihan jasmani atau olahraga yang dianjurkan salah satunya adalah senam
kaki diabetes melitus. Senam kaki bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah
sehingga nutrisi ke jaringan lebih lancar, memperkuat otot-otot kecil, otot betis dan
otot paha, menurunkan kadar gula darah serta mengatasi keterbatasan gerak sendi
yang dialami oleh penderita diabetes mellitus (Sutedjo, 2010).
Dalam menerapkan EBN Pengaruh Senam Kaki Terhadap Kadar Gula
Darah Sewaktu, pertama-tama penulis menyesuaikan kriteria inklusi dan eksklusi
yang ada pada jurnal dengan kondisi pasien penulis. Adapun kriteria inklusi dan
eksklusi yang ada pada jurnal. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah penderita
DM tipe II, berumur tidak lebih dari 65 tahun, bersedia menjadi responden.
Sedangkan kriteria eksklusinya adalah penderita DM yang mempunyai luka
diabetik, mengalami kelumpuhan anggota gerak, komplikasi penglihatan serta
penderita DM yang mengalami asma atau nyeri dada, depresi, khawatir atau cemas.
Berdasarkan kriteri inklusi dan eksklusi tersebut, maka pasien kelolaan penulis
sesuai dengan kriteria-kriteri tersebut.
Itulah sebabnya, mengapa penulis memilih Evidance Based Nursing
Practice Pengaruh Senam Kaki Terhadap Kadar Gula Darah Sewaktu Pada
Penderita Diabetes Melitus Tipe II sebagai salah satu intervensi dalam mengatasi
masalah keperawatan ketidakstabilan kadar glukosa pada Ny.S.
B. Mekanisme Penerapan EBN
Alat yang dipersiapkan :
1. GCU
2. Kursi
Langkah-langkah pelaksanaan :
1. Persiapkan pasien mulai dari kontrak topik, waktu, tempat dan tujuan
dilaksanakan senam kaki
2. Sebelum dilakukan senam kaki, terlebih dahulu ukur gula darah pasien terlebih
dahulu
3. Posisikan pasien dalam posisi duduk maka posisikan pasien duduk tegak diatas
bangku dengan kaki menyentuh lantai

4. Dengan meletakkan tumit di lantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan ke atas
lalu dibengkokkan kembali ke bawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali.
5. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat telapak kaki ke atas.
Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit kaki
diangkatkan ke atas. Dilakukan pada kaki kiri dan kanan secara bergantian dan
diulangi sebanyak 10 kali.

6. Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki diangkat ke atas dan buat
gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.

7. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat gerakan memutar
dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali
8. Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki, tuliskan
pada udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian
(Akhtyo, 2004).

9. Setelah selesai melakukan senam kaki, ukur kembali gula darah pasien. Dan
bandingkan dengan gula darah sebelumnya.

C. Hasil Yang Dicapai


Pada penerapan Evidance Based Nursing dengan menggunakan senam kaki
sebagai upaya penurunan kada gula darah sewaktu pada Ny.S dengan diagnosa
medis Otitis Media Supratif Kronik (OMSK) + Diabetes Melitus Tipe II, respon
fisiologis yang didapatkan sebelum diberikan intervensi senam kaki yaitu pasien
mengeluh lemas dan seperti tidak bertenaga, kepala terasa pusing serta saat
dilakukan pemeriksaan KGDS didapatkan nilai gula darah sewaktu 396 mg/dl.
Setelah diberikan intervensi senam kaki, kadar gula darah tidak mengalami
penurunan yang signifikan. Kgds setelah intervensi yaitu 383 mg/dl. Hal ini
disebabkan latihan senam kaki menurut penerapan jurnal harus dilakukan selama 4
kali dalam seminggu. Sedangkan penulis hanya baru melakukan sekali dikarenakan
keesokaan harinya pasien menjalani program pembedahan. Latihan yang optimal
dapat membuat sirkulasi darah dapat lebih lancar sehingga lebih banyak tersedia
reseptor insulin dan reseptor menjadi aktif yang akan berpengaruh terhadap
penurunan glukosa darah pada pasien (Soegondo, 2013).
D. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
a. Teknik ini mudah dipelajari dan dipraktikan mandiri oleh pasien
b. Tidak membutuhkan biaya
c. Dapat diedukasikan juga untuk keluarga
2. Kekurangan
a. Teknik ini akan kurang efisien jika pasien tidak mengikuti jadwal latihan
dengan baik
b. Hambatan yang ditemui penulis adalah penulis pasien hanya baru
melakukan sekali dikarenakan keesokaan harinya pasien menjalani program
pembedahan. Sehingga tidak mendapatkan hasil yang optimal.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penerapan senam kaki dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tindakan
mandiri keperawatan. Penerapan Evidance Based Nursing dengan menggunakan
senam kaki sebagai upaya penurunan kada gula darah sewaktu pada Ny.S dengan
diagnosa medis Otitis Media Supratif Kronik (OMSK) + Diabetes Melitus Tipe II,
respon fisiologis yang didapatkan sebelum diberikan intervensi senam kaki yaitu
pasien mengeluh lemas dan seperti tidak bertenaga, kepala terasa pusing serta saat
dilakukan pemeriksaan KGDS didapatkan nilai gula darah sewaktu 396 mg/dl.
Setelah diberikan intervensi senam kaki, kadar gula darah tidak mengalami
penurunan yang signifikan. Kgds setelah intervensi yaitu 383 mg/dl. Hal ini
disebabkan latihan senam kaki menurut penerapan jurnal harus dilakukan selama 4
kali dalam seminggu. Sedangkan penulis hanya baru melakukan sekali dikarenakan
keesokaan harinya pasien menjalani program pembedahan.
B. Saran
1. Senam kaki dapat dijadikan sebagai pertimbangan intervensi keperawatan
dalam merawat pasien yang mengalami masalah keperawatan ketidakstabilan
kadar glukosa.
2. Dapat memperkaya bahan ajar perawat menegani terapi non farmakologi dan
juga senam kaki dapat dijadikan sebagai terapi komplementer yang berjalan
berdampingan dengan aspek terapi farmakologi dalam meneurunkan kadar
gula darah.
DAFTAR PUSTAKA

Fung, K. 2004 Otitis Media Chronic. http://www.medline.com


Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Herdman, T.Heather. 2009. NANDA international nursing diagnosis: Definitions &
classification. United Kingdom: Wiley-Balckwell
Mansjoer, Arif. dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Tarwoto, Aryani dan Ratna, Wartonah. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk mahasiswa
keperawatan. Jakarta: Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai