Anda di halaman 1dari 39

PENERAPAN RESPIRATORY MUSCLE STRETCHING TERHADAP

SATURASI OKSIGEN PADA ASUHAN KEPERAWATAN


PASIEN ASMA BRONKHIAL DI RSUD POSO

PROPOSAL STUDI KASUS

OLEH :

MOH. ARIF SAHRANI HI.HARUN


NIM :P00220218002

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII
KEPERAWATAN POSO 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Asma bronkial adalah salah satunya penyakit radang pernafasan

kronis yang disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas saluran

pernafasan pada berbagai rangsangan (Ambarwati & Supriyanti, 2020).

Penyakit saluran napas obstruksi intermiten, reversibel, dan trakea serta

bronkus bereaksi berlebihan terhadap rangsangan tertentu. Asma

ditandai dengan gejala yang berulang seperti mengi, batuk, sesak napas,

dan perasaan berat (Smeltzer et al., 2008). Hal ini dikarenakan saluran

udara yang membawa oksigen ke paru-paru dan dada menjadi lebih

sempit, sehingga saturasi oksigen penderita asma berkurang

(Committee, 2015).

Kecepatan inspirasi dan ekspirasi pada pasien asma mengalami

penurunan yang menyebabkan berkurangnya kapasitas paru. Kapasitas

vital paru yaitu jumlah udara paling banyak yang masuk dan keluar dari

paru-paru dalam satu siklus pernapasan. Agar dapat meningkatkan

kapasitas vital paru bisa menggunakan latihan otot pernapasan (Yunani et

al., 2018). Para ahli terus melakukan penelitian terkait penyakit asma

untuk mengetahui penyebab pasti dari penyakit asma. Meskipun

penyebab pasti asma masih belum jelas, namun ada beberapa faktor

risiko umum yang dapat memicu asma kambuh, yaitu udara dingin,
debu, asap rokok, stres, infeksi, kelelahan, alergi obat, dan alergi

makanan (Riskesdas, 2013).

Menurut WHO pada tahun 2016 menyebutkan terdapat 383.000

kematian akibat asma pada tahun 2015 (InfoDATIN, 2019). Penyakit asma

di Indonesia pada tahun 2018 terdapat 19 provinsi yang melebihi angka

nasional yaitu DI Yogjakarta, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, NTB, Sulawesi Tengah,

Jawa Barat, Bangka Belitung, Kalsel, Gorontalo, Jakarta, Jawa Timur,

Banten, Sulsel, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara.

Menurut jenis kelamin pada tahun 2018 penyakit asma lebih banyak

diderita oleh perempuan dari pada laki-laki (Riskesdas, 2018).

Pada saat ini obat untuk pasien asma hanya mampu

menghilangkan gejalanya saja. Akibatnya, yang harus di kontrol penyakit

asmanya agar penderita asma dapat menjalani aktivitas sehari-hari tanpa

takut akan gejala yang timbul. Dengan berbagai macam faktor resiko,

sehingga sampai sekarang pengobatan asma di fokuskan untuk mengontrol

gejala. Melakukan kontrol gejala dengan baik dan benar di harapkan

mampu mecegah timbulnya gejala penyakit asma,fungsi paru yang normal,

dan meningkatkan aktivitas dan kualitas hidup pasien (InfoDATIN, 2014).

Masalah yang sering mucul pada penderita asma bronkial yaitu

kesulitan bernapas (sesak napas), dada terasa berat, suara napas

wheezing dan batuk, masalah ini sering terjadi terutama pada malam

hari (Laksana & Berawi, 2015). Pemantauan saturasi oksigen akan


memberikan gambaran status Hipoksia pada pasien asma. Menurunnya

saturasi oksigen memberikan contoh peningkatan kebutuhan oksigen

pada pasien asma (Kane et al., 2013). Mengontrol gejala asma bisa

menggunkan terapi farmakologi dan nonfarmakologi. mengontrol asma

bisa dengan cara menghindari penyebab munculnya gejala, seperti

menjaga pola hidup sehat dan mengurangi stress sehingga imun tubuh

meningkat. Selain itu, Untuk dapat mencegah dan mengurangi terjadinya

serangan asma secara lebih efektif dapat di lakukan suatu teknik yaitu

salah satunya latihan otot pernapasan.

Memberikan latihan otot pernapasan dapat mendukung

pemulihan penderita asma. Penangan asma tidak hanya di lakukan pada

saat kambuh saja,tetapi di lakukan juga sebagai terapi di kehidupan

sehari-hari karena latihan otot pernapasan dapat memperkuat

kemampuan otot pernapasan yang dapat meningkatkan toleransi dalam

beraktivitas dan juga dapat mengurangi sesak napas dengan peningkatan

pola pernapasan (Nakhaei & Ghannad, 2004). Dengan melakukan latihan

otot pernapasan bisa secara alami membuat otot tetap panjang dan juga

memperbaiki elastisitas jaringan tubuh. Latihan ini juga bertujuan untuk

mengurangi stress dan ketegangan otot. Selain itu,oksigenasi dapat

meningkat (Yunani et al., 2018).

Salah satu latihan yang dapat di berikan pada penderita asma

yaitu respiratory muscle stretching. Respiratory muscle stretching

adalah latihan untuk memelihara dan meningkatkan kelenturan otot


pernapasan (Senior, 2008 dalam Jamaluddin et al., 2018). Latihan

peregangan otot meningkatkan kelenturan otot dengan cara

mengembalikan otot-otot pada panjangnya yang alamiah dan dapat

memelihara fungsinya dengan baik serta memperbaiki elastisitas atau

fleksibilitas jaringan tubuh. Tujuan latihan peregangan otot pernafasan

yaitu untuk membantu mengurangi stres dan mengurangi ketegangan

otot. Selain itu peregangan otot membantu tubuh membuang racun-

racun dengan meningkatkan oksigenasi atau proses pertukaran oksigen

dan karbondioksida didalam sel serta menstimulasi aliran drainase

sistem getah bening. Latihan peregangan otot juga dapat memperbaiki

postur tubuh dan menghindari rasa sakit yang terjadi pada leher, bahu

serta punggung (Nurhadi, 2007 dalam Jamaluddin et al., 2018).

Penelitian yang di lakukan oleh yunani,dkk (2018) menyatakan

bahwa respiratory muscle stretching lebih efektif untuk memberikan

peningkatan pada kapasitas vital paru pada penderita asma. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh muhammad jamaluddin,dkk pada tahun

2018 menunjukkan bahwa ada pengaruh latihan peregangan otot

pernapasan pada pasien asma (Jamaluddin et al., 2018). Rumah Sakit

Umum Daerah Poso merupakan salah satu Rumah Sakit yang berada di

Kabupaten Poso,di Rumah Sakit ini penangan famakologis terhadap gejala

pasien asma menggunakan alat nebulizer dan oksigen. Berdasarkan uraian

di atas itulah yang menjadi alasan sehingga penulis tertarik untuk

melakukan studi kasus tentang Penerapan Respiratory Muscle Stretching


Terhadap Saturasi Oksigen Pada Asuhan Keperawatan Pasien Asma

Bronkhial di RSUD Poso.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam studi kasus ini adalah sebagai berikut

“Bagaimana Penerapan Respiratory Muscle Stretching Terhadap Saturasi

Oksigen Pada Asuhan Keperawatan Pasien Asma Bronkhial Di Rsud

Poso?”

C. Tujuan Peneliti

1. Tujuan Umum

Untuk Penerapan Respiratory Muscle Stretching Terhadap Saturasi

Oksigen Pada Asuhan Keperawatan Pasien Asma Bronkhial Di Rsud Poso.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan pengkajian keperawatan secara komprehensif pada

pasien dengan kasus Asma Bronkhial di RSUD Poso.

b. Dapat merumuskan diagnosa Keperawatan yang tepat pada pasien

dengan kasus Asma Bronkhial di RSUD Poso.

c. Dapat menentukan intervensi keperawatan yang tepat pada pasien

Asma Bronkhial di RSUD Poso.

d. Dapat melakukan implementasi keperawatan dengan penerapan

respiratory muscle stretching pada pasien Asma Bronkhial di RSUD

Poso.

e. Dapat melakukan evaluasi keperawatan respiratory muscle stretching

pada pasien dengan kasus Asma Bronkhial di RSUD Poso.


D. Manfaat Study Kasus

1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukkan dan evaluasi yang di perlukan dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan secara komprehensif khusunya tindakan

dalam memberikan terapi komplementer salah satunya adalah tindakan

respiratory mucle stretching terhadap perubahan saturasi oksigen pada

pasien asma bronkhial.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Di harapkan bagi institusi pendidikan dalam hal penelitian ini

dapat di jadikan sebagai bacaan dan dapat di aplikasikan dalam

intervensi oleh Mahasiswa Poltekkes Palu Keperawatan Khususnya

dalam Pemberian Asuhan Keperawatan, Dalam Hal ini Penerapan

Respiratory Muscle Stretching Terhadap Saturasi Oksigen Pada Asuhan

Keperawatan Pasien Asma Bronkhial.

3. Bagi Penulis

Di harapakan dengan di buatnya penelitian ini penulis

memperoleh pengetahuan dan mempraktikkan Asuhan Keperawatan

Penerapan Respiratory Muscle Stretching Terhadap Saturasi Oksigen

Pada Asuhan Keperawatan Pasien Asma Bronkhial.

4. Bagi Pasien

Di harapakan dengan Intervensi Penerapan Respiratory Muscle

Stretching Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Asma Bronkhial dapat


menurun, dan juga pasien dapat mempraktikan kembali secara mandiri

untuk mengelola jalan napas.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pernapasan

1. Konsep Anatomi Sistem Pernapasan

Sistem pernapasan termasuk hidung, rongga hidung dan

sinus, faring, laring (kotak suara), trakea (tenggorokan ), dan

saluran-saluran yang lebih kecil yang mengarah ke pertukaran

gas di permukaan paru-paru. Saluran pernapasan terdiri dari

saluran udara yang membawa udara dari dan ke permukaan

tersebut. Saluran pernapasan dapat dibagi menjadi bagian

konduksi dan bagian pernapasan. Bagian konduksi terdapat

dari jalan masuk udara dihidung ke rongga hidung ke

bronkiolus terkecil dari paru-paru. Bagian pernapasan

termasuk saluran bronkiolus pernapasan dan kantung udara

halus , atau alveoli ( al - VE ) di mana terjadi pertukaran gas.

Sistem pernapasan termasuk saluran pernapasan dan jaringan

terkait, organ dan struktur pendukung. Saluran-saluran kecil

ini menyesuaikan kondisi udara dengan menyaring,

pemanasan dan melembabkan itu sehingga melindungi bagian

konduksi yang peka dan melindungi pertukaran sistem

pernapasan bawah dari partikel-partikel patogen dan

lingkungan ekstrem (Martini, 2012).


Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernapasan (Tortora & D,

2009).

Nose

Nasal Cavity
Pharynx

Right Primary Oral Cavity


Bronchus Larynx

Lungs Trakhea

Bronkus merupakan percabangan trachea. Setiap bronkus

primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk membentuk bronki

sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin kecil.

Struktur mendasar dari paru-paru adalah percabangan

bronchial yang selanjutnya secara berurutan adalah

bronki,bronkiolus, bronkiolus terminalis, bronkiolus

respiratorik, duktus alveolar. dan alveoli. Dibagian bronkus

masih disebut pernafasan extrapulmonar dan sampai

memasuki paru-paru disebut intrapulmonary. Terakhir adalah

Paru-paru yang berada dalam rongga torak,yang terkandung

dalam susunan tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri dan

kanan mediastinum yaitu struktur blok padat yang berada

dibelakang tulang dada. Paru-paru berbentuk seperti spins dan

berisi udara dengan pembagian udara Antara Paru kanan, yang

memiliki tiga lobus Dan paru kiri dua lobus (Setiadi, 2007)
2. Fisiologi Sistem Pernapasan

Respirasi adalah suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan

oksigen (o2) dan o2 yang berada di luar tubuh dihirup

(inspirasi) melalui organ pernapasan. Sistem respirasi

berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru.

Udara masuk dan menetap dalam sistem pernapasan dan

masuk dalam pernapasan oto. Trakea dapat melakukan

penyaringan, penghangatan, dan melembapakan udara yang

masuk, melindungi permukaan organ yang lembut. Hantaran

tekanan menghasilkan udara ke paru melalui saluran

pernapasan atas. Tekanan ini berguna untuk

menyaring,mengatur udara, dan mengubah permukaan saluran

napas bawah. (Syaifuddin, 2012).

Proses pernapasan berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu :

a. Ventilasi paru, yang berarti pertukaran udara antara

atmosfer dan alveolus paru

b. Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan

darah

c. Pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah

dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh (Guyton

& Hall, 2014).

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya

selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus


akibat kerja mekanik otot-otot. Diantaranya itu perubahan

tekanan intrapulmonar, tekanan intrapleural, dan perubahan

volume paru (Guyton & Hall, 2014). Keluar masuknya udara

pernapasan terjadi melalui 2 proses mekanik, yaitu :

1) Inspirasi : proses aktif dengan kontraksi otot-otot inspirasi

untuk menaikkan volume intratoraks, paru-paru ditarik

dengan posisi yang lebih mengembang, tekanan dalam

saluran pernapasan menjadi negatif dan udara mengalir ke

dalam paru-paru.

2) Ekspirasi : proses pasif dimana elastisitas paru (elastic

recoil) menarik dada kembali ke posisi ekspirasi, tekanan

recoil paru-paru dan dinding dada seimbang, tekanan

dalam saluran pernapasan menjadi sedikit positif sehingga

udara mengalir keluar dari paru-paru, dalam hal ini otot-

otot pernapasan berperan (Sherwood, 2012).

B. Tinjauan Tentang Asma Bronkial

1. Pengertian Asma Bronkial

Asma adalah suatau keadan dimana saluran nafas mengalami

penyempitan karena hivesensivitas terhadap rangsangan tertenu,

yang menyebabkan peradanagan, penyempitan ini bersifat berulang

dan di antara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat

keadaan ventilasi yang lebih normal. Penderita Asma Bronkial,

hipersensensitif dan hiperaktif terhadap rangasangan dari luar,


seperti debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab

alergi. Gejala kemunculan sangat mendadak, sehingga gangguan

asma bisa dtang secara tiba-tiba jika tidak dapat mendapatkan

pertolongan secepatnya, resiko kematian bisa datang. Gangguan

asma bronkial juga bias muncul lantaran adanya radang yang

mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah.

Penyempitan ini akibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan,

pembengkakan selaput lender, dan pembentukan timbunan lendir

yang berlebihan (Somantri, 2012).

Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya

penyempitan bronkus yang berulang namun revesibel, dan diantara

episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi

yang lebih normal. Keadaan ini pada orang-orang yang rentang

terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan yang

menandakan suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas

(Somantri, 2012).

Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang

mempunyai ciri brokospasme periodik (kontraksi spasme pada

saluran napas) terutama pada percabangan trakeobronkial yang

dapat diakibatkan oleh berbagai stimul seperti oleh faktor

biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi (Somantri,

2012)
2. Etiologi Asma Bronkial

Menurut berbagai penelitian patologi dan etiologi asma belum

diketahui dengan pasti penyebababnya, akan tetapi hanya

menunjukan dasar gejala asma yaitu inflamasi dan respon saluran

nafas yang berlebihan ditandai dengan dengan adanya kalor (panas

karena vasodilatasi), tumor (esudasi plasma dan edema), dolor (rasa

sakit karena rangsagan sensori), dan function laesa fungsi yang

terganggu (Sudoyo, 2014).

Sebagai pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi

(infeksi virus RSV), iklim (perubahan mendadak suhu, tekanan

udara), inhalan (debu, kapuk, tunggau, sisa serangga mati, bulu

binatang, serbuk sari, bau asap, uap cat), makanan (putih telur, susu

sapi, kacang tanah, coklat, biji- bijian, tomat), obat (aspirin),

kegiatan fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa terbahak-bahak),

dan emosi (Sudoyo, 2014).

3. Gambaran Klinis Asma Bronkial

Gejala asma terdiri atas triad, yaitu dipsnea, batuk dan mengi.

Gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala

yang harus ada (sine qua non), data lain terlihat pada pemeriksaan

fisik (Nurarif & Kusuma, 2015).

4. Patofisiologi Asma Bronkial

Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang

dikendalikan oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi


antara antigen dengan molekul IgE dengan sel mast. Sebagian besar

allergen yang mencetus asma bersifat airborne dan agar dapat

menginduksi keadaan sensitivitas, allergen tersebut harus tersedia

dalam jumlah banyak untuk periode waktu terentu. Akan tetapi,

sekali sensitivitasi telah terjadi, klien akan memperlihatkan respon

yang sangan baik, sehingga sejumlah kecil allergen yang

mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang

jelas (Nurarif & Kusuma, 2015).

Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode

akut asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis,

beta- adrenergik, dan bahan sulfat. Sindrom pernafasan sensitif-

aspirin khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini

juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya

berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh

rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian

muncul asma progresif. Klien yang sensitive terhadap aspirin dapat

didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani

terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-

inflamasi non-steroid. Mekanisme yang menyebabkan

bronkospasme karena penggunaan aspirin dan obat lain tidak

diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pemebentukan

leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin (Somantri,

2012).
Pencetus-pencetus serangan diatas ditambah dengan pencetus

lainnya dari internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi

antigen dan antibody. Reaksi antigen antibody ini akan

mengeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan

mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan. Zat yang

dikeluarkan dapat berupa histamine, bradikinin, dan anafilaktoksin.

Hasil ini dari reaksi tersebut adalah timbulnya tiga gejala, yaitu

berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler, dan

peningkatan sekret mukus (Nurarif & Kusuma, 2015).


Asma Bronkial

Respiratory Muscle Stretching

Bertujuan untuk mengulur


(merengangkan/memanjangkan otot
inspirasi dan ekspirasi dada
(Fajriah,2014)

Saat inspirasi, muskulus diafragma Saat ekspirasi otot-otot (diafragma


rangsangan dari nervus frenikul dan menjadi cekung, muskulus
mengerut datar interkostalis miring)

Memperkuat daya Mengurangi kekakuan dinding dada,


tahan tubuh khususnya otot-otot pernapasan
dinding dada (Fajriah, 2014)

Meningkatkan Stres dan


toleransi aktivitas Fleksibilitas dan elastisitas otot
meningkat ketegangan otot
berkurang

Gangguan rasa
Peningkatan mobilitas dinding dada
nyaman teratasi
Ketidakefektifan
Meningkatkan ventilasi dan bersihan jalan
oksigenisasi napas teratasi

Sesak nafas berkurang

Ketidakefektifan pola napas


teratasi
Sumber: Fajriah, 2014

Gambar 2.5 Pathway Respiratory Muscle Stretching


5. Manifestasi Klinis Asma

Gejala dan keluhan yang paling sering dialami penderita asma

adalah batuk, pada penderita asma batuk sering terjadi pada malam

hari dan pagi dini hari sehingga menganggu tidur penderita. Bersin-

bersin (wheezing), sesak dada (chest tightness). Pernapasan pendek-

pendek (shortness of breath), penderita merasa sukar menghirup udara

atau tidak dapat bernapas dan napas cepat dan berbunyi (Soedarto,

2012).

Wheezing merupakan tanda yang tidak dapat dipercaya untuk

mengukur tingkat keparahan serangan. Beberapa pasien dengan

serangan ringan, wheezing terdengar keras sedangkan pada serangan

berat tidak ada tanda wheezing. Pasien dengan serangan asma yang

berat tidak terdengar adanya wheezing karena terjadinya penurunan

aliran udara. Bila wheezing terjadi, pasien dapat memindahkan cukup

udara untuk memproduksi suara. Wheezing biasanya terjadi pada saat

pertama ekhalasi. Pada peningkatan gejala asma, pasien dapat

mengalami wheezing selama inspirasi dan ekspirasi (Lewis, S., 2007).

Beratnya keluhan penderita bervariasi antara satu dengan yang

lainnya. Kadang-kadang gejala asma sangat ringan, tetapi ada

penderita yang gejala dan keluhannya berat sehingga dapat

membahayakan jiwa penderita. Frekuensi serangan asma dapat

berbeda, ada yang kambuh sekali setiap bulan, ada yang mengalami

serangan asma setiap hari (Soedarto, 2012).


Menurut Soedarto, (2012) tingkat beratnya asma, berdasarkan

beratnya gejala klinis, asma dapat dikelompokkan menjadi 4 tingkat:

a. Mild intermittent

Serangan asma terjadi kurang dari dua kali perminggu dan

serangan asma malam hari kurang dari dua kali per bulan. Diluar

serangan, penderita tidak mengeluh apapun dan uji fungsi paru

adalah normal

b. Mild persistent asthma

Asma terjadi lebih dari dua kali perminggu yang berlangsung

satu kali dalam satu hari. Serangan asma malam hari lebih dari dua

kali sebulan.

c. Moderate persistent asthma

Gejala klinis asma terjadi setiap hari, dan serangan malam hari

lebih dari satu kali seminggu.

d. Severe persistent asthma

Serangan asma terjadi setiap hari, terutama lebih sering terjadi

pada malam hari.

C. Tinjauan Tentang Respiratory Muscle Stretching

1. Pengertian

Respiratory Muscle Stretching (Peregangan Otot Pernafasan)

adalah suatu desain latihan yang bertujuan untuk mengulur

(meregang/memanjangkan) otot inspirasi dinding dada ketika inspirasi


dan otot ekspirasi dinding dada ketika ekspirasi. Latihan ini dirancang

untuk mengurangi kekakuan dinding dada, khususnya otot-otot

pernapasan dinding dada sehingga dapat meningkatkan kemampuan

mobilitas dinding dada. Selain itu, juga dapat mengurangi sesak

napas, menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) dan

hiperinflasi, dan meningkatkan VC (Vital Capacity) (Fajriah, 2014).

Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang

digunakan untuk menggambarkan suatu gerakan terapeutik yang

bertujuan untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang

memendek baik secara patologis maupun non patologis sehingga dapat

meningkatkan lingkup gerak sendi (Fajriah, 2014). Efek stretching

pada serabut otot yaitu mempengaruhi sarcomer yang merupakan unit

kontraksi dasar pada serabut otot. Pada saat terjadi suatu penguluran

maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu

pada kondisi normalnya.

Ketika penguluran terjadi akan menyebabkan serabut yang berada

pada posisi tidak teratur akan berubah posisnya sehingga menjadi lurus

sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan

pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut untuk kembali normal

(Fajriah, 2014). Dari pengertian diatas Respiratory Muscle Stretching

(Peregangan Otot Pernafasan) adalah latihan peregangan yang

digunakan untuk mengurangi kekakuan pada dinding dada pasien asma

yang tujuannya dapat meningkatkan kapasitas paru sehingga sesak


napas dapat berkurang.

2. Manfaat latihan Respiratory Muscle Stretching

Latihan ini, akan memperkuat daya tahan tubuh otot pernapasan

yang dapat meningkatkan toleransi aktivitas, dapat mengurangi

dyspnea dengan meningkatkan pola pernapasan, serta dapat

meningkatkan ventilasi dan oksigenisasi. Peregangan otot, dapat

memperluas dan mempertahankan fleksibilitas juga dapat mengurangi

stres dan ketegangan otot serta meningkatkan oksigenisasi yang akan

memberikan stimulai untuk sirkulasi limfatik (Yunani et al., 2018).

Menurut Yukez, (2011) stretching bertujuan untuk membuat otot

dan persendian menjadi fleksibel dan elastis. Hal ini merupakan latihan

peregangan (stretching), ketika diterapakan pada otot pernapasan yaitu

otot inspirasi (diafragma, skalenus, interkostalis parasternal, dan

interkostalis eksternus), otot bantu inspirasi (sternokleidomastoideus,

seratus anterior, pektoralis mayor, pektoralis minor, trapezius, dan

erector spine) dan otot ekspirasi (abdominal dan interkostalis

internus), maka dapat memberikan efek meningkatnya fleksibilitas dan

elastisitas dari otot tersebut, yang pada akhirnya akan menyebabkan

peningkatan mobilitas dinding dada.

3. Cara Melakukan Latihan Respiratory Muscle Stretching

Tindakan Respiratory Muscle Stretching diberikan meliputi

peregangan otot sternocleidomastoid, otot pectoralis mayor dan

trapezius, otot tricep brachi dan otot seratus anterior selama 10-15
menit dan masing-masing gerakan dilakukan sebanyak 2 x 10 kali

hitungan dan dilakukan pengukuran saturasi oksigen setelah latihan

peregangan otot pernafasan dengan pulse oximeter. Pemberian latihan

Respiratory Muscle Stretching ini, setelah pasien mendapatkan

tindakan medis (Yunani et al., 2018).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan latihan

Respiratory Muscle Stretching menurut Marteli, NP adult lung disease

site group:

a. Stretching the Muscles of the chest wall (melemaskan otot-otot

dinding dada)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada

cara ini yang pertama adalah mengangkat kedua tangan dari

samping keatas sambil menarik nafas melalui hidung, kemudian

menurunkan kedua tangan lagi sambil membuang udara melalui

mulut. Gerakan ini dilakukan 2-10 kali.

b. Opening the chest (membuka dada)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada

cara kedua ini, posisi kedua tangan direngangkan kebelakang

sambil menarik nafas melalui hidung kemudian mengerakan kedua

tangan kedepan sambil membuang udara melalui mulut. Gerakan

ini di lakukan 2-10 kali.

c. Sniffles (menghirup)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada


cara ketiga ini, pasien diminta mengirup udara melalui hidung

dengan gerakan agak cepat (seperti saat sesak nafas).

d. Elbow Circles (membuat lingkaran siku)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada

cara keempat ini, pasien membuat kedua tangan diletakkan

dipundak kemudian menggerakkan tangan kedepan membuat

lingkaran siku sambil menarik nafas melalui hidung dan

membuang udara melalui mulut.

e. The Shoulder Shrug (pundak mengangkat bahu)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada

cara kelima ini, pasien mengangkat bahu sambil menarik nafas

melalui hidung kemudian menurunkan bahu sambil membuang

udara melalui mulut.

f. The Chest Fly or Chicken Wing (membuat seperti dada tebang atau

sayap ayam)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada

cara keenam ini, kedua tangan diangkat kebelakang kepala seperti

membentuk sayap ayam kemudian menggerakan tangan tersebut

kedepan sambil menarik nafas melalui hidung dan menggerakan

tangan tersebut kebelakang sambil membuang udara melalui mulut.

g. Stirring the Pot (gerakan mengaduk panci)

Pasien dalam keadaan duduk 90º dengan keadaan rileks. Pada


cara terakhir ini, kedua tangan disatukan seperti melakukan

gerakan seperti sedang mengaduk panci sambil menarik nafas

melalui hidung dan membuang udara melalui mulut.

4. Indikasi dan Kontraindikasi Latihan Respiratory Muscle Stretching

Dalam melakukan latihan Respiratory Muscle Stretching adapun

hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian latihan ini, yaitu:

a. Indikasi dalam pemberian latihan Respiratory Muscle Stretching

adalah pasien dengan diagnosa asma bronkial, usia mulai dari 20-

60 tahun, hemodinamik stabil (tekanan sistolik 90-130 mmHg),

denyut nadi 60-100x/menit, RR 20-24 x/menit.

b. Kontraindikasi dalam pemberian latihan Respiratory Muscle

Stretching adalah Pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung.

D. Tinjauan Tentang Saturasi Oksigen

1. Pengertian Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan

dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95-

100 %. Dalam kedokteran, oksigen saturasi (SO2), sering disebut

sebagai "SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh

hemoglobin di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang

rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah

proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh

(Hidayat, 2007).

Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis)


saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin-

oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen >10 kPa.

Saturasi oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari

jumlah oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu. Hal ini

dapat diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau

optode dalam media cair.

2. Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa

tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif

untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang

kecil atau mendadak (Tarwoto, 2006). Menurut Tarwoto, (2006)

adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain:

a. Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan

keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia).

Hipoksemia karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis.

Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non invasif secara

kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Meski

oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri,

oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk

memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil

dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam banyak

lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan

umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan


pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.

b. Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak

mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2

dibawah 60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam

kekurangan oksigen, dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini

sering digunakan pengobatan dengan mesin jantung-paru

(Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran

tentang berapa banyak aliran darah pasien yang diperlukan agar

tetap sehat.

c. Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi

inframerah dekat. Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran

tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.

d. Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat

kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa.

Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan

menggunakan oksimetri nadi yang secara luas dinilai sebagai salah

satu kemajuan terbesar dalam pemantauan klinis (Guiliano &

Higgins, 2005). Alat ini merupakan metode langsung yang dapat

dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non invasif

untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005).

3. Faktor yang mempengaruhi bacaan saturasi

Kozier, (2010) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi


bacaan saturasi:

a. Hemoglobin (Hb)

Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai Hb rendah

maka akan menunjukkan nilai normalnya. Misalnya pada klien

dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas normal.

b. Sirkulasi

Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika area

yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.

c. Aktivitas

Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor

dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.

4. Penelitian Terkait

a. Yunani et al., (2018) yang berjudul “Respiratory Muscle

Stretching Toward Pulmonary Vital Capacity for Asthma Patient”,

penelitian ini bertujuan unutk mengetahui pengaruh peregangan

otot pernapasan terhadap kapasitas vital paru pasien asma.

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan quasy

eksperimen menggunakan rancangan pretest posttest. Sampel

penelitian ini adalah pasien asma yang memenuhi kriteria inklusi,

dan didapatkan hasil bahwa respiratory muscles stretching lebih

efektif meningkatkan kapasitas vital paru daripada upaya

pernafasan bibir untuk pasien asma.

b. Penelitian lainnya oleh Enrique & Irene, (2018) yang berjudul


“Effects of manual therapy on the diaphragm in asthmatic

patients”. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek terapi

manual pada diafragma pada penderita asma alergi dan non-alergi

pasien mengenai tekanan pernapasan dan mobilitas dada

E. Tinjauan Tentang Asuhan Keperawatan Asma Bronkial

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) meliputi :

1. Pengkajian

a. Biodata

Asma dapat meyerang segala usia tetapi lebih sering dijumpai

pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum 10 tahun dan

sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.

Predisposisi laki-laki dan perempuan diusia sebesar 2 : 1 yang

kemudian sama pada usia 30 tahun.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma bal

adalah dispnea (sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan),

batuk, dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak

paroksimal).

2) Riwayat kesehatan dahulu

Terdapat data yang menyatakan adanya factor predisposisi

timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan


riwayat penyakit saluran nafas bagian bawah (rhinitis,

urtikaria, dan eskrim).

3) Riwayat kesehatan keluarga

Klien dengan asma bronkial sering kali didapatkan adanya

riwayat penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya

tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota

keluarganya.

c. Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi

a) Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien

pada posisi duduk.

b) Dada diobservasi dengan membandikan satu sisi

dengan yang lainnya.

c) Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah.

d) Ispeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan

kondisinya, skar, lesi, massa, dan gangguan tulang

belakang, sperti kifosis, skoliosis, dan lordosis.

e) Catat jumlah,irama, kedalaman pernapasan, dan

kemestrian pergerakakan dada.

f) Observasi tipe pernapsan, seperti pernapasan hidung

pernapasan diafragma, dan penggunaan otot bantu

pernapasan.

g) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase


inspirasi dan fase eksipirasi (E). Rasio pada fase ini

normalnya 1 : 2. Fase ekspirasi yang memanjang

menunjukan adanya obstruksi pada jalan napas dan

sering ditemukan pada klien Chronic Airflow Limitation

(CAL) / Chornic obstructive Pulmonary Diseases

(COPD)

h) Kelainan pada bentuk dada.

i) Observasi kesemetrian pergerakan dada. Gangguan

pergerakan atau tidak adekuatnya ekspansi dada

mengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.

j) Observasi trakea obnormal ruang interkostal selama

inspirasi, yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan

nafas.

2) Palpasi

a) Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan

dada dan mengobservasi abnormalitas,

mengidentifikasikan keaadaan kulit, dan mengetahui

vocal/tactile premitus (vibrasi).

b) Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang

terkaji saat inspeksi seperti : mata, lesi, bengkak.

c) Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang

dihasilkan ketika berbicara

3) Perkusi
Suara perkusi normal :

a) Resonan (Sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan

pada jaringan paru normal.

b) Dullness : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan

diatas bagian jantung, mamae, dan hati.

c) Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas

perut yang berisi udara.

d) Suara perkusi abnormal :Hiperrsonan (hipersonor) :

berngaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan

dan timbul pada bagian paru yang berisi darah.

a) Flatness : sangat dullness. Oleh karena itu, nadanya

lebih tinggi. Dapat didengar pada perkusi daerah hati, di

mana areanya seluruhnya berisi jaringan.

4) Auskultasi

a) Merupakan pengkajian yang sangat bermakna,

mencakup mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi

nafas tambahan (abnormal), dan suara.

b) Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara

ketika melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan

sifat bersih.

c) Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan

vesikular.

d) Suara nafas tambahan meliputi wheezing, , pleural


friction rub, dan crackles.

2. Diagnosa Keperawatan Asma Bronkial Menurut (Nurarif & Kusuma,

2015), meliputi :

No Diagnosa Definisi Penyebab


1. Pola Napas Tidak Inspirasi 1. Depresi pusat
Efektif dan/ atau pernapasan
ekspirasi 2. Hambatan
yang tidak upaya napas
memberika 3. Deformitas
n ventilasi dinding dada
adekuat 4. Deformitas
tulang dada
5. Gangguan
neuromuskular
6. Gangguan
neurologi
7. Imaturitas
neurologi
8. Penurunan
energi
9. Obesitas
10.Posisi tubuh
yang
menghambat
ekspansi paru
11.Syndrom
hiperventilasi
12.Kerusakan
inervasi
diafragma
13.Cedera pada
medula spinalis
14.Efek agen
farmakologis
15.kecemasan

3. Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh

perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk


mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP

PPNI, 2018).

No Diagnosa Hasil Intervensi


1. Pola Napas Tidak Pola Napas: Manajemen jalan
Efektif 1. Dispnea cukup napas:
menurun 1. Monitor pola
2. Pernapasan napas
cuping hidup 2. Monitor
cukup menurun bunyi napas
3. Frekuensi 3. Monitor
napas cukup sputum
membaik 4. Posisikan
4. Penggunaan semi fowler
otot bantu atau fowler
napas cukup 5. Berikan
menurun oksigen, jika
perlu
6. Anjurkan
asupan cairan
2000 ml/hari
7. Ajarkan
teknik
Respiratory
Muscle
Stretching
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode yang di gunakan peneliti dalam penulisan karya tulis ini adalah

penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus (Case study), adalah studi

untuk mengeksplorasi tindakan keperawatan, yaitu Penerapan Respiratory

Muscle Stretching Terhadap Saturasi Oksigen Pada Asuhan Keperawatan

Pasien Asma Bronkhial Di RSUD Poso.

B. Lokasi dan waktu penelitian

Penerapan dari tindakkan ini akan dilaksanakan di RSUD Poso,

dimulai saat pasien masuk rumah sakit sampai sebelum pasien pulang.

Penelitian ini dilakukan Pada bulan Januari-April tahun 2021.

C. Subyek Studi Kasus

Subyek penelitian dalam studi kasus ini adalah satu orang pasien

Asma Bronkhial yang mengalami saturasi oksigen.

D. Fokus Studi

Fokus tindakan dan penelitian ini adalah Penerapan Respiratory

Muscle Stretching Terhadap Saturasi Oksigen Pada Asuhan Keperawatan

Pasien Asma Bronkhial Di RSUD Poso.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah memuat definisi penelitian agar mudah

diukur.
1. Asma Bronkhial

Asma bronkhial merupakan penyakit kronis yang di akibatkan

adanya inflamasi pada saluran pernapasan sehingga sangat sensitif

terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi berlebihan.

2. Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen merupakan presentasi hemoglobin yang beikatan

dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95-

100% yang di ukur menggunakan oksimetri nadi.

3. Respiratory Muscle Stretching

Respiratory Muscle Stretching merupakan suatu latihan yang

bertujuan untuk meregangkan otot dinding dada saat inspirasi dan

ekspirasi.

F. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan 3 cara :

a. Metode Wawancara

Data yang didapatkan dalam Metode wawancara yaitu dengan

hasil anamnesis tentang identitas pasien, keluhan utama, riwayat

keluhan utama, riwayat keluhan sekarang, dahulu, keluarga.

Wawancara dilakukan pada pasien, keluarga atau perawat.

b. Metode Observasi

Metode observasi yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh

melalui pemeriksaan fisik pada pasien yaitu dengan inspeksi, palpasi,

perkusi, dan auskultasi pada sistem tubuh.


c. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan pengambilan data melalui Dinas Kesehatan, dan RSUD Poso

(rekam medik, status pasien, dan dari hasil pemeriksaan Laboratorium

dan Radiologi).

G. Etika penelitian

Dalam menyelesaikan studi kasus ini, peneliti harus menerapkan etika

penelitian dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Prinsip otonomi (autonomy)

Prinsip autonomy adalah menghargai harkat dan martabat manusia

dengan memberikan kebebasan pada partisipan untuk membuat keputusan

atas dirinya sendiri secara sadar, bebas dari paksaan untuk partisipasi

dalam penelitian. Bentuk tindakan yang terkait dengan ini diberikan

informed consent.

2. Prinsip benefience dan malefeicience

Prinsip ini bertujuan untuk mencegah kerugian, ketidaknyamanan, dan

menjaga data kerahasiaan partisipan.

3. Prinsip keadilan

Responden berhak bahwa semua data yang diberikan selama penelitian

disimpan dan dijaga kerahasiaannya. Peneliti telah merahasiakan data

klien dengan cara memberikan inisial sebagai pengganti nama klien yang

berarti bahwa indetitas responden klien hanya diketahui oleh peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, P., & Supriyanti, E. (2020). Relaksasi Otot Progresif Untuk


Menurunkan Kecemasan Pada Pasien Asma Bronchial. Jurnal Manajemen
Asuhan Keperawatan, 4(1), 27–34. https://doi.org/10.33655/mak.v4i1.79

Astowo, P. (2005). Terapi Oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi


dan Kedokteran Respirasi. FKUI.

Committee, N. C. E. (2015). Management of an Acute Asthma Attack in Adults


(aged 16 years and older) National Clinical Guideline.

Enrique, & Irene. (2018). Effects Of Manual Therapy On The Diaphragm In


Asthmatic Patients: A Randomized Pilot Study. In School Of Health
Sciences University Of Granada. Department Of Physical Therapy.

Fajriah. (2014). Pengaruh Respiratory Muscle Stretch Gymnastics (RMSG)


Terhadap Peningkatan Mobilitas Dinding Dada Pada Penderita Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

Guiliano & Higgins. (2005). New Generation Pulse Oximetry In The Care Of
Critically ill Patients. NCBI.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (12th ed.).
EGC.

Hidayat, A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Manusia Ed.2. Salemba Medika.

InfoDATIN. (2014). InfoDATIN.

InfoDATIN. (2019). InfoDATIN.

Jamaluddin, M., Yunani, & Widiyaningsih. (2018). Latihan Peregangan Otot


Pernafasan Untuk Meningkatkan Status Respirasi Pasien Asma. Prosiding
Seminar Nasional Unimus, 1, 123–128.

Kane, B., Decalmer, S., & O’Driscoll, B. R. (2013). Emergency oxygen therapy:
From guideline to implementation. Breathe, 9(4), 247–254.
https://doi.org/10.1183/20734735.025212

Kozier, B. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses dan


Praktik Ed.VII Vol.I. EGC.

Laksana, M. A., & Berawi, K. N. (2015). Faktor – Faktor yang Berpengaruh pada
Timbulnya Kejadian Sesak Napas Penderita Asma Bronkial. Majority, 4(9),
64–68.
Lewis, S., et al. (2007). Megical Surgical Nursing: Assesment and Management
Of Clinical Problems Vol.2. Mosby Elsevier.

Martini, F. (2012). Fundamentals of Anatomy & Physiology (9 ed.). Pearson


Education.

Nakhaei, M., & Ghannad, M. A. (2004). Effect of Soil-Structure Interaction on


Energy Dissipation of Buildings. ICEBAM International Conference on
Earthquake Engineering, A Memorial of Bam Disaster.

Nurarif, A. ., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. MediAction.

Riskesdas. (2013). Penyajian Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar.

Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). In


Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical (Vol. 44, Issue 8).
https://doi.org/10.1088/1751-8113/44/8/085201

Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia dari sel ke sistem (6th ed.). EGC.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H., Townsend, M. C., &
Gould, B. (2008). Brunner and Suddarth’s textbook of medicalsurgical
nursing 10th edition.

Soedarto. (2012). Buku Alergi dan Penyakit Sistem Imun. CV Sagung Seto.

Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan (2nd ed.). Salemba Medika.

Sudoyo, A. W. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Jilid I Ed). Interna
Publishing.

Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisiologi Kurikulim Berbasis Kompetensi untuk


Keperawatan dan Kebidanan Edisi 4 (4th ed.). EGC.

Tarwoto, W. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Ed.3.


Salemba Medika.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(I).

Tortora, G. J., & D, B. (2009). Principles of Anatomy and Physiology. Aptara


Corporation.

Yukez. (2011). Peregangan (STRETCHING).


Yunani, Widiati, A., & Jamaluddin, M. (2018). Terapi Peregangan Otot
Pernafasan Untuk Kapasitas Vital Paru Pasien Asma. URECOL, 62–67.

Anda mungkin juga menyukai