Anda di halaman 1dari 19

ASKEP EMERGENCY

SISTEM INTEGUMEN
VULNUS
Guna Untuk Memenuhi Mata Kuliah GADAR 2

Disusun Oleh :

PUTRI AHADIYAH

(010112a078)

SITI AISAH

(010112a096)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2015

BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar belakang
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapa
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan,
sengatan listrik, atau gigitan hewan (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2005).
Penanganan terhadap luka bermacam-macam, tergantung dari jenis dan penyebab
luka tersebut. Beberapa jenis luka yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di
antaranya adalah luka lecet (vulnus excoratio) dan luka iris (vulnus scissum). Hal yang
biasanya dilakukan pertama kali pada penanganan luka adalah pembersihan luka yang
kemudian diakhiri dengan pemberian obat antiseptik.
Vulnus (luka) adalah kerusakan, robek, atau pemisahan jaringan pada kulit yang
disebabkan karena trauma mekanis, termis, atau kimiawi dengan atau tanpa disertai
perdarahan (Anonimus 2005). Vulnus (luka terbuka) sering terjadi pada kuda karena kuda
memiliki aktivitas motorik yang tinggi apalagi jika berada pada lingkungan kandang yang
tidak terawat dengan baik (Baxter, 1990).
Menurut Carville, (1998) kasus vulnus biasanya disebabkan oleh trauma benda tajam
(paku, sisa pohon, kawat pagar dan
sebagainya) atau benda tumpul (batu, batang pohon, tali pelana dan sebagainya).
Vulnus dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya antara lain: saddle druck (luka dipunggung
akibat pemasangan pelana yang tidak sempurna), strackle (luka di bagian medial kaki), vulnus
punctio (luka akibat tusukan benda tajam), vulnus serrativa (luka akibat goresan kawat),
vulnus incisiva (luka akibat tusukan benda tajam), vulnus traumatica (luka akibat hantaman
benda tajam).
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan
pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel (Morris dan Malt, 1995).

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui bagaiman cara melakukan asuhan keperawatan
kegawatan pada gangguan sistem integumen
2. Tujuan khusus
a) Mengetahui tentang konsep vulnus.
b) Mengetahui asuhan keperawatan pada vulnus.
c) Mengetahui penatalaksanaan pada vulnus

BAB II
TEORI KONSEP

A. PENGERTIAN
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang. Vulnus dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya
antara lain: disebabkan oleh trauma benda tajam (paku, sisa pohon, kawat pagar dan
sebagainya) atau benda tumpul (batu, batang pohon, tali pelana dan sebagainya). Vulnus
saddle druck (luka dipunggung akibat pemasangan pelana yang tidak sempurna), vulnus
strackle (luka di bagian medial kaki), vulnus punctio (luka akibat tusukan benda tajam),
vulnus serrativa (luka akibat goresan kawat), vulnus incisiva (luka akibat tusukan benda
tajam), vulnus traumatica (luka akibat hantaman benda tajam) (Suriadi, 2007).
B. TIPE VULNUS
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka tepi
luka tidak rata dan perdarahan sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet)
Penyebab luka karena kecelakaan atau jatuh yang menyebabkan lecet pada permukaan
kulit merupakan luka terbuka tetapi yang terkena hanya daerah kulit.
3. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
Penyebab adalah benda runcing tajam atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit, merupakan
luka terbuka dari luar tampak kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika yang mengenai
abdomen/thorax disebut vulnus penetrosum(luka tembus).
4. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
Penyebab: benturan benda yang keras. Luka ini merupakan luka tertutup, akibat dari
kerusakan pada soft tissue dan ruptur pada pembuluh darah menyebabkan nyeri dan
berdarah (hematoma) bila kecil maka akan diserap oleh jaringan di sekitarya jika organ
dalam terbentur dapat menyebabkan akibat yang serius.
5. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan benda tajam atau jarum merupakan luka
terbuka akibat dari terapi untuk dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam dan licin.
6. Vulnus Schlopetorum (Lika Tembak)
Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka tampak kehitam-hitaman, bisa
tidak teratur kadang ditemukan corpus alienum.
7. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)

Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk luka
tergantung dari bentuk gigi.
8. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Luka jenis ini merupakan luka tembus atau luka jebol. Penyebab oleh karena panah,
tombak atau proses infeksi yang meluas hingga melewati selaput serosa/epithel organ
jaringan.
9. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong)
Luka potong, pancung dengan penyebab benda tajam ukuran besar/berat, gergaji. Luka
membentuk lingkaran sesuai dengan organ yang dipotong. Perdarahan hebat, resiko infeksi
tinggi, terdapat gejala pathom limb.
10. Vulnus Combustion (Luka Bakar)
Penyebab oleh karena thermis, radiasi, elektrik ataupun kimia Jaringan kulit rusak dengan
berbagai derajat mulai dari lepuh (bula carbonisasi/hangus). Sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
C. ETIOLOGI
1. Mekanik
a. Benda tajam
Merupakan luka dalam yang terjadi akibat benda yang memiliki sisi tajam atau
runcing. Misalnya luka iris, luka bacok, dan luka tusuk
b. Benda tumpul
Ledakan atau tembakan, misalnya luka karena tembakan senjata api
2. Non Mekanik
a. Bahan kimia
Terjadi akibat efek korosi dari asam kuat atau basa kuat
b. Trauma fisika
1) Luka akibat suhu tinggi
2) Suhu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya heat exhaustion primer, heat
exhaustion sekunder, heat stroke, sun stroke, dan heat cramps.
3) Luka akibat suhu rendah
4) Derajat luka pada kulit yang terjadi karena suhu dingin diantaranya hyperemia,
edema dan vasikel
5) Luka akibat trauma listrik
6) Luka akibat perubahan tekanan udara
(Mansjoer, 2001 dalam ratna, 2008)
c. Radiasi
D. MANIFESTASI KLINIS

1. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti: rotasi pemendekan tulang,
penekanan tulang.
2. Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
3.
4.
5.
6.

yang berdekatan dengan fraktur


Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
Tenderness/keempukan
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan

kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.


7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi
(Black, 1993).

E. PATOFISIOLOGI
Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tubuh yang bisa disebabkan
oleh traumatis/mekanis, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, dan gigitan
hewan atau binatang. Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan beberapa tanda dan gejala
seperti bengkak, krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa juga menimbulkan kondisi
yang lebih serius. Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada penyebab dan tipe vulnus.
Luka insisi (Incised Vulnus), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang
terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh
pembuluh darah yang luka diikat (ligasi). Luka memar (Contusion Vulnus), terjadi akibat
benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak. Luka lecet (Abraded Vulnus), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam. Luka tusuk (Punctured Vulnus),
terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan
diameter yang kecil. Luka gores (Lacerated Vulnus), terjadi akibat benda yang tajam seperti
oleh kaca atau oleh kawat. Luka tembus (Penetrating Vulnus), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian
ujung biasanya lukanya akan melebar (Puruhito dan Rubingah, 1995).
F. DAMPAK PADA SISTEM TUBUH

1. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada
fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan
metabolisme basal.
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari
anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan
pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah
sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien
sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus
posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
3. Sistem respirasi.
a) Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot
intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal
dan ekspirasi paksa.
b) Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio
ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi peningkatan
metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.
c) Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga
sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu
gerakan siliaris normal.
4. Sistem Kardiovaskuler
a) Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme
pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan
immobilisasi.
b) Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu
pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.
c) Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior dan
venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada
vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah

yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk
memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan
pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
5. Sistem Muskuloskeletal
a) Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2
dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa
metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.
b) Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi
persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.
c) Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan
gerak.
d) Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan
anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.
6. Sistem Pencernaan
a) Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar
pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori
yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.
b) Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus
menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan faeces
lebih keras dan orang sulit buang air besar.
7. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam
keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak
menahan urine sehingga dapat menyebabkan: Akumulasi endapan urine di renal pelvis
akan mudah membentuk batu ginjal dan tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan
berkembang biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.
8. Sistem integumen

Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan
tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika
hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan
dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
G. KOMPLIKASI
1. Kerusakan Arteri: Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
2. Kompartement Syndrom: Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
3. Infeksi: System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
4. Shock: Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
H. PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
2. Imunisasi tetanus
3. Immobilisasi
4. Terapi antibiotik
I. BERDASARKAN KEDALAMAN DAN LUASNYA LUKA
1. Stadium I
Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan
epidermis kulit.

2. Stadium II
Luka Partial Thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian
atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi,
blister atau lubang yang dangkal.
3. Stadium III
Luka Full Thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis
jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak

mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau
tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Stadium IV
Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya
destruksi/kerusakan yang luas (David, 2007).
J. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan proses peradangan,
yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness),
panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya
mencakup beberapa fase :
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan
bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini
kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai
hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan
substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi.
Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini
berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi
saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi
vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh
darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan
lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan: eritema, hangat pada kulit,
oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar
pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk
struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas
sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi

luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka,
kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi
(kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam
membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan
dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut
disebut sebagai jaringan granulasi.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang
dibentuk oleh makrofag dan platelet.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang
lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena
pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk
memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada
minggu ke-10 setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi
penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang
akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal.
Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau
hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu,
lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat
dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus) (David,
2007).
K. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
1. Usia

Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan.


2. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran
dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
3. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya
ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar
hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat
proses penyembuhan luka.
5. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu
abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel
mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang
disebut dengan nanah (Pus).
6. Iskemia
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian
tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada
luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada
pembuluh darah itu sendiri.
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi
tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan proteinkalori tubuh.
8. Pengobatan
Steroid akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.
Antikoagulan dapat mengakibatkan perdarahan, Antibiotik : efektif diberikan segera
sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan
setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular
(Brown, 1995).
L. KLASIFIKASI PENYEMBUHAN
1. Penyembuhan Primer (sanatio per primam intentionem)

Didapat bila luka bersih, tidak terinfeksi, dan dijahit dengan baik. Penyembuhan Primer
tertunda atau Penyembuhan dengan jaringan tertunda yaitu :
a) Luka dibiarkan terbuka.
b) Setelah beberapa hari ada granulasi baik dan tidak ada infeksi.
c) Luka dijahit.
d) Penyembuhan.

2. Penyembuhan sekunder (sanatio per secundam intentionem)


Didapat pada luka yang dibiarkan terbuka
a) Luka diisi jaringan granulasi dimulai dari dasar terus naik sampai penuh
b) Ephitel menutup jaringan granulasi mulai dari tepi.
c) Penyembuhan (Anonimuos, 2005).

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Identifikasi meliputi :
1. Tanggal masuk rumah sakit
2. Jam masuk rumah sakit
3. Nomer refistrasi
4. Jenis kasus (bedah non bedah)
5. Diagnose medis (diagnose medic saat klien masuk dan saat pengkajian)
6. Biodata
a) Identitas pasien
b) Identitas kelurga/pengantar
7. Riwayat kesehatan
a) Keluhan masuk
b) Keluhan masuk adalah keluhan yang mengirim klien dirawat di RS
c) Riwayat keluhan masuk
8. Primery survey
a) Airway :
(1) Apakah ada tanda-tanda sumbatan jalan nafas
(2) Apakah terdengar bunyi stridor
(3) Apakah ada tanda-tanda keberadaan benda asing, darah, muntah dalam mulut
(4) Apakah jalan napas paten
b) Breathing
(1) Apakah ada hembusan udara dari hidung (fell)
(2) Pengembangan dada (look)
(3) Apakah terdengar suara nafas (listen)
(4) Frekuensi nafas
(5) Retraksi intercostals
(6) Bunyi nafas (ngorek, bersiul, megap, dll)
(7) Penggunaan otot-otot aksesoris pernafasan
(8) Suara nafas tambahan (ronchi, wheezing, rales, dll)
c) Circulation
(1) Apakah ada poendarahan/tidak
(2) Apakah ada pulsa karotis, nadi radial
(3) Apakah nadi teraba atau tidak
(4) Kualitas nadi (luat, lemah, kecil)
(5) Akral (hangat/dimgin)
(6) Pengisian kapiler ( < 3 detik / > 3 detik )
(7) Apakah ada tanda-tanda syok (nadi lemah dan cepat, nadi lebih dari 100x/menit
pada dewasa)
(8) Apakah kulit teraba dingin atau tidak
(9) Apakh kulit tanpak pucat atau kebiru-biruan
(10)
Apakah pasien tidak sadar atau tampak mengantuk

d) Disability : gunakan AVPU


(1) A Alert (jaga) : apakah klien memengerti apoa yang anda sampaikan
(2) V Voice (suara) : apakah klien bias berbicara kepada anda
(3) P Pain (nyeri) : apakah klien berespon terhadap nyeri
(4) U Unresponsive (tidak berespon) : apakah klien tidak sadar atau berespon
(5) Cek ukuran , apakah ikuran sama atau tidak, apakah bereaksi terhadap cahaya
(mengecil)
(6) GCS (Glasgow Coma Scale)
9. Survey sekunder
a) AMPLE
(1) Alergi
(2) Medication
(3) Past history (riwayat singkat penyakit, kecelakaan, tindakan pembedahan, dan
perawatan selama sakit)
(4) Last time ate or drank (waktu terakhir makan dan minum)
(5) Event (apa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan ? kecelakaan kendaraan,
luka bakar, dll)
b) Pemeriksaan fisik (ekposure)
(1) Keadaan umum:
Inspeksi saat kontak pertama dengan klien (tampak keadaan umum tidak sakit,
(2)
(3)
(4)
(5)

keadaan sakit ringan, sakit sedang, atau lemah)


TTV
Berat badan
Tinggi badan
Kepala
(a) Reaksi pupil terhadap cahaya, ukuran
(b) Apakah ada luka, deformitas/cacat, memar, pembengkakan, tulang yang

penyek kedalam
(c) Apakah ada cairan yang keluar dari telinga dan hidung
(d) Periksa adanya nyeri tekan
(e) Ukur GCS
(6) Leher
(a) Tanda-tanda injury spinal
(b) Apakah ada luka, deformitas/cacat, memar, pembengkakan
(c) Apakah ada distensi/penggembungan dari vena leher
(d) Perhatikan posisi trakhea-apakah ditengah-tengah atau terdorong kesalah
satu sisi
(e) Rasakan apakah ada udara di bawah kulit (empisema subkutan)
(7) Dada
(a) Hasil pemeriksaan EKG
(b) Kecepatan nafas, upaya nafas
(c) Pengembangan data (simetris/tidak)

(d) Apakah ada luka, deformitas, memar, bengkak, atau depresi tulang (tulang
masuk ke dalam)
(e) Bunyi nafas
(8) Perut
(a) Apakah ada luka, memar, bengkak pada kulit atau pembesaran pada seluruh
perut (distensi)
(b) Apakah ada skar (bekas luka) yang lama, bising usus, peristaltik usus.
(c) Nyeri pada kuadran abdomen, kekakuan atau tampak sikap pada area perut
yang mengindikasi pendarahan pada perut
(9) Pelvis, rektum dan genital
(a) Apakah ada luka, deformitas, memar
(b) Apakah ada perdarahan uretra
(c) Apakah ada perdarahan sekitar rectum, scrotum dan vagina
(d) Apakah ada fraktur atau dislokasi
(10) Lengan dan tungkai
(a) Apakah ada luka, deformitas, memar atau pembengkakan
(b) Apakah ada nyeri tekan ? apakah pasien dapat merasakan sensasi
sentuhan yang anda lakukan ? pergerakan sendi
(c) Nadi perifer ada/ tidak
(d) Suhu anggota gerak, tangan dan kaki ? panas atau dingin
(11) Punggung
(a) Apakah ada luka, deformitas, memar atau pembengkakan, depresi tulang
(b) Apakah ada pendarahan yang berasal dari anus
(c) Apakah ada nyeri tekan
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan serum : hal ini dilakukan karena ada pada pasien dengan luka
bakar mengalami kehilangan volume
2. Pemeriksaan darah : misal pada pasien dengan luka gigitan dapat dijumpai
hipoprototrombinemia, trombositopenia, hipofibrinogemia, dan anemia
3. Pemeriksaan elektrolit : pada pasien dengan luka bakar mengalami kehilangan
volume cairan dan gangguan Na-K pump
4. Analisa gas darah biasanya pasien luka bakar terjadi asidosis metabolisme dan
5.
6.
7.
8.

kehilangan protein
Faal hati dan ginjal
Elektrolit terjadi penurunan calcium dan serum, peningkatan alkali phosphate
Serum albumin: total protein menurun, hiponatremia
Rediologi : untuk mengetahui penumpukan cairan paru, inhalas asap dan
menunjukan factor yang mendasari ; pada pasien vulnus morsum biasanya

terdapat emboli paru/edama paru


9. ECG : untuk mengatahui adanya aritmia

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik.
Tujuan: Nyeri akut teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam
dengan kriteria hasil:
a) Pasien tidak mengeluh nyeri
b) Pasein tidak mengeluh sesak
c) Pernapasan 12-21x/mnt
d) Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
e) Nadi 60-100x/mnt
Intervensi:
(1) Monitor derajat dan kualitas nyeri (PQRST)?
R/mengetahui rasa nyeri yang dirasakan
(2) Ajarkan teknik distraksi/relaksasi/napas dalam
R/mengurangi rasa nyeri
(3) Beri posisi nyaman
R/untuk mengurangi rasa nyeri
(4) Kolaborasi/lanjutkan pemberian analgetik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mengurangi rasa nyeri
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri
terhambat.
Tujuan: Perpusi jaringan serebral teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
a) Pasien tidak mengeluh pusing
b) Pasien tidak mengeluh sesak napas
c) Pernapasan 12-21x/mnt
d) Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
e) Nadi 60-100x/mnt
f) Hasil laboratorium darah normal(Leukosit, Hb)
Intervensi:
(1) Monitor tanda-tanda peradangan
R/untuk melihat tanda-tanda peradangan
(2) Anjurkan untuk cukup istirahat
R/mempercepat pemulihan kondisi
(3) Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
(4) Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
3. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, prosedur invasif,
pertahanan sekunder tidak adekuat.
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi setelah dilakuakan tindakan keperawatan
selama 2x24jam dengan kriteria hasil:

(a)
(b)
(c)
(d)

Finger print
C/axila Suhu: 36-37
Nadi 60-100x/mnt
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg

Intervensi
(1) Monitor pemeriksaan Laboratorium darah
R/untuk melihat kandungan darah
(2) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
(3) Beri nutrisi tinggi zat besi, vitamin C
R/untuk membantu proses penyembuhan luka
(4) Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat antibiotik ; nama, dosis, waktu, cara
R/mempercepat penyembuhan
4. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan melalui
abnormal (perdarahan).
Tujuan: Resiko defisit volume cairan teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
(a) BB dalam batas normal
(b) Tidak ada perdarahan
Intevensi:
(1) Monitor tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui keadaan pasien
(2) Anjurkan untuk banyak minum 2 L/hari
R/memenuhi kebutuhan cairan
(3) Hitung balance cairan
R/mengetahui klebihan dan kekurang cairan
(4) Kolaborasi/lanjutkan pemberian terapi elektrolit; nama, dosis, waktu, cara,
indikasi
R/mempercepat penyembuhan

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus.

2005.

Cut

and

Puncture

Wounds.

Dalam:

www.nlm.noh..gov/

medlineplus/ency/artikel/000043.html.
Baxter C. 1990. The normal healing process. In: New Directions in Wound Healing. Wound care
manual; February 1990. Princeton, NJ: E.R. Squlbb & Sons, Inc.
Carpenitto, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa : Monica Ester,
Edisi 8, Jakarta: EGC
David S Perdanakusuma, 2007, Anatomi fisiologi dan Penyembuhan Luka, Short Course wound
care update., JW Marriot Surabaya.
Doengoes, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan
Keperawatan dan masalah kolaboratif. Alih Bahasa : I Made Kanosa, Edisi III, Jakarta:
EGC Hinchliff, Sue. (1996).
Idral Darwis dan Widasari Sri Gitarja. 2008. Indonesia Enterostomal Therapy Education
Programme, Bogor, Indonesia.
Keryln Carville, 1998, Wound care manual 3rd edition. Silver chain foundation. Western
Australia.
Sudart dan Burnner, (1996). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Vol 3, Jakarta: EGC
Nanda. 2005. Definisi dan klasifikasi, Jakarta: Prima Medika BAK 3-5x/hari 3 detik
.

Anda mungkin juga menyukai