Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma bronkhial merupakan salah satu penyakit kronik yang menyerang

antara 100-150 juta orang di seluruh dunia (Junaidi, 2010). Asma bronkhial tidak

hanya masalah kesehatan masyarakat di negara maju, tetapi juga terjadi di negara

berkembang (WHO, 2016). Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit

asma diseluruh dunia diperkirakan akan meningkat 20% pada 10 tahun kedepan,

jika tidak terkontrol dengan baik. Asma merupakan lima penyakit terbesar yang

menyumbang kematian di dunia dengan prevalensi mencapai 17,4%. Prevalensi

asma di seluruh dunia dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50% (PDPI,

2014). Penyakit pernafasan ini merupakan penyebab tingginya angka kesakitan

dan kematian terbanyak di Indonesia (Sihombing, 2010). Penyakit asma

termasuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 sampai

2018, prevalensi penyakit asma di Indonesia tahun 2018 pada semua umur

menurut provinsi sebesar 2,4%. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) tahun 2012, asma bronkhial merupakan penyebab kematian ke-4 di

Indonesia sebesar 5,6%.

Dampak asma dapat merugikan setiap manusia yang mengalaminya.

Penyakit ini bisa menimbulkan masalah pada jalan nafas dan mengganggu

aktivitas sehari-hari. Asma bronkhial adalah salah satu penyakit non

communicable (penyakit yang tidak menular) kronis pada saluran pernafasan

yang hiper reaktif dan menyempit akibat berbagai rangsangan yang ditandai
adanya serangan sesak nafas, mengi dengan tingkat keparahan serta frekuensi

setiap orang berbeda (WHO, 2016). Hal tersebut dapat menyebabkan

penyempitan jalan nafas yang menyeluruh sehingga timbul sesak nafas yang

reversibel baik secara spontan maupun dengan terapi. Asma bronkhial

menyebabkan resiko mengalami eksaserbasi akut dan memicu diagnosa

ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Penyakit asma merupakan suatu kondisi

darurat dan seringkali kurang berhasil dalam penanganannya. Kondisi tersebut

akan meningkatkan kejadian masuk rumah sakit, lebih buruknya terjadi gagal

napas dan kematian (Hodder et al, 2010).

Penatalaksanaan pada pasien asma dapat dilakukan secara farmakologik

dan non farmakologik. Pengobatan farmakologik salah satunya melalui terapi

nebulizer. Tujuan dari terapi nebulizer atau nebulasi dengan obat-obat

bronkodilator ialah mengurangi sesak nafas, relaksasi dari spasme bronkial,

mengencerkan dahak, melancarkan dan melembabkan saluran pernafasan.

Nebulizer merupakan suatu alat dengan cara pemberian obat-obatan yang

dihirup. Obat tersebut terlebih dahulu dipecahkan menjadi partikel-partikel yang

lebih kecil melalui cara aerosol atau humidifikasi (Muttaqin, 2014). Efek dari

terapi nebulizer dapat mengembalikan kondisi spasme bronkus. Selain itu, obat

yang diberikan melalui nebulizer apabila dihirup atau dikumpulkan pada organ

paru akan meningkatkan bersihan sekresi pulmonal. Nebulisasi memberikan

keuntungan bagi penderita asma karena mudah digunakan pada saat serangan

sedang sampai berat. Terapi nebulizer yang disertai obat-obatnya juga lebih

efektif dari obat oral maupun intravena.

Pemberian nebulizer pada pasien asma bronkial dapat disertai dengan

melatih batuk efektif. Batuk efektif dilakukan setelah diberikan terapi nebulizer
supaya dapat maksimal dalam penerapannya. Hal tersebut disebabkan karena

didalam nebulasi terdapat obat yang membantu dalam mencairkan sekret atau

dahak sehingga mudah untuk dikeluarkan. Batuk efektif sangat penting untuk

menghilangkan gangguan pada sistem pernafasan dan menjaga paru-paru agar

tetap bersih. Batuk efektif dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspansi

paru, mobilisasi sekret dan mencegah efek samping dari penumpukan sekret.

Batuk yang tidak efektif akan dapat menyebabkan efek yang merugikan pada

pasien dengan penyakit paru-paru kronis berat (Pranowo, 2012). Latihan batuk

efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, di mana dapat menghemat

energi pasien sehingga tidak mudah lelah mengeluarkan sputum secara

maksimal (Tabrani, 2010). Hal tersebut dapat menyiapkan paru-paru dan saluran

nafas sebelum melaksanakan teknik batuk dengan mengeluarkan semua udara

yang ada didalamnya (Putri, 2013).

Pengeluaran dahak yang tidak lancar akibat ketidakefektifan bersihan

jalan nafas dapat menimbulkan dampak yang buruk. Akibat adanya penumpukan

dahak ini adalah pernapasan cuping hidung, peningkatan respiratory rate,

dypsneu, timbul suara crackles saat diauskultasi, dan kesulitan bernapas.

Kesulitan bernapas akan menghambat pemenuhan suplai oksigen di dalam

tubuh. Hal tersebut dapat membuat kematian sel, hipoksemia dan penurunan

kesadaran sehingga dapat mengakibatkan kematian apabila tidak segera

ditangani. Lebih bahayanya akan mengalami penyempitan sehingga terjadi

perlengketan dan obstruksi pada jalan nafas. Maka dari itu, pasien perlu

diberikan latihan batuk efektif untuk membantu penderita dalam pengeluaran

dahak sehingga jalan nafasnya lancar.


B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui penerapan batuk efektif pasca nebulasi pada pasien asma

bronkhial dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui penerapan teknik batuk efektif

b. Mengetahui manfaat setelah dilakukan batuk efektif terhadap bersihan jalan nafas

c. Mengetahui respon pasien setelah dilakukan batuk efektif pasca nebulasi

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui bahwa penyakit asma bronkhial dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat dilakukan penerapan batuk efektif

pasca nebulasi melalui naskah publikasi yang disebarkan di internet dalam

repository.

2. Bagi Pasien

Memberikan pengetahuan pasien asma bronkhial cara mengeluarkan dahak

dengan batuk efektif pasca nebulasi dan dapat diterapkan dalam kehidupan

sehari- hari.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Menambah informasi dan bahan referensi untuk pengembangan ilmu mengenai

asma bronkhial. Penulisan ini digunakan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

jurusan keperawatan sebagai acuan untuk membantu dalam kegiatan tugas

keperawatan medikal bedah terkait asma bronkhial.

4. Bagi Penulis

Menambah ilmu dan pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan

terhadap pasien asma bronkhial serta menambah pengalaman dalam penerapan


ilmu keperawatan khususnya tentang penerapan batuk efektif pasca nebulasi

pada pasien asma bronkhial.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Asma Bronkial

1. Pengertian

Sesak nafas dan mengi menjadi suatu pertanda seseorang mengalami


asma. Asma merupakan gangguan radang kronik pada saluran napas. Saluran
napas yang mengalami radang kronik bersifat peka terhadap rangsangan tertentu,
sehingga apabila terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi
tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus,sumbatan mukus,
dan meningkatnya proses radang. Dari proses radang tersebut dapat timbul gejala
sesak nafas dan mengi (Almazini, 2012). Sedangkan menurut Wahid dan Suprapto
(2013) Asma adalah suatu penyakit dimana saluran nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan,
penyempitan ini bersifat sementara. Dari beberapa pengertian tersebut penulis
dapat menyimpulkan asma merupakan suatu penyakit saluran pernafasan yang
mengalami penyempitan karena hipereaktivitas oleh faktor risiko tertentu.
Penyempitan ini bersifat sementara serta menimbulkan gejala sesak nafas dan
mengi.
2. Etiologi
Menurut Wijaya & Putri (2014) etiologi asma dapat dibagi atas :
a. Asma ekstrinsik / alergi
Asma yang disebabkan oleh alergen yang diketahui masanya sudah
terdapat semenjak anak-anak seperti alergi terhadap protein, serbuk sari,
bulu halus, binatang dan debu.
b. Asma instrinsik / idopatik
Asma yang tidak ditemukan faktor pencetus yang jelas, tetapi adanya
faktor-faktor non spesifik seperti : flu, latihan fisik, kecemasan atau
emosi sering memicu serangan asma. Asma ini sering muncul sesudah
usia 40tahun setelah menderita infeksi sinus.
c. Asma campuran
Asma yang timbul karena adanya komponen ekstrinsik dan intrinsik.

3. Klasifikasi
Menurut Wijaya dan Putri (2014) kasifikasi asma berdasarkan berat penyakit,
antara lain :
a. Tahap I : Intermitten
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala inermitten < 1 kali dalam seminggu
2) Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa hari)
3) Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan
4) Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode
eksaserbasi
5) PEF atau FEV1 : ≥ 80% dari prediksi
Variabilitas < 20%

6) Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol :


Obat untuk mengurangi gejala intermitten dipakai hanya kapan perlu
inhalasi jangka pendek β2 agonis
7) Intensitas pengobatan tergantung pada derajat eksaserbasi
kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan.
b. Tahap II : Persisten ringan
Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :
1) Gejala ≥ 1 kali seminggu tetapi < 1 kali sehari
2) Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan
4) PEF atau FEV1 : > 80 % dari prediksi
Variabilitas 20-30%
5) Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol :
Obat-obatan pengontrol serangan harian mungkin perlu
bronkodilator jangka panjang ditambah dengan obat-obatan
antiinflamasi (terutama untuk serangan asma malam hari.
c. Tahap III : Persisten sedang

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :


1) Gejala harian
2) Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu
4) Pemakaian inhalasi jangka pendek β2 agonis setiap hari
5) PEV atay FEV1 : > 60% - < 80% dari prediksi
Variabilitas > 30%

6) Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan kontrol :


Obat-obatan pengontrol serangan harian inhalasi kortikosteroid
bronkodilatorjangka panjang (terutama untuk serangan asma malam
hari)
d. Tahap IV : Persisten berat
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala terus-menerus
2) Gejala eksaserbasi sering
3) Gejala serangan asma malam hari sering
4) Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma
5) PEF atau FEV1 : ≤ 60% dari prediksi
6) Variabilitas > 30%

4. Faktor Risiko
Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh
a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.
b. Pembengkakan membrane bronkus
c. Bronkus berisi mucus yang kental
Adapun faktor predisposisi pada asma yaitu:
a. Genetik
Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, akibat adanya bakat alergi ini
penderita sangat mudah terkena asma apabila dia terpapar dengan faktor
pencetus.

Adapun faktor pencetus dari asma adalah:


a. Alergen
Merupakan suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan obat-obatan
tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein, dan
sebagainya.
3) Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan aksesoris
lainnya yang masuk melalui kontak dengan kulit.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan
cuaca menjadi pemicu serangan asma.
c. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien
asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu lintas, penyapu
jalanan.
d. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila sedang
bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
asma
e. Stres
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma harus segera diobati penderita asma yang mengalami stres harus diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalahnya (Wahid & Suprapto, 2013).

5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada pasien asma menurut Halim
Danokusumo (2000) dalam Padila (2015) diantaranya ialah :
a. Stadium Dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
1) Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
3) Wheezing belum ada
4) Belum ada kelainan bentuk thorak
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
6) BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan:
1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4) Penurunan tekanan parsial O2

b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
7) Sianosis
8) BGA Pa O2 kurang dari 80%
9) Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada
Rongen paru

10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.

6. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan
oleh satu atau lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang
menyempitkan jalan nafas, atau pembengkakan membran yang melapisi bronkhi,
atau penghisap bronkhi dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkhial
dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan
alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru.
Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum diketahui, tetapi ada yang paling
diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sisitem otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk
terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian
menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin
serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator
ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa dan
pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik,
ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan,
dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi,
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adregenik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor α- dan β- adregenik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan
penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan
oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor beta adrenergik mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan
menyababkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-
adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap
peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya dan
Putri, 2014).
7. Pathway

Ekstrinsik Instrinsik/ Idiopatik

Respon alergi/ Kecemasan Mk: Ansietas


Hipereaktivitas

Inflamasi dinding Spasme Otot


Sumbatan mukus Edema Ketegangan di
bronchus bronchus seluruh tubuh

Obstruksi Penerapan
Alveoli tertutup teknik relaksasi
wheezing saluran nafas otot progresif
(bronchospasme)
Mk : Bersihan
jalan nafas tidak Hipoksemi Mk : Gangguan
Penyempitan jalan nafas
efektif Pertukaran Gas
Asidosis
metabolik

Peningkatan kerja
Status Asmatikus
Produksi mukus pernafasan
kelemahan, lemah

Peningkatan kebutuhan oksigen MK : Intoleransi


nafsu makan menurun
dada terasa tertekan, Aktivitas
nyeri dada, nadi meningkat

MK : Defisit
Nutrisi Hiperventilasi
MK : Nyeri Akut

Retensi CO2

Asidosis respiratorik
8. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan penunjang menurut Padila (2015) yaitu : Spirometri Untuk
mengkaji jumlah udara yang dinspirasi
b) Uji provokasi bronkus
c) Pemeriksaan sputum
d) Pemeriksaan cosinofit total
e) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma
f) Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
g) Foto thorak
untuk mengetahui adanya pembengkakan adanya penyempitan bronkus
dan adanya sumbatan
h) Analisa gas darah
Untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan
oksigenasi.
9. Komplikasi
Komplikasi menurut Wijaya & Putri (2014) yaitu :
a. Pneumothorak
b. Pneumomediastium dan emfisema sub kutis
c. Atelektasis
d. Aspirasi
e. Kegagalan jantung/ gangguan irama jantung
f. Sumbatan saluran nafas yang meluas / gagal nafas Asidosis

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Wijaya & Putri (2014) yaitu :
1) Non farmakologi, tujuan dari terapi asma :
a. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah kekambuhan
c. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya
d. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan
exercise
e. Menghindari efek samping obat asma
f. Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel
2) Farmakologi, obat anti asma :
a. Bronchodilator
Adrenalin, epedrin, terbutallin, fenotirol
b. Antikolinergin
Iptropiem bromid (atrovont)
c. Kortikosteroid
Predrison, hidrokortison, orodexon.
d. Mukolitin
BPH, OBH, bisolvon, mucapoel dan banyak minum air putih.
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Wijaya dan Putri (2014) pengkajian yang digunakan pada pasien dengan
asma yaitu :

1) Identitas klien : Meliputi nama, Usia, Jenis Kelamin, ras, dll


2) Informasi dan diagnosa medik penting
3) Data riwayat kesehatan
Pernah menderita penyakit asma sebelumnya, menderita kelelahan yang
amat sangat dengan sianosis pada ujung jari.
4) Riwayat kesehatan sekarang
1. Biasanya klien sesak nafas, batuk-batuk, lesu tidak
bergairah, pucat tidak ada nafsu makan, sakit pada
dada dan pada jalan nafas.
2. Sesak setelah melakukan aktivitas
3. Sesak nafas karena perubahan udara dan debu
4. Batuk dan susah tidur karena nyeri dada.
5) Riwayat kesehatan keluarga
1. Riwayat keluarga yang memiliki asma
2. Riwayat keluarga yang menderita penyakit alergi
seperti rinitis alergi, sinustis, dermatitis, dan lain-
lain.
6) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : lemah.
b. Kesadaran : composmentis
c. Kepala : biasanya mesosepal, rambut hitam, bersih, biasanya adanya
nyeri kepala
d. Mata : anemis, ikterik tidak ada , reflek pupil terhadap
cahaya ada
e. Hidung : biasanya ada pernapasan Cuping hidung,tidak ada secret
dan epitaksis
f. mulut : mukosa kering
g. Telinga : biasanya tidak ada serumen, bentuk simetris
h. Leher :
Palpasi :biasanya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
i. Dada
1. Thorak
a) inspeksi : penggunaan otot bantu pernafasan, Pernafasan biasanya
cepat, fase ekspirasi biasanya memanjang, Nafas pendek, dada
rasa tertekan dan ketidakmampuan untuk bernafas
b) Palpasi : fremitus kiri dan kanan tidak sama
c) Perkusi : suara redup
d) Auskultasi : Bunyi nafas mengi sepanjang area paru
pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi
berlanjut sampai penurunan/ tidak adanya bunyi
nafas, terdengar wheezing dan orthopneu
2. Jantung
tidak ada masalah
j. Abdomen :
 Inspeksi :biasanya abdomen tampak rata, tidak ada pembesaran
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi :tiak ada pembesaran dan tidak ada nyeri tekan
 Perkusi :timpani
k. Genetalia :
 Inspeksi :biasanya tidak ada penyakit kelamin, tidak ada
hemoroid
 Palpasi :biasanya tidak ada pembesaran genetalia
i. Ekstremitas : terjadi kekakuan dan kelemahan karena
penyakitnya

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien asma menurut
SDKI (2017) dan Donsu, Induniasih, dan Purwanti (2015) yaitu :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis
e. intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen

3. Rencanaan Keperawatan
Rencanaan keperawatan merupakan rencana tindakan yang akan diberikan
kepada klien sesuai dengan kebutuhan berdasarkan diagnosa keperawatan yang
muncul. Rencana keperawatan berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI, 2018) dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI,2019)
dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Rencanaan Keperawatan

No Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Intervensi : Manajement jalan
tidak efektif tindakan nafas
berhubungan keperawatan 1. Observasi
dengan spasme jalan diharapkan klien a. Monitor bunyi nafas
nafas jalan nafas klien tambahan
tetap paten dengan b. Monitor sputum
kriteria hasil : 2. Terapeutik
1. Batuk efektif a. Posisikan semifowler
meningkat atau fowler
2. Produksi sputum b. Berikan minum
menurun hangat
3. Mengi menurun c. Berikan oksigen jika
4. Wheezing perlu
menurun 3. Edukasi
5. Gelisah menurun a. Ajarkan teknik
6. Frekuensi nafas batuk efektif
membaik 4. Kolaborasi
7. Pola nafas Kolaborasi
membaik pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik
Intervensi : Manajement Asma
1. Observasi
a. Monitor frekuensi
dan keadaan nafas
b. Monitor tanda dan gejala
hipoksia
c. Monitor bunyi nafas
tambahan
2. Terapeutik
a. Berikan posisi
semifowler 30-45o
3. Edukasi
a. Anjurkan
meminimalkan ansietas
yang dapat
meningkatkan
kebutuhan oksigen
b. Anjurkan bernafas
lambat dan dalam
a. Ajarkan
mengidentifik
asi dan
menghindari
pemicu
2
Gangguan Setelah diberikan Intervensi : Pemantauan
pertukaran gas tindakan respirasi
berhubungan keperawatan 1. Observasi
dengan diharapkan a. Monitor frekuensi,
ketidakseimban pernafasan pasien irama, kedalaman dan
gan ventilasi membaik, dengan upaya nafas
perfusi kriteria hasil : b. Monitor pola nafas
1. Tingkat c. Monitor kemampan
kesadaran pasien batuk efektif
meningkat d. Monitor adanya
2. Bunyi nafas produksi sputum
tambahan e. Monitor adanya
menurun sumbatan jalan nafas
3. Gelisah menurun f. Palpasi kesimetrisan
4. Nafas cuping ekspansi paru
hidung menurun g. Auskultasi bunyi
nafas
h. Monitor saturasi
oksigen
2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan
hasil pantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan
Intervensi : Dukungan
ventilasi
1. Observasi
a. Identifikasi adanya
kelelahan otot bantu
nafas
b. Monitorr status
respirasi dan
oksigenasi
2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan
jalan nafas
b. Berikan posisi
semifowler atau fowler
c. Berikan oksigenasi
sesuai kebutuhan
3. Edukasi
a. Ajarkan malakukan
teknik relaksasi nafas
dalam
b. Ajarkan teknik
batuk efektif
3 Defisit nutrisi
Setelah diberikan Manajement Nutrisi
berhubungan dengan
tindakan keperawatan
ketidakmampuan Observasi :
diharapkan status
menelan makanan
nutrisi membaik a. identifikasi status nutrisi
dengan kriteria hasil :
b. identifikasi alergi dan
1. porsi makan intoleransi makanan
dihabiskan
c. identifikasi makanan yang
2. kekuatan otot disukai
menelan meningkat
d. monitor aupan makan
3. berat baan membaik
e. monitor berat badan
4. nafsu makan
Terapeutik :
membaik\memban
mukosa membaik a. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
b. berikan makanan tinggi serat
c. berikan makanan tinggi alori
dan tinggi protein
d. berikan suplemen makan
Edukasi :
a. Anjurkan posisi duduk jika
mampu
4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan yang


dilakukan secara langsung kepada pasien. Kemampuan yang harus dimiliki perawat
pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan
untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu, kemampuan
tekhnik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan
memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan evaluasi. Tahap
pelaksanaan keperawatan meliputi: fase persiapan (preparation), tindakan dan
dokumentasi.
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Dion dan Betan (2013) evaluasi keperawatan adalah tahap akhir
dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan sistematis dan terencana
antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan keluarga. Evaluasi bertujuan untuk melihat kemampuan
keluarga dalam mencapai tujuan. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencanan keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif
ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni
Subjektif (data berupa keluhan klien), Objektif (data hasil pemeriksaan),
analisa data (perbandingan data dengan teori), dan planning ( perencanaan ).
a. Evaluasi Sumatif
Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua
aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah
melakukan wawancara pada akhir layanan, menanyakan respon pasien dan
keluarga terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir
pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Danokusumo, Halim. 2000 dalam Padila. 2015. Asuhan Keperawatan Penyakit
Dalam. Yogyarta: Nuha medika
Fajar, B dan Kristianawati. 2017. Pengaruh Latihan Relaksasi Progresif Untuk
Mencegah Kekambuhan Asma Bronkial. Indonesian Journal of Nurshing
Health Science. Diakses dari
https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/IJON/article/view/2309/1994 pada 24
Desember 2019
Global Initiatif for Asthma(GINA). 2017. Global strategy for asthma management
and Prevention

Halim Danukusantoso. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit
Hipokrates

Husna,C. 2014. Upaya Pencegahan Kekambuhan Asma Bronkial Ditinjau dari Teori
Health Belief Model di RSUDZA Banda Aceh. Idea Nursing Journal. Banda
Aceh: Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala. Diakses dari
http://jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/6608 pada Januari 2020

Katerine, Irvan M, Erlina R. 2014. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Asma


dengan Tingkat Kontrol Asma. Semarang: Jurnal Kesehatan Andalas. Volume
3, Nomor 1. Diakses dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/27/22 pada Mei 2020
National Center Health Statistic. 2016. Asthma. Diakses dari
http://www.cdc.gov/nchs/fastats/asthma.htm pada Desember 2019
Padila. 2015. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha medika

Puspita, RN. 2014. Hubungan Kecemasan Terhadap Tingkat Kontrol Asma Di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat (Bbkpm) Surakarta. Skripsi.
Surakarta : FK Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses dari chrome-
extension://oemmndcbldboiebfnladdacbdfmadadm/http://eprints.ums.ac.id/28
151/1 4/NASKAH_PUBLIKASI.pdf Pada Januari 2020

Rejeki, H dan Aktifah, N. 2016. Manajement Serangan Asma Dalam Perspektif


Pasien. Jurnal Publikasi Ilmiah. Pekalongan : STIKes Muhammadiyah
Pekajangan Pekalongan1.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2
018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf pada Desember 2019

Saheb, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV medika


Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
:Definisi dan Tindakan Keperawatan(Ist ed). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Wijaya AS, Putri YM. 2014. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
World Health Organization (WHO). 2016. Asthma Fact Sheets. Diiakses dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en/ pada 4 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai