ASFIKSIA
DIRUANG PERINATOLOGI
RUMAH SAKIT ISLAM BANJARMASIN
Disusun oleh:
DEWI NURPITASARI
NPM: 2014401110021
(Dewi Nurpitasari)
Menyetujui
( ) ( )
Laporan Pendahuluan
Asfiksia
Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan
bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan
sistem pernafasan bawah terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate and
Nair, 2011).
1. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama
dalam sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan bagian
internal. Di hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang berupa tulang
1
dan hyaline kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit. Struktur interior
dari bagian eksternal hidung memiliki tiga fungsi : (1) menghangatkan,
melembabkan, dan menyaring udara yang masuk; (2) mendeteksi stimulasi
olfaktori (indra pembau); dan (3) modifikasi getaran suara yang melalui bilik
resonansi yang besar dan bergema. Rongga hidung sebagai bagian internal
digambarkan sebagai ruang yang besar pada anterior tengkorak (inferior pada
tulang hidung; superior pada rongga mulut); rongga hidung dibatasi dengan
otot dan membrane mukosa (Tortorra and Derrickson, 2014)
2. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13
cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane
mukosa. Otot rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap
sedangkan apabila otot rangka kontraksi maka sedang terjadi proses menelan.
Fungsi faring adalah sebagai saluran untuk udara dan makanan, menyediakan
ruang resonansi untuk suara saat berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan
pada reaksi imun terhadap benda asing) (Tortorra and Derrickson, 2014)
3. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3
bagian berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid,
cuneiform, dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan
dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan
vokal sebenarnya) untuk menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan
bagian tunggal adalah tiroid, epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid
keduanya berfungsi melindungi pita suara. Epiglotis melindungi saluran udara
dan mengalihkan makanan dan minuman agar melewati esofagus (Peate and
Nair, 2011).
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati
udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar
bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan
didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat
2
dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi
batuk, memaksa partikel besar yang masuk kembali keatas (Peate and Nair,
2011).
5. Bronkus
Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan
kiri, yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula.
Didalam masing-masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit,
pendek, dan semakin banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada
pohon. Cabang terkecil dikenal dengan sebutan bronchiole (Sherwood, 2010).
Pada pasien PPOK sekresi mukus berlebih ke dalam cabang bronkus sehingga
menyebabkan bronkitis kronis.
6. Paru-paru
Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus. Terdapat tiga
lobus di paru sebelah kanan dan dua lobus di paru sebelah kiri. Diantara
kedua paru terdapat ruang yang bernama cardiac notch yang merupakan
tempat bagi jantung. Masing-masing paru dibungkus oleh dua membran
3
pelindung tipis yang disebut parietal dan visceral pleura. Parietal pleura
membatasi dinding toraks sedangkan visceral pleura membatasi paru itu
sendiri. Diantara kedua pleura terdapat lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini
mengurangi gesekan antar kedua pleura sehingga kedua lapisan dapat
bersinggungan satu sama lain saat bernafas. Cairan ini juga membantu pleura.
Kadar saturasi oksigen normal anak
Anak yang sehat memiliki kadar saturasi oksigen 95-100 persen. Jika kadar
oksigen rendah, anak mungkin memerlukan terapi oksigen.
B. DEFINISI ASFIKSIA
1. Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi saat mengalami gangguan
pertukaran gas dan transport oksigen sehingga penderita kekurangan
tersedianya oksigen dan kesulitan pengeluaran karbondioksida (AH, Markum,
2001).
2. Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah dilahirkan. Asfiksia berarti hipolesia yang
progresif yang gangguan pertukaran gas serta transfor O2 dan ibu ke janin
sehinga terjadi gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan
CO2 (http://www.dkk-bpp.com-sysinfokes kota Balikpapan).
4
3. Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir (Sarwono, 2010).
C. ETIOLOGI
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan.
1. Asfiksia dalam kehamilan
Dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan obat bius,
uremia dan toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma.
2. Asfiksia dalam persalinan
Dapat disebabkan oleh:
a. Kekurangan O2, misalnya pada:
1) Partus lama (CPD, servik kaku, dan atonia/inersia uteri).
2) Ruptura uteri yang membakat, kontraksi uterus yang terus- menerus
mengganggu sirkulasi darah ke plasenta.
3) Tekanan terlalu berat dari kepala anak pada plasenta.
4) Prolapsus talui pusat akan tertekan antara kepala dan panggul
5) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada
6) waktunya.Perdarahan banyak, misalnya plasenta previa dan solusio
plasenta
7) Kalau plasenta sudah tua dapat terjadi postmaturitas (serotinus), disfungsi
uri.
b. Paralisis pusat pernafasan, akibat trauma dari luar seperti karena tindakan
porsep, atau truma dari dalam seperti obat bius.
5
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik
: kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.
h. Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang
dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada
respon terhadap refleks rangsangan.
E. PATWAYS
6
F. MANIFESTASI KLINIS
Ada 2 macam asfiksia:
1. Asfiksia livida (biru)
2. Asfiksia palida (putih)
Perbedaan Asfiksia Livida Asfiksia Palida
Warna kulit Kebiru-biruan Pucat
Tonus otot Masih kuat Sudah kuning
Reaksi rangsangan Positif Negatif
Bunyi Jantung Masih teratur Tidak teratur
Prognosis Lebih baik Jelek
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah
a. Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :
1) Hb (normal 15-19 gr%), biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb cenderung
turun karena O2 dalam darah sedikit.
2) Leukositnya lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct) karena
bayi preterm imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi.
3) Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct).
4) Distrosfiks pada bayi preterm dengan pos asfiksi cenderung turun karena
sering terjadi hipoglikemi.
b. Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :
1) pH (normal 7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis metabolik.
2) pCO2 (normal 35 – 45 mmHg). Kadar pCO2 pada bayi post asfiksia
cenderung naik sering terjadi hiperapnea.
3) pO2 (normal 75-100 mmHg). Kadar pO2 bayi post asfiksia cenderung turun
karena terjadi hipoksia progresif.
4) HCO3 (normal 24-28 mEq/L)
7
2. Urine
Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :
a. Natrium (normal 134-150 mEq/L)
b. Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L)
c. Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)
3. Foto thorax
Pulmonal tidak tampak gambaran, jantung ukuran normal.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Resusitasi
a. Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
b. Terapi medikamentosa :
2. Epinefrin
Indikasi :
a. Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan
ventilasi adekuat dan pemijatan dada.
b. Asistolik.
Dosis :
a. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara
: i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
3. Volume ekspander
Indikasi :
a. Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan
tidak ada respon dengan resusitasi.
b. Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis
ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada
resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
a. Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
b. Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis :
8
a. Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang
sampai menunjukkan respon klinis.
Efek samping :
a. Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak
fungsi miokardium dan otak.
I. KOMPLIKASI
1. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan
menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang
berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini
dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan
perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir
ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan
pengeluaran urine sedikit.
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena
perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
J. PROGNOSIS
9
1. Asfiksia livida lebih baik dari palida. Prognosis tergantung pada kekurangan
oksigen dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam keadaan
asfiksia dan pulih kembali harus diperkirakan kemungkinannya menderita
cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang.
Dalam praktek menentukan tingkatan asfiksia bayi dilakukan dengan penialian
APGAR SCORE patokan klinis yang dinilai adalah :
a. Menghitung frekuensi jantung
b. Melihat usaha bernafas
c. Menilai tonus otot
d. Menilai reflek rangsangan
e. Memperhatikan warna kulit
2. Tingkat Asfiksia :
a. Bayi normal dengan APGAR 10.
b. Bayi normal atau sedikit asfiksia (APGAR 7 – 9)
c. Asfiksia ringan sedang nilai (APGAR 4 – 6).
BJA > 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas
tidak ada.
d. Asfiksia berat ( APGAR 0 – 3 )
BJA < 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, kadang pucat, reflek
iritabilitas tidak ada.
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali.
10
a. Nama bayi : untuk mengetahui identitas bayi bahwa bayi tersebut
adalah benar-benar anak dari orang tuanya.
Jenis kelamin : untuk perbedaan jenis/ gender
Tanggal lahir : untuk mengetahui umur bayi
Anak ke berapa :untuk mengetahui berapa jumlah anak
b. Biodata orang tua
Nama : Nama ibu dan suami untuk mengenal, memanggil dan
menghindari terjadinya kekeliruan.
Umur : Untuk mengetahui apakah ibu termasuk primitua gravida (> 35
th) atau primi muda gravida < 18 th
Suku bangsa : Untuk mengetahui dari suku mana ibu berasal dan memudahkan
tenaga kesehatan dalam memberikan komunikasi dengan ibu untuk mengadakan
persiapan dan agar nasehat yang diberikan dapat diterima dan dimengerti oleh ibu/
keluarga.
Agama : Ditanyakan untuk mengetahui kemungkinan pengaruhnya
terhadap kebiasaan pasien, dengan diketahui agama pasien akan memudahkan kita
dalam melakukan pendekatan di dalam melaksanakan asuhan kebidanan.
Pendidikan : Tingkat penyampaian komunikasi yang diberikan tergantung pada
tingkat pengetahuan dan sebagai dasar dalam memberikan asuhan. Hal ini sangat
mempengaruhi keefektifan dalam memberikan asuhan pada klien.
Pekerjaan : Untuk mengetahui bagaimana taraf hidup dan sosial ekonomi
penderita itu agar nasehat kita nanti sesuai.
Penghasilan : Untuk mengetahui status ekonomi penderita dan mengetahui pola
kebiasaan yang dapat mempengaruhi kesehatan klien.
Alamat : Untuk mengetahui tempat tinggal klien dan menilai apakah
lingkungannya bersih dan aman bagi kesehatannya serta mempermudah untuk
melakukan kunjungan ulang.
2) Alasan datang
Bayi datang ke rumah sakit dirujuk/ datang dengan keinginan orang tua sendiri
dengan alasan-alasan tertentu dan untuk menegakkan diagnosa serta tindakan
yang seharusnya dilakukan.
11
3) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan oleh ibu/ bayi pada saat dilakukan pengkajian
dan keluhan ibu tentang keadaan bayinya.
4) Riwayat prenatal, natal, post natal
Untuk mengetahui perkembangan janin mulai dari masa hamil, persalinan dan
masa nifas.
5) Pola kebiasaan sehari-hari
Sangat penting ditanyakan untuk mengetahui pola nutrisi, eliminasi, istirahat,
aktivitas dan personal hygiene yang dilakukan oleh ibu bayi terhadap bayi di
rumah atau di RS.
b) Data Obyektif
1. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Baik/ cukup/ lemah
Kesadaran : Composmentis/ somnolen/ koma
Warna kulit dan bibir : merah/ biru
Tangis bayi : Kuat/ merintih/ lemah/ tidak menangis
BB : Normal (2500-4000 gram)
PB : Normal (48-52 cm)
AS : Normal (nilainya 7-10)
Tanda-tanda vital
Nadi : Normal (120-160x/ menit)
Suhu : Normal (36,5-37,5oC)
RR : Normal (40-60x/ menit)
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi dan palpasi
Kepala : Ada benjolan abnormal/ tidak, ada chepal haematoma/ tidak
ada caput succedaneum/ tidak.
Wajah : Pucat/ tidak, oedema/ tidak
Mata : Simetris/ tidak, sclera ikterus/ tidak, konjungtiva pucat/ tidak
Hidung : Bersih/ tidak/ ada polip/ tidak, ada secret/ tidak, ada pernafasan
cuping hidung/ tidak, O2 -/+, sonde -/+
12
Telinga : Bersih/ tidak, ada serumen/ tidak
Mulut :Bibir sianosis/ tidak, lidah bersih/ tidak, ada labioschicyis/ tidak,
ada labiopalatoschicys/ tidak, reflek hisap -/+
Leher : Tampak pembesaran kelenjar tyroid/ tidak, tampak pembesaran
kelenjar limfe/ tidak, tampak pembesaran vena jugularis/ tidak
Dada : Simetris/ tidak, ada retraksi dada/ tidak, nafas teratur/ tidak
Abdomen : Ada benjolan abnormal/ tidak, kembung -/+
Genetalia : Bersih/ tidak, labia mayora menutupi labia minora/ tidak
Anus : Bersih/ tidak, mekonium -/+, atresia -/+
Ekstremitas:
Atas : Gerakan aktif/ tidak, polidaktili/ tidak, sindaktili/ tidak, kuku
pucat/ tidak
Bawah : Gerakan aktif/ tidak, polidaktili/ tidak, sindaktili/ tidak, kuku
pucat/ tidak.
Integumen : Bersih/ tidak, warna merah/ biru, turgor baik/ tidak
b. AuskultasiDada : Terdengar wheezing maupun ronchi/ tidak
Abdomen : Terdengar bising tali pusat/ tidak
c. Perkusi
Abdomen : kembung -/+
d. Reflek
Moro : +/-
Rooting : +/-
2. Diagnosa Keperawatan
Dx I : Gangguan perfusi jaringan
Dx II : Gangguan pola nafas
Dx III : Gangguan pertukaran gas
Dx IV : Gangguan kekurangan cairan dan elektrolit
Dx V : Gangguan kekurangan nutrisi
13
Dx VI : Hipotermi
Dx VII : Hipertermi
Dx VIII: Gangguan Sistim Urinaria
Intervensi & Rasional
a) Dx I : gangguan perfusi jaringan sehingga suplai O2 kurang
Tujuan : Setelah diberikan tindakan kebidanan 1x24 jam
diharapkan tidak terjadi asfiksia
Kriteria Hasil :
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
TTV
Suhu : 36,5oC – 37,5oC
Nadi : 120-140 x/menit
RR : 30-60 x/menit
Pernafasan spontan
Warna kulit kemerahan
Bayi menangis spontan
Intervensi & Rasional :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
R/ Mencegah terjadinya infeksi
2) Letakkan bayi pada posisi ekstensi (diganjal setinggi ±5 cm)
R/ Mempermudah membuka jalan nafas
3) Pemasangan O2
R/ Pemenuhan kebutuhan O2
4) Lakukan rangsangan taktil pada bayi
R/ Terbentuk rangsangan syaraf sehingga bayi bernafas dan menangis
spontan
5) Keringkan tubuh dan kepala bayi dengan handuk/kain kering
R/ Menjaga kehangatan bayi
6) Jelaskan pada keluarga keadaan bayi saat ini
R/ Keluarga lebih kooperatif dalam melakukan tindakan keperawatan
14
7) Lakukan kolaborasi dengan dengan dokter spesialis anak
R/ Memberikan terapi selanjutnya sesuai keadaan bayi
8) Lakukan observasi TTV tiap 1 jam
R/ Kondisi bayi dapat terpantau dan parameter terjadinya komplikasi
15
R/ turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi
c) Dx III : Pengendalian suhu sehubungan dengan gangguan pada
hipotermi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan kebidanan 1x24 jam diharapkan tidak
terjadi hipertermi
Kriteria Hasil :
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : composmentis
TTV
Suhu : 36,5oC – 37,5oC
Nadi : 120-140 x/menit
RR :30-60 x/menit
Akral hangat
Intervensi & Rasional :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
R/ tindakan pencegahan infeksia
2) Atur alat yang digunakan untuk memantau suhu bayi
R/ untuk mengetahui perkembangan dan suhu bayi
3) Observasi suhu tubuh setiap 4-6 jam
R/ suhu terpantau secara rutin
4) Atur posisi bayi setiap 5-6 jam sekali yaitu, miring kanan, miring
kiri, terlentang.
R/ agar bayi merasa nyaman
Implementasi
Dx I :
Implementasi :
a) Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b) Meletakkan bayi pada posisi ekstensi (diganjal setinggi ±5 cm)
c) Memasangan O2
16
d) Melakukan rangsangan taktil pada bayi
e) Mengeringkan tubuh dan kepala bayi dengan handuk/kain kering
f) Menjelaskan pada keluarga keadaan bayi saat ini
g) Melakukan kolaborasi dengan dengan dokter spesialis anak
h) Melakukan observasi TTV tiap 1 jam
Dx II :
Implementasi :
a) Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b) Memasang infus
c) Mengkaji reflek hisap dan mukosa bibir pada bayi
d) Melakukan observasi TTV tiap 1 jam
e) Memantau turgor kulit pada bayi
Dx III :
Implementasi :
a) Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b) Mengatur alat yang digunakan untuk memantau suhu bayi
c) Melakukan observasi suhu tubuh setiap 4-6 jam
d) Mengatur posisi bayi setiap 5-6 jam sekali yaitu, miring kanan, miring
kiri, terlentang.
3. Evaluasi
Dilakukan untuk mengetahui keefektifan tindakan manejemen pada tujuan dan
kriteria hasil.
17
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pelatihan Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan.
Jakarta.
IBI. 2006. 50 Tahun IBI Menyongsong Masa Depan. Jakarta: Pengurus IBI Pusat..
Johnson, M., Meriden M.,Sue M. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC).
St. Louis Baltimore: Mosby.
Kartiningsih. 2009. Hubungan antara Faktor Ibu dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali. Solo: Stikes
Mc Closkey, JC., Gloria MB. 2000. Nursing Intervention Classification (NIC). St.
Louis Baltimore: Mosby.
18
19