SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
perkenannya sehingga tugas Small Group Discussion berjudul “SKENARIO 2
BENJOLAN DI LEHER” Makalah ini disusun untuk mahasiswa untuk
memahami permasalahan atau topik dari skenario yang sudah disediakan dalam
buku pedoman modul mahasiswa pada mata Kuliah Ilmu kedokteran Terintegrasi.
Di harapkan setelah menganalisa mendalam suatu problem atau sebuah kasus
yang sudah disediakan, Mahasiswa bisa memahami dan dapat dijadikan sebagai
pengetahuan dan pembelajaran dalam rangka perkuliahan di Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Penyusun menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berperan dan memberikan bantuan serta kemudahan untuk makalah ini.
Makalah ini tidak lepas dari segala kekurangan. Oleh karena itu dengan
kerendahan hati, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca untuk penyempurnaan ke depan.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I SKENARIO 1
BAB II KATA KUNCI
BAB III PROBLEM
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Batasan
4.2 Anatomi dan Fisiologi
4.3 Patofisiologi
4.4 Jenis-jenis penyakit yang berhubungan
4.6 Gejala Klinis
4.5 Pemeriksaan Fisik
4.6 Pemeriksaan Penunjang Penyakit
BAB V HIPOTESIS AWAL (DIFERENTIAL DIAGNOSIS)
BAB VI ANALISIS DARI DIFERENTIAL DIAGNOSIS
BAB VII HIPOTESIS AKHIR
BAB VIII MEKANISME DIAGNOSIS
BAB IX STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
9.1 Penatalaksanaan
9.2 Prinsip Tindakan Medis
BAB X PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
10.1 Cara Penyampaian Prognosis Kepada Pasien / Keluarga Pasien
10.2 Komplikasi
10.3 Cara Merujuk Pasien
10.4 Pencegahan Penyakit
BAB XI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
SKENARIO I
KATA KUNCI
1. Usia 45 tahun
Pengertian Usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan
tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun,
dewasa Madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut >60 tahun, umur
adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan
(Harlock, 2004).
2. Benjolan di leher
Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis
yang sering, insidennya masih belum diketahui dengan pasti. Massa pada
leher dapat terjadi pada semua usia (Underbrink, 2011). Diagnosis
bandingnya sangat luas, karena massa pada leher bisa berasal dari kelenjar
getah bening, kelenjar tiroid, kelenjar saliva, dan lain-lain. Penyebabnya
bisa karena kongenital, infeksi, inflamasi, neoplasia (jinak dan ganas), atau
metastasis (Subekti, 2005).
PROBLEM
PEMBAHASAN
4.1 BATASAN
a. Leher
Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F
%2Fm.kaskus.co.id
Tulang leher terdiri dari tujuh ruas, mempunyai badan ruas
kecil dan lubang ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang
tempat lajunya saraf yang disebut foramen tranvertalis. Ruas pertama
vertebra serfikalis disebut atlas yang memungkinkan kepala
mengangguk. Ruas kedua disebut prosesus odontois (aksis) yang
memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan. Ruas ketujuh
mempunyai taju yang disebut prosesus prominan. Taju ruasnya agak
panjang. Tulang-tulang yang terdapat pada leher:
1) Os. Hyoideum adalah sebuah tulang uang berbentuk
U dan terletak di atas cartylago thyroidea setinggi
vertebra cervicalis III.
2) Cartygo thyroidea
3) Prominentia laryngea, dibentuk oleh lembaran-
lembaran cartylago thyroidea yang bertemu di bidang
median. Prominentia laryngea dapat diraba dan
seringkali terlihat.
4) Cornu superius, merupakan tulang rawan yang dapat
diraba bilamana tanduk disis yang lain difiksasi.
5) Cartilagocricoidea, sebuah tulang rawan larynx yang
lain, dapat diraba di bawah prominentia laryngea
6) Cartilagines tracheales, teraba dibagian inferior leher.
7) Cincin-cincin tulang rawan kedua sampai keempat
tidak teraba karena tertutup oleh isthmus yang
menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister
glandulae thyroideae.
8) Cartilage trachealis I, terletak tepat superior terhadap
isthmus.
b. Otot Leher
Otot bagian leher dibagi menjadi tiga bagian:
1) Muskulus platisma yang terdapat di bawah kulit dan
wajah. Otot ini menuju ke tulang selangka dan iga
kedua. Fungsinya menarik sudut-sudut mulut ke
bawah dan melebarkan mulut seperti sewaktu
mengekspresikan perasaan sedih dan takut, juga untuk
menarik kulit leher ke atas.
2) Muskulus sternokleidomastoideus terdapat pada
permukaan lateral proc.mastoidebus ossis temporalis
dan setengah lateral linea nuchalis superior.
Fungsinya memiringkan kepala ke satu sisi, misalnya
ke lateral (samping), fleksi dan rotasi leher, sehingga
wajah menghadap ke atas pada sisi yang lain;
kontraksi kedua sisi menyebabkan fleksi leher. Otot
ini bekerja saat kepala akan ditarik ke samping. Akan
tetapi, jika otot muskulus platisma dan
sternokleidomastoideus sama-sama bekerja maka
reaksinya adalah wajah akan menengadah.
3) Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan
semispinalis kapitis. Fungsinya adalah laterofleksi dan
eksorositas kepala dan leher ke sisi yang sama.
4) Ketiga otot tersebut terdapat di belakang leher yang
terbentang dari belakang kepala ke prosesus spinalis
korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala belakang
dan menggelengkan kepala.
d. Paru
Sumber: https://www.kompas.com
4.2.2 Histologi
a. Leher
https://blogkputih.wordpress.com/2012/02/14/histologijaringan-otot-muscle-tisuue/
b. Paru
http://tataevand.blogspot.com/2013/12/histologi-sistem-respirasi.html
4.3.1 PATOFISIOLOGI
1. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer ialah penyakit TB yang timbul dalam lima
tahun pertama setelah terjadi infeksi basil TB untuk pertama
kalinya
(infeksi primer). Penularan tuberkulosis paru terjadi karena
kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet
dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1- 2 jam. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini dapat terhisap oleh orang sehat ia akan
menempel pada jalan napas atau paru-paru. Bila menetap di
jarigan paru, akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru-
paru akan membentuk sarang tuberkulosa pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau afek primer dan dapat terjadi di
semua bagian jaringan paru. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus ( limfangitis
lokal ) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
( limfangitis regional ) yang menyebabkan terjadinya kompleks
primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (kerusakan
jaringan paru).
c) Berkomplikasi dan menyebar secara :
i. Per kontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya.
ii. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun paru di sebelahnya. Dapat juga kuman
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus.
iii. Secara linfogen, ke organ tubuh lainnya.
iv. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
2. Tuberkulosis Post-Primer (Sekunder)
Tuberculosis Post-Primer adalah kuman yang dormant pada
tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
( tuberkulosis post-primer ). Hal ini dipengaruhi penurunan
daya tahan tubuh atau status gizi yang buruk. Tuberkulosis
pasca primer ditandai dengan adanya kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tuberkulosis post-
primer ini dimulai dengan sarang dini di regio atas paru-paru.
Sarang dini ini awalnya juga berbentuk sarang pneumonia
kecil. Tergantung dari jenis kuman, virulensinya dan imunitas
penderita, sarang dini ini dapat menjadi :
1. Diresorbsi kembali tanpa menimbulkan cacat.
2. Sarang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan
sembuhan jaringan fibrosis.
3. Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang
menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis dan menjadi lembek membentuk jaringan
keju.
4. Bila tidak mendapat pengobatan yang tepat penyakit ini dapat
berkembang biak dan merusak jaringan paru lain atau menyebar
ke organ tubuh lain.
4.3.2 PATOMEKANISME
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB
ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan
manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang
dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat.
Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati
leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai
yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah
bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh
kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis. Berdasarkan penelitian oleh
Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu:
63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal,
dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35%
pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya
tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu
sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis
posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular.
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala
sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan
keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala
sistemik. Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada
21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien.
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam
lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile
dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke
jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central
softening) akibat pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium
penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali
terjadi infeksi sekunder bakteri pembesaran kelenjar yang cepat
atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat
pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak
menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan
fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis. Secara
klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-
biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma
adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan
langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh
paparan langsung terhadap basil TB.
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-
anak. Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan
gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan
keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga
dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax,
chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi
biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan
obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan
terjadi akibat limfadenitis mediastinal.
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm
biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang
berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik,
tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut
disebabkan oleh M.tuberculosis.
1. Limfadenitis Tuberkulosis
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening. limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis.
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau
getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan
pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar
limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada
kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar,
2004). Istilah scrofuladiambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah
tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini
juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan
dengan nama “King’s evil”, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan
raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis
pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari
struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut
dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).
1. Limfadenitis Tuberkulosis
Gejala sistemik/umum :
a. Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu/lebih
b. Demam selama tiga minggu/lebih
c. Penurunan nafsu makan
d. Berat badan turun
e. Rasa kurang enak badan/malaise, lemah
f. Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa
Gejala Khusus :
1. Limfadenitis Tuberkulosis
Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai terutama pada
regio koli anterior, submandibula, supraklavikula, aksila, dan inguinal.
Biasanya kelenjar yang terkena bersifat multipel, unilateral, tidak nyeri
tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat (konfluens).
Penampakan fisik dari lymfadenitis TBC superficial
diklasifikasikan dalam 5 stadium oleh Jones dan Campbell yaitu;
a) Stadium 1 : Pembesaran KGB dengan konsistensi kenyal,
mobile/mudah digerakan, terpisah dengan nodul yang lain, hal ini
menunjukan nonspecific reaksi hyperplasia;
b) Stadium 2 : lebih besar dari stadium 1 dengan konsistensi yang
kenyal, melekat dengan jaringn sekitarnya/berkonfluensi;
c) Stadium 3 : perlunakan sentral diakibatkan karena
terbentuknya abses;
d) Stadium 4 : bentukan collar stud absess/warna kemerahan
diatas kulit yang mengalami absesa;
e) Stadium 5 : pembentukan sinus yang mengalirkan sekret
bernanah.
1. Limfadenitis Tuberkulosis
a. Pemeriksaan mikrobiologi
b. Tes Tuberkulin
c. Pemeriksaan Sitologi
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan
untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat
menunjukkan kelainan yang konsisten. USG kelenjar dapat
menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel
hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan
USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran
kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia).
Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya
ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan
lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement
serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi,
adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan
mengarahkan pada limfadenitis TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret,
konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering
terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-
sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatic.
2. Tuberkulosis paru (TB paru)
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah :
a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di
ketemukannya kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat di
pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak
sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan kedua.
Bila didapatkan hasil dua kali positif maka dikatakan mikroskopik
BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif maka pemeriksaan
perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan
satu kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.
c. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika
diketemukan bakteri taham asam.
d. Skin test (PPD, Mantoux)
e. Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
1) indurasi 0-5 mm (diameternya ) maka mantoux negative
atau hasil negative
2) indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan
3) indurasi 10- 15 mm yang artinya hasil mantoux positif
4) indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat
5) reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit
yakni persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin
f. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas,
timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan.
Perubahan yang menunjukkan perkembangan Tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
g. Pemeriksaan histology / kultur jaringan Positif bila terdapat
Mikobakterium Tuberkulosis.
h. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan
terjadinya nekrosis.
i. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
j. Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa
kerusakan jaringan paru.
k. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi,
meningkatnya rasio residu udara pada kapasitas total paru, dan
menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi parenkim /
fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari
tuberkulosis kronis).
Pemeriksaan Pencitraan
1. Tuberculosis
2. Limfadenitis TB
3. Kanker Paru
BAB VI
DATA PASIEN
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
- benjolan di leher
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
a/i/c/d : -/-/-/-
Murmur : -
Rhongki +/+
Wheezing -/-
Oedema (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Pemeriksaan BTA +2
BTA dinyatakan positif apabila pada lapang pandang terlihat batang
berwarna merah atau merah muda dengan latar belakang biru bila diwarnai
dengan pewarnaan tahan asam atau Ziehl-Neelsen. BTA biasanya
berbentuk batang, namun kadang-kadang bisa mirip kokus, filamentous,
(seperti benang), atau berkelompok. Untuk pelaporan dihitung jumlah
BTA.
2. Foto thorax fibrokalsifikasi
Foto Thorax, PA : adalah pemeriksaan radiologi dengan sinar x pada regio
thorax penderita dengan bagian anterior (dada) menghadap film dan sinar
diarahkan dari posterior (punggung). fibrokalsifikasi adalah terbentuknya
jaringan parut (seperti bekas luka dikulit) di jaringan paru, biasanya ini
muncul pada penderita TB lama atau sudah pernah sembuh.
3. Pemeriksaan laboratorium
- Leukosit : 8,9 x 10.000 / µm
- Hb : 12 g/dl
- HCT : 39%
- Platelet : 449 x 10.000 / µm
- Albumin : 2,5 mg/dl
A. TUBERCULOSIS
1. Pemeriksaan Mikroskopis
BTA atau kultur kuman dari specimen sputum/ dahak SPS.
Jika laboratorium sudah terakreditasi, pemeriksaan BTA dapat
dilakukan 2 kali dan minimal satu bahan berasal dari dahak
pagi hari. Untuk TB ekstra paru, spesimen dapat diambil dari
bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun
biopsi jaringan. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC
Paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah
Sekurang-kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA (+) atau 1 spesimen dahak
SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan
gambaran tuberculosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-)
dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
Tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+)
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas.
2. Foto Ronsen Thorax
Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Karena
di duga terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks,
batuk darah), Pada RS tipe B/C yang umumnya mempunyai
fasilitas ini, sebaiknya dikerjakan pemeriksaan radiologi.
3. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pada umumnya setiap penderita tuberculosis pasien akan
mengalami gejala – gejala umum berupa batuk berdahak lebih
dari dua minggu, batuk berdarah, lemah badan, penurunan
berat badan, meningkatnya suhu tubuh, keringat dimalam hari
sering terjadi, berubahnya gambaran hitung leukosit darah
dan meningkatnya laju endap darah (LED) (Soedarto 1995).
Nilai LED umumnya tetap dalam batas normal pada penyakit
– penyakit infeksi lokal yang kecil atau infeksi akut.
Sebaliknya LED menjadi sangat meninggi pada tuberculosis,
infeksi kronis, demam reumatik, arthritis, dan nefritis (Depkes
RI, 1989).
Mekanisme dalam pemeriksaan LED adalah fase I, tahap
pengendapan (agregasi) dimana eritrosit saling menyatu atau
membentu rouleaux, fase II, tahap sedimentasi dimana
pengendapan eritrosit terjadi secara konstan dan berlangsung
selama 30 menit dengan kecepatan maksimal. Fase III, tahap
pemadatan dimana kumpulan agregat mulai melambat karena
terjadi pemadatan dari eritrosit yang mengendap (Kiswari.S,
2014).
Pembentukan rouleaux, jika rouleaux banyak terbentuk
maka LED meningkat, dimana dalam hal hal ini di pengaruhi
oleh temperatur, letak posisi pipet, fibrinogen dan globulin
yang meningkat (Depkes RI. 1989).
B. KANKER PARU
1. Foto Rontgen Toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat
bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda
yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler,
disertaiidentasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto
tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dindingdada, efusi
pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan
keterlibatan KGB untuk menentukan agak sulit ditentukan
dengan foto toraks saja. Bila foto toraks menunjukkan
gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan fungsi berulang atau
pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor
primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila
cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
2. CT-Scan Toraks
Tehnik ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih
baik daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor
dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap
bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang
tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-
scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk
menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB
(N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya
mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
3. Pemeriksaan radiologik lain
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak
mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu
dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT
untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak,
bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis
diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat
ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain
dalam rongga perut.
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR ( DIAGNOSIS )
MEKANISME DIAGNOSIS
Anamnesa
Keluhan Utama : Benjolan di leher
Px Fisik
Kesadaran Umum : Compos Mentis
Vital Sign : Tensi : 130/80 mmHg
Hipotesa Akhir
Nadi : 96x / menit
Dari hasil analisa kelompok kami
RR : 28x / menit
berdasarkan identifikasi terhadap gejala
o
Suhu : 36,9 C klinis, pemeriksaan fisik penyakit,
pemeriksaan penunjang penyakit pada
Px Penunjang
Differential Diagnosis, kami
a. Pemeriksaan Mikroskopis
menyimpulkan diagnosa pada skenario
b. Foto ronsen thorax
ini adalah Tuberculosis.
c. Pemeriksaan darah lengkap
BAB IX
A. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi
dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat
dibagi menjadi obat utama dan tambahan. Obat anti tuberkulosis (OAT)
yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet
tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis
obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan
isoniazid.
1. Kategori 1 : 2RHZE/4RH3
2. Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3
1. Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB
paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis,
dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan
cara RHZ diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4
bulan.
2. Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang
sudah diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien
kambuh, pasien gagal pengobatan dengan kategori 1, dan
pasien yang diobati kembali setelah putus obat.
a) Terapi MDR-TB
Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan sebelumnya,
dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro. Jangan
gunakan obat yang sudah resisten. Ada baiknya mengonsultasikan
pasien dengan MDR-TB kepada spesialis penyakit paru.
Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien
dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :
b) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT
aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin dan kanamisin yang
bersifat ototoksik pada janin. Pemberian kedua obat tersebut akan
menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan pada bayi
ketika lahir.
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian
piridoksin 50 mg/hari. Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan
dosis 10 mg/hari jika rifampisin digunakan pada trimester ketiga.
c) Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman bagi
ibu menyusui. Tatalaksana OAT yang adekuat akan mencegah
penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari ibu penderita
TB, terapi profilaksis isoniazid dapat diberikan.
d) Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu
dirawat inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau
komplikasi berikut :
Batuk darah masif
Pneumotoraks
Empiema
Kriteria Sembuh
Monitoring
1. Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk
OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien.
BAB X
10.1 Prognosis
10.2 Komplikasi
1. Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau kenakan apabila
menggunakan tisu untuk menutup mulut, buanglah segera setelah
digunakan.
2. Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
3. Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan
sering membuka pintu dan jendela agar udara segar serta sinar
matahari dapat masuk.
4. Jangan tidur sekamar dengan orang lain (orang sehat) , sampai dokter
menyatakan TBC yang yang derita tidak lagi menular.
BAB XI
PENUTUP
Kesimpulan
c) Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman bagi ibu
menyusui. Tatalaksana OAT yang adekuat akan mencegah penularan TB
ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari ibu penderita TB, terapi profilaksis
isoniazid dapat diberikan.
d) Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu dirawat
inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau komplikasi
berikut :
Batuk darah masif
Keadaan umum dan tanda vital buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleural masif/bilateral
Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura
a. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Tahap Lanjutan
Sukana, B., Herryanto, & Supraptini., 2009. Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan
Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan.
2(3) : 282-289
Wilson, D., Rocío, M., Hurtado, MD., and Subba, D., 2009. Case Records of The
Massachusetts General Hospital. New England Journal of Medicine 360:2456-2464