Anda di halaman 1dari 25

WRAP UP SKENARIO 1

BERSIN DI PAGI HARI


BLOK SISTEM RESPIRASI

Kelompok : B-12

Ketua
Dayang Annaya Salsabila (1102018260)

Sekretaris
Dinda Melania Apriliani (1102018314)

Anggota
Alyka Sheila Masah (1102018202)
Asviaditha Oktory (1102018185)
Muafa Rohadatul Aisy (1102018217)
Teuku Hanif Alwi Fathani (1102018308)
Muhammad Alfin Al Faisal (1102018338)
Bellatria Kentsyai (1102018188)
Miranda Sukmawati (1102018331)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2018-2019

Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510


Telp. (+62)214244574 Fax.(+62)214244574
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..i
SKENARIO 1..1

Kata Sulit..2

Pertanyaan..2

Jawaban..3

Hipotesis..4

Sasaran Belajar..5

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi, Histologi dan Fisiologi Ankle..5

2. Memahami dan Menjelaskan Imunisasi dan Vaksinasi13

2.1 Definisi13

2.2. Klasifikasi13

2.3. Etiologi14

2.4. Mekanisme15

2.5. Manifestasi Klinik15


2.6. Diagnosis Banding15

3. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan untuk Ankle Sprain15

4. Memahami dan Menjelaskan Tatalakasana untuk Ankle Sprain17

DAFTAR PUSTAKA..20
SKENARIO 1

BERSIN DI PAGI HARI

Seorang perempuan, umur 25 tahun, selalu bersin-bersin lebih dari lima kali setiap pagi
hari, keluar ingus encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan timbul bila udara berdebu jika
berangkat ke kantor. Keluhan ini sudah dialani sejak kecil dan mengganggu aktifitas kerja.
Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa, kecuali penyakit asma pada ayah
pasien. Pada pemeriksaan fisik terlihat sekret bening keluar dari nares anterior, choncha nasalis
inferior oedem, mukosa pucat. Pasien rajin sholat tahajud, sehingga dia bertanya adakah
hubungan memasukkan air wudhu ke dalam hidung di malam hari dengan keluhannya ini?
Pasien menanyakan ke dokter mengapa bisa terjadi demikian, dan apakah berbahaya apabila
menderita keluhan seperti ini dalam jangka waktu yang lama.
Kata Sulit

1. Asma : gangguan pernapasan yang sering bersifat alergis, ditandai dengan sukit bernapas
dan rasa sesak dalam dada.
2. Bersin : mekanisme pertahanan tubuh dalam mengeluarkan benda asing.
3. Sekret : istilah yang digunakan dalam menunjuk senyawa dengan substansi tertentu yang
dihasilkan oleh kelenjar.
4. Nares anterior : rongga hidung bagian depan/lobang hidung.
5. Choncha nasalis inferior : tonjolan yang berada di cavum nasi.
6. Mukosa : lapisan jaringan yang membatasi saluran cerna dan saluran napas.
Pertanyaan

1. Mengapa bersin terjadi di pagi hari?


2. Apa diagnosis sementara pada kasus ini?
3. Apa komplikasi bila keluhan dibiarkan terlalu lama?
4. Apa penanganan untuk pasien?
5. Apa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang memiliki gejala seperti skenario?
6. Apakah ada hubungan penyakit pasien dengan riwayat penyakit asma?
7. Mengapa gatal timbul di hidung dan mata?
8. Apa hubungan gejala penyakit dengan wudhu malam hari?
9. Apakah penyakit ini penyakit turunan? Jelaskan!
10. Bagaimana mekanisme dari bersin?
11. Apakah gejala pada skenario dapat sembuh total?
Jawaban

1. Suhu lebih rendah di pagi hari, kerja silia bertambah, dan debu serta tungau di kasur
menjadi allergen inhalasi yang memicu hidung melalui bersin.
2. Rhinitis allergica.
3. Asma, sinusitis, otitis media, polip hidung.
4. • Jauhkan dari allergen
• Antihistamin (farmakokogi)
• Terapi imun
• Meningkatkan kebersihan
• Meningkatkan kebugaran jasmani (agar imun meningkat)
• Menggunakan masker
• Memasang filter udara di rumah
5. Genetik, lingkungan, gaya hidup, faktor imunitas
6. Asma termasuk hipersensitivitas sehingga menurunkan hipersensitivitas tipe I
melalui IgE.
7. Akibat histamin yang dikeluarkan oleh sel mast (banyak di rongga hidung dan mata
yang rentan infeksi).
8. Saat wudhu di malam hari, air dan suhu udara dingin sehingga menjadi pemicu
hipersensitivitas.
9. Asma termasuk hipersensitivitas sehingga menurunkan hipersensitivitas tipe Ike
anaknya melalui IgE.
10. Reaksi dari allergen yang ditangkap sel dendritik kemudian diterima oleh sel T dan
memicu sel B yang kemudian membentuk IgE (antibodi). Kemudian terjadi reaksi
inflamasi yang menyebabkan bersin.
11. Bisa, dengan cara disensitisasi (penyuntikan allergen secara berkala)
Sasaran Pembelajaran

LO 1 : Mengetahui dan Memahami Saluran Pernapasan Atas


1.1 Anatomi Makroskopis
1.2 Anatomi Mikroskopis
1.3 Fisiologi

LO 2 : Mengetahui dan Memahami Rhinitis Alergi


2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Klasifikasi
2.4 Patofisiologi
2.5 Manifestasi Klinik
2.6 Cara Diagnosis
2.7 Diagnosis Banding
2.8 Tata Laksana
2.9 Komplikasi
2.10 Pencegahan
2.11 Prognosis

LO 3 : Mengetahui dan Memahami Adab Bersin


LO 1 : Mengetahui dan Memahami Saluran Pernapasan Atas

1.1 Anatomi Makroskopis

System pernapasan adalah suatu proses terjadinya pertukaran O2 dan pengeluaran CO2
(respirasi externa) dari tubuh secara keseluruhan, serta penggunaan 02 dan pembentukan CO2
oleh sel (respirasi interna) serta pembentukan gas diantara sel tubuh dan media cair disekitarnya.
(W.F. Ganong)
System pernapasan terdiri atas organ pertukaran gas (paru) dan suatu pompa ventilasi paru
yang terdiri atas dinding dada, otot-otot napas dengan cara membesarkan dan memperkecil
ukuran rongga dada yang dikendalikan oleh pusat napas di otak

Anatomi saluran pernapasan di bagi atas:


1. Saluran napas bagian atas (Upper Respiratory Tract)
Yaitu mulai dari nares anterior sampai cartilago cricoidea larynx.
Pada waktu inspirasi udara masuk hidung melalui dua lubang hidung kanan dan kiri atau nares
anterior, kemudian melewati vestibulum nasi yang terdapat rambut-rambut yang berfungsi untuk
menyaring udara yang masuk ke cavum nasi. Udara dari cavum nasi masuk kedalam pharynx
melalui nares posterior / Choanae melewati nasopharynx terus oropharynx dan laryngopharynx
Selanjutnya terdapat epiglotis yang berfungsi membuka.aditus laryngis (pintu larynx) sehingga
udara dapat masuk ke dalam larynx.

2. Saluran napas bagian bawah (Lower Respiratory Tract)


Yaitu mulai dari bawah cartilago cricoidea (trachea), bronchus dan cabang- cabangnya
sampai alveoli pulmonis. Udara masuk saluran napas bagian bawah mulai dari bawah cartilago
cricoidea terus ke trachea bercabang dua (bifurcatio trachealis) menjadi bronchus principales /
bronchus primer dexter dan sinister masuk ke brochus sekunder/ bronchus lobaris terus ke
bronchus segmental is/ tersier, kemudian ke bronchiolus terminal is masuk ke organ paru melalui
bronchioli respiratorii ke ductuli alveolares ke sacculi alveolares dan berakhir di alveoli
pulmonis dimana terjadi difusi pertukaran 02 dan CO2. Susunan ini disebut Arbor bronchialis/
Bronchial Tree

HIDUNG
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran pernapasan. Terdiri dari tulang, tulang
rawan hyalin, otot lurik dan jaringan ikat.

Ada 2 bagian dari hidung, yaitu:


1. Eksternal : bagian menonjol dari wajah, disangga oleh os. Nasi dan tulang rawan kartilago
2. Internal : permukaan yang bermukosa berupa rongga (vestibulum nasi) yang disekat antara
kanan-kiri oleh septum nasi.

Terdapat vestibulum nasi yang terdapat silia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara.
Bagian dalam rongga hidung ada yang berbentuk terowongan yang disebut cavum nasi mulai
dari nares anterior sampai ke nares posterior (choana) lalu ke nasofaring. Sekat antara kedua
rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang dan mucusa yaitu septum nasi yang
dibentuk oleh:
1. Cartilago septi nasi
2. Os. vomer
3. Laminar perpendicularis os ethmoidalis

Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis ethmoidalis yang
memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung. Dinding inferior dibentuk oleh os maxilla
dan os palatinum. Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior. Pada
anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha nasalis yang terbentuk dari tulang tipis dan
ditutupi mukosa yang mengeluarkan lendir di medial terlihat dinding septum nasi. Pada
posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung belakang conchae nasalis media dan
inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan dengan telinga.
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami 3 hal:
1. Dihangatkan
2. Disaring
3. Dilembabkan

Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi, yang terdiri atas
Pseudostrafied Ciliated Columnar Epithelium yang berfungsi menggerakkan parikel-partikel
halus ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel goblet dan
kelenjar serosa yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi
menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha.
Selain itu, fungsi hidung yang penting adalah menyalurkan udara ke saluran napas berikutnya,
dan sebagai alat pembau.
Terdapat 3 buah concha nasalis, yaitu:
1. Concha nasalis superior
2. Concha nasalis inferior
3. Concha nasalis media

Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis superior. Antara
concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media. Antara concha nasalis inferior dan
dinding atas maxilla terdapat meatus nasalis inferior. Fungsi chonca untuk meningkatkan luas
permukaan epitel respirasi dan untuk turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan
permukaan mukosa.
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi disebut sinus paranasalis :
1. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melaluli meatus superior
2. Sinus frontalis ke meatus media
3. Sinus maxillaris ke meatus media
4. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui ductus nasolacrimalis
tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Di nasofaring terdapat hubungan
antara hidung dan rongga telinga melalui OPTA(Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) eustachii.
Alurnya bernama torus tobarius.

Persarafan Hidung

Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :


1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervus opthalmicus.
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi ganglion sfenopalatinum.

Nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari cabang ganglion
pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses penciuman:
pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa ethmoidalis ke traktur
olfactorius, bulbus olfactorius, serabut N.olfactorius pada mucusa atas depan cavum nasi.

Vaskularisasi Hidung

Berasal dari cabang A.opthalmica dan A.maxillaris interna.


a. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang: arteri nasalis externa dan lateralis, arteri septalis
anterior.
b. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang: arteri nasalis posterior, lateralis dan
septal, arteri palatinus majus.
c. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna.

Ketiga pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan
Plexus Keisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh trauma/ infeksi sehingga sering menjadi
sumber epistaksis pada anak. Bila Plexus Kisselbach pecah, maka akan terjadi epistaksis.
Epistaksis ada 2 macam, yaitu:
a. Epistaksis anterior
Dapat berasal dari Plexus Kisselbach, yang merupakan sumber perdarahan parilng sering
dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan dapat
berhenti sendiri atau spontan dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

b. Epistaksis posterior
Berasal dari arteri sphenopalatina, dan arteri ethmoidalis posterior. Perdarahan cenderung lebih
berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemia, dan syok.
Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

FARING
Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus
pada ketinggian tulang rawan Krikoid. Maka letaknya di belakang larynx (larynx-pharyngeal).
Faring terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Nasofaring terdapat Pharyngeal Tonsil dan Tuba Eustachius
b. Orofaring merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat pangkal lidah,
gabungan sistem respirasi dan pencernaan
c. Laringofaring, terjadi persilangan antara aliran dara dan aliran makanan

LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka laring
terbentuk dari tulang rawan dan tulang. Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.

a. Berbentuk tulang adalah os hyoid


b. Berbentuk tulang rawan adalah: tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, epiglotis 1 buah. Pada
arytenoid bagian ujung ada ulang rawan kecil cartilago cornuculata dan cuneiforme.
Tulang rawan dan ototnya berasal dari mesenkim lengkung faring ke-4 dan ke-6. Mesenkim
berproliferasi dengan cepat, aditus laringis berubah bentuk dari celah sagital menjadi lubang
bentuk T. Mesenkim kedua lengkung faring menjadi kartilago tiroidea, krikoidea serta
antenoidea. Epitel laring berproliferasi dengan cepat. Vakuolisasi dan rekanalisasi terbentuk
sepasang resesus lateral, berdiferensiasi menjadi pita suara palsu dan sejati.

• Os hyoid : Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot
mulut dan cartilao thyroid.
• Cartilago thyroid : Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s
laryngis atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan dari A.thyroidea superior dan inferior.
• Cartilago arytenoid : Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan
cuneiforme. Kedua arytenoid dihubungkan M.arytenoideus transversus.
• Epiglotis : Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi
untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus laryngis
supaya makanan tidak masuk ke laring.
• Cartilago cricoid : Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid
dengan lig.cricothyroid dan M.cricothyroideus medial lateral.

Otot-otot laring:
1. Otot ekstrnsik laring
2. M.cricothyroid
3. M.thyroepigloticus
4. Otot intrinsik laring
5. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika terdapat gangguan pada otot ini
maka bisa menyebabkan orang tercekik dan meninggal karena rima glottidis tertutup. Otot ini
disebut juga safety muscle of larynx.
6. M.cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan menutup rima glottidis
7. M.arytenoid transversus dan obliqus
8. M.vocalis
9. M.aryepiglotica
10. M.thyroarytenoid
Dalam cavum laryngis terdapat:
Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu. Antara
plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica vestibularis terdapat
rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus vagus dengan cabang ke laring
sebgai N.laryngis superius dan N.recurrent.

1.2 Anatomi Mikroskopis

Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:


1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
bronkiolus terminalis
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris bersilia
dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel
epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan
sel granul kecil.

Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat
kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel
respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh
septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing
dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka
superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghirup/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar
dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan
sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk
membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung
membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan
sebelum masuk lebih jauh.
SINUS PARANASALIS
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya
berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi
yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang
mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas
silia mendorong mukus ke rongga hidung.

FARING

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,
sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Bagian pertama faring yang ke arah kaudal berlanjut sebagai bagian oral organ ini yaitu
orofaring Dilapisi oleh epitel jenis respirasi (bagian yang kontak dengan palatum mole)
Terdiri dari :
a. Nasofaring (epitel bertingkat torak bersilia, dengan sel goblet)
b. Orofaring (epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk)
c. Laringofaring (epitel bervariasi)
LARING
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring
terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya
makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari
tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan
apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh
epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran
mukosa dan serosa.

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring:
pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel
respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari
epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka).
Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.
1.3 Fisiologi

Manusia melakukan inhalasi dengan memanfaatkan keseimbangan tekanan atmosfer


(barometrik) dan tekanan intra-alveolus. Udara dapat masuk ke dalam (inspirasi) dikarenakan
tekanan intra-alveolus lebih kecil dari tekanan atmosfer. Sebaliknya, udara dapat keluar
(ekspirasi) dikarenakan tekanan intra-alveolus lebih besar dari tekanan atmosfer. Tekanan
atmosfer adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat gas di atmosfer pada benda di permukaan
bumi, sebesar 760 mmHg di permukaan laut. Tekanan intra-alveolus merupakan tekanan yang
berada di dalam alveolus, sebesar 760 mmHg ketika diseimbangkan dengan tekanan atmosfer.
Kemudian ada yang disebut sebagai tekanan intrapleura, yaitu tekanan di dalam kantung pleura.
Tekanan tersebut biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, yakni 656 mmHg.

Gambar 1.1. Perubahan volume paru dan tekanan intra-alveolus sewaktu inspirasi dan ekspirasi
(Sherwood, L., 2018)

Udara masuk melewati kedua lubang hidung (nares anterior) lalu melewati vestibulum
nasi yang terdapat rambut-rambut yang berfungsi sebagai filter udara yang akan memasuki
cavum nasi, menyaring kotoran dan bakteri. Pada rambut-rambut tersebut juga terdapat mukus
yang mengandung enzim lisozim yang bertugas membunuh bakteri. Pada rongga hidung (cavum
nasi), udara melintasi saluran-saluran (meatus nasi) dan juga masuk ke dalam rongga-rongga
sinus agar udara tersirkulasi lebih lama sehingga menjadi lebih hangat dan lembab. Setelah
melewati meatus, udara melewati choana, masuk ke ruang nasopharynx, kemudian lanjut ke
oropharynx. Pada akhir oropharynx, terdapat epiglottis yang akan menutup saluran pernapasan
ketika sedang makan dan minum. Udara dari oropharynx memasuki laryngopharynx lalu menuju
larynx.
Di pintu masuk larynx (aditus laryngis) terdapat dua pita jaringan elastis yang bernama
plika vokalis yang dapat diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot larynx.
Ketika udara bergerak melewati epiglottis, lipatan vokal bergetar untuk menghasilkan berbagai
suara bicara. Bibir, lidah, dan palatum mole memodifikasi suara menjadi pola suara yang dapat
dikenali. Udara di larynx kemudian akan diteruskan ke trakea untuk selanjutnya masuk ke bagian
sistem pernapasan bawah.
LO 2 : Mengetahui dan Memahami Rhinitis Alergi

2.1 Definisi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta dilepaskan suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada
gejala bersin- bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantai oleh Ig E.

2.2 Etiologi Rhinitis Alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya.Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi.Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat.Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. Contoh jenis tungau Dermatophagoides
farinae, Dermatophagoides pteronyssinus dengan cara alergen der p 1 dan def p 1 merupakan
enzim protease sisteinyang memiliki aktivitas enzimatik yang berhubungan dengan sensitisasi
alergi.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
2.3 Klasifikasi Rhinitis Alergi

Klasifikasi rinitis alergi The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA)
mengklasifikasikan rinitis alergi 1866 berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala.
Klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi
berdasarkan lama gejala dibagi menjadi:
1. Intermiten: gejala ≤4 hari per minggu atau lamanya ≤4 minggu
2. Persisten: gejala >4 hari per minggu dan lamanya >4 minggu

Sedangkan berdasarkan beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi:


1. Ringan:
· Tidur normal
· Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
· Bekerja dan sekolah normal
· Tidak ada keluhan yang mengganggu

2. Sedang atau berat: (satu atau lebih gejala)


· Tidur terganggu (tidak normal)
· Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
· Gangguan saat bekerja dan sekolah
· Ada keluhan yang mengganggu

2.4 Patofisiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE).IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan
ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

2.5 Manifestasi Klinik Rhinitis Alergi

Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis
(Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah
• Keluar ingus (rhinore) yang encer dan banyak
• Hidung tersumbat
• Hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai lakrimasi.
• Pucat
• Edema mukosa hidung kebiruan
• Apertura Nasalis Anterior membengkak disertai secret mukoid
• Tanda hidung :
Terdapat lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute).
• Tanda di mata :
Terdapat edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic
shiner).
• Otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.
• Tanda faringeal :
terdapat faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

2.6 Cara Diagnosis Rhinitis Alergi

1. Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Karena rhinitis alergi seringkali berhubungan dengan konjungtivitis
alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat
keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang)
menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan
cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo.
Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes
epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit
tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution)
dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen
penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu,
dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa
hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau
Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

2.7 Diagnosis Banding Rhinitis Alergi

1) Rhinitis vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat.
2) Rhinitis medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor
yang diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu lama dan berlebihan
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
3) Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya adalah rhinovirus. Sangat
menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya
tahan tubuh.
4) Rhinitis hipertrofi : hipertrofi chonca karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh
bakteri primer atau sekunder.
5) Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang chonca.
6) NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes kulit
menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi
pada makanan.

Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada
perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat
pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap,
licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. Rinitis alergi dan
vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran rinoskopi anterior yang
bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan
dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang
berbau busuk dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.

Tujuan utama untuk tatalaksana adalah untuk menghilangkan gejala yang dirasakan
pasien. Terdapat terapi non-farmakologis iaitu menghindari kontak dengan allergen dan terapi
farmakologis iaitu dengan obat anti histamin generasi II, intranasal kortikosteroid, Leukotriene
receptor antagonist (LTRA), dan immunoterapi allergen. Terapi lain yang dapat digunakan ialah
dekongestan dan juga kortikosteroid oral.
2.8 Penanganan Rhinitis Alergi

Terapi Non Farmakologis


Penghindaran dari alergen
Langkah pertama untuk tatalaksana rinitis alergi adalah untuk menghindari kontak langsung
dengan iritan (contohnya, asap tobako) dan allergen (contohnya, tungau, jamur, hewan, dan
pollen). Beberapa contoh untuk mengurangi kontak dengan allergen dan iritan adalah
menetapkan kelembapan rumah pada kurang dari 50%, menutup jendela, menggunakan AC, dan
mengurangi aktifitas luar pada musim banyaknya pollen.

Terapi Farmakologis
Antihistamin
Obat oral anti-histamin generasi kedua seperti desloratadine, feksofenadin, loratadine, dan
cetirizine, merupakan terapi farmakologis yang utama untuk pasien dengan rinitis alergi. Obat ini
dapat mengurangi bersin, gatal dan rhinorrhea jika dikonsumsi secara konsisten ketika gejala
timbul ataupun sebelumnya terpapar dengan allergen. Walaupun obat anti histamin generasi I
juga dapat mengurangi gejala dengan efektif, tetapi ia telah ditemukan dapat memberi efek
negatif terhadap fungsi dan kesadaran. Maka obat tersebut tidak direkomendasikan untuk terapi
rinitis alergi

Kortikosteroid Internasal
Kortikosteroid intranasal merupakan terapi utama untuk pasien dengan gejala ringan persisten
atau sedang/berat. Obat ini dapat digunakan sendiri ataupun Bersama dengan obat oral
antihistamin. Jika digunakan dengan benar, obat ini dapat mengurangi inflamasi pada mukosa
nasal dan meningkatkan patologis mukosa. Pada penelitian, telah ditemukan kortikosteroid
intranasal berkerja lebih baik dibandingkan dengan antihistamin dan leukotriene receptor
antagonist dalam mengatur gejala pada rinitis alergi, kongesti nasal, dan rhinorrhea. Intranasal
ini juga telah ditemukan dapat menyembuhkan gejala okuler dan mengurangi gejala saluran
pernafasan bawah untuk pasien dengan riwayat asma dan rinitis alergi.

Kombinasi kortikosteroid intranasal dan spray nasal antihistamin


Jika kortikosteroid intranasal sudah tidak efektif, maka kombinasi spray kortikosteroid dan
antihistamin dapat digunakan dapat dilakukan. Kombinasi ini telah ditemukan lebih efektif
disbanding dengan penggunaan obat tersebut tanpa kombinasi lain.

Leukotriene receptor antagonist (LTRAs)


LTRA seperti montelukast dan zalfirlukast merupakan efektif untuk terapi rinitis alergi. Tetapi ia
tidak terlihat seefektif seperti kortikosteroid intranasal. Penggunaan LTRAs hanya boleh
digunakan jika penggunaan antihistamin oral, kortikosteroid intranasal dan kombinasi spray
kortikosteroid/antihistamin sudah tidak memberi efek dalam mengendalikan gejala rinitis alergi.

Immunoterapi alergen (desensitisasi)


Terapi ini dapat dilakukan jika semua terapi di atas suda tidak efektif lagi. Terapi ini dilakukan
dengan menyuntik allergen pada subkutan secara sedikit demi sedikit dari dosis yang paling
rendah sehingga sebuah dosis telah tercapai sehingga pasien tersebut mempunyai toleransi
imunologik terhadap alerger tersebut. Untuk pasien dengan rinitis alergi intermitten yang
disebabkan oleh pollen, tungau, kecowa, bulu kucing dan anjing terapi ini sangat efektif. Terapi
ini dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Maka, terapi ini hanya boleh di preskripsikan kepada
pasien yang telah terlatih terhadap terapi alergi dan dapat mengendalikan jika terjadi reaksi
anafilaksis.
Terdapat terapi sublingual iaitu dengan meletakkan tablet yang mengandung ekstrak allergen di
bawah lidah sehingga obat sudah larut. Faedah dengan terapi ini adalah dengan tidak
menggunakan suntikan, dapat dilakukan di rumah, dan juga mempunyai profil yang selamat.
Terapi ini juga hanya dilakukan jika terapi lain sudah tidak efektif. Efek samping yang dapat
terjadi adalah reaksi local seperti oral pruritus, iritasi tenggorokan, dan pruritus telinga.
Kontraindikasi untuk terapi ini adalah pada pasien dengan asma yang tidak stabil dan tidak
terkontrol.

Terapi Lain
Terapi lain yang dapat digunakan unutk meredakan gejala rinitis alergi adalah dekongestan oral
dan intranasal seperti pseudoephedrine dan phenylephrine. Tetapi mempunyai efek samping jika
dikonsumsi oral iaitu gelisah, insomnia, pusing kepala, dan palpitasi. Maka terapi ini tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka lama. Kontraindikasi untuk obat ini adalah pada pasien
yang mempunyai hiperstensi yang tidak terkontrol dan penyakit jantung koroner parah.
Penggunaan dekongestan intranasal pada jangka waktu yang lama dapat meningkatkan resiko
terjadinya rinitis medicamentosa. Maka intranasal ini tidak boleh digunakan untuk lebih dari 3-5
hari (Peter Small, 2018).

2.9 Komplikasi Rhinitis Alergi

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi bila tidak
dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: progresi menjadi eksaserbasi asthma,
gangguan pertumbuhan fasial, hyposmia, protrusi gigi seri, malocclusion, nasal polyps, efusi
telinga tengah (gangguan pendengaran), sinusitis, dan gangguan tidur. (Junaedi, 2015).

2.10 Pencegahan Rhinitis Alergi

Cara terbaik untuk mencegah reaksi alergi adalah dengan menghindari alergen dan
menghindari kontak dengan hewan peliharaan. Debu, tungau adalah salah satu penyebab terbesar
alergi. Mereka adalah serangga mikroskopis yang berkembang biak dalam debu rumah tangga.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat membatasi jumlah tungau di rumah:
a. Pertimbangkan membeli kasur udara-permeabel dan selimut penutup oklusif (jenis tempat
tidur bertindak sebagai penghalang terhadap tungau debu dan kotoran mereka).
b. Pilih kayu atau penutup lantai bahan vinyl yang keras bukannya karpet.
c. Bantal bersih, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur, baik dengan mencuci atau debu
mereka.
d. Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol atau bulu selimut.
e. Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan udara partikulat efisiensi tinggi (HEPA) filter
karena dapat mengeluarkan debu lebih dari penyedot debu biasa.
f. Gunakan alat pengatur suhu udara dengan filter-filter yang efisien dan alat pembersih udara.
Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan
untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari
paparan terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu
formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah
mencegah gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan
pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit.

2.11 Prognosis Rhinitis Alergi

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari,
maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-
anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan
penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga
dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.

LO 3 : Mengetahui dan Memahami Adab Bersin

Istinsyak
Istinsyak merupakan memasukkan air dalam hidung dengan menghirupnya sampai jauh
kedalam hidung.
‫ق فِي َوبَا ِلغ‬ ِ ‫صائِ ًما تَ ُكونَ أَن َإِل ِاِلستِنشَا‬ َ
“Seriuslah dalam memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) kecuali dalam keadaan berpuasa.”
(HR. Abu Daud, no. 142; Ibnu Majah, no. 448; An-Nasa’i, no. 114. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
‫ظ إِذَا‬َ َ‫َام ِه ِمن أ َ َحد ُ ُكم استَيق‬
ِ ‫ضأ َ َمن‬
َ ‫ ثَالَثًا فَليَستَنثِر فَت ََو‬، ‫طانَ فَإ ِ َن‬
َ ‫شي‬
َ ‫وم ِه َعلَى يَبِيتُ ال‬
ِ ‫ش‬ُ ‫خَي‬
“Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka hendaklah berwudhu lalu
beristintsar (mengeluarkan air dari hidung, pen.) sebanyak tiga kali karena setan bermalam di
batang hidungnya.” (HR. Bukhari, no. 3295 dan Muslim, no. 238).

Istinsar
Istinsar merupakan mengeluarkan air dari hidung setelah melakukan istinsyaq
‫اء ِمنَ بِ َمن ِخ َري ِه فَليَستَنشِق أ َ َحد ُ ُكم ت ََوضَأ َ ذَا‬
ِ ‫ليَنتَثِر ث ُ َم ال َم‬
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, maka hendaklah ia menghirup air ke lubang
hidungnya (istinsyaq), lalu ia keluarkan (istintsar).” (HR. Muslim, no. 237)

Hikmah Istinsyaq dan Istinsar


•Membersihkan hidung dari virus maupun bakteri
•Mencegah penyakit ISPA
•Mencegah penyakit Influenza
•Mencegah penyakit sinusitis

Adab Bersin
Sesungguhnya Allah Mencintai Orang yang Bersin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai bersin.” (HR Bukhari).
Ketika Bersin Hendaknya Kita:
•Merendahkan suara.
•Menutup mulut dan wajah.
•Tidak memalingkan leher.
•Mengeraskan bacaan hamdalah, walaupun dalam keadaan shalat.

Bacaan yang Dapat Kita Amalkan Ketika Bersin


•Alhamdulillah (segala puji hanya bagi Allah).
•Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam).
•Alhamdulillah ‘ala kulli haal (segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan)
•Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi, mubaarakan ‘alaihi kamaa
yuhibbu Rabbuna wa yardhaa” (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi penuh
berkah dan diberkahi, sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami).

Adab Bersin
Wajib bagi setiap orang yang mendengar orang bersin
َ‫للاُ يَر َح ُمك‬
“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”
Apabila tidak mendengarnya mengucapkan al-hamdulillah, maka janganlah mengucapkan
tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, dan tidak perlu mengingatkannya untuk mengucapkan
hamdallah (ucapan alhamdulillaah).

Adab Bersin
Bila ada orang kafir bersin lalu dia memuji Allah, boleh berkata kepadanya:
‫بَالَ ُكم َويُص ِل ُح للاُ يَهدِي ُك ُم‬
“Semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian.”
DAFTAR PUSTAKA

Harmadji S.1993.Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT . Dalam : Kumpulan Makalah
Kursus Penyegar Alergi imunologi di Bidang THT.Bukit Tinggi

Irawati N.2002.Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi.Dalam : Kumpulan Makalah


Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical Immunology”. Divisi Alergi – Immunologi
Klinik FK UI/RSUPN-CM. Jakarta

Junaedi, I. (2015). Prevalensi rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara pada tahun ajaran 2014/2015. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara,
5-13.

Paulsen, F. dan Jens Waschke. (2017). Sobotta Atlas Anatomi Manusia (24 ed.). Jakarta:
Elsevier.

Peter Small, P. K. (2018). Allergic rhinitis. Allergy, asthma & clinicsl immunology, 31-41.

Sherwood, L. (2018). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (9 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

https://www.jacionline.org/article/S0091-6749(01)62488-6/fulltext

Anda mungkin juga menyukai