Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENYAKIT

“VULNUS PERFORATUM PENETRATUM”

Sebagai Tugas Akhir

Mata Kuliah Sistem Integumen

Disusun Oleh:
Nurul Annisa Amiruddin

70600118035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN ALAUDDIN
MAKASSAR
TAHUN 2020

VULNUS PERFORATUM, PENETRATUM

A. Defenisi

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.


Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia , ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan.(Mansjoer,200)

1. Vulnus perforatum adalah Luka jenis ini merupakan luka jebol atau
luka bocor,. Penyebab oleh karena panah, tombak atau proses
infeksi yang meluas hingga melewati selaput serosa/epithel organ
jaringan.
2. Vulnus penetratum adalah Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu
luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka
masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya
lukanya akan melebar.

Trauma penetrasi terjadi ketika suatu objek menembus kulit dan


masuk ke dalam tubuh. Trauma perforasi merupakan bentuk dari
trauma tembus, terjadi ketika sebuah objek masuk dan keluar dari
tubuh. Keduanya dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan
Vulnus penetratum merupakan luka yang menembus rongga tubuh
dan mengakibatkan infeksi pada peritoneum dan organ visera bila
menembus rongga abdominal. Gangguan pernapasan dan emphisema
subkutan bila menembus rongga dada namun kulit dalam keadaan
utuh. Termasuk luka tembak (vulnus skloperotum) akibat benda kecil
seperti peluru yang dapat menembus rongga tubuh dan
mengakibatkan hemoragi di dalam rongga tubuh (hemoabdominal,
hemothorak).(Amir,2000)

B. Epidemiologi

Dalam sebuah survey di sebuah rumah sakit di selatan


tenggara kota London dimana didapatkan 425 pasien yang dirawat
oleh karena kekerasan fisik yang disengaja. Beberapa jenis senjata
digunakan pada 68 dari 147 kasus penyerangan di jalan raya, terdapat
12 % dari penyerangan menggunakan besi batangan dan pemukul
baseball atau benda – benda serupa dengan itu, lalu di ikuti dengan
penggunaan pisau 18%, terdapat nilai yang sangat berarti dari kasus
penusukan, sekitar 47% kasus yang masuk rumah sakit dan 90%
mengalami luka yang serius.(Anggowarsito, 2014)

Sebagian besar kasus trauma yang ditemukan merupakan


trauma tumpul seperti jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, dan
peristiwa lain yang serupa. Akan tetapi tetap saja ditemukan pasien
yang terlukan karena trauma penetrasi. Trauma penetrasi terjadi ketika
suatu objek menembus kulit dan masuk ke dalam tubuh. Trauma
perforasi merupakan bentuk dari trauma tembus, terjadi ketika sebuah
objek masuk dan keluar dari tubuh. Keduanya dapat memiliki
konsekuensi yang menghancurkan (Anggowarsito, 2014)

Penyebab paling umum dari trauma penetrasi di Amerika


Serikat adalah tembakan dan penusukan. Penelitian sejumlah 157.045
pasien trauma yang dirawat di 125 pusat trauma di Amerika Serikat,
ditemukan insidensi trauma penetrasi lebih rendah secara signifikan
dibanding trauma tumpul. Sebuah penelitian serupa di Los Angeles,
trauma penetrasi menyumbang 20,4% dari seluruh kasus trauma,
namun menghasilkan 50% dari keseluruhan kematian akibat trauma
yang sebagian besar adalah akibat luka tembak. (Anggowarsito, 2014)

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan


mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong.
Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer
energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah
menjad fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk
tersering mengenai hepar (40%), usus halus (%), diafragma (20%),
dan colon (15%). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan seberapa
besar energi kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh
organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus (50%), colon (49%), hepar (30%) dan
pembuluh darah abdominal (25%) (American College of Surgeon
Comitte on Trauma, 2004). (Anggowarsito, 2014)

C. Etiopatogenesis
Vulnus perforatum/penetratum ini dapat disebabkan oleh
trauma tajam yang menyebabkan luka terbuka seperti terkena tombak
atau panah atau karena proses infeksi yang meluas.(Dahlan, 2004)
Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tubuh
yang bisa disebabkan oleh traumatis/mekanis, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik, dan gigitan hewan atau
binatang.Vulnus yang terjadidapat menimbulkan beberapa tanda dan
gejala seperti bengkak.krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa
juga menimbulkan kondisi yang lebih serius. Tanda dan gejala yang
timbul tergantung pada penyebab dan tipe vulnus. (Dahlan, 2004)
Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi
proses peradangan atau inflamasi.reaksi peradangan akan terjadi
apabila jaringan terputus.dalam keadaan ini ada peluang besar
timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang di
sebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya.
Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang di
koordinasikan dengan baik yang dinamis dan kontinyu untuk
menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan harus
di mikrosekulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas maka
reaksi peradangan tak di temukan di tengah jaringan yang hidup
dengan sirkulasi yang utuh terjadi pada tepinya antara jaringan mati
dan hidup. (Dahlan, 2004)
Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi sehingga terjadi
kerusakan jaringan.sek-sel yang rusak akan membentuk zat kimia
sehingga akan menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal
ini dapat mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut
istirahat atau tidur terganggu dan terjadi ketertiban gerak.(Guyton,
2016)
Patomekanisme vulnus penetratum, perforatum tergantung
pada organ yang terkena (Bledsoe, 2012).
1. Trauma kepala: morbiditas dan mortalitas tinggi
2. Trauma leher : banyak struktur yang beresiko tinggi seperti
medula spinalis cervical, columna vertebra cervicalis, arteri carotis,
vena jugularis, arteri vertebrae, trakhea, esophagus, dan struktur
lainya. Trauma pada leher ini dapat menyebabkan perdarahan,
masalah pada pernafasan, masalah neurologis dan atau
kombinasi dari hal tersebut.
3. Trauma thorax: luka tembus dapat merusak dinding dada, paru,
struktur trakheo bronkhial, esofagus, diafragma, pembuluh darah
besar dan jantung. Cedera ini sering mengakibatkan tamponade
pericardial yang secara langsung mengurangi cardiac output
menyebabkan syok. Cedera paru dapat menyebabkan
pneumothorax, hemothorax, atau keduanya.
4. Trauma abdomen/pelvis: Kedua rongga tubuh ini mengandung
banyak organ dan struktur yang terkait. Cedera pada vaskuler
intra abdomen memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi. Trauma
pada pelvis dapat merusak struktur genitourinaria dan struktur
reproduksi.
5. Trauma ekstrimitas : Trauma pada ekstrimitas dapat
mempengaruhi setiap struktur anatomi dan ekstrimitas seperti
tulang, otot, tendon, ligamen, saraf, atau pembuluh darah.
Kebanyakan cedera ekstrImitas tidak mengancam nyawa, namun
cedera vaskular ekstrimitas dapat mengancam kehidupan dan
anggota tubuh. Cedera saraf dan tendon dapat mengakibatkan
cacat seumur hidup.

Secara umum suatu runtutan mekanisme tubuh dari mulai luka


terjadi akibat suatu proses patologis hingga mengembalikan jaringan
yang rusak kembali seperti semula. Dari mulai terjadinya luka hingga
luka menjadi sembuh sempurna dibutuhkan 4 fase. Fase fase tersebut
adalah hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodelling.(Ganong,
2009)

a) Fase Hemostasis
Merupakan fase paling awal yang terjadi sesaat setelah
luka timbul. Sebagaimana jika seorang tukang ledeng ingin
memperbaiki kerusakan di rumah anda, ia akan terlebih dahulu
menutup semua pipa sebelum ia mulai memperbaiki. Seperti itulah
mekanisme hemostasis terjadi, sesaat setelah luka terjadi,
pembuluh darah di sekitar luka akan mengerucut dan
memperlambat aliran darah ke daerah luka. Trombosit memiliki
peran yang sangat penting, yaitu mengeluarkan zat vasokontriksi
dan membentuk gumpalan penyumbat untuk menutup pembuluh
darah yang rusak. Beberapa zat lain yang berperan dalam fase
hemostasis adal ADP (Adhenosine Diphospate), fibrin, fbrinogen
serta growth factors. Fase hemostasis terjadi dalam beberapa
menit setelah luka terjadi, kecuali jika penderita memiliki kelainan
dalam pembekuan darah. (Ganong, 2009)

b) Fase Inflamasi
Fase inflamasi dapat terjadi dari beberapa menit setelah
luka hingga mencapai 2 atau 5 hari setelahnya.Fase ini ditandai
dengan adanya gejala-gejala khas inflamasi, yaitu rubor
(memerah), kalor (hangat), dolor (nyeri) dan tumor (membengkak).
Setelah pembuluh darah bervasokonstriksi, beberapa saat
kemudian ia akan kembali bervasodilatasi yang akan difasilitasi
oleh histamin, serotonin dan sitokin. Selain membuat vasodilatasi
histamin juga akan meningkatkan permeabilitas vena, sehingga
cairan dari pembuluh darah akan masuk ke daerah luka atau yang
disebut dengan eksudasi. Hasil yang berperan penting dari proses
eksudasi ini adalah neutrofil. Eksudat juga membawa banyak
nutrisi, growth factors, dan juga enzim yang akan membantu
proses penyembuhan. Peran neurofil dikatakan sangat penting
sebagai pembersih luka, neutrofil akan memfagositosi debris dan
patogen yang ada di bagian luka. Fungsi utama neutrofil adalah
membersihkan, meski nantinya tugas dari neutrofil ini akan lebih
banyak digantikan oleh makrofag. (Ganong, 2009)

c) Fase Proliferasi
Fase proliferasi terjadi dari hari keempat hingga ke 21
setelah terjadinya luka.Fase proliferasi merupakan fase
pembentukan jaringan baru menggantikan jaringan yang
rusak.Fibroblas merupakan faktor yang paling penting di fase ini.
Fibroblas akan mulai memperbaiki sel yang rusak dengan mulai
menghasilkan gikosaminoglikans dan diakhiri dengan
pembentukan fibrilar kolagen. Fase ini ditandai dengan adanya
angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi,
kontraksi luka dan epitelisasi.Secara klinis, proliferasi ditandai
dengan adanya jaringan kasar berwarna merah atau kolagen di
dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan dermal dan
kadang-kadang jaringan subdermal pada luka yang lebih dalam,
serta kontraksi luka. (Ganong, 2009)

d) Fase Remodeling
Fase ini merupakan fase terlama yaitu sekitar 8 hari hingga
2 tahun dari terjadinya luka. Lama fase ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Fase ini ditandai dengan
adanya deposit kolagen dalam jaringan yang rapi dan
pembentukan kembali jaringan serta penarikan dari bekas luka.10
Pada 3 minggu pertama, kekuatan kulit pada bekas luka hanya
sekitar 20% hingga 30%. Kekuatan kulit akan mencapai 705
hingga 80% pada masa akhir fase remodeling. Untuk mencapai
penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.Sebuah bekas
luka atrofi dapat menjadi hasil akhir setelah penyelesaian fase
pematangan.Sebaliknya, ketika degradasi kolagen terganggu atau
sintesis berlebihan, jaringan parut dapat menjadi luka
hyperthrophic atau bahkan keloid. Kondisi yang ideal akan
menjadi keseimbangan antara degradasi dan sintesis atau
deposisi kolagen untuk menghasilkan jaringan parut yang normal
(Ganong, 2009).

D. Anamnesis

Pasien biasanya datang dengan keluhan luka tembus atau luka


jebol, nyeri, disertai infeksi dan pendarahan. Pasien yang menderita
luka tembus, biasanya disebabkan akibat trauma benda yang tajam,
misalnya panah, dan tombak. (PKK, 2015)

Anamnesis vulnus laceratum, antara lain :

1. Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka


tembus.
2. Gejala utama: Penurusan kesadaran, malaise, letargi, gelisah,
Mual dan muntah (pada trauma abdomen)
3. Durasi. Vulnus Perforatum Penetratum dapat terjadi dalam waktu
yang cepat akibat trauma benda yang tajam
4. Lokasi. Vulnus Perforatum Penetratum terjadi pada lokasi yang
relatif sering di bagian thorax dan abdomen. Namun juga dapat
terjadi di segala bagian tubuh.
5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.
Respon tingkah laku terhadap keluhan nyeri
a) Pertanyaan verbal (Mengaduh, menangis, sesak nafas,
mendengkur)
b) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, mengigit bibir)
c) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari dan tangan)
d) Menghindari percapakan, menghindari kontak sosial, penurunan
rentang perhatian

E. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Efloresensi
Effloresensi Vulnus Perforatum Penetratum berupa abrasi,
laserasi, penetrasi wood, dan eritema. Pada Vulnus penetratum,
yaituluka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal
luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya
lukanya akan melebar. Proses infeksi yang meluas hingga
melewati selaput serosa/epithel organ jaringan. (Syamsuhidayat,
2004)
Gambar 1. Vulnus Perforatum

Gambar 2. Vulnus
Penetratum

2. Pemeriksaan Fisik
A. Inspeksi
Bantuan pemeriksaan dengan kaca pembesar dapat
dilakukan. Perlu dilakukan inskepsi seluruh kulit di tubuh. Pada
inspeksi perlu diperhatikan lokasi dan penyebaran, warna,
bentuk, batas, ukuran setiap morfologi (efloresensi) di masing-
masing lokasi.(Linuwih, 2018)
Deskripsi luka
1) Jumlah : sebuah, dua buah, tiga buah, >3 buah = beberapa
luka. Pada luka iris/bacok/tusuk jumlah luka dihitung dan
dideskripsikan semua
2) Lokasi : Regio Anatomi, garis koordinat atau bagian tertentu
tubuh
3) Bentuk Luka : luka tembak berbentuk bundar atau oval
tergantung sudut masuknya peluru; dengan disekitarnya
terdapat bintik-bintik hitam (kelim tattoo), dan atau jelaga
(kelim jelaga)
4) Ukuran Luka :Sebelum dirapatkan, sesudah dirapatkan,
panjang x lebar x dalam
Sifat luka
a) Garis batas luka : bentuk teratur/tidak, tepi rata/tidak,
sudut luka ada/tidak, berapa sudut luka, bentuk sudut
luka runcing/tidak
b) Daerah didalam garis batas luka :Tebing luka, ada
tidaknya jembatan jaringan, dasar luka
c) Daerah di sekitar garis batas luka : ada tidaknya memar,
tatoase, jelaga, bekuan darah

B. Palpasi
Pada palpasi perhatikan jenis lesi, apakah permukaan
rata, tidak rata-rata, konsistensi lesi, misalnya padat, kenyal,
lunak, dan nyeri pada penekanan. Perhatikan pula tanda-tanda
radang atau tidak, yaitu tumor, rubor, kalor, dolor, dan
fungsiolesa (Linuwih, 2018)

Menilai sifat luka


1) Garis batas luka : bentuk teratur/tidak, tepi rata/tidak, sudut
luka ada/tidak, berapa sudut luka, bentuk sudut luka
runcing/tidak
2) Daerah didalam garis batas luka :Tebing luka, ada tidaknya
jembatan jaringan, dasar luka
3) Daerah di sekitar garis batas luka : ada tidaknya memar,
tatoase, jelaga, bekuan darah

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan serum hal ini dilakukan karena pasien yang


mengalami luka tembus atau luka bocor mengalami kehilangan
volume serum.(Fimansyah, 2017)
b. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila
terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan
pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak, misalkan kemungkinan rupture
lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan
kemungkinan adanya trauma pancreas atau perforasi usus
halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan
trauma pada hepar. (Fimansyah, 2017)
c. Pemeriksaan urin rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila
ditemukan hematuri. Urin yang jernih belum dapat
menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
(Fimansyah, 2017)
d. Pemeriksaan elektrolit: pada pasien dengan luka bocor
mengalami kehilangan volume cairan dan gangguan Na-K
pump. (Fimansyah, 2017)
e. CBC mengidentifikasi jumlah darah yang ke dalam cairan,
penurunan HCTdan RBC, trombositopenia local, leukositosis,
dan RBC yang rusak. (Fimansyah, 2017)
f. Pemeriksaan Radiologi: Untuk melihat adanya trauma, misal di
daerah thorak (Fimansyah, 2017)
g. Ultrasonografi dan CT-Scan

Gambar 1. Vulnus penetratum e.c. peluru


Gambar 2. Luka tusuk

Gambar 3. Ilustrasi vulnus penetratum


F. Penatalaksanaan

1. Penanganan luka secara umum


Dalam penanganan luka, sudah umum diketahui bahwa
salah satu yang harus dilakukan adalah tindakan debridement.
Debridement bertujuan untuk membuat luka menjadi bersih
sehingga mengurangi kontaminasi pada luka dan mencegah
terjadinya infeksi. Debridement bisa dilakukan dengan beberapa
cara, dari yang kurang invasif hingga invasif, yaitu debridement
secara biologik, mekanik, otolitik, enzimatik, dan surgical.
(Hikmah,2015)
Pertama dilakukan anstesi setempat atau umum,
tergantung berat dan letak luka, serta keadaan penderita, luka dan
sekitar luka dibersihkan dengan antiseptic. Bahan yang dapat
dipakai adalah larutan yodium frovidon 1% dan larutan klorheksin
½%, larutan yodium 3% atau alcohol 70% hanya digunakan untuk
membersih kulit disekitar luka. (Hikmah,2015)
Kemudian daerah disekitar lapangan kerja ditutup dengan
kain steril dan secara steril dilakukan kembali pembersihan luka
dari kontaminasi secara mekanis, misalnya pembuangan jaringan
mati dengan guntung atau pisau dan dibersihkan dengan bilasan,
guyuran atau semprotan NaCl. Akhirnya dilakukan penjahitan
dengan rapid an luka ditutup dengan bahan yang dapat mencegah
lengketnya kasa, misalnya kasa yang mengandung vaselin
ditambah dengan kasa penyerap dan dibalut dengan pembalut
elastis. (Hikmah,2015)

2. Penatalaksanaan Pre Hospital


Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah
yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang
terjadi dilokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila
sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka
harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC
jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka
dan bersihkan jalan napas. (Hikmah,2015)
a. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membukajalan napas
menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan
kepala dan mengangkat dagu,periksa adakah benda asing
yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas,
muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
(Hikmah,2015)
b. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan
dengan menggunakan cara ‘lihat – dengar – rasakan’ tidak
lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau
tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi
korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
(Hikmah,2015)
c. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan
korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan
napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi,
lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30kali kompresi
dada dan 2 kali bantuan napas). (Hikmah,2015)
d. Pemberian antibiotika: mencegah timbulnya infeksi bakteri
pada trauma
e. ATS (Anti Tetanus Serum): memberi kekebalan sementara
terhadap tetanus(Hikmah,2015)

Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) :

1) Stop makanan dan minuman


2) Imobilisasi
3) Kirim ke rumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1) Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2) Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan
melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk
memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
3) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ
tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh,
kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain
bersih atau bila ada verban steril.
4) Imobilisasi pasien.
5) Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6) Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan
menekang.
7) Kirim ke rumah sakit.(Saymsuhidayat, 2004)

3. Penatalaksanaan Hospital
a. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding
abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan
memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya
luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan
luka keluar yang berdekatan
1) Skrinning pemeriksaan rontgen
Foto rontgen torak tegak berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau
untuk menemukan adanya udara intra peritonium. Serta
rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan
jalan peluru atau adanya udara retro peritoneum.
2) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal
yang ada.
3) Uretrografi.
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture
uretra.
4) Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera
pada kandung kencing, contohnya pada :
 Fraktur pelvis
 Trauma non – penetrasi (Saymsuhidayat, 2004)
b. Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit:
1) Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan
untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk
pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan
darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
2) Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero
posterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di
lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin
berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retro
peritoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang
keduanya memerlukan laparotomi segera.
3) Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah
duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur.
(Saymsuhidayat, 2004)

Vulnus penetratum merupakan penyakit bedah. Pasien dengan


vulnus penetratum cenderung meninggal lebih cepat dibandingkan
dengan trauma tumpul. Setelah dilakukan penilaian cepat, pasien
dengan vulnus penetratum harus dirujuk ke pusat trauma dengan
level yang sesuai (Bledsoe, 2012).
Pertama dilakukan anestesi setempat atau umum,
tergantung berat dan letak luka, serta keadaan penderita, luka dan
sekitar luka dibersihkan dengan antiseptik. Bahan yang dapat
dipakai adalah larutan yodium frovidon 1% dan larutan klorheksin
0,5%, larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya digunakan untuk
membersih kulit disekitar luka. Kemudian daerah disekitar
lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan secara steril
dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminasi secara
mekanis, misalnya pembuangan jaringan mati dengan gunting atau
pisau dan dibersihkan dengan bilasan, guyuran atau semprotan
NaCl. Akhirnya dilakukan penjahitan dengan rapi dan luka ditutup
dengan bahan yang dapat mencegah lengketnya kasa, misalnya
kasa yang mengandung vaselin ditambah dengan kasa penyerap
dan dibalut dengan pembalut elastik. (Bledsoe, 2012).

G. Konseling dan Edukasi


Mencegah infeksi dengan membersihkan luka merupakan faktor
yang paling penting dalam pencegahan infeksi luka. Sebagian besar
luka terkontaminasi saat pertama datang. Luka tersebut dapat
mengandung darah beku, kotoran, jaringan mati atau rusak dan
mungkin benda asing.

H. Prognosis
Prognosis pada luka tembus atau luka bocor tergantung dari
luas permukaan badan yang terkena tusukan, dan kedalaman
penyebab trauma komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan
pengobatan medikamentosa. (Anggowarsito, 2014)

I. Komplikasi
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.

c. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
d. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi(Moenadjat, 2007)

J. Contoh Kasus

Seorang laki-laki berusia 17 tahun dibawah oleh warga ke


Rumah Sakit dengan penurunan kesadaran. Berdasarkan
alloanamnesis pasien ditemukan oleh warga telah mengikuti tawuran.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien: Sopor, GCS
6, TD: 80/60 mmHg. Nadi: 115 x/menit. Suhu: 36,5 0 C. Konjunctiva
anemis. Pada pemeriksaan dermatologis, ditemukan adanya corpus
alienum di abdomen regio hipokondriaka dekstra, vulnus penetratum,
dan abrasi. Riwayat trauma (+). Dilakukan segera tindakan resusitasi
cairan (RL), balut tempat luka, perawatan luka penetrasi. Dan segera
melakukan rujukan ke Dokter Spesialis

K. Referensi

Amir, A. (2000). Traumatologi [online]. Dalam. Ilmu Kapita Selekta Ilmu


Kedokteran Forensik. Medan: http://luka tusuk porensik.com.
Anggowarsito, J. L. (2014). Luka Bakar Sudut Pandang Dermatologi.
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya. Surabaya: Jurnal Widya Medika Surabaya .
Balqis, Ummu, dkk. 2019. Healing Process Of Burns (Vulnus
combustion) Degrees IIB Using Mixed Leaf (Spondias dulcis F.)
Fresh And Dry With Vaselin In Rats (Rattus Norvegicus). Jurnal
Medika Veterinaria. Vol 13(1)
Bledsoe, B., Casey, M., Hodnick, R. 2012. Penetrating Trauma
Wounds Challenge EMS Providers. Tersedia di
http://www.jems.com/article/patient-care/penetrating-trauma-
wounds-challenge-ems. Diakses 29 November 2013.
Dahlan, Sofwan. Traumatologi. 2004 Dalam: Ilmu Kedokteran
Forensik.. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.Semarang.2004. Hal 67-91
Firmansyah, Marindra. 2017. Perbedaan Pengalaman Klinik
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah
Tiga Rumah Sakit Pendidikan. Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Malang
Ganong, William F. Fisiologi Kedokteran. Ed.22. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC: 2009
Guyton & Hall. 2016. Fisiologi Kedokteran (Terjemahan). Edisi 9. EGC:
Jakarta
Hikmah, Nurul. 2015. Preparasi Dan Karakteristik Film Sambung
Silang Hidrogel PVA dan Nurtium Alginat dengan metode Freeze-
thawing dan Metronidazole Sebagai Model Zat Aktif. FKIK UIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta.
Linuwih, Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.FKUI. 2018. Ed.7.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Medika
Auskulapius FKUI: Jakarta.
Moenadjat Y. Protokol Unit Luka Bakar RSCM. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2007.
Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer . 2015
Ridho, Muhammad. 2015. Talas (Colocasia esculenta [L.] Schott)
sebagai Obat Herbal untuk Mempercepat Penyembuhan Luka.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Vol 2 (109-111)
Sjamsuhidayat, R. Jong Wim De. 2004. Buku Ajar Ilmu Beda. (edisi 2).
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai