Anda di halaman 1dari 59

TUGAS PBL

SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER

Disusun oleh : KELOMPOK 12

1. Angga Putra Surya Rahmadhani 18700017


2. I Putu Wahyu Widnyana yasa 18700019
3. Enrico Tjoanda 18700021
4. I Kadek Alam Yudistira 18700023
5. I Kadek Wawan Agus Wijaya 18700025
6. Jacob Maia Camoes 18700027
7. Ni Made Mawar Dwiari 18700029
8. Herizal Idwar 17700030
9. I Komang Ricky Arya 17700127

PEMBIMBING TUTOR : dr. Meivy Isnoviana, M.H.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
perkenannya sehingga tugas Small Group Discussion berjudul “SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER” Makalah ini disusun untuk mahasiswa untuk
memahami permasalahan atau topik dari skenario yang sudah disediakan dalam
buku pedoman modul mahasiswa pada mata Kuliah Ilmu kedokteran Terintegrasi.
Di harapkan setelah menganalisa mendalam suatu problem atau sebuah kasus
yang sudah disediakan, Mahasiswa bisa memahami dan dapat dijadikan sebagai
pengetahuan dan pembelajaran dalam rangka perkuliahan di Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Penyusun menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berperan dan memberikan bantuan serta kemudahan untuk makalah ini.
Makalah ini tidak lepas dari segala kekurangan. Oleh karena itu dengan
kerendahan hati, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca untuk penyempurnaan ke depan.

Surabaya, 15 Oktober 2020

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I SKENARIO 1
BAB II KATA KUNCI
BAB III PROBLEM
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Batasan
4.2 Anatomi dan Fisiologi
4.3 Patofisiologi
4.4 Jenis-jenis penyakit yang berhubungan
4.6 Gejala Klinis
4.5 Pemeriksaan Fisik
4.6 Pemeriksaan Penunjang Penyakit
BAB V HIPOTESIS AWAL (DIFERENTIAL DIAGNOSIS)
BAB VI ANALISIS DARI DIFERENTIAL DIAGNOSIS
BAB VII HIPOTESIS AKHIR
BAB VIII MEKANISME DIAGNOSIS
BAB IX STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
9.1 Penatalaksanaan
9.2 Prinsip Tindakan Medis
BAB X PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
10.1 Cara Penyampaian Prognosis Kepada Pasien / Keluarga Pasien
10.2 Komplikasi
10.3 Cara Merujuk Pasien
10.4 Pencegahan Penyakit
BAB XI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
SKENARIO I

Tn. Tarjo usia 45 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan adanya


benjolan di leher. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak, bewarna hijau
kekuningan, dan sesak yang dirasakan sejak 7 bulan.
BAB II

KATA KUNCI

1. Usia 45 tahun
Pengertian Usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan
tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun,
dewasa Madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut >60 tahun, umur
adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan
(Harlock, 2004).

2. Benjolan di leher
Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis
yang sering, insidennya masih belum diketahui dengan pasti. Massa pada
leher dapat terjadi pada semua usia (Underbrink, 2011). Diagnosis
bandingnya sangat luas, karena massa pada leher bisa berasal dari kelenjar
getah bening, kelenjar tiroid, kelenjar saliva, dan lain-lain. Penyebabnya
bisa karena kongenital, infeksi, inflamasi, neoplasia (jinak dan ganas), atau
metastasis (Subekti, 2005).

3. Batuk Berdahak berwarna hijau kekuningan


Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan
benda asing dari saluran nafas. Batuk juga membantu melindungi paru dari
aspirasi yaitu masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran nafas
bagian atas. Saluran nafas bagian atas yaitu dimulai dari tenggorokan,
trachea, bronkhioli sampai ke jaringan paru (Anonim, 2007).
Batuk sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu batuk berdahak
dan batuk tidak berdahak (batuk kering). Batuk berdahak yaitu batuk yang
terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak lebih
sering terjadi pada saluran napas yang peka terhadap paparan debu,
lembab berlebihan dan sebagainya. Batuk tidak berdahak (batuk kering)
yaitu terjadi apabila tidak ada sekresi saluran napas, iritasi pada
tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit (Anonim, 2007).
Dahak yang berwarna hijau atau kuning menjadi tanda sel darah
putih dalam tubuh sedang melawan infeksi. Dahak yang berwarna hijau
atau kuning bisa menandakan adanya penyakit infeksi, seperti pneumonia
atau peradangan jaringan paru-paru, bronkitis, hingga sinusitis. Sebab,
dahak hijau atau kuning juga bisa terjadi karena infeksi yang
menyebabkan peradangan pada sinus alias sinusitis (Halodoc).

4. Sesak sejak 7 bulan


Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai
dengan napas yang pendek dang penggunaan otot bantu pernapasan.
Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular, emboli paru,
penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit
obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), dan kecemasan (Prince dan
Wilson, 2006).
BAB III

PROBLEM

1. Apa yang terjadi pada leher Tn. Tarjo ?


2. Apa patofisiologi dari penyakit Tn. Tarjo ?
3. Apa saja diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit tersebut ?
4. Apa saja penatalaksanaanya ?
5. Bagaimana prognosa penyakit Tn. Tarjo ?
6. Bagaimana komunkai,, informasi, dan edukasi pada kasus ini ?
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 BATASAN

Batasan masalah yang digunakan pada skenario ini yaitu berkaitan


dengan benjolan di leher disertai batuk berdahak dan juga sesak yang diala
mi Tn. Tarjo, yang berkaitan dengan masalah pada leher serta paru.
Diharapkan dengan adanya batasan pada skenario ini tidak menyimpang
serta dapat memberikan informasi dengan tepat.

4.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI

4.2.1 anatomi dan fisiologi

a. Leher

Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F
%2Fm.kaskus.co.id
Tulang leher terdiri dari tujuh ruas, mempunyai badan ruas
kecil dan lubang ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang
tempat lajunya saraf yang disebut foramen tranvertalis. Ruas pertama
vertebra serfikalis disebut atlas yang memungkinkan kepala
mengangguk. Ruas kedua disebut prosesus odontois (aksis) yang
memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan. Ruas ketujuh
mempunyai taju yang disebut prosesus prominan. Taju ruasnya agak
panjang. Tulang-tulang yang terdapat pada leher:
1) Os. Hyoideum adalah sebuah tulang uang berbentuk
U dan terletak di atas cartylago thyroidea setinggi
vertebra cervicalis III.
2) Cartygo thyroidea
3) Prominentia laryngea, dibentuk oleh lembaran-
lembaran cartylago thyroidea yang bertemu di bidang
median. Prominentia laryngea dapat diraba dan
seringkali terlihat.
4) Cornu superius, merupakan tulang rawan yang dapat
diraba bilamana tanduk disis yang lain difiksasi.
5) Cartilagocricoidea, sebuah tulang rawan larynx yang
lain, dapat diraba di bawah prominentia laryngea
6) Cartilagines tracheales, teraba dibagian inferior leher.
7) Cincin-cincin tulang rawan kedua sampai keempat
tidak teraba karena tertutup oleh isthmus yang
menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister
glandulae thyroideae.
8) Cartilage trachealis I, terletak tepat superior terhadap
isthmus.

b. Otot Leher
Otot bagian leher dibagi menjadi tiga bagian:
1) Muskulus platisma yang terdapat di bawah kulit dan
wajah. Otot ini menuju ke tulang selangka dan iga
kedua. Fungsinya menarik sudut-sudut mulut ke
bawah dan melebarkan mulut seperti   sewaktu
mengekspresikan perasaan sedih dan takut, juga untuk
menarik kulit leher ke atas.
2)  Muskulus sternokleidomastoideus terdapat pada
permukaan lateral proc.mastoidebus ossis temporalis
dan setengah lateral linea nuchalis superior.
Fungsinya memiringkan kepala ke satu sisi, misalnya
ke lateral (samping), fleksi dan rotasi leher, sehingga
wajah menghadap ke atas pada sisi yang lain;
kontraksi kedua sisi menyebabkan fleksi leher. Otot
ini bekerja saat kepala akan ditarik ke samping. Akan
tetapi, jika otot muskulus platisma dan
sternokleidomastoideus sama-sama bekerja maka
reaksinya adalah wajah akan menengadah.
3) Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan
semispinalis kapitis. Fungsinya adalah laterofleksi dan
eksorositas kepala dan leher ke sisi yang sama.
4) Ketiga otot tersebut terdapat di belakang leher yang
terbentang dari belakang kepala ke prosesus spinalis
korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala belakang
dan menggelengkan kepala.

c. Kelenjar Getah Bening (KGB)


Sumber : Journal Unair-Universitas Airlangga
Secara anatomi aliran getah bening masuk ke dalam KGB
melalui simpai (kapsul)dan membawa cairan getah bening dari
jaringan sekitarnya dan aliran getah bening keluar dari KGB melalui
hilus. Cairan getah bening masuk kedalam kelenjar melalui lobang-
lobang disimpai. Di dalam kelenjar, cairan getah bening mengalir
dibawah simpai di dalam ruangan yangdisebut sinus perifer yang
dilapisi oleh sel endotel.
Jaringan ikat trabekula terentang melalui sinus - sinus yang
menghubungkan simpai dengan kerangka retikuler dari bagian dalam
kelenjar dan merupakan alur untuk pembuluh darah dan syarat. Dari
bagian pinggir cairan getah bening menyusup kedalam sinus
penetrating yang juga dilapisi sel endotel. Pada waktu cairan getah
bening di dalam sinus penetrating melalui hilus, sinus ini menempati
ruangan yang lebih luas dan disebut sinus meduleri. Dari hilus cairan
ini selanjutnya menuju aliran getah bening.
Terdapat tiga daerah pada KGB yang berbeda: korteks,
medula, parakorteks, ketiganya berlokasinya antara kapsul dan hilus.
Korteks dan medula merupakan daerah yang mengandung sel B,
sedangkan daerah parakorteks mengandung sel T.
Dalam korteks banyak mengandung nodul limfatik, pada
masa postnatal, biasanya berisi germinal center. Akibatnya, terjadi
stimulasi antigen, sel B didalam germinal centers berubah menjadi
sel yang besar, inti bulat dan anak inti menonjol. Yang sebelumnya
dikenal sebagai sel retikulum, sel-selnya besar yang ditunjukan oleh
Lukes dan Collins (1974) sebagai sel noncleaved besar dan sel
noncleaved kecil. Sel noncleaved yang besar berperan pada
limphopoiesis atau berubah menjadi immunoblas, diluar germinal
center, dan berkembang didalam sel plasma.

d. Paru
Sumber: https://www.kompas.com

Paru adalah organ pernapasan utama yang terletak di


rongga dada, memiliki 2 bagian utama, paru kanan dan kiri yang
dipisahkan oleh mediastinum diantara kedua paru, di dalam
mediastinum terdapat bangunanbangunan penting seperti
pembuluh darah besar dan jantung. Udara bisa sampai ke paru
setelah melewati jalan napas atas yaitu, hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus. Paru dilapisi oleh pleura
yang terdiri dari pleura visceral yang menempel langsung pada
paru dan pleura parietal yang menempel pada dinding dada,
diantara kedua pleura terdapat cavum pleura.

Fungsi utama paru adalah untuk pertukaran gas antara


udara atmosfer dan darah. Dalam menjalankan fungsinya, paru
seperti sebuah pompa mekanik yang berfungsi ganda, yaitu
menghisap udara atmosfer ke dalam paru (inspirasi) dan
mengeluarkan udara alveolus dari dalam tubuh (ekspirasi).Latihan
fisik adalah pergerakan tubuh yang dilakukan oleh otot dengan
terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian
energi dengan tujuan untuk memperbaiki kebugaran fisik. Secara
umum, latihan fisik menggambarkan proses metabolik yang
menyediakan energi untuk kontraksi otot seperti aerobik (dengan
oksigen) ataupun anaerobik (tanpa oksigen).

4.2.2 Histologi

a. Leher

https://blogkputih.wordpress.com/2012/02/14/histologijaringan-otot-muscle-tisuue/

Pada orang dewasa¸ mukosa nasofaring mempunyai luas


permukaan kira-kira 50 cm2 . Sebagian besar dilapisi oleh
epitel skuamosa berlapis, dan sekitar 40% dilapisi oleh epitel
kolumnar tipe respiratorius. Epitel skuamosa terutama melapisi
dinding anterior dan posterior bagian bawah, juga pada
setengah bagian dari dinding lateral. Epitel kolumnar bersilia
tipe respiratorius sebagian besar melapisi daerah nares posterior
(koana) dan atap dinding posterior. Batas antara epitel
skuamosa dan repiratorius mungkin tegas, atau mungkin
terdapat zona epitel transisional atau intermediet, berupa sel-sel
basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk
kuboid atau bulat. Mukosa mengalami invaginasi membentuk
kripta yang menjorok ke dalam stroma. Stroma kaya akan
jaringan limfoid yang sering dengan folikel limfoid yang
reaktif. Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi oleh
sel-sel limfoid yang banyak, yang meluas dan mengubah epitel
sehingga menghasilkan pola retikular. Beberapa kelenjar
seromusinus dapat dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang
terdapat di mukosa hidung.

b. Paru

http://tataevand.blogspot.com/2013/12/histologi-sistem-respirasi.html

Bagian konduksi sistem pernapasan terdiri atas


saluran pernapasan ekstrapulmonal maupun intrapulmonal.
Saluran pernapasan ekstrapulmonal terdiri dari trakea,
bronkus dan bronkiolus besar. Bronkiolus merupakan
saluran pernapasan intrapulmonal dan bagian akhir dari
saluran konduksi. Bagian respiratorik terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolus, sakus alveolaris dan alveoli.
Histologi bronkus intrapulmonal mirip dengan histologi
trakea dan bronkus ekstrapulmonal, akan tetapi bronkus
intrapulmonal diidentifikasi oleh adanya lempeng tulang
rawan hialin. Bronkus juga dilapisi oleh epitel bertingkat
semu silindris bersilia dengan sel goblet. Dinding bronkus
intrapulmonal terdiri dari lamina propia yang tipis, lapisan
tipis otot polos, submukosa dengan kelenjar bronkialis,
lempeng tulang rawan hialin, dan adventisia. Bronkus
intrapulmonal bercabang menjadi bronkiolus yang tulang
rawan di sekitar bronkus berkurang.Bronkiolus berdiameter
5mm atau kurang, tidak memiliki tulang rawan atau
kelenjar dalam mukosanya, hanya sebaran sel goblet di
dalam epitel segmen awal. Bronkiolus dilapisi epitel
bertingkat silinder bersilia yang semakin memendek dan
sederhana sampai menjadi epitel selapis silinder bersilia
atau epitel selapis kuboid pada bronkiolus terminalnya.
Epitel bronkiolus terminal mengandung sel Clara yang
tidak mimiliki silia dan memiliki granul sekretori di dalam
apeksnya. Sel Clara diketahui menyekresi protein yang
melindungi lapisan bronkiolus terhadap polutan oksidatif
dan inflamasi. Bronkiolus terminalis bercabang menjadi
dua atau lebih bronkiolus respiratorius. Mukosa bronkiolus
respiratorius secara struktural identik dengan mukosa
bronkiolus terminalis. Bagian bronkiolus respiratorius
dilapisi epitel kuboid bersilia dan sel Clara, dindingnya
diselingi oleh banyak alveolus yang semakin ke distal
jumlahnya semakin banyak. Otot polos dan jaringan ikat
elastis terdapat di bawah epitel bronkiolus respitorius.
Duktus alveolaris merupakan kelanjutan dari bronkiolus
respiratorius dengan alveoli yang bermuara ke dalamnya.
Alveoli merupakan suatu invaginasi kecil yang dilapisi oleh
selapis tipis sel alveolus gepeng atau sel pneumosit tipe 1.
Alveoli yang berdekatan dipisahkan oleh septum
intraalveolaris atau dinding alveolus yang terdiri dari sel
alveolus selapis gepeng, serat jaringan ikat halus dan
kapiler. Alveoli juga mengandung makrofag alveolaris dan
juga ditemukan sel alveolus besar atau pneumosit tipe 2.

4.3 PATOFISIOLOGI DAN PATOMEKANISME

4.3.1 PATOFISIOLOGI

1. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer ialah penyakit TB yang timbul dalam lima
tahun pertama setelah terjadi infeksi basil TB untuk pertama
kalinya
(infeksi primer). Penularan tuberkulosis paru terjadi karena
kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet
dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1- 2 jam. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini dapat terhisap oleh orang sehat ia akan
menempel pada jalan napas atau paru-paru. Bila menetap di
jarigan paru, akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru-
paru akan membentuk sarang tuberkulosa pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau afek primer dan dapat terjadi di
semua bagian jaringan paru. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus ( limfangitis
lokal ) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
( limfangitis regional ) yang menyebabkan terjadinya kompleks
primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (kerusakan
jaringan paru).
c) Berkomplikasi dan menyebar secara :
i. Per kontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya.
ii. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun paru di sebelahnya. Dapat juga kuman
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus.
iii. Secara linfogen, ke organ tubuh lainnya.
iv. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
2. Tuberkulosis Post-Primer (Sekunder)
Tuberculosis Post-Primer adalah kuman yang dormant pada
tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
( tuberkulosis post-primer ). Hal ini dipengaruhi penurunan
daya tahan tubuh atau status gizi yang buruk. Tuberkulosis
pasca primer ditandai dengan adanya kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tuberkulosis post-
primer ini dimulai dengan sarang dini di regio atas paru-paru.
Sarang dini ini awalnya juga berbentuk sarang pneumonia
kecil. Tergantung dari jenis kuman, virulensinya dan imunitas
penderita, sarang dini ini dapat menjadi :
1. Diresorbsi kembali tanpa menimbulkan cacat.
2. Sarang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan
sembuhan jaringan fibrosis.
3. Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang
menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis dan menjadi lembek membentuk jaringan
keju.
4. Bila tidak mendapat pengobatan yang tepat penyakit ini dapat
berkembang biak dan merusak jaringan paru lain atau menyebar
ke organ tubuh lain.

4.3.2 PATOMEKANISME
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB
ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan
manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang
dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat.
Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati
leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai
yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah
bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh
kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis. Berdasarkan penelitian oleh
Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu:
63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal,
dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35%
pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya
tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu
sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis
posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular.
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala
sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan
keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala
sistemik. Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada
21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien.
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam
lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile
dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke
jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central
softening) akibat pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium
penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali
terjadi infeksi sekunder bakteri pembesaran kelenjar yang cepat
atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat
pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak
menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan
fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis. Secara
klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-
biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma
adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan
langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh
paparan langsung terhadap basil TB.
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-
anak. Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan
gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan
keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga
dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax,
chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi
biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan
obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan
terjadi akibat limfadenitis mediastinal.
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm
biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang
berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik,
tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut
disebabkan oleh M.tuberculosis.

4.4 JENIS- JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN

1. Limfadenitis Tuberkulosis
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening. limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis.
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau
getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan
pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar
limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada
kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar,
2004). Istilah scrofuladiambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah
tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini
juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan
dengan nama “King’s evil”, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan
raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis
pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari
struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut
dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).

2. Tuberkulosis paru (TB paru)


Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal
dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu
sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru.
Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular
melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara.
Pengertian Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung
yang disebabkan karena kuman TB yaitu Myobacterium Tuberculosis.
Mayoritas kuman TB menyerang paru, akan tetapi kuman TB juga dapat
menyerang organ Tubuh yang lainnya. Tuberkulosis adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis) (Werdhani, 2011).
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit
kronis yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium
Tuberculosis yang ditularkan melalui dahak (droplet) dari penderita TBC
kepada individu lain yang rentan (Ginanjar, 2008). Bakteri
Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan
batang ramping, kurus, dan tahan akan asam atau sering disebut dengan
BTA (bakteri tahan asam). Dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang
panjangnya sekitar 2-4 μm dan lebar 0,2 –0,5 μm yang bergabung
membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan
(Ginanjar, 2010).

3. Kanker Paru (Ca Paru)


Kanker paru adalah keganasan yang berasal dari luar paru
(metastasis tumor paru) maupun yang berasal dari paru sendiri, dimana
kelainan dapat disebabkan oleh kumpulan perubahan genetika pada sel
epitel saluran nafas, yang dapat mengakibatkan proliferasi sel yang tidak
dapat dikendalikan. Kanker paru primer yaitu tumor ganas yang berasal
dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (Purba, 2015).
Kanker paru dimulai oleh aktivitas onkogen dan inaktivasi gen
supresor tumor. Onkogen merupakan gen yang membantu sel-sel tumbuh
dan membelah serta diyakinin sebagai penyebab seseorang untuk terkena
kanker (Novitayanti, 2017). Proto-onkogen berubah menjadi onkogen jika
terpapar karsinogen yang spesifik. Sedangkan inaktivasi gen supresor
tumor disebabkan oleh rusaknya kromosom sehingga dapat
menghilangkan keberagaman heterezigot.

4.5 GEJALA KLINIS

1. Limfadenitis Tuberkulosis
Gejala sistemik/umum :
a. Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu/lebih
b. Demam selama tiga minggu/lebih
c. Penurunan nafsu makan
d. Berat badan turun
e. Rasa kurang enak badan/malaise, lemah
f. Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa

Gejala Khusus :

a. Munculnya benjolan-benjolan pada bagian yang mengalami


gangguan kelenjar seperti leher, sela paha, serta ketiak.
b. Ada tanda-tanda radang di daerah sekitar benjolan kelenjar.
c. Benjolan kelenjar mudah digerakkan.
d. Benjolan kelenjar yang timbul terasa kenyal.
e. Membesarnya benjolan kelenjar yang mengakibatkan hari demi
hari kondisinya semakin memburuk dan merusak tubuh.
f. Benjolan kelenjar pecah dan mengeluarkan cairan seperti nanah
kotor.
g. Terdapat luka pada jaringan kulit atau kulit yang disebabkan
pecahnya benjolan kelenjar getah bening.
2. Tuberkulosis paru (TB paru)
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk
yang tidak spesifik tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis paru
biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya
keluhan yang muncul adalah :
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini
membuang / mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk
kering sampai batuk purulent (menghasilkan sputum)
c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang
sampai setengah paru
d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit
kepala, nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari
3. Kanker Paru (Ca Paru)
Keluhan utama dapat berupa :
a. Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga
purulen)
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Suara serak
e. Sakit dada
f. Sulit / sakit menelan
g. Benjolan di pangkal leher
h. Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan
dengan rasa nyeri yang hebat.

Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :

a. Berat badan berkurang


b. Nafsu makan hilang
c. Demam hilang timbul
d. Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary
osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia.

4.6 PEMERIKSAAN FISIK

1. Limfadenitis Tuberkulosis
Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai terutama pada
regio koli anterior, submandibula, supraklavikula, aksila, dan inguinal.
Biasanya kelenjar yang terkena bersifat multipel, unilateral, tidak nyeri
tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat (konfluens).
Penampakan fisik dari lymfadenitis TBC superficial
diklasifikasikan dalam 5 stadium oleh Jones dan Campbell yaitu;
a) Stadium 1 : Pembesaran KGB dengan konsistensi kenyal,
mobile/mudah digerakan, terpisah dengan nodul yang lain, hal ini
menunjukan nonspecific reaksi hyperplasia;
b) Stadium 2 : lebih besar dari stadium 1 dengan konsistensi yang
kenyal, melekat dengan jaringn sekitarnya/berkonfluensi;
c) Stadium 3 : perlunakan sentral diakibatkan karena
terbentuknya abses;
d) Stadium 4 : bentukan collar stud absess/warna kemerahan
diatas kulit yang mengalami absesa;
e) Stadium 5 : pembentukan sinus yang mengalirkan sekret
bernanah.

2. Tuberkulosis paru (TB paru)


a. Lnspeksi
- Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan
- Bila lesi luas, dapat ditemukan bentuk dada yang tidak
simetris.
b. Palpasi
- Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan
- Bila lesi luas, dapat ditemukan kelainan berupa fremitus
mengeras atau melemah
c. Perkusi
- Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan
- Bila ada kelainan tertentu, dapat terdengar perubahan suara
perkusi seperti hipersonor pada pneumotoraks, atau pekak
pada efusi pleura.
d. Auskultasi
- Bila lesi minimal, tidak ditemukan kelainan
- Bila lesi luas, dapat ditemukan kelainan berikut: Ronki
basah kasar terutama di apeks paru, suara napas melemah
atau mengeras, atau stridor. suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di
apex paru.

3. Kanker Paru (Ca Paru)


Pemeriksaan fisik mencakup tampilan umum (performance status)
penderita yang menurun, penemuan abnormal terutama pada pemeriksaan
fisik paru benjolan leher, ketiak atau dinding dada, tanda pembesaran
hepar atau tanda asites, nyeri ketok di tulang. Pada pemeriksaan fisik,
tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru dapat bervariasi tergantung
pada letak, besar tumor dan penyebarannya. Pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila menandakan telah terjadi
penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala atau lokasi lain
juga menjadi petanda penyebaran. Sesak napas dengan temuan suara
napas yang abnormal pada pemeriksaan fisik yang didapat jika terdapat
massa yang besar, efusi pleura atau atelektasis.
Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada dengan pembengkakan
(edema) wajah, leher dan lengan berkaitan dengan bendungan pada vena
kava superior (SVKS). Sindroma Horner sering terjadi pada tumor yang
terletak si apeks (pancoast tumor). Thrombus pada vena ekstremitas
ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan
sistem hemostatis (peningkatan kadar D-dimer) menjadi gejala telah
terjadinya bendungan vena dalam (DVT). Tandatanda patah tulang
patologik dapat terjadi pada kanker yang bermetastasis ke tulang. Tanda-
tanda gangguan neurologis akan didapat jika kanker sudah menyebar ke
otak atau tulang belakang.

4.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Limfadenitis Tuberkulosis

a. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis


dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-
Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi
aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil
mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar
perwarnaan dapat positif. Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup
untuk membuat hasil kultur positif.

b. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk


menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen
mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein
purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu
setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm,
intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4
mm.

c. Pemeriksaan Sitologi

Fine needle aspiration biopsy (FNAB) merupakan salah satu


prosedur untuk mendiagnosis limfadenitis TB yang simpel, aman, dan murah.
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi
aspirasi kelenjar limfe.

d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan
untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat
menunjukkan kelainan yang konsisten. USG kelenjar dapat
menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel
hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan
USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran
kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia).
Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya
ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan
lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement
serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi,
adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan
mengarahkan pada limfadenitis TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret,
konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering
terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-
sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatic.
2. Tuberkulosis paru (TB paru)
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah :
a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di
ketemukannya kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat di
pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak
sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan kedua.
Bila didapatkan hasil dua kali positif maka dikatakan mikroskopik
BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif maka pemeriksaan
perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan
satu kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.
c. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika
diketemukan bakteri taham asam.
d. Skin test (PPD, Mantoux)
e. Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
1) indurasi 0-5 mm (diameternya ) maka mantoux negative
atau hasil negative
2) indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan
3) indurasi 10- 15 mm yang artinya hasil mantoux positif
4) indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat
5) reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit
yakni persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin
f. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas,
timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan.
Perubahan yang menunjukkan perkembangan Tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
g. Pemeriksaan histology / kultur jaringan Positif bila terdapat
Mikobakterium Tuberkulosis.
h. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan
terjadinya nekrosis.
i. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
j. Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa
kerusakan jaringan paru.
k. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi,
meningkatnya rasio residu udara pada kapasitas total paru, dan
menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi parenkim /
fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari
tuberkulosis kronis).

3. Kanker Paru (Ca Paru)


Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb, Leukosit, Trombosit, fungsi hati, fungsi ginjal.
Pemeriksaan
Patologi Anatomik
a. Pemeriksaan Patologi Anatomik (Sitologi dan Histopatologi)
b. Pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis
(seperti TTF-1 dan lain-lain) dilakukan apabila fasilitas
tersedia.
c. Pemeriksaan Penanda molekuler yang telah tersedia
diantaranya adalah mutasi EFGR hanya dilakukan apabila
fasilitas tersedia.

Pemeriksaan Pencitraan

a. Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk


menilai pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi dan tindakan
selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan
penanganan dapat ditentukan. Jika pada foto toraks
ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan, maka
pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk
mengevaluasi lesi tersebut.
b. CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang
penting untuk mendiagnosa dan menentukan stadium
penyakit, dan menentukan segmen paru yang terlibat secara
tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar adrenal
untuk menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut.
c. CT scan kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita
mengeluh nyeri kepala hebat untuk menilai kemungkinan
adanya metastasis ke otak.
d. USG abdomen dilakukan untuk menilai kemungkinan
metastasi
e. Bone Scan dilakukan untuk mendeteksi metastasi ke
tulangtulang. Bone survey dilakukan jika fasilitas bone scan
tidak ada.
f. PET-scan dapat dilakukan untuk menilai hasil pengobatan.
BAB V
HIPOTESA AWAL

Dari hasil Analisa kelompok kami, kami memilih beberapa hipotesa


awal/differential diagnosis, adapun diantaranya adalah :

1. Tuberculosis

2. Limfadenitis TB

3. Kanker Paru
BAB VI

ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

DATA PASIEN

1. Nama : Tn. Tarjo


2. Usia : 45 tahun
3. Alamat : Kediri
4. Pekerjaan : Petani

ANAMNESIS

1. Keluhan Utama
- benjolan di leher

2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


- Benjolan di leher sejak 3 bulan yang lalu
- Batuk 7 bulan dengan dahak positif berwarna hijau kekuningan,
darah negatif
- Pasien juga sering mengeluh sesak semenjak 4 hari yang lalu,
sesak dirasakan tidak dipengaruhi cuaca debu dan aktivitas yang
menambah sesak
- Sesak dimulai saat beraktivitas dan sesak berkurang pada posisi
duduk
- Keringat malam +
- Sering demam +
- BAK dan BAB tidak ada keluhan
- 3 bulan terakhir pasien mengeluh gejala yang sama namun kali ini
terdapat riwayat batuk berdarah kurang lebih 2 kali berwarna
kehitaman
- Nafsu makan menurun
- Berat badan menurun kurang lebih 15 kg

3. Riwwayat Penyakit Dahulu (RPD)


- Pasien belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya
4. Riwayat Pengobatan
- Tidak pernah mengkonsumsi obat

5. Riwayat penyakit Keluarga (RPK)


- Keluarga tidak ada mengalami penyakit yang sama
6. Riwayat Sosial (RS)
- Bekerja sebagai petani
- Merokok 2 pack perhari selama 10 tahun
-

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

1. Kesadaran Umum : Komposmentis


2. Vital Sign :
a. Pernapasan (RR) : 28x/menit
b. Suhu : 36,9 o C
c. Tekanan darah : 130/80 mmHg
d. Nadi : 96x/menit

Pemeriksaan Fisik

1. Kepala

a/i/c/d : -/-/-/-

THT : dalam batas normal.

2. Leher : benjolan positif 2 buah konsistensi kenyal dan


mobile permukaan rata 1 cm
3. Thorax

Jantung : S1/S2 tunggal

Murmur : -

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kor tidak teraba

Perkusi :tidak ada pembesaran


jantung

Suara jantung normal tidak ada suara


tambahan.

Pulmo : Suara nafas vesikuler -/-

Rhongki +/+

Wheezing -/-

Gerak nafas vesikuler kanan-kiri

Penggunaan otot bantu pernapasan negative

Fremitus raba kanan dan kiri sama

Sonor dalam kedua lapang paru- paru

Abdomen : Bising Usus : dalam batas normal

Hepar : dalam batas normal

Lien : dalam batas normal

Ginjal : dalam batas normal


Ekstremitas : akral hangat,

Oedema (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Pemeriksaan BTA +2
BTA dinyatakan positif apabila pada lapang pandang terlihat batang
berwarna merah atau merah muda dengan latar belakang biru bila diwarnai
dengan pewarnaan tahan asam atau Ziehl-Neelsen. BTA biasanya
berbentuk batang, namun kadang-kadang bisa mirip kokus, filamentous,
(seperti benang), atau berkelompok. Untuk pelaporan dihitung jumlah
BTA.
2. Foto thorax fibrokalsifikasi
Foto Thorax, PA : adalah pemeriksaan radiologi dengan sinar x pada regio
thorax penderita dengan bagian anterior (dada) menghadap film dan sinar
diarahkan dari posterior (punggung). fibrokalsifikasi adalah terbentuknya
jaringan parut (seperti bekas luka dikulit) di jaringan paru, biasanya ini
muncul pada penderita TB lama atau sudah pernah sembuh.
3. Pemeriksaan laboratorium
- Leukosit : 8,9 x 10.000 / µm
- Hb : 12 g/dl
- HCT : 39%
- Platelet : 449 x 10.000 / µm
- Albumin : 2,5 mg/dl

A. TUBERCULOSIS
1. Pemeriksaan Mikroskopis
BTA atau kultur kuman dari specimen sputum/ dahak SPS.
Jika laboratorium sudah terakreditasi, pemeriksaan BTA dapat
dilakukan 2 kali dan minimal satu bahan berasal dari dahak
pagi hari. Untuk TB ekstra paru, spesimen dapat diambil dari
bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun
biopsi jaringan. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC
Paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah
Sekurang-kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA (+) atau 1 spesimen dahak
SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan
gambaran tuberculosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-)
dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
Tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+)
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas.
2. Foto Ronsen Thorax
Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Karena
di duga terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks,
batuk darah), Pada RS tipe B/C yang umumnya mempunyai
fasilitas ini, sebaiknya dikerjakan pemeriksaan radiologi.
3. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pada umumnya setiap penderita tuberculosis pasien akan
mengalami gejala – gejala umum berupa batuk berdahak lebih
dari dua minggu, batuk berdarah, lemah badan, penurunan
berat badan, meningkatnya suhu tubuh, keringat dimalam hari
sering terjadi, berubahnya gambaran hitung leukosit darah
dan meningkatnya laju endap darah (LED) (Soedarto 1995).
Nilai LED umumnya tetap dalam batas normal pada penyakit
– penyakit infeksi lokal yang kecil atau infeksi akut.
Sebaliknya LED menjadi sangat meninggi pada tuberculosis,
infeksi kronis, demam reumatik, arthritis, dan nefritis (Depkes
RI, 1989).
Mekanisme dalam pemeriksaan LED adalah fase I, tahap
pengendapan (agregasi) dimana eritrosit saling menyatu atau
membentu rouleaux, fase II, tahap sedimentasi dimana
pengendapan eritrosit terjadi secara konstan dan berlangsung
selama 30 menit dengan kecepatan maksimal. Fase III, tahap
pemadatan dimana kumpulan agregat mulai melambat karena
terjadi pemadatan dari eritrosit yang mengendap (Kiswari.S,
2014).
Pembentukan rouleaux, jika rouleaux banyak terbentuk
maka LED meningkat, dimana dalam hal hal ini di pengaruhi
oleh temperatur, letak posisi pipet, fibrinogen dan globulin
yang meningkat (Depkes RI. 1989).

B. KANKER PARU
1. Foto Rontgen Toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat
bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda
yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler,
disertaiidentasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto
tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dindingdada, efusi
pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan
keterlibatan KGB untuk menentukan agak sulit ditentukan
dengan foto toraks saja. Bila foto toraks menunjukkan
gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan fungsi berulang atau
pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor
primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila
cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
2. CT-Scan Toraks
Tehnik ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih
baik daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor
dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap
bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang
tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-
scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk
menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB
(N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya
mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
3. Pemeriksaan radiologik lain
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak
mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu
dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT
untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak,
bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis
diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat
ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain
dalam rongga perut.
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR ( DIAGNOSIS )

Dari hasil analisa kelompok kami berdasarkan identifikasi terhadap gejala


klinis, pemeriksaan fisik penyakit, pemeriksaan penunjang penyakit pada
Differential Diagnosis, kami menyimpulkan diagnosa pada skenario ini adalah
Tuberculosis
BAB VIII

MEKANISME DIAGNOSIS

Anamnesa
Keluhan Utama : Benjolan di leher

RPS : Pasien mengalami batuk dan sesak


sejak 7 bulan yang lalu, batuk berdahak
berwarna hijau kekuningan dan ada
darahnya, serta 4 hari terakhir Diagnosis Diferential
mengeluhkan sesak yang timbul saat
beraktivitas dan hilang saat berposisi 1. Tuberculosis
duduk. 2. Limfadenitis Tb
RPD : Belum pernah mengalami penyakit 3. Kanker Paru
seperti ini sebelumnya

RPK : Keluarga tidak pernah mengalami


penyakit yang sama

Px Fisik
Kesadaran Umum : Compos Mentis
Vital Sign : Tensi : 130/80 mmHg
Hipotesa Akhir
Nadi : 96x / menit
Dari hasil analisa kelompok kami
RR : 28x / menit
berdasarkan identifikasi terhadap gejala
o
Suhu : 36,9 C klinis, pemeriksaan fisik penyakit,
pemeriksaan penunjang penyakit pada
Px Penunjang
Differential Diagnosis, kami
a. Pemeriksaan Mikroskopis
menyimpulkan diagnosa pada skenario
b. Foto ronsen thorax
ini adalah Tuberculosis.
c. Pemeriksaan darah lengkap
BAB IX

STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

A. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi
dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat
dibagi menjadi obat utama dan tambahan. Obat anti tuberkulosis (OAT)
yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet
tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis
obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan
isoniazid.

Dosis OAT  adalah sebagai berikut :

1. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara


oral, atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT,
maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik
penyerapannya.

2. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak melebihi


300 mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien
dengan berat badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian
isoniazid juga bersamaan dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg
sekali sehari untuk mencegah neuropati perifer.
3. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30
mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi
dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali seminggu dengan
dosis 50 mg/kg BB secara oral.

4. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB.


Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30
mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2
kali seminggu.

5. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular,


tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis
dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra muskular, tidak
melebihi 1,5 gram per hari.

Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

1. Kategori 1 : 2RHZE/4RH3

2. Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

1. Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB
paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis,
dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan
cara RHZ diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4
bulan.
2. Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang
sudah diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien
kambuh, pasien gagal pengobatan dengan kategori 1, dan
pasien yang diobati kembali setelah putus obat.
a) Terapi MDR-TB 
Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan sebelumnya,
dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro.  Jangan
gunakan obat yang sudah resisten.  Ada baiknya mengonsultasikan
pasien dengan MDR-TB kepada spesialis penyakit paru.

Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien
dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :

 Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol,


rifampisin
 Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin,
streptomisin

 Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin,


moxifloksasin, ofloksasin

 Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya: cycloserine,


terizidone, asam para aminosalisilat (PAS), etionamide, protionamide
 Grup 5:  obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan
rutin karena efektifitasnya masih belum jelas.  Namun diikutsertakan
dengan alasan bahwa bilamana ke 4 grup obat tersebut diatas tidak
mungkin diberikan kepada pasien, seperti pada XDR-TB.

Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan


spesialis penyakit paru.  Contoh obatnya: clofazimine, linezolid,
amoksisilin klavulanat, thiocetazone, imipenem/cilastatin,
klaritromisin, INH dosis tinggi.

b) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT
aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin dan kanamisin yang
bersifat ototoksik pada janin. Pemberian kedua obat tersebut akan
menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan pada bayi
ketika lahir.
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian
piridoksin 50 mg/hari. Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan
dosis 10 mg/hari jika rifampisin digunakan pada trimester ketiga.

c) Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman bagi
ibu menyusui. Tatalaksana OAT yang adekuat akan mencegah
penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari ibu penderita
TB, terapi profilaksis isoniazid dapat diberikan.

d) Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu
dirawat inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau
komplikasi berikut :
 Batuk darah masif

 Keadaan umum dan tanda vital buruk

 Pneumotoraks

 Empiema

 Efusi pleural masif/bilateral

 Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura

Kriteria Sembuh

Seseorang pasien Tuberkulosis paru (TB Paru) dianggap sembuh apabila


memenuhi kriteria :
 BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

 Pada foto toraks, gambaran radiologik tetap sama atau menunjukkan


perbaikan

 Apabila dilakukan biakan, ditemukan biakan negative

Monitoring

Monitoring pada tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan dengan dua


tujuan, yaitu evaluasi pengobatan dan evaluasi komplikasi maupun efek
samping obat.
a) Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, radiologik, dan
bakteriologik. Pada evaluasi klinik, penderita diperiksa setiap 2
minggu pada 1 bulan pertama pengobatan, kemudian dilanjutkan setiap
1 bulan. Hal yang dievaluasi adalah keteraturan berobat, respon
pengobatan, dan ada tidaknya efek samping pengobatan. Pada setiap
kali follow up, pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan berat badan
diukur.
Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya
konversi dahak. Evaluasi ini dilakukan sebelum memulai pengobatan,
setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan. Evaluasi dilakukan
berdasarkan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) atau biakan apabila
tersedia.
Evaluasi radiologik dilakukan menggunakan foto rontgen toraks.
Evaluasi dilakukan sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif,
dan pada akhir pengobatan.
Pada penderita yang telah dinyatakan sembuh, evaluasi tetap
dilakukan selama 2 tahun pertama untuk mendeteksi adanya
kekambuhan. Pemeriksaan BTA dilakukan pada bulan ke-3, 6, 12, dan
24 setelah dinyatakan sembuh. Sedangkan pemeriksaan foto rontgen
dada dilakukan pada bulan ke-6, 12, dan 24 setelah dinyatakan
sembuh.

b) Evaluasi Efek Samping Obat


Pasien TB yang diberikan pirazinamid harus diperiksa baseline
serum asam urat dan tes fungsi hati. Sedangkan pasien yang diterapi
etambutol mesti diperiksa baseline ketajaman penglihatannya dan juga
secara periodik dilakukan tes buta warna merah-hijau, menggunakan
tes Ishihara.
Pasien yang mendapat suntikan streptomisin dimonitor ketajaman
pendengarannya, tes fungsi ginjal secara berkala, dan pemeriksaan
neurologis berkala.
Monitoring ini terintegrasi dalam program nasional bersama WHO,
yaitu strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course)
sejak tahun 1995, yang dalam perkembangannya menghadapi banyak
tantangan, sehingga diperluas pada tahun 2005 menjadi strategi Stop
TB untuk mengoptimalkan mutu DOTS.
Pembiayaan pengendalian program TB yang lebih banyak berpusat
kepada aspek kuratif masih bergantungan pada pendanaan dari donor
internasional selain alokasi APBD yang masih rendah. Pada tingkat
pertama, pasien yang datang ke puskesmas akan ditangani oleh
seorang dokter umum, dan bilamana dianggap perlu, pasien TB dirujuk
ke rumah sakit setempat yang memiliki fasilitas pemeriksaan
spesialistik.

B. PRINSIP TINDAKAN MEDIS

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif)
dan lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB


di Indonesia :

1. Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk
OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien.
BAB X

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

10.1 Prognosis

Prognosis tuberkulosis paru (TB Paru) tergantung pada diagnosis


dini dan pengobatannya. Prognosis yang buruk ditandai dengan adanya
keterlibatan TB ekstrapulmoner, pada lansia dan riwayat pengobatan
sebelumnya yang buruk. Pada kasus ini, pasien tidak memiliki riyawat
TBC sebelumnya, dan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pasien didiagnosa TBC paru 7 bulan yang lalu, tidak terdapat resistensi
obat tbc, sehingga prognosis untuk pasien ini masih baik jika segera
ditanggani dan diterapi dengan benar.

10.2 Komplikasi

Komplikasi tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyebaran TB


keluar jaringan paru atau disebut sebagai extra-pulmonary tuberculosis.
TB Paru dapat menyebar ke pleura dan menyebabkan TB Pleura. Pada
ruang pleura dapat terjadi respon hipersensitivitas terhadap protein kuman
TB. Keadaan ini menyebabkan nyeri pleura dan demam, bahkan terkadang
empiema juga dapat terbentuk.

10.3 Cara Merujuk Pasien

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3


minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala
tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Maka
setiap orang yang menunjukkan gejala seperti yang dijelaskan diatas, maka
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

10.4 Peran Pasien/Keluarga untuk Penyembuhan

Peran keluarga dalam pencegahan penularan TB Paru sangatlah


penting, karena salah satu tugas dari keluarga adalah melakukan perawatan
bagi anggota keluarga yang sakit dan mencegah penularan pada anggota
keluarga yang sehat. Disamping itu keluarga dipandang sebagai sistem
yang berinteraksi, dengan fokusnya adalah dinamika dan hubungan
internal keluarga, serta saling ketergantungan subsistem keluarga dengan
kesehatan, dan keluarga dengan lingkungan luarnya (Ali, 2010).

Adapun beberapa upaya yang dilakukan keluarga untuk pencegahan TB


paru sebagai berikut:

1. Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat batuk


2. Menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB Paru
3. Membuka jendela rumah untuk pencegahan penularan TB Paru dalam
keluarga
4. Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan TB Paru
dalam keluarga

10.5 Pencegahan Penyakit

Salah satu langkah untuk mencegah TBC (tuberkulosis) adalah


dengan menerima vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia,
vaksin ini termasuk dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum
bayi berusia 2 bulan. Bagi yang belum pernah menerima vaksin BCG,
dianjurkan untuk melakukan vaksin bila terdapat salah satu anggota
keluarga yang menderita TBC.
TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan
masker saat berada di tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita
TBC, serta sering mencuci tangan.

Walaupun sudah menerima pengobatan, pada bulan-bulan awal pengobatan


(biasanya 2 bulan), penderita TBC juga masih dapat menularkan penyakit.
Berikut langkah-langkah untuk mencegah penularan, terutama pada orang
yang tinggal serumah dengan penderita TBC:

1. Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau kenakan apabila
menggunakan tisu untuk menutup mulut, buanglah segera setelah
digunakan.
2. Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
3. Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan
sering membuka pintu dan jendela agar udara segar serta sinar
matahari dapat masuk.
4. Jangan tidur sekamar dengan orang lain (orang sehat) , sampai dokter
menyatakan TBC yang yang derita tidak lagi menular.
BAB XI

PENUTUP

Kesimpulan

1. Apa yang terjadi pada leher Tn. Tarjo ?


Jawab: Pada leher Tn tarjo terdapat benjolan dan Batuk Berdahak
berwarna hijau kekuningan disertai Sesak napas sejak 7 bulan
yang lalu.

2. Apa patofisiologi dari penyakit Tn. Tarjo ?


Jawab:
1. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer ialah penyakit TB yang timbul dalam lima
tahun pertama setelah terjadi infeksi basil TB untuk pertama
kalinya
(infeksi primer). Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet dalam udara.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1- 2
jam. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-
hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini dapat terhisap
oleh orang sehat ia akan menempel pada jalan napas atau paru-
paru. Bila menetap di jarigan paru, akan tumbuh dan berkembang
biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di
jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosa pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer dan dapat terjadi
di semua bagian jaringan paru. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus ( limfangitis lokal )
dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
( limfangitis regional ) yang menyebabkan terjadinya kompleks
primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (kerusakan
jaringan paru).
c) Berkomplikasi dan menyebar secara :

i. Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.


ii. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
paru di sebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan
ludah sehingga menyebar ke usus.
iii. Secara linfogen, ke organ tubuh lainnya.
iv. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
2. Tuberkulosis Post-Primer (Sekunder)
Tuberculosis Post-Primer adalah kuman yang dormant pada
tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai
infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa ( tuberkulosis post-
primer ). Hal ini dipengaruhi penurunan daya tahan tubuh atau
status gizi yang buruk. Tuberkulosis pasca primer ditandai dengan
adanya kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura. Tuberkulosis post-primer ini dimulai dengan sarang
dini di regio atas paru-paru. Sarang dini ini awalnya juga berbentuk
sarang pneumonia kecil. Tergantung dari jenis kuman, virulensinya
dan imunitas penderita, sarang dini ini dapat menjadi :
1. Diresorbsi kembali tanpa menimbulkan cacat.
2. Sarang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan
sembuhan jaringan fibrosis.
3. Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang
menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis dan menjadi lembek membentuk jaringan
keju.
4. Bila tidak mendapat pengobatan yang tepat penyakit ini
dapat berkembang biak dan merusak jaringan paru lain atau
menyebar ke organ tubuh lain.
3. Apa saja diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit tersebut ?
Jawab:
kami memilih beberapa hipotesa awal/differential diagnosis, adapun
diantaranya adalah :
1. Tuberculosis
2. Limfadenitis TB
3. Kanker Paru
Untuk diagnosis akhir kami memilih Tuberculosis Paru

4. Apa saja penatalaksanaanya ?


Jawab: Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi
dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat
dibagi menjadi obat utama dan tambahan. Obat anti tuberkulosis (OAT)
yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet
tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis
obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan
isoniazid.
Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1. Kategori 1 : 2RHZE/4RH3
2. Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB
ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan cara RHZ diberikan selama
2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4 bulan.
2. Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sudah diberikan
tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien kambuh, pasien gagal
pengobatan dengan kategori 1, dan pasien yang diobati kembali setelah
putus obat.
a) Terapi MDR-TB
Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan sebelumnya,
dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro. Jangan gunakan
obat yang sudah resisten. Ada baiknya mengonsultasikan pasien dengan
MDR-TB kepada spesialis penyakit paru.
Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien dengan
MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :
 Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid,
etambutol, rifampisin
 Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin,
capreomycin, streptomisin
 Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin,
moxifloksasin, ofloksasin
 Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya:
cycloserine, terizidone, asam para aminosalisilat (PAS),
etionamide, protionamide
 Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk
penggunaan rutin karena efektifitasnya masih belum jelas.
Namun diikutsertakan dengan alasan bahwa bilamana ke 4
grup obat tersebut diatas tidak mungkin diberikan kepada
pasien, seperti pada XDR-TB.
Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
spesialis penyakit paru. Contoh obatnya: clofazimine, linezolid,
amoksisilin klavulanat, thiocetazone, imipenem/cilastatin, klaritromisin,
INH dosis tinggi.
b) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin dan kanamisin yang bersifat
ototoksik pada janin. Pemberian kedua obat tersebut akan menyebabkan
gangguan pendengaran dan keseimbangan pada bayi ketika lahir.
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian
piridoksin 50 mg/hari. Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan dosis
10 mg/hari jika rifampisin digunakan pada trimester ketiga.

c) Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman bagi ibu
menyusui. Tatalaksana OAT yang adekuat akan mencegah penularan TB
ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari ibu penderita TB, terapi profilaksis
isoniazid dapat diberikan.

d) Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu dirawat
inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau komplikasi
berikut :
 Batuk darah masif
 Keadaan umum dan tanda vital buruk
 Pneumotoraks
 Empiema
 Efusi pleural masif/bilateral
 Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan


pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif)


dan lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,


biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif


(konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,


namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan

5. Bagaimana prognosa penyakit Tn. Tarjo ?


Jawab: Prognosis tuberkulosis paru (TB Paru) tergantung pada
diagnosis dini dan pengobatannya. Prognosis yang buruk ditandai
dengan adanya keterlibatan TB ekstrapulmoner, pada lansia dan
riwayat pengobatan sebelumnya yang buruk. Pada kasus ini, pasien
tidak memiliki riyawat TBC sebelumnya, dan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa TBC paru 7 bulan yang lalu,
tidak terdapat resistensi obat tbc, sehingga prognosis untuk pasien ini
masih baik jika segera ditanggani dan diterapi dengan benar.

6. Bagaimana komunikasi,, informasi, dan edukasi pada kasus ini ?


Jawab: Peran keluarga dalam pencegahan penularan TB Paru sangatlah
penting, karena salah satu tugas dari keluarga adalah melakukan
perawatan bagi anggota keluarga yang sakit dan mencegah penularan
pada anggota keluarga yang sehat. Disamping itu keluarga dipandang
sebagai sistem yang berinteraksi, dengan fokusnya adalah dinamika
dan hubungan internal keluarga, serta saling ketergantungan subsistem
keluarga dengan kesehatan, dan keluarga dengan lingkungan luarnya
(Ali, 2010).
Adapun beberapa upaya yang dilakukan keluarga untuk pencegahan
TB paru sebagai berikut:
1. Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat
batuk
2. Menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB Paru
3. Membuka jendela rumah untuk pencegahan penularan TB Paru
dalam keluarga
4. Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan TB
Paru dalam keluarga
Jadi dalam mengedukasi dan memberikan informasi harus diberikan
kepada pasien serta keluarga yg menemani agar mendapatkan ilmu
serta pengetahuan mengenai penyakit TB paru sehingga dapat
mencegah serta bagaimana menanggulangi penyakit tersebut.
Dalam berkomunkasi harus selalu dilakukan secara 2 arah agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan Rajinlah kontrol ke dokter agar
penyakit dapat diatasi serta tidak menularkan ke orang lain maupun
keluarga jadi edukasi,informasi,serta komunikasi sangat penting dalam
penyembuhan penyakit pasien
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014,


Dirjen P3L Kementerian Kesehatan RepublikIndonesia:Jakarta.

CDC, Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep, 2003. 52(RR-11): p. 1-77.

WHO, Treatment of Tuberculosis Guidelines, 4th edition. 2010.

Sukana, B., Herryanto, & Supraptini., 2009. Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan
Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan.
2(3) : 282-289

Wilson, D., Rocío, M., Hurtado, MD., and Subba, D., 2009. Case Records of The
Massachusetts General Hospital. New England Journal of Medicine 360:2456-2464

Anda mungkin juga menyukai