NYERI MENELAN
MATA KULIAH RESPIRASI
Oleh:
Kelompok 3
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala
yang telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan pleno modul “NYERI MENELAN” dengan baik tanpa ada
halangan.
Laporan ini telah kami selesaikan dengan baik berkat kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam
penyelesaian laporan ini.
KELOMPOK III
II
DAFTAR ISI
A. SKENARIO ................................................................................................. 1
C. DAFTAR PERTANYAAN.......................................................................... 1
E. LEARNING OUTCOME............................................................................. 3
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. SKENARIO
KATA SULIT
1. Hidung Meler
2. Bersin-bersin
KATA KUNCI
1. Laki-laki 12 tahun
2. Nyeri menelan sejak 3 hari yang lalu
3. Bersin-bersin, hidung meler dan tidak demam
4. Tanda-tanda vital Normal
5. Indeks massa tubuh sangat kurus
C. DAFTAR PERTANYAAN
1
8. Jelaskan integrasi keislaman yang sesuai dengan skenario ?
D. PROBLEM TREE
2
E. LEARNING OUTCOME
MAHASISWA MAMPU :
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. ANATOMI 1
a. Cavitas Nasi
4
Sinus Sphenoidalis, mempunyai hubungan ke atas dengan cavitas
cranii, terutama galndula pituitari, dan chiasma opticum. Ke lateral
dengan sinus cavernosus, ke bawah dan ke depan dengan cavitas nasi.
5
Berdasarkan hubungan anterior, pharynx dibagi menjadi 3 regio, yaitu:
6
Seseorang tidak dapat bernapas dan menelan pada saat bersamaan karena
saluran napas tertutup pada 2 sisi, isthmus pharygeum dan larynx.
c. Larynx
7
sendiri maupun tulang hyoideum. Saat menelan,pergerakan dramitis ke
atas dan ke depan dari larynx memfasilitasi penutupan aditus laryngis dan
bukan esophagus. Persarafan motorium dan sensorium larynx diperoleh
dari venus vagus.
d. Trachea
8
aortae disisi kiri. Trachea bercabang menjadi bronchi principalis dexter
dan sinister di atau tepat di inferior dari bidang transverses antara angulus
sternalis dan level vertebrae TIV/V. sedangkan esophagus berlanjut
sampai ke mediastinum posterius.
9
e. Bronchus
f. Pulmo
Apex pulmonalis adalah bagian kranial paru, dasar paru yang luas
(basis pulmonalis) adalah bagian kaudal paru. Permukaan paru ditutupi ole
Pleura Visceralis dan memiliki 3 baris permukaan. Fascies costalis terletak
di lateral dan berkelanjutan ke margo inferior sebagai fascies
diaphragmatica. Di margo anterior dan margo posterior yang tumpul,
10
fascies tersebut berlanjut sebagai fascies mediastinalis ke arah
mediastinum.
Cor
Vena cava inferior
Vena cava superior
Vena azygos
Esophagus
Cor
Arcus aortae
Aorta thoracica
Esophagus
2. HISTOLOGI2
a. Hidung
Terdiri atas dua rongga kanan dan kiri yang dibatasi septum nasi.
Terdiri dari dua ruangan Vestibulum nasi dan Cavum nasi. Vestibulum
nasi terdiri dari epitel pipih berlapis yang kehilangan keratinnya,
mengandung rambut hidung. Cavum nasi bagian concha superior ditutupi
oleh epitel olfaktorius (reseptor penciuman). Conchae media dan inferior
dilapisi oleh epitel respiratorik.
11
c. Nasopharynx
d. Laring
e. Trakea
12
Di lamina propria terdapat sejumlah besar kelenjar seromukosa
menghasilkan mucus encer dan di submukosa. Trakea tersusun atas 16-20
cincin kartilago hialin berbentuk C yang menjaga agar lumen trakea tetap
terbuka.
g. Bronchiolus respiratorius
13
Mukosa bronchiolus respiratorius secara struktural identik mukosa
bronchiolus terminalis kecuali dindingnya yang diselingi oleh banyak
alveolus tempat terjadinya pertukaran gas.
h. Ductus alveolaris
i. Saccus alveolaris
14
j. Alveolus
3. FISIOLOGI 3
15
Laring atau voice box, terletak di pintu trakea. Tonjolan anterior
laring membentuk jakun. Dibelakang laring trakea terbagi menjadi 2
cabang utama, yaitu bronkus dexter dan sinister yang masing-masik masuk
ke paru-paru kanan dan kiri. Di dalam masing-masing paru bronkus terus
bercabang menjadi saluran napas yang semakin sempit, pendek dan
banyak. Cabang-cabang yang lebih kecil dikenal sebagai bronkiolus. Di
ujung bronkiolus terminal berkelompok alveolus, kantung-kantung udara
halus tempat pertukaran gas antara udara dan darah.
16
dengan tekanan atmosfer. Otot inspirasi utama otot yang berkontaksi untuk
melakukan inspirasi sewaktu bernapas tenang yaitu diapraghma dan otot
intercostalis eksterna. Otot – otot ini dirangsang untuk berkontraksi
sehingga rongga toraks membesar. Diapraghma suatu gambaran otot
rangka membentuk lantai rongga toraks dan disarafi oleh Nervus
Phrenicus. Ketika berkonraksi diapraghma turun dan memperbesar volume
rongga toraks dengan menigkatkan ukuran vertikel. Kontaksi otot
intercostalis eksterna, memperbesar rongga toraks dengan dimensin lateral
dan anteroposterior dan megangkat iga yang selanjutnya sternum keatas
dan kedepan, terjadilah proses inspirasi. Pada ekspirasi terjadi relaksasi
otot diapraghma dan relaksasi otot intercostalis eksterna.
ETIOLOGI4
17
Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan berdebu atau uap industri
Faulty voice production
ODINOFAGI
Odinofagia adalah rasa nyeri menelan, biasanya diakibatkan oleh ulserasi mukosa
pada orofaring atau esofagus, sakit substernal yang menusuk (aching, stabbing)
yang diperburuk dengan menelan, walaupun hanya menelan saliva.
18
BERSIN- BERSIN6
Refleks bersin sangat mirip dengan refleks batuk kecuali bahwa refleks ini
berlangsung pada saluran hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian
bawah. Rangsangan awal yang menimbulkan refleks bersin adalah iritasi
dalam saluran hidung, impuls aferen berjalan dalam nervus kelima menuju
medula, tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip
dengan refleks batuk; tetapi, uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara
dengan cepat melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan
saluran hidung dari benda asing.
HIDUNG MELER7
transportasi zat gizi yang penting untuk memperkuat sistem imun yaitu vitamin A
19
khususnya retinol yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi
limfosit B, serta mencegah keratinisasi. Kinerja vitamin A juga akan meningkat
apabila konsumsi zinc juga dipenuhi. Selain itu, apabila konsumsi zinc defisit
maka akan mempengaruhi fungsi kecap seseorang yang akan menurunkan nafsu
makannya dan akan berakibat pada status gizi dan kekebalan tubuhnya
(Budiyanto, 2002).8
TANDA-TANDA VITAL
Tekanan darah
Menurut WHO, Untuk tekanan darah normal berdasarkan usia untuk orang
dewasa terbagi ke dalam beberapa rentang usia. Untuk usia 20- 24 tahun tekanan
darah yang normalnya adalah sekitar 120/79 mmHg. Sedangkan untuk umur dari
20
usia 25 sampai 39 tahun tekanan darah normalnya adalah berkisar antara 121/80
mmHg sampai 123/83 mmHg. Sedangkan untuk tekanan darah normal
berdasarkan usia dewasa untuk lansia yang berumur antara 40 – 64 tahun adalah
125/83 mmHg sampai 134/87 mmHg. Untuk tekanan darah normal pada anak di
bawah satu tahun adalah 90/60 mmHg, sedangkan untuk anak berumur 1 sampai 5
tahun adalah 95/65 mmHgm dan untuk anak berumur 6 sampai 13 tahun adalah
105/70 mmHg.
PERNAFASAN
Tujuan utama pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang karbondioksida. Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi
oleh perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan luar tubuh. Jika
tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara akan masuk. Sebaliknya,
apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukan udara (inspirasi) dan
pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua,
yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi
secara bersamaan.11
• 2 tahun 25 x/menit
21
22
Nadi
Denyut nadi adalah suatu gelombang yang teraba pada arteri bila darah
dipompa keluar jantung. Siklus jantung terdiri dari periode relaksasi yang
dinamakan diastole dan diikuti oleh periode kontraksi yang dinamakan
systole. Kekuatan darah masuk kedalam aorta selama sistolik tidak hanya
menggerakkan darah dalam pembuluh kedepan tetapi juga menyusun suatu
gelombang tekanan sepanjang arteri. Gelombang tekanan mendorong dinding
arteri seperti berjalan dan pendorongnya teraba sebagai nadi (Muflichatun.
2006 : 22).
Suhu
Suhu tubuh diatur oleh suatu mekanisme yang meliputi susunan saraf,
biokimia, dan hormonal. Suhu adalah hasil produksi metabolisme tubuh
yang diperlukan untuk kelancaran aliran darah dan menjaga agar reaksi ki
mia tubuh dapat berjalan baik (enzim hanya bekerja pada suhu tertentu).9
Suhu tubuh normal umumnya dianggap berada pada 37,0 o C .14
23
2. KOMPRES AIR HANGAT16
Kompres dingin adalah sebuah prosedur untuk meletakkan sebuah obyek dingin di
luar tubuh. Dampak fisikologis dari kompres dingin adalah vasokontriksi pada
pembuluh darah dan menghambat ujung-ujung saraf untuk menghantarkan implus
nyeri ke otak sehingga dapat mengurangi sensai rasa nyeri. Dalam bidang
keperawatan kompres dingin banyak digunakan untuk mengurangi rasa nyeri.
Pada aplikasi kompres dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan
respon inflamasi, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema, mengurangi
rasa nyeri local (Purwaningsih, 2015).
Kompres dingin dapat membuat mati rasa pada ujung-ujung saraf penyebab
nyeri. Menurut Felina (2015) Efek fisiologis kompres dingin adalah bersifat
vasokontriksi, membuat area menjadi mati rasa, memperlambat kecepatan
hantaran syaraf sehingga memperlambat aliran impuls nyeri, meningkatkan
ambang nyeri dan memiliki efek anastesi lokal. Mekanisme lain yang mungkin
bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri. Komprees dingin juga dapat menutup implus nyeri menuju keotak yaitu
pusat korteks yang menerjemahkan nyeri sehingga ketika dilakukan kompres
dingin pusat kortek tidak bisa menerjemahkan nyeridan nyeri pun bisa berkurang
bahkan hilang.Kompres dingin bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit
untuk mengontrol nyeri Terapi dingin yang diberikan akan mempengaruhi impuls
yang dibawa oleh serabut taktil A-Beta untuk lebih mendominasi sehingga
“gerbang” akan menutup dan impuls nyeri akan terhalangi. Nyeri yang dirasakan
akan berkurang atau hilang untuk sementara waktu (Prasetyo, 2010).
24
batuk. Menurut Razak dkk(2013). Penelitian uji daya hambat air perasan buah
jeruk nipis terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus menunjukan
bahwa air perasan buah jeruk nipis dengan konsenrasi 25%, 50%, 75%, dan 100%
dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Hal ini menunjukkan adanya
senyawa aktif antibakteri dalam air perasan buah jeruk nipis yang diduga
diperoleh dari kandungan kimia yang terdapat di dalamnya, seperti minyak atsiri,
diantaranya fenol yang bersifat sebagai bakterisidal, yang mungkin mampu
menghambat pertumbuhan dari bakteri Staphylococcus aureus.
Selain jeruk nipis, madu juga diyakini menjadisalah satu obat pembunuh
bakteri dan madu juga mengandung senyawa flafonoid yang menjadi antibodi
agar tubuh menjadi fit dan diharapkan batuk seger sembuh dan juga akan
mengurangi dari gangguan rasa nyaman nyeri yang diderita oleh
pasien.Erywiyanto dkk (2012) mengatakanKandungan Zat aktif sebagai anti
bakteri yang terdapat dalam madu adalah flafonoid. Senyawa flavonoid yang
merupakan senyawa golongan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri melalui
proses absropsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk
kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami
peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan kogulasi protein
dan sel membran sitoplasma mengalami rilis.
E. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1. FARINGITIS
DEFINISI16
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring atau
dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi
akut orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari influenza
(rinofaringitis).
25
ETIOLOGI17
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40−60%), bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Faringitis
bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.
• Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus,
Epstein –Barr virus, Herpes virus.
• Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A, Chlamydia,
Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae.
• Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita
imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi makanan
yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang
memperberat
FAKTOR RESIKO18
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan
seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau
demam.
EPIDEMIOLOGI18
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali
infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering
pada populasi anak-anak. Kira-kira 15−30% kasus faringitispada anak-anak usia
sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada
musim dingin yaitu akibat dari infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A.
Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun
26
PATOFISIOLOGI19, 20
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel
sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.
Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan melebar. Bentuk
sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu akan didapatkan di dalam
folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak
pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus danCoronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Streptococcus ß hemolyticus
group A memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada miokard dan
dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub jantung. Selain itu
juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen- antibody.
KLASIFIKASI FARINGITIS16
1. Faringitis Akut
a. Faringitis viral
27
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi
kulit berupa maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus
menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring
yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh
terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitisyang
disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri
menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien
tampak lemah.
b. Faringitis bakterial
28
pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcusß
hemolyticus group A.
c. Faringitis fungal
2. Faringitis Kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
29
menelan. Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau
ringan sehingga terjadi hieremis. Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
DIAGONOSIS16
1. Anamnesis
30
c. Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok kering, gatal dan
akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering dan tebal serta
mulut berbau.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirustidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirusdapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechiaepada palatum dan faring. Kadang
ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak
mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi
oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
3. Pemeriksaan Penunjang21
31
Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS)rapid antigen detection
testmerupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi
GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika pasien memiliki risiko sedang
atau jika seorang dokter memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi
untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh positif maka pengobatan diberikan
antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya negatif maka pengobatan
antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up. Rapid antigen detection
testtidak sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri
patogen lainnya. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus
tenggorok dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior.
Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria
standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase
sensitifitas mencapai 90−99%. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari sepuluh hari.
PENATALAKSANAAN22
32
diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250mg secara injeksi
intramuskular
Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan obat
batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus paranasal
harus diobati. –
Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi untuk
faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan men-aga
kebersihan mulut.
PENCEGAHAN23
KOMPLIKASI16
33
PROGNOSIS24
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-
hati dengan komplikasi yang berpotensi terjadi.
2. TONSILITIS
DEFINISI
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel merupakan
kumpulan jaringan limfoid yang terletak pada kerongkongan di belakang kedua
ujung lipatan belakang mulut. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil adenoid,
tonsil palatina, dan tonsil faringeal yang ketiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin waldeyer.25
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa bakteri atau
virus yang masuk secara aerogen atau foodborn.26
Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit, tonsilitis terbagi
menjadi 2, yakni tonsilitis akut jika keluhan berlangsung kurang dari 3 minggu
dan tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil palatina
berlangsung lebih dari 3 bulan atau menetap.26
EPIDEMIOLOGI
Anak-anak dan remaja usia sekolah adalah yang paling mungkin untuk
menderita tonsilitis, karena anak-anak suka memakan jajanan yang mengandung
banyak pemanis buatan dan kurang higenis, serta sistem imunnya yang masih
rentan terhadap infeksi, tetapi dapat menyerang siapa saja. Angka kejadian
tertinggi terutama antara anak-anak dalam kelompok usia antara 5 sampai 10
tahun, dewasa muda usia 15 – 25 tahun dan dewasa tua berumur di atas 45 tahun
yang mana radang tersebut merupakan infeksi dari berbagai jenis bakteri.26
34
ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis adalah infeksi bakteri atau virus. Hal-hal yang dapat
memicu peradangan pada tonsil adalah seringnya kuman masuk kedalam mulut
bersama makanan atau minuman.25
Tonsilitis akut dan tonsilitis kronik memiliki perbedaan penyebabnya yaitu
tonsilitis akut lebih sering disebabkan oleh kuman grup Astreptococusβ-
hemolyticus, pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus pyogenes,
sedangkan tonsilitis kronik kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut
tetapi kadang-kadang pola kuman berubah menjadi kuman dari golongan gram
negatif.3
Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan,
menghirup udara setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan
seperti sikat gigi dari orang yang terinfeksi.26
PATOFISIOLOGI
Bakteri atau virus dapat masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut.
Tonsil atau amandel berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh
tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh dan membentuk antibody
terhadap infeksi. Hal tersebut memungkinkan terjadinya peradangan pada tonsil
atau amandel. Akibat peradangan berulang menyababkan epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses peyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar.25
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan
integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil.
Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya
infeksi tonsil. Pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda.
Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang
berulang terhadap tonsil.28
35
GEJALA KLINIS
Pada tonsilitis akut, terdapat gejala seperti berikut:28
a) Kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok dan
adanya rasa nyeri saat menelan.
b) Pembesaran tonsil dan hiperemis, ukuran tonsil membesar akibat
hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta
tonsil.
c) Pembengkakan pada bagian leher, karena aliran getah bening dari daerah
tonsil menuju ke rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular
node) bagian superior di bawah M. sternokleidomastoideus.
d) Demam dapat terjadi karena respon tubuh akibat adanya antigen asing
yang menyerang sistem pertahanan tubuh.
e) Jika pembesaran tonsil telah menyebabkan obstruksi parsial atau total jalan
nafas, hal tersebut dapat menyebabkan gangguan fisiologis berupa
kesulitan bernafas saat tidur dan mendengkur, yang dikenal dengan istilah
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).
Pada tonsilitis kronik, terdapat gejala sebagai berikut:29
a) Nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas. Keluhan demam jarang terjadi.
b) Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus.
c) Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering
dan napas yang berbau, sering disertai halitosis dan pembesaran nodul
servikal.
d) Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa;
a. Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan
sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang
purulen.
36
b. Tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis,
kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulen.
PENEGAKAN DIAGNOSIS26
Anamnesis
Menanyakan biodata, keluhan pasien, sudah berapa lama keluhan tersebut Commented [ASR7]: Biasanya ppasien datang dengan
keluhan ....
diderita, apa yang memperberat dan memperingan keluhan, riwayat keluarga,
riwayat penyakit sebelumnya (riwayat terkena tonsilitis sebelumnya untuk
membedakan tonsilitis akut atau tonsilitis kronik), keadaan lingkungan sekitar
untuk melihat faktor predisposisi penyebab tonsilitis.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Penunjang
PENATALAKSANAAN26
37
infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut, maupun tonsilitis rekuren atau
tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Antibiotik yang biasa digunakan adalah
amoksisilin atau deksametason.
PENCEGAHAN
KOMPLIKASI
38
PROGNOSIS
3. ABSES PERITONSILER
DEFINISI
Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling
.
sering ditemukan Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti
gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya.31
39
lateral muskulus konstriktor faringeal superior, di inferior pilar anterior tonsil, dan
di pilar posterior tonsil.32
EPIDEMIOLOGI31
Abses peritonsil adalah kumpulan pus di dalam ruangan antara tonsil dan
otot m. konstriktor superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun,
namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tetapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan penggunaan antibiotik oral
untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi untuk berkembangnya abses
peritonsil.
40
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI31
41
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Kelenjar
Weber adalah kelenjar mucus yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini
mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada
saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah tonsilektomi.
Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses
peritonisl. Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses
peritonsil mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan
tonsilitis rekuren.
GEJALA KLINIK31,32
42
Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah
dengan mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum aspirasi.
Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan
dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu
selain untuk diagnosis, juga untuk perencanaan penatalaksanaan.
PENATALAKSANAAN32,33
43
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan
metronidazole. Metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik untuk
infeksi anaerob.
KOMPLIKASI31
Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan
gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat
penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah
ditemukan.Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-
ruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan
drainase dari luar melalui segitiga submandibular .
PROGNOSIS31
44
F. INTEGRASI KEISLAMAN
Ayat Al Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah
kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” (Al-
Maidah: 6)
Hadis
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, maka hendaklah ia menghirup air
ke lubang hidungnya (istinsyaq), lalu ia keluarkan (istintsar).” (HR. Muslim, no.
237)
Prof. Dr. Syahathah dari bagian THT fakulas kedokteran Universitas Alexandria
membuktikan bahwa Istinsyaq dapat membersihkan hidung dari kuman-kuman
dan mengeluarkan kuman tersebut. Sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
infeksi hidung.
Maksud dari ayat Al Qur’an dan juga Hadis diatas adalah allah menyuruh kita
untuk berwudhu, salah satu rukun berwudhu adalah memasukkan air kelubang
hidung atau biasa disebut dengan istinsyaq. Salah satu manfaat ketika
beristinsyaq adalah dapat membersihkan hidung dari kuman-kuman dan
45
mengeluarkan kuman tersebut. Sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
infeksi saluran pernafasan.
46
BAB III
PENUTUP
B. DIAGNOSIS UTAMA
47
DAFTAR PUSTAKA Commented [ASR12]: Pastikan smua yang tercantum di
Dapus benar2 diambil sebagai baahan referensi, pun
sebaliknya. Smua yang tertulis d tipus, ada trtulis
1. Paulsen F; J. Waschke. Sobotta: Atlas Anoatomi Manusia JILID II: Edisi referensinya d dapus
23. Jakarta :EGC, 2012.
2. Eroschenko P. Victor. 2013. Atlas Histologi diFiore Dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 12. Jakarta : EGC, 2013
3. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2012. Edisi 6.
Jakarta : EGC, 2012.
4. Nasution M. 2008. Infeksi Laring Faring (Faringitis Akut). FKG
Universitas Sumatra Utara Medan
5. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007. Hal 118-310
6. Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Penterjemah: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
7. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract.
Dalam: Kliegman MR, Behrman ER, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB elsevier; 2007.
8. Budiyanto, A.K., 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Edisi kedua Cetakan
kedua. Malang: UMM Press.
9. Fitriyah, Riska. Mahmudiono, Trias. 2013. Hubungan Asupan dan Pola
Konsumsi Vitamin A, Protein dan Zinc Dengan Kejadian ISPA dan
Status Gizi pada Anak. Media Gizi Indonesia 9(1):60-65
10. Michael KA, Boles U, Abdollah H. Early changes on the
electrocardiogram in hypertension. ESC Council for Cardiology
Practice, Vol. 13; No. 30. 2015. 1145-51.
11. Departemen Biomedik FKIK UIN Alauddin Makassar. Penuntun
Praktikum Fisiologi Biomedik II. PSPD UIN Alauddin : Makassar. 2017
12. Muflichatun. 2006. Hubungan Antara Tekanan Panas, Denyut Nadi
Dan Produktivitas Kerja Pada Pekerja Pandai Besi Paguyuban
Wesi Aji Donorejo Batang. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas
Negeri Semarang.
48
13. Ismoedijanto, 2000. Demam pada Anak. Sari pediatri. Vol 2. Hal: 103-108
14. Greespan Francis S., Baxter John D, 2000. Endokrinologi Dasar & Klinik.
Edisi 4. Jakarta:EGC
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Pelayanan Primer. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
16. Zakiyah, Ana. 2015. Nyeri: Konsep dan Penatalaksanaan Dalam Praktek
Keperawataan Berbasis Bukti. Jakarta: Salemba Medika
17. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas. Direktorat Jendral Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
18. Jill Gore, 2013. Acute Pharyngitis. In: Journal of the American Academy
of Physician Assistants: February 2013- Volume 26-Issue 2- p 57-58.
19. Adam, G.L. Diseases of the nasopharynx and oropharynx.2009.In: Boies
fundamentals of otolaryngology. A text book of ear, nose and throat
diseases E . B aun ers Co.
20. Bailey, B.J., Johnson, J.T. 2006. American Academy of Otolaryngology –
Head and Neck Surgery. Lippincott Williams & Wilkins, Fourth Edition,
Volume one, United States of America.
21. Kazzi, A., Antoine., Wills, J. 2006. Pharyngitis.
22. Rusmarjono dan Bambang, H. 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok. Dalam:
Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta. Edisi ke-
6.
23. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5. 2014. Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
24. Acerra, J.R. 2010. Pharyngitis. Departement of Emergency Medicine:
North Shore
49
25. Manurung R. Gambaran Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pencegahan Tonsilitis Pada Remaja Putri Di Akper Imelda Medan Tahun
2015. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA. 2016;2(1): p28-31.
26. Shalihat AO, Novialdi, Irawati L. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan
Perlakuan Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita
Tonsilitis Kronis di Bagian THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun
2013. Jurnal Fakultas Kesehatan Andalas. 2015;4(3): p786-94.
27. Nizar M, Qamariah N, Muthmainah N. Identifikasi Bakteri Penyebab
Tonsilitis Kronik Pada Pasien Anak Di Bagian Tht Rsud Ulin
Banjarmasin. Berkala Kedokteran. 2016;12(2): p197-204.
28. Fakh I M, Novialdi, Elmatris. ‘Jurnal Kesehatan Andalas’ Karakteristik
Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M.
Djamil Padang Tahun 2013. 2016 Vol. 5, No. 2.
29. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ke-6. FKUI
Jakarta: 2007. p212-25.
30. Edgren, A.L., Davitson, T., 2004. Sore Throat. Journal of the American
Association. p:13
31. Sari, Ni Luh Sartika, IDG Arta Eka Putra, NS Budayanti, Karakteristik
penderita abses peritonsil di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2010-
2014 : Mediciana. 2018.
32. M. Marbun, Erna. Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses
Peritonsil. Staf Pengajar Bagian THT Fakultas Kedokteran, Universitas
Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jl Arjuna Utara No.6,
Jakarta Barat 11510. 2016
33. Batu, Maranatha Lumban, Dwi Reno Pawarti, Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Abses Peritonsil. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga /RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2015.
50