Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKIAL

DI RUANG ANAK RSUD Dr. H. MOCH ANSARI SALEH


BANJARMASIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Anak


Program Studi Profesi Ners

Disusun Oleh:
Muji Palhadad, S. Kep
11194692010076

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : Laporan Pendahuluan Asma Bronkial


NAMA MAHASISWA : Muji Palhadad, S. Kep
NIM : 11194692010076

Banjarmasin, Juli 2021

Menyetujui,

RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Program Studi Profesi Ners


Banjarmasin Fakultas Kesehatan
Preseptor Klinik (PK) Universitas Sari Mulia
Preseptor Akademik (PA)
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : Laporan Pendahuluan Asma Bronkial


NAMA MAHASISWA : Muji Palhadad, S.Kep
NIM : 11194692010076

Banjarmasin, Juli 2021

Menyetujui,

RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh Program Studi Profesi Ners


Banjarmasin Fakultas Kesehatan
Preseptor Klinik (PK) Universitas Sari Mulia
Preseptor Akademik (PA)

Mengetahui,
Ketua Jurusan Program Studi Profesi Ners

Mohammad Basit, S.Kep., Ns., MM


NIK. 11661020122053
LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKIAL

A. Anatomi & Fisiologi

Gambar A. Anatomi Paru-paru

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk


pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal
kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis
yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel
dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya (Muttaqin & Kumala,
2011).
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura
obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak
ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan
lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari
lobus atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru
yang diselubungi oleh kantung pleura yang longgar (Nursalam, 2016).
Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang
membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan luar
paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik dan
mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat cairan
yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura. Cairan pleura
tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru di dalam rongga
(Ngastiyah, 2014).
Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri
bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis,
yang juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena
azigos dan vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari
cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi
mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena
pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung
(Muttaqin & Kumala, 2011).
Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok
kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju trunkus
limfatikus mediastinal, paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak
di pangkal paru. Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus
simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari
pleksus mensarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari
membran mukosa bronkioli dan alveoli (Muttaqin & Kumala, 2011).
1. Saluran Pernapasan
Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,
laring, trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua
bagian, yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah.9
Setelah melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan
dihangatkan dan dilembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan
menuruni trakea, melalui bronkiolus, bronkiolus respiratorius, dan duktus
alveolaris sampai alveolus.9
2. Otot Pernapasan
Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks sebesar
75% selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian
dasar rongga toraks, yang membentuk kubah diatas hepar dan bergerak
ke arah bawah seperti piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan
diafragma berkisar antara 1,5 cm sampai 7 cm saat inspirasi dalam.
B. Konsep Penyakit
1. Definisi
Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan
yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Asma berasal dari kata
“Asthma” diambil dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas”.
Proses inflamasi kronik yang terjadi pada asma menyebabkan saluran
napas menjadi hiperresponsif, sehingga memudahkan terjadinya
bronkokontriksi, edema dan hipersekresi kelenjar sehingga menghambat
aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinis yang
bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk–
batuk terutama pada malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini
berhubungan dengan luasnya inflamasi yang derajatnya bervariasi dan
bersifat reversible secara spontan maupun dengan atau tanpa
pengobatan (Yuliasari & Aila, 2020).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon
trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan
(Muttaqin, 2018). Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif
terhadap rangsangan dari luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap,
dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat
mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika
tidak mendapatkan pertolongan secepatnya, resiko kematian bisa
datang. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya
radang yang mengakibatkan penyempitan saluran pernafasan bagian
bawah. Penyempitan ini akibat berkerutnya otot polos saluran
pernafasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan
lendir yang berlebih. (Nurarif & Kusuma, 2015).
2. Etiologi
Etiologi Asma Bronkhial menurut Nurarif & Kusuma (2016) adalah
sebagai pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (infeksi virus,
RSV), iklim (perubahan mendadak suhu, tekanan udara), inhalan (debu,
kapuk, sisa-sisa seranga mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap, uap
cat), makanan, obat (aspirin), kegiatan fisik (olahraga berat, kecapaian,
tertawa terbahak-bahak), dan emosi. Etiologi Asma Bronkial menurut
Muttaqin (2018) adalah sebagai berikut
a. Alergen
Alergen adalah zat-zat yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah, spora jamur,
bulu kucing, beberapa makanan laut, dan sebagainya.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus
influenza merupakan salah satu aktor pencetus yang paling sering
menimbulkan asma bronkial. Diperkirakan dua pertiga penderita
asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran
pernapasan.
c. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma, karena
banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi
penderita asma bronkial, beberapa faktor ini mencetuskan serangan
asma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini
lebih menonjol pada wanita dan anak.
d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagai penderita asma bronkial akan mendapatkan serangan
asma yang bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang
berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah dua jenis kegiatan
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena kegiatan jasmani tejadi setelah olahraga atau aktivitas fisik
yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah
olahraga.
e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronkial sensitif terhadap obat
tertentu seperti penisilin, salsilat, beta bloker, kodein, dan
sebagainya.
f. Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik,
kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran
dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam
g. Cuaca
Saat cuaca lebih dingin tubuh akan bereaksi memproduksi senyawa
histamin sehingga terjadi reaksi alergi yang dapat menyebabkan
asma
h. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang
menyumbang 2-5 % klien dengan asma bronkial.
3. Manifestasi Klinis
a. Terdengar bunyi nafas wheezing/mengi terutama saat
mengeluarkan nafas (exhalation). (Tidak semua penderita asma
memiliki pernafasan yang berbunyi, dan tidak semua orang yang
nafasnya terdegar wheezing adalah penderita asma).
b. Sesak nafas sebagai akibat penyempitan saluran bronki
(bronchiale).
c. Batuk kronik (terutama di malam hari atau cuaca dingin). Adanya
keluhan penderita yang merasakan dada sempit.
d. Serangan asma yang hebat, penderita tidak dapat berbicara karena
kesulitannya dalam mengatur pernafasan.
e. Pada anak-anak, gejala awal dapat berupa rasa gatal dirongga
dada atau leher. Selama serangan asma, rasa cemas (sering
menangis) yang berlebihan, sehingga penderita dapat
memperburuk keadaanya.
f. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan
mengeluarkan banyak keringat
g.
4. Klasifikasi Asma Bronkial
Menurut Muttaqin & Kumala (2011).secara etiologis asma bronkial
dibagi dalam 3 tipe:
a. Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan
paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah:
serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang
menderita asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan,
ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik, rangsangan
psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi asma,
perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik
merupakan keadaan peka bagi penderita.
b. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik).
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan
terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya
dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe
ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada famili ada
yang menderita asma, adanya eksim pada waktu bayi, sering
menderita rinitis. Di Inggris jelas penyebabya House Dust Mite, di
USA tepungsari bunga rumput.
c. Asma bronkial campuran (Mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor
intrinsik maupun ekstrinsik.

5. Patofisiologi dan Pathway


Patofisiologi asma tampaknya melibatkan hiper-responsivitas
pada jalan napas setelah terpajan satu atau lebih rangsangan iritan.
Stimulan yang diketahui memicu reaksi asmatik antara lain infeksi virus,
respon alergik terhadap debu, serbuk sari, tungau, atau bulu binatang,
latihan fisik, pajanan dingin, dan refluks saluran cerna. Karena jalan
napas yang rentan dan hiper-responsif, reaksi dan bronkokonstriksi,
keduanya dapat terjadi bersamaan. Meskipun bronkokonstriksi dan
perasaan saluran nafas menyempit merupakan gejala pertama dari
serangan asmatik, reaksi inflamasi yang lambat dapat memburuk asma
menjadi penyakit yang serius (Corwin, 2019).
Mediator inflamasi utama pada reaksi asmatik adalah eosinofil,
salah satu jenis sel darah putih. Eosinofil terkonsentrasi di satu area dan
melepaskan zat kimia yang menstimulasi degranulasi sel mast. Eosinofil
juga menarik jenis sel darah putih lainnya, termasuk basofil dan
neutrofil, menstimulasi produksi mukus, dan meningkatkan
pembengkakan serta edema jaringan. Respon inflamasi diawali oleh
stimulus, tetapi mungkin memerlukan waktu paling lama 12 jam untuk
memperlihatkan gejala (Corwin, 2019).
Asma yang lebih akut adalah efek dari histamin kimiawi pada otot
polos bronkus. Histamin dilepaskan bersamaan dengan IgE yang
memediasi degranulasi sel-mast dan dengan cepat menyebabkan
konstriksi dan spasme otot polos bronkiolus. Histamin juga menstimulasi
produksi mukus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, selanjutnya
menyebabkan kongesti dan pembengkakan ruang intertisial paru
(Corwin, 2019).
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara
fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak
bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada
volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini
diperlukan otot-otot bantu nafas. Penyempitan saluran napas dapat
terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil.
Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas yang
besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan
sesak lebih dominan dibanding mengi. (Sudoyo, 2020).
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh
bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi,
sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami
hipoksia. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan
hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi (Sudoyo, 2020).
Dengan demikian adanya penyempitan jalan napas pada asma
dapat memunculkan masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif, pola napas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, dan
intoleransi aktivitas.
Faktor Ekstrinsik Faktor Intrinsik
 Polen (tepung sari) Latihan fisik
 Iritan
 Bulu binatang
 Stress emosi
 Debu rumah / kapang Peningkatan metabolisme
 Kelelahan
 Bantal kapuk atau bulu  Perubahan endokrin
 Zat adiktif pangan mengandung sulfit  Perubahan suhu Peningkatan kebutuhan oksigen
 Zat lain yang menimbulkan  Perubahan kelembaban
sensitisasi  Faktor genetik
 Pajanan asap berbahaya Peningkatan keluar masuk udara ke
paru-paru dalam jumlah besar dan cepat
Hipersensitivitas

Stimulasi IgE Udara belum mendapat


Merangsang eosinophil
pelembapan, penghangatan
terkonsentrasi pada
dan pembersihan yang
area yang terpajan Degranulasi adekuat dari partikel debu
antigen (pemecahan) Sel Mast

Kemotaksis basofil dan Melepaskan Melepaskan


netrofil histamin leukorein

Histamine berikatan Leukotrein Leukotrein berikatan


Stimulasi sel goblet dengan reseptor
bronkus besar menyebabkan dengan reseptor
prostaglandin bronkus kecil
Mukosa Meningkatkan bermigrasi dari aliran
meningkatkan permeabilitas darah ke paru-paru
sekresi mucus kaplier
berlebihan yang Meningkatkan kerja
sangat lengket histamin
Pembengkakan
otot polos
Sekret tidak bisa Pembengkakan lokak
keluar Inflamasi otot polos
membrane
mukosa
BERSIHAN JALAN
NAPAS TIDAK EFEKTIF Penyempitan GANGGUAN
Gelisah
RASA NYAMAN
lumen/obstruksi lumen
Bernapas menjadi
Perubahan status terganggu
ASMA
kesehatan
Tekanan gas
Inspirasi / ekspirasi Pneumothoraks
ANSIETAS Krisis situasional intrapleural dan
memanjang alveolar semakin
Akses informasi rendah meningkat Penurunan
Inspirasi / ekspirasi
Ventilasi
Kurang terpapar informasi memanjang
Hipoksia
Obstruksi tidak
DEFISIT Lumen tertekan dan
Penurunan teratasi
PENGETAHUAN semakin sempit
perfusi alveoli
Ekspirasi terhalang paru Alveoli semakin
GANGGUAN banyak yang
Pola Napas Udara terperangkap
PERTUKARAN tersumbat
tidak Teratur dalam rongga paru
GAS Ventilasi
Dada penderita
tidak adekuat
POLA NAPAS mengembang
TIDAK EFEKTIF menyerupai tong
(Barrel Chest) GANGGUAN
VENTILASI
Sumber : (Perdani, 2019) SPONTAN
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Sudoyo (2020) :
a. Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan
diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler dan nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP 1 sebanyak ≥ 12 %
atau (≥ 200 ml) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang
kurang dari ≥ 12 % atau (≥ 200 ml) tidak berarti bukan asma.
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan
diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek
pengobatan. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini
mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan
bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi
penyakit paru obstruktif kronik.
b. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi dilakukan beberapa cara seperti uji provokasi dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam
hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. VEP 1 sebesar 20 %
atau lebih dianggap bermakna. Dianggap bermakna bila APE paling
sedikit 10 %. Akan halnya uji provokasi pada pasien alergi terhadap
alergen yang di uji.
c. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan
neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik.
d. Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien
asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan antar asma
dan bronchitis kronik. Pemeriksaan ini dapat juga dipakai sebagai
patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid
yang dibutuhkan pasien asma.
e. Uji kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk membedakan adanya antibodi IgE
spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis karena
uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma,
demikian pula sebaliknya.
f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya
atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji
kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g. Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses
patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumodiastinum, atelektasis, dan lain-lain.
h. Analisa gas darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase
awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2, 35
mmHg) kemudian pada stasium yang lebih berat PaCO2 justru
mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma
yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg),
hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis (Muttaqin & Kumala, 2015).
1) Golongan adrenergik
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu selama 15
menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc jika belum reda,
dapat diulang sekali lagi 15 menit kemudian. Untuk anak-anak
diberikan dosis lebih kecil 0,1 – 0,2 cc.
2) Golongan methylxanthine
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg. Diberikan
secara intravena, pelan-pelan 5 – 10 menit, diberikan 5 – 10 cc.
Aminophilin dapat diberikan apabila sesudah 2 jam dengan
pemberian adrenalin tidak memberi hasil.
3) Golongan antikolinergik
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik adalah
menghambat enzym Guanylcyclase.
4) Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan
pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju.
5) Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta
Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunayi efek
bronkodilator.
6) Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali:
sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder.
7) Ekspektoransia.
Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran napas.
Beberapa ekspektoran adalah: air minum biasa (pengencer
sekret), Glyceril guaiacolat (ekspektorans).
b. Penatalaksanaan keperawatan di rumah
Menurut mutaqqin, (2018) jika pasien tidak mendapat serangan
asma maka perawatan dirumah ditujukan untuk mencegah
timmbulnya serangan asma dengan memberikan pendidikan
kesehatan pada keluarga pasien. Mencegah serangan asma
dengan menghilangkan faktor pencetus timmbulnya serangan.
Pendidikan kesehatan yang diberikan tersebut antara lain :
1) Menghilangkan faktor pencetus misalnya debu rumah, bau-bau
yang merangsang, hawa dingin dan lainnya
2) Keluarga harus mengenali tanda-tanda akan terjadi serangan
asma
3) Cara memberikan obat bronkodilator sebagai pencegahan bila
dirasakan anak akan mengalami serangan asma serta wajib
mengetahui obat mana yang lebih efektif bila anak mendapat
serangan asma
4) Menjaga kesehatan anak dengan memberi makanan yang
cukup bergizi tetapi menghindari makanan yang mengandung
cukup alergen bagi anaknya.
5) Kapan anak harus dibawa untuk konsultasi. Persediaan obat
tidak boleh sammpai habis. Lebih baik jika obat tinggal 1 – 2
kali pemakaian anak sudah dibawa kontrol ke dokter atau jika
anak batuk/ pilek walaupun belum terlihat sesak napas harus
segera dibawa berobat.
8. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada asma menurut Sudoyo (2010)
antara lain :
a. Pneumotoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Ateletaksis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
C. Asuhan Keperawatan
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), asuhan keperawatan dengan asma
meliputi :
1. Pengkajian
a. Biodata
Asma bronchial dapat meyerang segala usia tetapi lebih sering
dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum 10 tahun
dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
Predisposisi laki-laki dan perempuan diusia sebesar 2 : 1 yang
kemudian sama pada usia 30 tahun.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma dalah
dispnea (sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk,
dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksimal).
2) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi
timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan
riwayat penyakit saluran nafas bagian bawah (rhinitis, urtikaria,
dan eskrim).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali didapatkan adanya
riwayat penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya
tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota
keluarganya.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
a) Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien pada
posisi duduk.
b) Dada diobservasi dengan membandikan satu sisi dengan
yang lainnya.
c) Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah.
d) Inspeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya,
skar, lesi, massa, dan gangguan tulang belakang, seperti
kifosis, skoliosis, dan lordosis.
e) Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan
kesimetrisan pergerakan dada.
f) Observasi tipe pernapsan, seperti pernapasan hidung
pernapasan diafragma, dan penggunaan otot bantu
pernapasan.
g) Kelainan pada bentuk dada. Observasi kesemetrian
pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak
adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada
paru atau pleura.
h) Observasi trakea obnormal ruang interkostal selama inspirasi,
yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
2) Palpasi
a) Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keaadaan
kulit, dan mengetahui vocal/tactile premitus (vibrasi).
b) Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji
saat inspeksi seperti : mata, lesi, bengkak.
c) Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan
ketika berbicara
3) Perkusi . Suara perkusi normal.:
a) Resonan (Sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada
jaringan paru normal.
b) Dullness : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas
bagian jantung, mamae, dan hati.
c) Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang
berisi udara. Suara perkusi abnormal : a) Hiperrsonan
(hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan dengan
resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah. b)
Flatness : sangat dullness. Oleh karena itu, nadanya lebih
tinggi. Dapat didengar pada perkusi daerah hati, di mana
areanya seluruhnya berisi jaringan.
4) Auskultasi
a) Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup
mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan
(abnormal), dan suara.
b) Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika
melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
c) Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan
vesikular.
d) Suara nafas tambahan meliputi wheezing, , pleural friction rub,
dan crackles.
D. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi Mukus
2. Pola napas tidak efektif b.d depresi pusat pernafasan
3. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
4. Gangguan ventilasi spontan b.d kelelahan otot pernafasan
5. Ansietas b.d krisis situasional
6. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit
7. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
E. Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
1 Bersihan jalan napas tidak Bersihan jalan napas L.01001 Manajemen jalan napas I.0934
efektif b.d pengingkatan Setelah dilakukan tindakan Observasi
sekret keperawatan diharapankan 1. Monitor pola napas
bersihan jalan napas meningkat (frekuensi, kedalaman dan
dengan kriteria hasil : usaha napas
1. Batuk efektif dari skala 3 2. Monitor bunyi napas
(sedang) ke skala 5 tambahan (gurgling,
(meningkat) whezing da ronchi)
2. Produksi sputum dari skala 3. Monitor sputum (jumlah,
3 (sedang) ke skala 5 warna)
(menurun) Terapeutik
3. Mengi dari skala 3 (sedang) 1. Pertahankan kepatenan
ke skala 5 (menurun) jalan napas
4. Wheezhing dari skala 3 2. Posisikan fowler atau
(sedang) ke skala 5 semifowler
(menurun) 3. Berikan minum air hangat
5. Sianosis dari skala 3 4. Lakukan fisioterapi dada
(sedang ke skala 5 5. Lakukan pengisapan lendir
(menurun) 6. Berikan oksigen
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
2. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkudilator, ekspektoran
atau mukolitik jika perlu
2 Pola napas tidak efektif b.d Pola Napas L.01004 Manajemen jalan napas I.0934
depresi pusat pernafasan Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan pola 4. Monitor pola napas
napas membaik dengan kriteria (frekuensi, kedalaman dan
hasil : usaha napas
1. Dispnea dari skala 3 5. Monitor bunyi napas
(sedang) ke skala 5 tambahan (gurgling,
(menurun)\ whezing da ronchi)
2. Penggunaan otot bant 6. Monitor sputum (jumlah,
napas dari skala 3 (sedang) warna)
ke skala 5 (menurun) Terapeutik
3. Pemanjangan fase ekspirasi 7. Pertahankan kepatenan
dari skala 3 (sedang) ke jalan napas
skala 5 (menurun) 8. Posisikan fowler atau
4. Frekuensi napas dari skala semifowler
3 (sedang) ke skala 5 9. Berikan minum air hangat
(membaik 10. Lakukan fisioterapi dada
5. Kedalaman napas dari skala 11. Lakukan pengisapan lendir
3 (sedang) ke skala 5 12. Berikan oksigen
(membaik) Edukasi
3. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
4. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
2. Kolaborasi pemberian
bronkudilator, ekspektoran
atau mukolitik jika perlu
3 Gangguan pertukaran gas b.d Pertukaran gas L.01003 Terapi oksigen I.01026
ketidakseimbangan ventilasi- Setelah dilakukan tindakan Observasi
perfusi keperawatan diharapkan 1. Monitor kecepatan aliran
pertukaran gas meningkat oksigen
dengan kriteria hasil : 2. Monitor efektifitas terapi
1. Dispnea dari skala 3 oksigen (oksimetri, analisa
(sedang) ke skala 5 gas darah)
(menurun) 3. Monitor tanda-tanda
2. Gelisah dari skala 3 hipoventilasi
(sedang) ke skala 5 4. Monitor integritas mukosa
(menurun) hidung akibat pemasangan
3. Napas cuping hidung dari oksgien
skala 3 (sedang) ke skala 5 Terapeutik
(menurun) 1. Bersihkan sekret pada jalan
4. Takikardi dari skala 3 napas
(sedang) ke skala 5 2. Pertahankan kepatenan
(membaik) jalan napas
5. Warna kulit dari skala 3 3. Tetap gunakan oksigen saat
(sedang) ke skala 5 pasien ditansportasi
(membaik) Edukasi
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen
dirumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
2. Klaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas atau
tidur
4 Gangguan ventilasi spontan Ventilasi spontan L.01007 Dukungan ventilasi
b.d kelelahan otot Setelah dilakukan tindakan Observasi
pernapasan keperawatan diharapkan 1. Identifikasi adanya
ventilasi spontan meningkat kelelahan otot bantu napas
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi efek perubahan
1. Volume tidal dari skala 3 posisi terhadap status
(sedang) ke skala 5 pernafasan
(meningkat) 3. Monitor status respirasi dan
2. Penggunaan otot bantu oksigenasi
napas dari skala 3 (sedang) Terapeutik
ke skala 5 (menurun) 1. Pertahankan kepatenan
3. Gelisah dari skala 3 jalan napas
(sedang) ke skala 5 2. Berikan posisi fowler atau
(menurun) semi fowler
4. PO2 dari skala 3 (sedang) 3. Berikan oksigenasi sesuai
ke skala 5 (menurun) dengan kebutuhan
4. Gunakan bag – valve mask
jika perlu
Edukasi
1. Ajarkan tehnik relaksasi
napas dalam
2. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkudilator, ekspektoran
atau mukolitik jika perlu
5 Ansietas b.d krisis Tingkat ansietas L09093 Terapi relaksasi I.09026
situasional Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan tingkat 1. Monitor penurunan tingkat
ansietas menurun dengan energi
kriteria hasil : 2. Identifikasi tehnik relaksasi
1. Perilaku gelisah dari skala 3 yang pernah efektif
(sedang) ke skala 5 digunakan
(menurun) 3. Periksa ketegangan otot
2. Perilaku tegang dari skala 3 4. Monitor terhadap relaksasi
(sedang ke skala 5 Terapeutik
(menurun) 1. Ciptakan lingkungan yang
3. Pucat dari skal 3 (sedang) tenang
ke skala 5 (menurun) 2. Gunakan pakaian yang
4. Konsentrasi dari skala 3 longgar
(sedang) ke skala 5 Edukasi
(menurun) 1. Jelaskan tujuan, manfaat,
5. Kontak mata dari skala 3 batasan dan relaksasi yang
(sedang) ke skala 5 tersedia
(membaik) 2. Jelaskan secara rinci
intervensi yang dipilih
3. Anjurkan mengambil posisi
yang nyaman
4. Demonstrasikan dan latih
tehnik relaksasi
6 Gangguan rasa nyaman b.d Status kenyamanan L.08064 Terapi relaksasi I.09026
gejala penyakit Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan status 1. Monitor penurunan tingkat
kenyamanan menngkat dengan energi
kriteria hasil : 2. Identifikasi tehnik relaksasi
1. Kesejahteraan fisik dari yang pernah efektif
skala 3 (sedang) ke skala 5 digunakan
(meningkat) 3. Periksa ketegangan otot
2. Kesejahteraan psikologis 4. Monitor terhadap relaksasi
dari skala 3 (sedang) ke Terapeutik
skala 5 (meningkat) 1. Ciptakan lingkungan yang
3. Dukungan sosial dari tenang
keluarga dari skala 3 2. Gunakan pakaian yang
(sedang) ke skala 5 longgar
(meningkat) Edukasi
4. Menangis dari skala 3 1. Jelaskan tujuan, manfaat,
(sedang) ke skala 5 batasan dan relaksasi yang
(menurun) tersedia
5. Pola tidur dari skala 3 2. Jelaskan secara rinci
(sedang) ke skala 5 intervensi yang dipilih
(meningkat) 3. Anjurkan mengambil posisi
yang nyaman
4. Demonstrasikan dan latih
tehnik relaksasi
7 Defisit pengetahuan b.d Tingkat pengetahuan L.12111 Edukasi kesehatan I.12383
kurang terpapar informasi Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan
keperawatan meningkat dengan kemampuan menerima
kriteria hasil : informasi
1. Perilaku sesuai anjuran dari 2. Identifikasi faktor-faktor
skala 3 (sedang) ke skala 5 yang dapat meningkatkan
(meningkat) dan menurunkan motivasi
2. Kemampuan menjelaskan perilaku hidup bersih dan
pengetahuan tentang asma sehat
dari skala 3 (sedang) ke Terapeutik
skala 5 (meningkat) 1. Sediakan materi dan media
3. Perilaku sesuai dengan pendidikan kesehatan
pengetahuan tentang asma 2. Jadwalkan pendidikan
dari skala 3 (sedang) ke kesehatan sesuai
skala 5 (meningkat) kesepakatan
4. Persepsi yang salah 3. Berikan kesempatan untuk
terhadap penyakit asma dari bertanya
skala 3 (sedang) ke skala 5 Edukasi
(menurun) 1. Jelaskan faktor risiko yang
dapat mempengaruhi
kesehatan
2. Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat
3. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA

Amin & Hardhi. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis.


Yogyakarta: Mediaction

Muttaqin dan Kumala (2011). Gangguan Gastoentistenal-aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Sodikin (2020). Keperawatan Anak: Gangguan Pencernaan. Jakarta: EGC

Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai