Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN TUTORIAL

BLOK RESPIRASI
“BATUK DAN SESAK PADA ANAK”

Disusun Oleh:
Kelompok 4
1. Afif Ahmad Al Munawwir K1A1 19 001
2. Nurah Anto Khairunnisa K1A1 19 020
3. Oktania Nurul Palupi K1A1 19 022
4. Dzulfi Subkhan K1A1 19 041
5. Faiq Ammar Muhyiddin K1A1 19 042
6. Nur Faizah K1A1 19 058
7. Nurfadhilah K1A1 19 059
8. Andin Syafitri Nur Tawakkal K1A1 19 081
9. Annasai Dhiya Ulhaq K1A1 19 082
10. Nur Asima K1A1 19 102
11. Nur Rizky Amalia Annisa K1A1 19 103
12. Nurizqa Azzahra Suyuti K1A1 19 104

Tutor:
dr. Eka Desiastuti M

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT Tuhan Yang
Maha Esa, yang telah melimpahkan kasih sayang dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan PBL modul “Batuk dan Sesak pada Anak” Blok Sistem Respirasi
sebagai salah satu syarat untuk melengkapi nilai sistem urogenital.

Terima kasih kepada orang tua atas do’a dan dukungannya, selalu mendampingi dan
penuh pengertian memberi semangat selama kami mengikuti pendidikan di Program Studi
Kedokteran, Universitas Halu Oleo. Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan laporan PBL modul “Batuk dan Sesak pada
Anak” Blok Sistem Respirasi. Semoga kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada kami
mendapat balasan dari Allah Yang Maha Pemurah.

Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang
selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Kendari, 8 April 2021

Hormat Kami,

Kelompok 4

DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………ii

Daftar Isi…………………………………………………………………………………….iii

Skenario………………………………………………………………………………………1

Kata Sulit……………………………………………………………………………………..1

Kata Kunci……………………………………………………………………………….…..1

Pertanyaan ………………………….……………………………………………………….1

Jawaban……………………………………………………………………………………...2

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..63

MODUL 1
BATUK DAN SESAK PADA ANAK

A. SKENARIO
Seorang anak 3 thn diantar ibunya ke RS dengan demam yang tinggi, anaknya rewel dan tak
pernah tidur sejak semalam. Menurut ibunya dalam 3 bulan terakhir ini sudah berkali-kali ia
membawa anaknya ke dokter dengan keluhan beringus dan batuk yang hilang timbul,
teutama malam hari dan hampir 1 bulan terakhir ini batuk dan beringus anaknya tidak
berhenti yang kadang disertai sesak. Pada saat penimbangan di posyandu bulan lalu BB
anaknya 10 kg. Anaknya ini adalah anak ke 3, kedua kakaknya juga sering mengalami
keluhan yang sama, hanya saja tidak separah anaknya yang ketiga ini.
B. KATA SULIT: -

C. KATA / KALIMAT KUNCI


1. Anak berumur 3 tahun.
2. Demam yang tinggi.
3. Rewel dan tak pernah tidur sejak semalam.
4. Beringus dan batuk yang hilang timbul dalam 3 bulan terakhir teutama malam hari.
5. Batuk dan beringus anaknya tidak berhenti yang kadang disertai sesak hampir 1 bulan
terakhir.
6. Berat badan 10 kg bulan lalu.
7. Kedua kakanya juga mengalami keluhan yang sama, hanya saja tidak separah anaknya
yang ketiga.

D. PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait pada skenario!
2. Jelaskan definisi dan macam-macam batuk!
3. Jelaskan patomekanisme dari:
a. Batuk
b. Sesak napas
c. Demam
4. Jelaskan etiologi yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak!
5. Sebutkan penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak!
6. Jelaskan fisiologi pengaturan pernapasan pada manusia!
7. Apakah ada hubungan gejala yang diderita pasien dengan gejala yang dialami oleh kedua
kakanya?
8. Bagaimana status gizi pasien terkait skenario?
9. Bagaimana Langkah-langkah diagnosis terkait skenario?
10. Jelaskan DD dan DS terkait skenario (beserta tata laksana)!
11. Jelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi sesuai dengan gejala batu dan sesak
yang dialami!

E. JAWABAN
1. Anatomi dan fisiologi organ terkait skenario:
a. Anatomi
1) Rongga Hidung
Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang hidung
pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Struktur
tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara di
dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media,
superior dan meatus. Meatus merupakan ruang di antara konka. Meatus media
terletak di antara konka media dan inferior yang mempunyai peran penting dalam
patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus anterior (sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior) berhubungan dengan hidung. Meatus
inferior berada di antara konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada permukaan
lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis.3
Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina
perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa.
Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung dan menekan
konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan hambatan aliran
sinus. Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga hidung. Pada
permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis.3
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid,
sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius
pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran mukosa
bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung dengan
sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium. Ostium
adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung. Jumlah silia
makin bertambah saat mendekati ostium.
Berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung,
sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior
terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau
dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior terdiri dari etmoid posterior dan sinus
sfenoid yang bermuara di atas konka media. Fungsi utama sinus paranasal adalah
mengeliminasi benda asing dan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui
tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan
produksi mukus yang normal.3
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok
sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM
bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur yang jika mengalami
obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang akan menyebabkan
obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus.3
Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang
dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan
dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan
cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius.
Terdapat anastomosis di antara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di
daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di
hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi
menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus
dan cabang maksila nervus trigeminus.3
2) Faring (Nasofaring, Orofaring, Laringofaring)
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra.2
Faring dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.2
Faring terdiri atas:
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat
dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan
muara tuba Eustachius.3
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.3
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra
servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini
merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial
dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong
pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan
tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang
– kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.3
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang
retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot
faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Sedangkan ruang
parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya
yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada
kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring
superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m.
pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis.3
3) Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atasdan terletak
setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya
relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung dengan
bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas
atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago krikoid.2

Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang
rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada struktur laring
adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan kartilago krikoid. Os hioid
terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan dapat dipalpasi pada leher
depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini
bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari dua sayap / alae kartilago tiroid.
Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit yang melekat pada
kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada
permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid ini mempunyai dua
buah prosesus yakni prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis.

Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda
vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian
pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis
suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah
tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong makanan
yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua pasang
kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago
kornikulata dan kuneiformis.2
4) Trakhea
Trakea adalah saluran pernafasan berbentuk pipa yang terdiri dari tulang
rawan dan otot serta dilapisi oleh pseudostratified columnar cilliated epithelium
(epitel PCC). Sepertiga bagian trakea terletak di leher, dan selebihnya terletak di
mediastinum. Trakea terletak di tengah-tengah leher dan makin ke distal bergeser ke
sebelah kanan, masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium sterni.3
Panjang trakea kira-kira 10 cm pada wanita dan 12 cm pada pria. Diameter
anterior-posterior rata-rata 13 mm, sedangkan diameter transversal rata-rata 18 mm.
Trakea memanjang mulai dari batas bawah laring, setinggi vertebra servikalis 6
sampai vertebra torakalis 4, dimana trakea akan terbagi menjadi dua bronkus, yaitu
bronkus utama kanan dan kiri. Cincin trakea yang paling bawah meluas ke inferior
dan posterior di antara bronkus utama kanan dan kiri, membentuk sekat yang lancip
di sebelah dalam, yang disebut karina.3

Trakea sangat elastis, panjang serta letaknya berubah-ubah tergantung pada


posisi kepala dan leher. Lapisan tulang rawan trakea dibentuk oleh 16 – 20 tulang
rawan hialin berbentuk cincin tidak penuh atau terbuka di bagian posterior (c-shaped
cartilage). Kedua ujung posterior yang bebas ini dihubungkan oleh otot polos (otot
trakea) dan serat jaringan ikat elastis yang mengandung kolagen (ligamen annularis).
Ligamen annularis menghubungkan masing-masing cincin tulang rawan sehingga
memungkinkan terjadinya pemanjangan serta pemendekan trakea saat menelan atau
pergerakan leher lainnya. Tulang rawan, ligamen annularis dan otot trakea
membentuk rangka (skeleton) trakea yang kadang disebut sebagai tunica
fibromusculocartilaginea.3
Aliran darah trakea dipasok oleh banyak pembuluh arteri terminalis kecil.
Trakea bagian atas diperdarahi terutama oleh cabang arteri tiroidea inferior,
sedangkan bagian bawah oleh cabang arteri bronkialis. Persarafan trakea berasal dari
N. vagus dan n. rekurren yang penjalaran rangsangnya akan didistribusikan ke otot
trakea serta lapisan epitel.3
5) Bronkus
Bronkus merupakan bagian dari traktus trakeobronkial, yaitu suatu struktur
yang dimulai dari trakea kemudian berlanjut menjadi bronkus dan bronkiolus. Pada
karina, trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri dengan bronkus
kanan lebih lebar, pendek, serta lebih vertikal daripada bronkus kiri. Hal ini
menyebabkan partikel asing lebih sering terdeposit pada bronkus kanan. Bronkus
utama kanan akan bercabang menjadi tiga lobus, yaitu lobus kanan atas, lobus kanan
tengah, dan lobus kanan bawah. Bronkus utama kiri terbagi menjadi dua lobus, yaitu
lobus kiri atas dan lobus kiri bawah. Setiap lobus bronkus akan menghantarkan udara
ke lobus paru yang spesifik.4

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan


dan bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang
rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar
cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan sempurna.4
Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Batang tenggorokan
bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua
bronkus menuju paru-paru, bronkus bercabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus
sebelah kanan (bronkus primer) bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus
sekunder), sedangkan bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus.
Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru atau
alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah, melalui kapiler-kapiler darah
dalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam darah. Fungsi utama
bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang masuk dan keluar paru-paru.4
6) Bronkiolus
Bronkiolus adalah cabang dari bronkus yang merupakan jalur utama untuk
menyalurkan udara di paru-paru. Udara yang dihirup saat bernapas akan masuk ke
paru-paru melalui bronkus. Namun, agar udara ini bisa menyebar merata ke jaringan
di paru-paru, diperlukan saluran yang lebih kecil lagi.4
Bronkiolus terbagi menjadi tiga jenis yang semakin lebih kecil yakni4 :
 Bronkiolus Lobular merupakan lobus yang lebih besar.
 Bronkiolus Terminalis yakni ujung untuk transfer.
 Bronkiolus Respiratorius ialah yang bertanggung jawab untuk mengarahkan
udara ke alveoli.

Bronkiolus lobular dan terminalis dikenal sebagai ruang hampa karena tidak
ada pertukaran udara yang terjadi pada lintasan ini. Bronkiolus berukuran kecil, mulai
dari 0,5-1 mm.4

7) Alveolus (Pulmo)
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping
dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang
berotot kuat. Paruparu ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang
terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-
paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam
yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan
selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk
disebut pleura luar (pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus,
jaringan elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang
rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya mempunyai
epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus terminalis bercabang-cabang
lagi menjadi bronkiolus respirasi, kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding
duktus alveolaris mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.
Alveolus merupakan Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis.
Tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara
yang dihirup. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat
kolagen, dan elastis halus. Terdapat lebih dari 300 juta gelembung alveoli dengan
diameter 0,3 mm. Adanya tegangan muka cairan yang melapisi alveoli menyebabkan
gelembung cenderung menjadi kolaps.4
Alveolus dibentuk dan dibatasi oleh dinding alveolus yang dibentuk oleh 2
macam sel, yaitu sel Alveolar tipe I atau Pneumosit Tipe I, Merupakan Sel Pneumosit
Squamosa, Pertukaran gass menembus dinding Pneumosit Tipe I. Sel Alveolar tipe II
atau Pneumosit Tipe II, Disebut juga Granular Pneumocyt, Tugas Pneumosit Tipe II
yaitu menghasilkan surfaktan.4
b. Fisiologi
1) Rongga hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
a) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
b) Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
c) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
d) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
e) Refleks nasal.3,4
2) Faring (Nasofaring, Orofaring, Laringofaring)
a) Menjadi jalur agar udara dari hidung bisa mencapai paru-paru melewati laring
dan trakea. Pada faring, terdapat isthmus  yang membantu untuk bisa bernapas
melalui hidung dan mulut.
b) Mencegah udara agar tidak masuk ke sistem pencernaan dan agar makanan
serta minuman tidak masuk ke sistem pernapasan. Hal ini bisa terjadi karena
adanya epiglotis atau katup di bagian ujung dari faring.
c) Membantu Anda dalam menelan makanan yang dikonsumsi. Otot-otot
tersebut dapat melebar dan mengangkat laring yang membuat bisa menelan
makanan.
d) Membantu menyeimbangkan tekanan udara di gendang telinga. Udara bisa
diseimbangkan karena faring terhubung dengan telinga bagian tengah dengan
bantuan saluran eustachius.
e) Memberikan suara saat kata pertama dan menyalurkan suara keluar dari
mulut.3,4
3) Laring
a) Lapisan mukosa bersilia laring bermanfaat untuk menghilangkan partikel
asing dan untuk menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup.
b) Pada saat makan, bagian belakang lidah yang bergabung ke puncak laring,
mendorong ke atas, memaksa epiglotis untuk menutupi glotis, mencegah
makanan atau benda asing masuk laring.3,4
4) Trakhea
a) Mengirim udara ke paru-paru
b) Menyaring benda asing yang terhirup
c) Membantu batuk
d) Membantu fungsi system pencernaan.3,4
5) Bronkus
a) Sebagai jalur masuk dan keluarnya udara
b) Dapat mencegah terjadinya infeksi karena memiliki berbagai sel termasuk sel
silia yang dapat mencegah bakteri pembawa penyakit masuk kedalam paru-
paru.3,4
6) Bronkiolus
a) Menyalurkan udara dari bronkus ke alveoli
b) Mengontrol jumlah udara yang masuk saat proses pernapasan berlangsung.3,4

7) Alveoli (Pulmo)
a) Sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida (terjadi melalui
dinding alveoli)
b) Menyerap oksigen dari udara yang dibawa oleh bronkiolus dan
mengalirkannya kedalam darah.3,4
2. Definisi dan macam-macam batuk
a. Definisi Batuk
Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang ada dan
refleks fisiologis yang melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu. Batuk
menjadi patologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk seperti itu sering merupakan
tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang berupa gejala awal dari suatu
penyakit. Batuk merupakan gejala tersering penyakit pernapasan dan masalah yang
sering kali dihadapi dokter dalam praktik sehari-hari.5

Menurut (Junaidi, 2010) ada 2 definisi tentang batuk yaitu:

1) Batuk merupakan cara tubuh melindungi paru-paru dari masuknya zat atau benda
asing yang mengganggu.
2) Batuk merupakan refleks alami tubuh, dimana saluran pernapasan berusaha untuk
mengeluarkan benda asing atau produksi lendir yang berlebihan.
b. Macam-Macam Batuk
1) Jenis batuk berdasarkan produktivitasnya
a) Batuk produktif, merupakan batuk yang menghasilkan dahak atau lendir
(sputum) sehingga lebih dikenal dengan sebutan batuk berdahak. Batuk produktif
memiliki ciri khas yaitu dada terasa penuh dan berbunyi. Mereka yang
mengalami batuk produktif umumnya mengalami kesulitan bernapas dan disertai
pengeluaran dahak. Batuk produktif sebaiknya tidak diobati dengan obat
penekan batuk karena lendir akan semakin banyak terkumpul di paru-paru.6
b) Batuk tidak produktif, merupakan batuk yang tidak menghasilkan dahak
(sputum), yang juga disebut batuk kering. Batuk tidak produktif sering membuat
tenggorokan terasa gatal sehingga menyebabkan suara menjadi serak atau hilang.
Batuk ini sering dipicu oleh kemasukan partikel makanan, bahan iritan, asap
rokok (baik oleh perokok aktif maupun pasif), dan perubahan temperatur. Batuk
ini dapat merupakan gejala sisa dari infeksi virus atau flu.6
2) Jenis batuk berdasarkan waktu berlangsungnya
a) Batuk akut, merupakan batuk yang berlangsung kurang dari 3 minggu, serta
terjadi dalam 1 episode. Batuk jenis ini umumnya disebabkan oleh flu dan alergi.
Bentuk batuk yang sering ditemui, merupakan jenis batuk akut ringan yang
disertai demam ringan dan pilek.6
b) Batuk kronis, merupakan batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu atau
terjadi dalam 3 episode selama 3 bulan berturut-turut. Batuk jenis ini biasanya
disebabkan oleh bronchitis, asma, dan tuberkolosis.6
3) Jenis batuk pada anak-anak
a) Batuk menggonggong, batuk seperti menyalak (menggonggong) umumnya
disebabkan oleh inflamasi atau pembengkakan pada saluran napas atas.
Kebanyakan batuk ini disebabkan oleh croup, yakni inflamasi pada laring
(pangkal tenggorok) dan trakea (batang tenggorok). Croup dapat disebabkan oleh
alergi, perubahan suhu pada malam hari dan infeksi saluran napas atas. Anak
dibawah 3 tahun cenderung terserang croup karena batang tenggoroknya sempit.6
b) Pertusis/batuk rejan, merupakan infeksi pada saluran napas, yang terjadi akibat
bakteri bordetella pertusis. Penyakit ditandai oleh batuk yang diakhiri dengan
suara keras saat anak menarik napas. Gejala lainnya adalah hidung berair, bersin,
batuk dan sedikit demam (Junaidi, 2010). Penyakit ini biasanya menyerang anak
yang berusia diantara 3 bulan dan 3 tahun, batuk rejan dapat mengancam
kehidupan jika tidak ditangani. Terapi biasanya meliputi pemberian antibiotik
dan cairan serta anak dipajankan terhadap udara yang dilembapkan, untuk
mempertahankan fungsi pernapasan.6
c) Batuk disertai napas berbunyi saat anak mengembuskan napas, merupakan tanda
saluran napas bagian bawah mengalami peradangan/inflamasi. Pada anak yang
masih kecil, saluran bagian bawah terhalang oleh benda asing atau lendir karena
infeksi pernapasan.6
d) Batuk di malam hari, batuk ini kebanyakan bertambah buruk ketika malam hari
karena penyumbatan dalam hidung dan sinus mengalir disepanjang tenggorokan
serta menyebabkan iritasi saat anak berbaring. Ini menimbulkan masalah karena
anak menjadi sulit tidur. Asma juga dapat memicu batuk dimalam hari karena
saluran napas cenderung menjadi sensitif dan mudah teriritasi pada malam hari.6
e) Batuk di siang hari, disebabkan alergi, asma, kedinginan, dan infeksi pernapasan.
Udara dingin dan aktivitas yang berat dapat memperparah batuk ini, tetapi
biasanya akan mereda dimalam hari ketika anak beristirahat. Perlu dipastikan
bahwa dirumah tidak ada faktor pencetus batuk seperti pengharum ruangan,
binatang peliharaan, dan asap terutama asap rokok.6
f) Batuk disertai demam, juga hidung meler maka kemungkinan anak terserang flu.
Namun batuk disertai demam tinggi (39o C) atau lebih mungkin disebabkan oleh
pneumonia, terutama jika anak terlihat lesu dan bernapas tidak cepat. Bila ini
terjadi, segera bawa anak ke dokter.6
g) Batuk disertai muntah, umumnya anak batuk dipicu oleh reflex penyumbatan.
Anak yang menderita batuk disertai flu atau asma dapat muntah jika terlalu
banyak lendir yang mengalir ke dalam perut dan menimbulkan rasa mual. 6
h) Batuk menetap, umumnya batuk yang disebabkan flu dapat hilang dalam
seminggu. Asma, alergi, atau infeksi kronis di sinus atau saluran napas mungkin
penyebab pada batuk yang menetap (persisten). Jika batuk terjadi selama
seminggu, segera hubungi dokter.6
3. Patomekanisme gejala terkait skenario:
a. Patomekanisme batuk
Dibagi menjadi 3 fase:

1) Fase 1 (Inspirasi), paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita
suara menutup, sehingga udara terjerat dalam paru-paru.
2) Fase 2 (Kompresi), otot perut berkontraksi, so diafragma naik dan mnekan paru2,
diikuti pula dengan kontraksi intercosta internus. yang pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan pada paru-paru meningkat hingga 100mm/hg.
3) Fase 3 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak
keluar dari paru2.

Tidak kalah pentingnya adalah saat udara keluar dari paru-paru dengan kecepatan yang
relatif tinggi, trachea dan bronkus yg tidak bercartilago akan terinvaginasi, sehingga
udara dapat melalui celah-celah bronkus dan trachea. hal ini membantu untuk
membersihkan saluran napas dari kotoran, kuman, virus, bakteri, dan bahan-bahan
berbahaya lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa batuk bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu reaksi
fisiologis tubuh untuk membersihkan saluran napas, sama halnya dengan bersin.7

b. Patomekanisme sesak napas


Dispnea atau yang biasa dikenal dengan sesak napas adala Perasaan sulit bernapas
dan biasanhya merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonal. Orang yang
mengalami sesak napas sering mengeluh napas nya terasa pendek dan dangkal.

Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot otot pernpasan
tambahan seperti sternocleidomastoidseus, scalenus, trapezius, dan pectoralis mayor,
adanya pernapasan cuping hidung, tachypnea dan hiperventilasi. Tachypnea adalah
frekuensi pernapasan yang cepat, yaitu lebih dari 20 kali permenit yang dapat muncul
dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada
jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahan kan pengeluaran CO 2 normal, hal ini dapat
diidentifikasi kan dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangan pa CO2
yaitu lebih rendah dari angka normal yaitu 40mmHg.8

Mekanisme terjadinya sesak napas

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang
fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada pertukaran gas antara
O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi
sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu
penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada saluran pernapasn maka ruang
mati akan meningkat.8

Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga
akan terganggu dan juga dapat menebab kan dispnea.

Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan terhadap compliance
paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru maka makin besar gradien
tekanan transmural yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan
pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam
salah satu nya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi
asbston atau iritan yang sama.8
Sesak dimulai ketika alergen masuk ke saluran napas dan menyebabkan reseptor
mucus terangsang untuk reaksi inflamasi dengan melepaskan prostaglandin dan mediator
radang lainnya sehingga terjadi kontraksi otot polos yang mengakibatkan bronkontriksi
dan sekresi mukus akibat tekanan CO2 pada kemoreseptor meningkatkan ekspirasi
timbullah rasa sesak.9
c. Patomekanisme demam
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat pirogen sendiri
dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen. Pirogen eksogen adalah pirogen
yang berasal dari luar tubuh seperti mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen
endogen merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat
pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan neutrophil 1. Seluruh substansi di atas
menyebabkan sel-sel fagosit mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer)
membuat sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip
interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Sitokin-
sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil memasuki sirkulasi.
Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta
interferon γ merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-
sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan kemudian
bekerja pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam
arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam
arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan demam pada
tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus.10
Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu siklooksigenase-1
(COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform berbeda distribusinya pada
jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim
konstitutif yang mengkatalis pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan,
terutama pada selaput lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh
darah. Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada
stimuli radang, mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk
prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah
kepada,11 bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung
jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalis
pembentukan prostaglandin yang menyebabkan radang.11
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang menyebabkan
demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron termosensitif. Area ini juga
kaya dengan serotonin dan norepineprin yang berperan sebagai perantara terjadinya
demam, pirogen endogen meningkatkan konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua
monoamina ini akan meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan
prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh
menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat.10

Gambar 1. Patofisiologi Demam dan Efek Antipiretik


4. Etiologi yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak:

a. Flu

Pada anak-anak influenza adalah salah satu penyebab tersering penyakit pernapasan akut.
Gejala flu disebabkan oleh infeksi virus influenza. Ada tiga jenis virus influenza yang
biasanya menginfeksi tubuh, yaitu virus influenza A, B, dan C.12
Penularan flu biasanya terjadi melalui udara, air, makanan serta minuman yang
terkontaminasi virus flu. Penularan juga bisa terjadi melalui kontak fisik dengan
penderita, atau kontak dengan virus yang terbawa di udara.12

Seperti penyakit pernapasan virus lainnya, secara klinis, influenza ditandai dengan
demam akut, menggigil, pilek, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan mialgia. Diare,
muntah, dan sakit perut mungkin terlihat. Dalam kasus yang sederhana, penyakit ini
kebanyakan muncul sebagai penyakit pernapasan bagian atas ringan dan penyakit demam
berlangsung selama 3-4 hari dengan resolusi penyakit dalam 7-10 hari. Namun, batuk
kering dapat bertahan lebih lama dalam beberapa kasus. Bayi dan anak kecil mungkin
datang terlihat dengan penyakit yang menyerupai sepsis, pneumonia, croup atau
bronchiolitis.12

Konfirmasi influenza dapat dilakukan baik dengan kultur virus, RT-PCR atau antibodi
penetral spesifik dalam darah. Prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan mencakup tindakan
pengendalian infeksi yang segera dilakukan, identifikasi dini anak-anak yang berisiko
tinggi, perawatan pendukung dan obat antivirus. Vaksin dan kemoprofilaksis adalah dua
metode yang umum digunakan untuk pencegahan flu. 12

Meskipun prognosis pemulihan dari influenza secara keseluruhan baik, kematian


dilaporkan bahkan pada anak-anak tanpa faktor risiko. Kemungkinan kematian lebih
tinggi dalam 3 hari pertama penyakit.12
b. ISPA

ISPA (Infeksi Saluran Napas Akut) adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi pada
saluran pernapasan bagian atas atau bawah. Penyebab utama ISPA adalah infeksi virus,
seperti rhinovirus, adenovirus, virus coxsackie, parainfluenza, dan RSV
(respitatory syncytial virus). Namun pada kasus tertentu, ISPA pada anak juga bisa
disebabkan oleh infeksi bakteri. Virus dan bakteri penyebab ISPA dapat menyebar dan
menular dengan beberapa cara, misalnya saat anak menghirup percikan bersin dari
seseorang yang terinfeksi ISPA. Penyebaran juga dapat terjadi saat anak memegang
benda yang telah terkontaminasi virus atau kuman penyebab ISPA dan secara tidak sadar
menyentuh hidung atau mulutnya sendiri. ISPA pada anak dapat menimbulkan
bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan,
pilek, sakit telinga dan demam.13

c. Asma

Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran napas, ditandai dengan episode
berulang dari obstruksi aliran udara akibat edema, bronkospasme, dan peningkatan
produksi lendir.
Penderita asma mungkin mengalami berbagai gejala pernapasan, seperti mengi,
sesak napas, batuk, dan dada sesak. Ada berbagai frekuensi dan tingkat keparahan gejala,
tetapi asma yang tidak terkontrol dan eksaserbasi akut dapat menyebabkan gagal napas
dan kematian. Etiologi asma yang tepat masih belum jelas dan tampaknya multifaktorial.
Baik faktor genetik maupun lingkungan tampaknya berkontribusi.14
Pada anak-anak yang menderita asma atau yang dicurigai asma, riwayat lengkap
dan pemeriksaan fisik harus dilakukan. Meskipun asma tidak dapat disembuhkan, asma
dapat dikontrol dengan manajemen yang tepat. Asma biasanya akan mulai terjadi
sebelum usia sekolah pada anak-anak. Asma anak usia dini dan asma berat meningkatkan
risiko gejala obstruktif kronik. Sementara banyak pasien memerlukan tindak lanjut medis
jangka panjang dan pengobatan, asma tetap merupakan penyakit yang dapat diobati, dan
beberapa pasien mengalami perbaikan atau resolusi gejala yang signifikan seiring
bertambahnya usia.14
5. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak
a. Pneumonia
Pneumonia merupakan proses inflamasi yang terjadi pada parenkim paru. Pada anak,
pneumonia merupakan penyakit yang paling umum terjadi dan sebagai salah satu
penyebab kesakitan dan kematian utama pada anak (paling banyak anak di bawah usia 5
tahun). Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, aspirasi dari cairan lambung, benda
asing, hidrokarbon, bahan-bahan lipoid, dan reaksi hipersensitivitas. Gambaran klinis
pneumonia ditandai dengan demam, takipnu, usaha napas meningkat, disertai tarikan
otot-otot dinding dada, disertai napas cuping hidung. Pada infeksi yang berat dapat
dijumpai sianosis dan gagal napas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki dan mengi.
Saat ini belum ada penelitian mengenai profil pneumonia pada anak di Aceh, oleh karena
itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana profil tahun 2008 dan tahun
2009. 15

b. Asma Pada Anak


Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma telah
meningkat dalam beberapa dekade terakhir baik pada negera berkembang maupun pada
negara maju. Penelitian International Study of Asthma dan Allergies in Childhood
(ISAAC) menunjukkan bahwa prevalensi gejala asma berkisar dari 1.6-27.2% pada anak
usia 6-7 tahun, dan 1.9-35.5% pada anak usia 13-14 tahun. Sedangkan prevalensi asma
anak di Indonesia sekitar 10% pada anak usia 6-7 tahun dan sekitar 6,5% pada anak
usia.15

c. Tuberkulosis Anak
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Myobacterium tuberculosis,
Myobacterium bovis dan Myobacterium africanum.
Tuberculosis adalah penyakit yang menular yang bersifat sistemik dan disebabkan oleh
Myobacterium tuberculosis yang mayoritas menyerang (>95%) menyerang paru.16

d. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah penyakit virus pada saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan
peradangan bronkioli yang lebih kecil ditandai edema membran mukosa yang melapisi
dinding bronkioli, ditambah infiltrasi sel dan produksi mukus meningkat, yang
menimbulkan obtruksi jalan nafas. Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat
inflamasi akut pada saluran nafas kecil (Bronkiolus), terjadi pada anak berusia kurang
dari 2 tahun dengan insiden tertinggi sekitar usia 6 bulan. Bronkiolitis akut adalah suatu
sindrom obtruksi bronkiolus yang sering diderita bayi atau anak berumur kurang dari 2
tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis pada anak-anak sebagian besar
disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) 50% sampai 90%. Penyebab lain
adalah parainfluenza virus, mikroplasma, adenovirus dan beberapa virus lain. 16

6. Fisiologi pengaturan pernapasan pada manusia


Respirasi tidak hanya sekedar menghirup dan menghembuskan napas. Tetapi
respirasi memiliki arti yang lebih luas. Respirasi mencakup respirasi eksternal dan respirasi
selular. Respirasi selular / internal mengacu pada proses metabolik intrasel yang berlangsung
di dalam mitokondria, yang menggunakan 02 dan menghasilkan CO2 selama penyerapan
energi dari molekul nutrient. Respirasi eksternal mengacu ke seluruh rangkaian kejadian
dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Respirasi eksternal
meliputi 3 proses yaitu: Ventilasi, Difusi dan Perfusi.17

Respirasi Seluler

Istilah respirasi seluler merujuk pada proses-proses metabolik intrasel yang


dilaksanakan di dalam mitokondria, yang menggunakan O2, dan menghasilkan CO2, selagi
mengambil energi dari molekul nutrien (lihat h. 40). Kuosien respirasi (respiratory quotient,
RQ), rasio CO2, yang dihasilkan terhadap O2, yang dikonsumsi, bervariasi -bagai
bergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi. 18

Respirasi Eksternal

Istilah respirasi eksternal merujuk pada seluruh rangkaian kejadian dalam pertukaran
O2, dan CO2, antara ling kungan eksternal dan sel-sel jaringan. Respirasi eksternal, topik
bab ini, mencakup empat langkah. 18

Langkah (1) Udara secara bergantian dimasukkan ke dalam dan keluar paru sehingga udara
dapat di pertukarkan antara atmosfer (lingkungan eksternal) dan kantong udara (alveolus)
paru. Pertukaran ini dicapai melalui kerja mekanis bernapas, atau ventilasi. Kecepatan
ventilasi diatur untuk menyesuaikan aliran udara antara atmosfer dan alveolus sesuai dengan
kebutuhan metabolik tubuh terhadap ambilan O2, dan pengeluaran CO2.

Langkah (2) O2, dan CO2, dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di dalam kapiler
pulmonal (pulmonal berarti "paru") melalui proses difusi.

Langkah (3) Darah mengangkut O2, dan CO2, antara paru dan jaringan.

Langkah (4) O2, dan CO2, dipertukarkan antara sel jaringan dan darah melalui proses difusi
menembus kapiler sistemik (jaringan).
Udara cenderung mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan
tekanan rendah, yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru
selama tindakan bernapas karena berpindah mengikuti gradien tekanan antara alveolus dan
atmosfer yang berbalik arah secara bergantian yang ditimbulkan oleh aktivitas siklik otot
pernapasan. Terdapat tiga tekanan yang berbeda yang berperan penting dalam ventilasi
sebagai berikut. 18
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada ketinggian permukaan laut tekanan ini
sama dengan 760 mm Hg. Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan
ketinggian di atas permukaan laut karena lapisan-lapisan udara di atas permukaan bumi
juga semakin menipis. Pada setiap ketinggian terjadi perubahan kecil pada tekanan
atmosfer karena perubahan kondisi cuaca (yaitu, ketika tekanan barometrik naik atau
turun).
2. Tekanan intra-alveolus, yang juga dikenal sebagai tekanan intrapulmonal, adalah tekanan
di dalam alveolus. Karena alveolus ber- hubungan dengan atmosfer melalui saluran napas
penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradien tekanannya setiap kali tekanan
intraalveolus berbeda dari tekanan atmosfer; udara terus mengalir hingga kedua tekanan
seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantong pleura. Tekanan ini, yang juga
dikenal sebagai tekanan intratoraks, adalah tekanan yang ditimbulkan di luar paru di
dalam rongga toraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah daripada tekanan
atmosfer, rerata 756 mm Hg saat istirahat. Seperti tekanan darah yang dicatat dengan
menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik referensi (yaitu, tekanan darah sistolik 120
mm Hg adalah 120 mm Hg lebih besar daripada tekanan atmosfir 760 mm Hg atau,
dalam kenyataan, 880 mm Hg), 756 mm Hg kadang-kadang disebut sebagai tekanan —4
mm Hg. Namun, sebenarnya tidak ada tekanan negatif absolut. Tekanan —4 mm Hg
menjadi negatif karena dibandingkan dengan tekanan atmosfer normal sebesar 760 mm
Hg. Tekanan intrapleura tidak menyeimbangkan diri dengan tekanan atmosfer atau intra-
alveolus karena kantong pleura merupakan kantong tertutup tanpa pembukaan sehingga
udara tidak dapat masuk atau keluar meskipun terdapat gradient tekanan berapapun atara
rongga pleura dan atmosfer atau paru.
Respirasi (Pernapasan) Paru-paru dikelilingi oleh tulang belakang dada, otot
pernapasan, dan diafragma. Satu-satunya alat komunikasi antara paru-paru dan lingkungan
luar adalah dengan melakukan saluran-saluran. Agar udara di paru-paru diubah, harus ada
aliran masuk dan keluar udara yang bergantian melalui saluran konduksi menuju dan dari
alveoli. Aliran udara, seperti aliran fluida, membutuhkan tekanan ke area bertekanan rendah.
Karena atmosfer relatif konstan, pembentukan gradien tekanan bergantung pada tekanan
intrapulmonik yang secara bergantian lebih rendah dan lebih tinggi dari tekanan atmosfer.
Hal ini dilakukan dengan mengubah ukuran (volume) rongga dada dan tekanan
intrapulmonik. Ini dicapai melalui aksi gabungan dari otot-otot pernapasan utama, diafragma
dan interkostalis eksternal ketika tekanan toraks diturunkan, dan tekanan pada paru-paru
menurun sebaliknya. Ketika volume toraks berkurang, tekanan intratoraks meningkat, dan
tekanan pada paru-paru meningkat.18

1. Inspirasi
Ketika diafragma dan otot interkostalis eksternal berkontraksi, inspirasi tenang
dimulai. Saat diafragma berbentuk kubah mendatar, ia turun ke rongga perut dan volume
toraks meningkat dari atas ke bawah. Pada saat yang sama kontraksi otot interkostalis
eksterna mengangkat tulang rusuk ke atas dan ke luar. Jadi rongga dada bertambah dari
depan ke belakang dan dari sisi ke sisi. Ketika volume toraks meningkat, gradien tekanan
intratoraks dibuat antara atmosfer dan alveoli dan udara mengalir ke paru-paru sampai
tekanan intratoraks sama dengan tekanan atmosfer. 18
Peran Otot Inspirasi Tambahan
Inspirasi dalam (lebih banyak udara yang dihirup) dapat dilakukan dengan
mengontraksikan diafragma dan otot inter kostalis eksternal secara lebih kuat dan dengan
mengaktifkan otot inspirasi tambahan untuk semakin memperbesar rongga toraks. Kontraksi
otot-otot tam bahan ini, yang terletak di leher, mengangkat sternum dan dua iga pertama,
mem perbesar bagian atas rongga toraks. Dengan semakin membesarnya volume rongga
toraks dibandingkan dengan keadaan istirahat, paru juga semakin me ngembang,
menyebabkan tekanan intraalveolus se makin turun. Akibatnya, aliran masuk udara yang
lebih besar terjadi sebelum tercapai keseimbangan dengan tekanan atmosfer-yaitu, tercapai
pernapasan yang lebih dalam. 18
2. Ekspirasi
Selama ekspirasi, kejadiannya berlawanan dengan yang ada di inspirasi.
Diafragma dan otot interkostalis eksternal mengendur dan kembali ke posisi semula.
Akibatnya, volume toraks menurun, dan tekanan pada paru-paru meningkat. Jaringan
elastis paru-paru, yang terentang saat inspirasi, sekarang mundur, dan paru-paru
menyusut kembali. Tekanan intrapulmonik dan udara dipaksa keluar dari paru-paru.
Selama ekspirasi paksa, otot perut (rektus abdominus dan otot oblik) dan otot
interkostalis internal meningkatkan tekanan intraabdomen. Jadi diafragma didorong ke
atas. Kontraksi interkosta internal menarik tulang rusuk ke bawah dan ke dalam,
berlawanan dengan tindakan interkosta eksternal.18
Ekspirasi Paksa
Kontraksi otot ekspirasi selama pernafasan tenag, ekspirasi normalnya merupakan
suatu proses pasif, karena di capai melalui recoil elastic paru ketika otot-otot inspirasi
berelaksasi, tanpa memerlukan kontraksi otot atau pengeluaran energi. Sebaliknya,
inspirasi selalu aktif karena ditimbulkan hanya oleh kontraksi otot-otot inspirasi dengan
menggunakan energi. Ekspirasi dapat menjadi aktif untuk mengosongkan paru secara
lebih tuntas dan lebih cepat daripada yang dicapai selama pernapasan tenang, misalnya
sewaktu pernapasan yang lebih dalam ketika olahraga. Untuk mengeluarkan lebih banyak
udara, tekanan intra-alveolus harus lebih ditingkatkan di atas tekanan atmosfer daripada
yang dicapai oleh relaksasi biasa otot inspirasi dan rekoil elastik paru. Untuk
menghasilkan ekspirasi paksa atau aktif tersebut, otot-otot ekspirasi harus berkontraksi
lebih untuk mengurangi volume rongga toraks dan paru. Otot ekspirasi paling penting
adalah (yang mungkin tidak diduga sebelumnya) otot dinding abdomen. Sewaktu otot ab
domen berkontraksi terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen yang menimbulkan gaya
ke atas pada diafragma, mendorongnya semakin ke atas ke dalam rongga toraks daripada
posisi relaksasinya, sehingga lebih mengecilkan ukuran vertikal rongga toraks. Otot
ekspirasi lain adalah muskulus interkostalis interna, yang kontraksinya menarik iga turun
dan ke arah dalam, mendatarkan dinding dada dan semakin mengurangi ukuran rongga
toraks; kerja ini epat berlawanan dengan muskulus interkostalis eksterna.18
Sewaktu kontraksi aktif otot ekspirasi semakin mengurangi volume rongga
toraks, volume paru ju ga menjadi semakin berkurang karena paru tidak harus teregang
lebih banyak untuk mengisi rongga toraks yang lebih kecil-yaitu, paru diperbolehkan
mengempis ke volume yang lebih kecil. Tekanan intra alveolus meningkat lebih lagi
karena udara di paru terperangkap di dalam ruang yang lebih kecil ini. Perbedaan antara
tekanan intra-alveolus dan atmosfer kini menjadi lebih besar daripada ketika ekspirasi
pasif, sehingga lebih banyak udara keluar menuruni gradien tekanan sebelum tercapai
keseimbangan. Dengan cara ini, selama ekspirasi paksa aktif pengosongan paru menjadi
lebih tuntas dibandingkan ketika ekspirasi tenang pasif.18
Paru dalam keadaan normal beroperasi "separuh kapasitas"

Secara rerata, pada orang dewasa muda sehat, udara maksimal yang dapat ditampung
paru adalah sekitar 5,7 liter pada laki-laki (4,2 liter pada perempuan). Ukuran anatomis, usia,
dan daya regang paru, serta ada tidaknya penyakit pernapasan memengaruhi kapasitas paru
total ini. Dalam keadaan normal, sewaktu bernapas tenang, volume paru jauh dari volume
inspirasi maksimalnya saat mengembang atau volume ekspirasi minimalnya saat mengempis.
Karena itu, dalam keadaan normal paru mengalami pengembangan sedang sepanjang siklus
pernapasan. Pada akhir ekspirasi tenang normal, paru masih mengandung sekitar 2200 mL
udara. Selama bernapas biasa pada keadaan istirahat, sekitar 500 ml udara masuk dan keluar
paru sehingga selama bernapas tenang volume paru bervariasi antara 2200 mL pada akhir
ekspirasi hingga 2700 mL pada akhir inspirasi. Selama ekspirasi maksimal, volume paru
dapat turun menjadi 1200 mL pada laki-laki (1000 mL pada perempuan), tetapi paru tidak
pernah dapat dikempiskan selurhnya karena saluran-saluran napas kecil kolaps ketika
ekspirasi paksa pada volume paru yang rendah, menghambat pengeluaran udara lebih
lanjut.18

Manfaat penting tidak mungkinnya paru diko songkan secara total adalah bahwa
bahkan selama upaya ekspirasi maksimal, pertukaran gas masih dapat terus berlangsung
antara darah yang mengalir melalui paru dan udara alveolus yang tersisa. Akibatnya,
kandungan gas darah yang meninggalkan paru untuk disalurkan ke jaringan tetap konstan di
sepanjang siklus pernapasan. Sebaliknya, jika paru terisi dan dikosongkan secara total setiap
kali bernapas, jumlah O, yang diserap dan CO yang dikeluarkan akan sangat berfluktuasi.
Keuntungan lain bahwa paru tidak dapat dikosongkan secara total setiap kali bernapas adalah
berkurangnya kerja bernapas. Ingatlah kembali bahwa upaya untuk mengembangkan
alveolus yang sudah setengah terbuka jauh lebih kecil daripada alveolus yang sepenuhnya
kolaps.18

Perubahan volume paru yang terjadi selama ber bagai upaya bernapas dapat diukur
dengan menggunakan spirometer. Spirometer tradisional basah terdiri atas drum/tong terisi
udara yang mengapung dalam ruang berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan
menghembuskan udara dari dan ke dalam drum melalui suatu selang yang menghubungkan
mulut dengan wadah udara, drum naik turun dalam wadah air Naik-turunnya drum ini dapat
direkam sebagai spirogram, yang dikalibrasikan terhadap perubahan volume paru. Inspirasi
direkam sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah. Saat ini,
spirometer terkomputerisasi dan lebih praktis telah menggantikan spirometer basah untuk
kegunaan klinis, tetapi prinsip volume paru dan kapasitas paru yang ditentukan oleh
instrumen yang lebih tua tetaplah sama. 18

Volume dan Kapasitas Paru adalah contoh hipotetis sebuah spirogram pada seorang
pria muda sehat. Secara umum, nilai-nilainya lebih rendah untuk wanita. Volume dan
kapasitas paru berikut (kapasitas paru adalah jumlah dua atau lebih volume paru) dapat
diukur.18

Volume tidal (TV): Volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu kali bernapas.
Nilai rerata pada kondisi istirahat 500 ml.

Volume cadangan inspirasi (Inspiratory reserve volume, IRV): Volume tambahan udara
yang dapat dihirup secara maksimal melebihi volume tidal isti rahat. IRV dicapai melalui
kontraksi maksimal dia fragma, muskulus interkostalis eksternal, dan otot inspirasi
tambahan. Nilai rerata = 3000 mL.

Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity, IC): Volume par maksimal udara yang dapat
dihirup pada akhir ekspirasi tenang normal (1C IRV + TV). Nilai rerata = 3500 mL

Volume cadangan ekspirasi (expiratory reseve volume, ERV): Volume tambahan udara
yang dapat secara aktif dikeluarkan dengan mengontraksikan secara maksimal otot-otot
ekspirasi melebihi udara yang secara normal dihembuskan secara pasif pada akhir volume
tidal istirahat. Nilai rerata = 1000 ml.

Volume residu (residual volume, RV): Volume minimal udara yang tersisa di paru bahkan
setelah ekspirasi maksimal. Nilai rerata = 1200 ml Volume residu tidak dapat diukur secara
langsung dengan spirometer karena volume udara ini tidak keluar dan masuk paru. Namun,
volume ini dapat ditentukan secara tidak ngsung melalui teknik pengenceran gas yang
melibatkan inspirasi sejumlah gas penjejak yang tidak berbahaya misalnya helium.

Kapasitas residu fungsional (functional residual capacity, FRC): Volume udara di paru
pada akhir ekspirasi pasif normal (FRC = ERV + RV). Nilai rerata = 2200 mL.

Kapasitas vital (vital capacity, VC): Volume maksimal udara yang dapat dikeluarkan
dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal. Orang tersebut pertama Lama
melakukan inspirasi maksimal lalu ekspirasi maksimal (VC = IRV + TV + ERV). VC
mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi pada paru (Gambar 13-16).
Uji ini jarang digunakan karena kontraksi otot maksimal yang terlibat melelahkan, tetapi
berguna untuk menentukan kapasitas fungsional paru, Nilai rerata = 4500 mL. Kapasitas
paru total (total lung capacity, TLC): Vo lume maksimal udara yang dapat ditampung oleh
paru (TLC VC + RV). Nilai rerata = 5700 mL

Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume in one second,
(FEV): Volume udara yang dapat dihembuskan selama satu detik pertama ekspirasi dalam
suatu penentuan VC. Biasanya FEV berkisar 80% VC-yaitu, dalam keadaan normal 80%
udara yang dapat dihembuskan secara paksa dari paru yang telah mengembang maksimal
dapat dihembuskan dalam satu detik. Pengukuran ini menunjukkan laju aliran udara paru
maksimal yang dapat dicapai.

Pertukaran gas di tingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung secara difusi
sederhana. O2 dan CO2 menuruni gradient tekanan parsial. Tidak terdapat mekanisme
transport aktif untuk gas gas ini.17

A. Difusi 02 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial antara kapiler parudan kantong
alveolus.

• Pada tingkat pulmonal, terjadi difusi 02 dan CO2 dari daerah dengan tekanan parsial
tinggi menuju ke rendah.Tampak tekanan parsial 02 pada alveolus lebih besar
dibanding kapiler paru sehingga terjadi difusi sederhana 02 dari alveolus menuju
kapiler paru.
• Dan tampak tekanan CO2 pada kapiler paru lebih besar dibanding tekanan di alveoli
sehingga terjadi difusi CO2 dari kapiler paru menuju alveoli.

B. Difusi 02 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial antara kapiler sistemik dan jaringan

• Pada tingkat sistemik, terjadi difusi 02 dan CO2 dari doerah dengan tekanan parsial
tinggi menuju ke rendah.

• Tekanan parsial 02 pada kapiler sistemik lebih besar dibanding jaringan sehingga
terjadi difusi sederhana 02 dari kapiler sistemik menuju jaringan

• Tekanan CO2 pada jaringan lebih besar dibanding tekanan di kapiler sistemik
sehingga terjadi difusi CO2 darijeringen menuju kapiler sistemik

Prinsip: Oksigen yang diserap oleh darah di paru harus di angkut ke jaringan untuk di
gunakan oleh sel. Sebaliknya karbondioksida yang di produksi di tingkat sel harus di angkut
ke paru untuk di keluarkan

Transportasi Oksigen

Oksigen diangkut dalam darah dalam dua bentuk: larut secara fisik dan secara
kimiawi berikatan dengan hemoglobin. Hemoglobin, suatu molekul protein yang
mengandung besi dan terdapat di dalam sel darah merah, dapat membentuk ikatan yang
longgar dan mudah berkombinasi reversibel dengan 02. Ketika tidak berikatan dengan 02,
Hb disebut sebagai hemoglobin tereduksi, atau deoksihemoglobin: ketika berikatan dengan
02 disebut oksihemoglobin (Hb02).17

Transportasi Karbon dioksida

Ketika darah arteri mengalir melalui kapiler jaringan, CO2 berdifusi menuruni
gradien tekanan parsialnya dari sel jaringan ke dalam darah. Karbon dioksida diangkut oleh
darah dalam tiga cara: larut secara fisik, berikatan dengan hemoglobin, dan dalam bentuk
bikarbonat (HCO3). Sekitar 60% dari CO2 diubah menjadi HCO3- ketika diangkut dalam
darah reaksi kimia berikut:

CO2 + H2O <-------> H2CO3 <-------> H + HCO3-


Dalam reaksi pertama, CO2 berikatan dengan H20 untuk membentuk asam karbonat
(H2CO3). Sesuai sifat asam, sebagian dari molekul asam karbonat secara spontan terurai
menjadi ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3-).17

7. Hubungan antara kedua kakak dengan gejala yang dialami adiknya:


Riwayat kontak adalah adanya hubungan dengan penderita (Notoatmodjo, 1993).
Timbulnya penyakit TB pada anak dapat dipengaruhi juga oleh riwayat kontak dengan
penderita TB dewasa yang merupakan pencetus. Karena kejadian TB pada anak sering
diakibatkan oleh penularan penderita dewasa yang selalu berhubungan dengan anak baik
langsung maupun tidak langsung. Sumber penularan adalah penderita TB BTA (+) pada
waktu bersin atau batuk. Penderita menyebar kuman ke udara dalam bentuk droplet atau
percikan dahak. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Anak-anak menderita TB kebanyakan karena
penularan dari penderita dewasa.19
Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko
lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya
belum berkembang sempurna (imatur).19
8. Status gizi pasien terkait skenario:
Standar Antropometri Anak digunakan untuk menilai atau menentukan status gizi anak.
Penilaian status gizi Anak dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran berat
badan dan panjang/tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Klasifikasi
penilaian status gizi berdasarkan Indeks Antropometri sesuai dengan kategori status gizi
pada WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO Reference
2007 untuk anak 5-18 tahun.20
Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan dan
panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi:
1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U
atau TB/U)
3. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB)
4. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U).20
Pada skenario indeks yang digunakan yaitu indeks Berat Badan menurut Umur
(BB/U). Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan dengan
umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat badan kurang
(underweight) atau sangat kurang (severely underweight) dengan menggunakan
rumus Z score, yaitu:
Z score BB/U : (BB anak – BB standar)/standar deviasi BB standar
Z score BB/U : (10-14.3)/14.3-12.7 = -2.68 (Underweight).

Tabel 2.1 Tabel Status Gizi Anak Usia 0-60 bulan.21

9. Langkah-langkah diagnosis terkait skenario


A. Anamnesis
1) Langkah-langkah anamnesis
a) Identitas pasien: Nama, Jenis kelamin, Nama Orang tua, Alamat,
Umur/pendidikan/pekerjaan Orang tua (Selain sebagai tambahan identitas,
dengan informasi pendidikan dan pekerjaan orangtua, dapat sebagai informasi
hubungan sakit dengan faktor risiko dari data tersebut), Agama dan suku
bangsa (Perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit sering
dihubungkan dengan agama dan suku bangsa).
b) Keluhan utama dan keluhan tambahan
Beberapa keluhan yang ditemukan:
1. Demam
- Lama demam
- Apakah timbulnya mendadak, remiten,intermitten, kontinu
- Apakah terutama terjadi pada malam hari, atau berlangsung beberapa
hari kemudian menurun lalu naik lagi dan sebagainya
- Apakah pasien menggigil, kejang, kesadaran menurun, meracau,
menggigau, mencret, muntah, sesak nafas, terdapatnya manifestasi
perdarahan
2. Batuk
- Berapa lama
- Apakah batuk sering berulang atau kambuh
- Sifat batuk: spasmodik, kering atau produktif/banyak dahak
- Dirinci sifat dahaknya: kekentalan,warna, bau serta adanya darah pada
dahak
- Keluhan lain yang menyertai batuk: sesak napas, mengi, berkeringat
pada malam hari, sianosis, berat badan menurun, apakah pasien
memerlukan perubahan posisi, muntah dan sebagainya
- Terdapatnya orang disekitar pasien yang juga batuk dapat memberi
petunjuk diagnosis.
3. Sesak Napas
- Keluhan sesak napas sering berhubungan dengan penyakit saluran
napas dan penyakit kardiovaskular
- Diteliti saat keluhan sesak napas timbul, apakah baru pertama kali atau
berulang-ulang
- Berapa bantal anak tidur
- Apakah sesak napas timbul setelah aktivitas (disebut toleransi latihan:
pada bayi ditanyakan bagaimana si bayi minum susu atau menetek)
- Keluhan lain yang menyertai sesak napas ialah batuk, mengi, perut
membesar, pernah sakit sendi yang berpindah, demam, sakit dada,
sianosis dan apakah ada riwayat tersedak
Bila pasien telah berobat sebelumnya tanyakan kapan, kepada siapa, obat
apa yang diberikan dan bagaimana hasilnya.
c) Riwayat penyakit dahulu
d) Riwayat pasien dalam kandungan ibu
e) Riwayat kelahiran
f) Riwayat makanan, imunisasi, dan keluarga.22

Perhatikan terutama pada hal berikut.


 Batuk dan kesulitan bernapas
- Lama dalam hari
- Pola: malam/dini hari?
- Faktor pencetus
- Paroksismal dengan whoops atau muntah atau sianosis sentral
 Kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam keluarga
 Gejala lain (demam, pilek, wheezing, dll)
 Riwayat tersedak atau gejala yang tiba-tiba
 Riwayat infeksi HIV
 Riwayat imunisasi: BCG, DPT, campak, Hib
 Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll) pada pasien atau keluarga.23
B. Pemeriksaan Fisik (Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi)
 Umum
- Sianosis sentral
- Merintih/grunting, pernapasan cuping hidung, wheezing, stridor
- Kepala terangguk-angguk (gerakan kepala yang sesuai dengan inspirasi
menunjukkan adanya distres pernapasan berat)
- Peningkatan tekanan vena jugularis
- Telapak tangan sangat pucat.
 Dada
- Frekuensi pernapasan (napas selama 1 menit ketika anak tenang)
Nilai normal pernapasan menurut WHO:
 < 2 bulan : <60 x/menit
 2 bulan-12 bulan: < 50 x/menit
 1-5 tahun: < 40 x/menit
 6-8 tahun: < 30 x/menit
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest-indrawing)( terjadi
ketika dinding dada bagian bawah tertarik saat anak menarik napas. Bila
hanya jaringan lunak antar iga atau di atas klavikula yang tertarik pada saat
anak bernapas, hal ini tidak menunjukkan tarikan dinding dada bagian
bawah).
- Denyut apeks bergeser/trakea terdorong dari garis tengah
- Auskultasi-crackles (ronki) atau suara napas bronchial
- Irama derap pada auskultasi jantung
- Tanda efusi pleura (redup) atau pneumotoraks (hipersonor) pada perkusi.
 Abdomen
- Masa abdominal: cair, padat
- Pembesaran hati dan limpa.23
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
Laboratorium darah (C-reaktif Protein (CRP), uji serologis), pemeriksaan
mikrobiologis dan pemeriksaan rontgen thoraks. Secara klinis CRP digunakan
sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi,
infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisial atau profunda. Sementara uji
serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Salah satu pemeriksaan
mikrobiologik yaitu pemeriksaan sputum, dimana cara mendapatkan sputum pada
anak yaitu:
- Dikeluarkan lewak dahak untuk anak lebih dari 5 tahun
- Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube)
- Induksi sputum. 24

Dan foto dada dilakukan pada anak dengan pneumonia berat yang tidak
memberi respons terhadap pengobatan atau dengan komplikasi, atau berhubungan
dengan HIV.23

10. DD dan DS terkait skenario:


a. TB anak

Defenisi

Tuberkulosis adalah penyakit menuler langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenal organ tubuh lainnya. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang bersifat
sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.25

Terdapat perbedaan antara infeksi TB dengan sakit TB. Seorang anak yang positif
terinfeksi TB belum tentu menderita sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi
obat antituberkulosis (OAT) sedangkan infeksi TB tanpa sakit TB tidak memerlukan
terapi OAT. Pada kelompok risiko tinggi, pasien infeksi TB tanpa sakit TB, perlu
mendapatkan profilaksis.25
Epidemologi

TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara-negara berkembang
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dan jumlah seluruh populasi
unum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Di
Indonesia TB terjadi pada 23 orang per 100.000 anak.25,26

Patofisiologi

Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5um) akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik.
Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil
kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut yang dinamakan fokus primer Ghon.26
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (Hmfadenitie) yang terkena. Jika fokus primer terletak
di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).26

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama
2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Sclama masa inkubasi torscbut,
kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas selular.26

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.


Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang. proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnulikan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity. CMI).26

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru blasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.26
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas).26

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism.
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, schingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula Mussa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.26

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas sclular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen. kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk
ke dalam Sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
Ticmatogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.26

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar foccult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh,
bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,
limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang). demikian pula dengan proses patologiknya Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.26
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut facute generalised hematogente spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran, Tuberkulosis diseminata terjadi karena
tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.26

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.


Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar
di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan
dengan acute generalized hematogenic spread.26
Gambar 1.3 Patogenesis terjadinya TB

Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).


Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang
baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional
(3)
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi-komplikasinya. 4. TB pasca primer
terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi
sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type
TB).26

Manifestasi klinik

Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
terkait. Gejala umum TB pada anak yang scring dijumpai adalah batuk persisten, berat
badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala
tersebut sering diangap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun
demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu)
walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria
untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang
adekuat untuk masalah berat badan).26

1. Gejala sistemik/umum

a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik
dalam waktu 1-2 bulan.
b. Demam lama (22 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 22 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atqu obat asma
(sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaisc, anak kurang aktif bermain.

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.26

2. Gejala spesifik terkait organ


Pada TB ckstra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang khas pada organ yang
terkena.

a. Tuberkulosis kelenjar

 Biasanya di daerah leher (regio colli)


 Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi kenyal, multiple dan
kadang saling melekat (konfluens).
 Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat jelas bukan hanya
teraba.
 Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
 Bisa terbentuk rongga dan discharge.26

b. Tuberkulosis sistem saraf pusat

 Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat


keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena
 Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang

c. Tuberkulosis sistem skeletal

 Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang


 Tulang panggul (koksitis) Pincang, gangguan berjalan, atau (gibbus) tanda peradangan di
daerah panggul.
 Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
 Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Tuberkulosis mata

 Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)


 Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
e. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal; dicurigai bila


ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai
kecurigaan adanya infeksi TB

Faktor resiko

 Faktor Risiko Faktor risiko infeksi TB: kontak TB positif, daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik):
 Faktor risiko sakit TB: faktor usia anak berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
terkait imu nitas yang belum sempurna), malanutrisi, kondisi immunocompromised
(HIV, keganasan, transplan tasi organ pengobatan imunosupresi), serta sosioe konomi
rendah dan lingkungan padat.25

DIAGNOSIS

Diagnosis Anamnesis

 Nafsu makan menurun.


 Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun tanpa penyebab yang jelas
(kemungkinan masalah gizi sebagal penyebab harus disingkir kan dahulu dengan tata
laksana yang adekuat selama 1 bulan)
 Demam subfebris yang berkepanjangan terutama jika berlanjut hingga 2 minggu
(penyebab demam kronis yang lain, seperti infeksi saluran kemih, tifold, atau malaria
perlu disingkirkan:
 Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal, atau tempat lain
 Keluhan respiratoris berupa batuk kronis lebih dari 3 minggu atau nyeri dada
 Keluhan gastrointestinal, seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku.25

Pemeriksaan Fisis

Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai ke lainan yang khas pada pemeriksaan
fisis. Demam subfebris terjadi pada sebagian besar kasus. Pe- meriksaan antropometri
menunjukkan status gizi kurang Temuan yang lebih spesifik dapat diper oleh jika TB
mengenai organ tertentu, seperti gibus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia pada TB
verte bra jalan pincang dan nyeri pada pangkal paha/lu tut pada koksitis TB/gonitis TB;
pembesaran kelen Jar getah bening multipel yang berkonfluens tanpa disertai nyeri tekan
pada TB kelenjar, kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal lain pada meningi tis TB;
ulkus kulit dengan skinbridge yang umumya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal
pada skrofuloderma: konjungtivitis fliktenularis (bintik putih di limbus yang sangat
nyeri) pada TB mata.25
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI & NON FARMAKOLOGI1

1. Terapi medikamentosa

Obat anti-tuberkulosis (OAT) diberikan dalam 2 fase, yaitu fase intensif (3-5
OAT selama 2 bulan awal) dan fase lanjutan (INH rifampisin) hingga 6-12 bulan
Penelitian telah menunjukkan bahwa etambutol dosis 15-25 mg/KgBB/hari tidak menye
babkan neuritis optika pada pasien hingga 10 tahun pasca pengobatan.25

Regimen untuk masing-masing jenis TB berbeda sebagai berikut:

 TB paru: 2HRZ 4RH


 TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru: 4-5 OAT selama 2 bulan fase
intensif, dilanjutkan dengan INH rifampisin hingga genap 9-12 bulan terapi. Untuk TB
milier dan efusi pleura, diberikan tambahan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu yang kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu sehingga total waktu
pemberian 1 bulan
 Pada meningitis TB diberikan prednisone selama 4 minggu dan diturunkan bertahap
selama 4 minggu (total 2 bulan). Pemberian steroid dimaksudkan untuk mengurangi
proses inflamasi dan mencegah perlengketan jaringan
 TB kelenjar superfisial sama dengan TB paru

Secara umum obat TB (terutama rifampisin) se baiknya diminum pada saat perut
kosong yaitu jam sebelum makan/minum susu atau 2 jam sesudah makan. Untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat, paduan OAT disediakan dalam bent
kombinasi dosis tetap (KDT) yang pemberiannya dse suaikan dengan berat badan.25
2. Terapi non-medikamentosa

Pendekatan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS), yang meliputi

 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana


 Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
 Pengobatan dengan OAT dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat
(PMO)
 Kesinambungan ketersediaan OAT dengan mutu terjamin
 Pencatatan dan pelaporan secara baku un tuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB
 Asuhan gizi berperan penting dalam keberhasilan pengobatan TB. Tanpa asupan gizi
yang baik, pengobatan TB tidak akan mencapai hasil optimal.25

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Uji tuberkulin
 Dosis 0.1 ml tuberkulin PPD, intracutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan
memanjang lengan longitudinal Readi (Indurasi transversal) dhuwur 48 72 jam setelah
penyuntikan tidak ada indurasi ditulis dengan 0 mm
 Uji tuberkulosis positif jika indurasi z10 mm, meragukan dan perlu diulang dalam jarak
waktu minimal 2 minggu jika indurasi 5-9 mm, negatif jika indurasi 5mm:
 Pada anak yang sudah dimunisasi BCG Jika indurasi 15 mm dapat dipikirkan
kemungkinan penyebab infeksi alamiah M tuberculosis Namun pada kondisi
imunosupresi nilai 5 mm dinyatakan positif,
 Hasil positif pada anak menunjukkan adanya Infeksi TB Akan tetapi, reaksi tuberkulin
tidak digunakan untuk memantau pengobatan karena akan bertahan lama hingga
bertahun-tahun walaupun pasien sudah sembuh.25
b. Foto toraks AP dan lateral kanan Terdapat tujuh gambaran radiologis sugestif TB, yaitu
pembesaran kelenjar hin atau paratrakeal konsolidasi segmen/lobus paru. milier, kavitas
efusi pleura, atelektasis, atau kalsifikasi
o Pemeriksaan mikrobiologi, menggunakan sputum atau bilasan lambung untuk men cari
Basil Tatuan Asam (ITA) pada pemerik saan langsung dan Myrobacterii tuberco losis
dari biakan. Hasil positif menunjukkan diagnosis pasti TB. namun negatif belum
menyingkirkan diagnosis TB
c. Pemeriksaan serologi tidak lebih unggul di bandingkan uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan untuk dilakukan
d. Pemeriksaan darah tepl. laju endap darah, urine dan feses rutin sebagai pelengkap data
namun tidak berperan penting dalam diagnos tik TB
e. Pungsi lumbal dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada tidaknya meningitis TB
f. Pemeriksaan lainnya seperti funduskopi dilakukan pada TB miller dan meningitis TB
foto tulang dan pungsi pleura dilakukan bila terdapat indikasi.25

Tabel Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Anak (IDAI)

Parameter 0 1 2 3
Kontak dengan Tidak Laporan Kontak
pasien TB jelas keluarga, dengan
kontak pasien BTA
dengan positif
pasien BTA
negatif/ tidak
tahu/ BTA
tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (>10
mm atau >5
mm pada
keadaan
imunosupresi
)
Berat Gizi Gizi buruk :
Badan/Keadaa kurang : -BB/TB
n Gizi -BB/TB <70%
<90% -BB/U <60%
-BB/U
<80%
Demam tanpa =>2
penyebab yang minggu
jelas
Batuk Kronis =>3
minggu
Pembesaran =>1 cm,
kelenjar limfe jumlah
koli, aksila, >1, tidak
atau inguinal nyeri
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembeng
panggul, lutut, kakan
falang
Foto dada Normal Sugestif
/ Tidak TB
jelas
Keterangan : Pasien dengan skor =>6 diterapi OAT, kemudian dilakukan pemantauan
respon klinis selama 2 bulan.

b. Pneumonia pada Anak

Pneumonia pada Anak

A. Definisi, epidemiologi, etiologi

Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia.
Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi
kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Di Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan
kedua penyebab kematian pada balita setelah diare. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan
bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami peningkatan pada tahun
2007 sebesar 2,1 ‰ menjadi 2,7 ‰ pada tahun 2013. Kematian balita yang disebabkan oleh
pneumonia tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%.2,3 Demikian juga hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun
terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.Menurut definisi,
pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru (alveoli) yang bersifat akut. Penyebabnya adalah
bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh
tidak langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang menyebabkan pneumonia adalah adenoviruses,
rhinovirus, influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus. 27

B. Klasifikasi Pneumonia

Pneumonia pada anak dapat dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia
lobularis (bronchopneumonia), pneumonia interstisialis. Di Negara berkembang, pneumonia
pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia
adalah Streptococcus Pneumoniae,Haemophilus influenza, dan Staphylococcus aureus.28

Beberapa sumber membuat klasifikasi pneumonia berbeda-beda tergantung dari sudut


pandang. Klasifikasi pneumonia diantaranya :

Menurut Hockenberry dan Wilson (2009) pneumonia dikelompokkan menjadi :

1. Pneumonia Lobaris yaitu: peradangan pada semua atau sebagian besar segmen paru
dari satu atau lebih

2. Bronkopneumonia yaitu: sumbatan yang dimulai dari cabang akhir dari bronkiolus
dan biasa disebut juga dengan pneumonia lobular

3. Pneumonia Interstitial

Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita berdasarkan kelompok usia
diantaranya:

1. Usia anak pada umur 2 bulan - <5 tahun batuk yang menandakan bukan pneumonia
tidak ada nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada kebawah, sedangkan
pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada ke
bawah dan pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke depan.

2. Usia kurang dari dua bulan batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak adanya
nafas cepat, jika pneumonia maka akan terjadinya nafas cepat dan adanya tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.28

C. Gejala klinis

Terjadinya pneumonia ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan bernapas seperti napas cepat,
dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Pada umumnya, pneumonia dikategorikan dalam
penyakit menular yang ditularkan melalui udara, dengan sumber penularan adalah penderita
pneumonia yang menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin.
Untuk selanjutnya, kuman penyebab pneumonia masuk ke saluran pernapasan melalui proses inhalasi
(udara yang dihirup), atau dengan cara penularan langsung, yaitu percikan droplet yang dikeluarkan
oleh penderita saat batuk, bersin, dan berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar penderita, atau
memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita. 29

Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya kejadian pneumonia pada balita, baik
dari aspek individu anak, perilaku orang tua (ibu), maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat
meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit seperti TB, katarak, dan pneumonia. Rumah yang
padat penghuni, pencemaran udara dalam ruang akibat penggunaan bahan bakar padat (kayu bakar/
arang), dan perilaku merokok dari orang tua merupakan faktor lingkungan yang dapat meningkatkan
kerentanan balita terhadap pneumonia.29

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia pasien, status
imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis,
tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia
dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau
ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa
pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit
perut. Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal
seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot
bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak
besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini
digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana pneumonia. Pengukuran frekuensi
napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur.Tim WHO telah merekomendasikan untuk
menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas
yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing),
WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan
pemberian antibiotik.Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya
kelainan patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Suara
napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus yang khas untuk
pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena
kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi. 29

Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral. Namun
sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif,
pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun
keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus. 27

D. Diagnosis

Diagnosis pneumonia terutama didasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan foto rontgen toraks
perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, selain untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih
akurat. Foto torak antero proterior (AP) dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik
dalam paru, luasnya kelainan, dan kemungkinan adanya komplikasi seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien
bayi. Pembesaran kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena H. influenzae dan S. aureus,
tapi jarang pada pneumonia S. pneumoniae. Adanya gambaran pneumatokel pada foto toraks
mengarahkan dugaan ke S. aureus. Kecurigaan ke arah infeksi S. aureus apabila pada foto rontgen
dijumpai adanya gambaran pneumatokel dan usia pasien di bawah 1 tahun. Foto rontgen toraks
umumnya akan normal kembali dalam 3-4 minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara
rutin kecuali jika ada pneumatokel, abses, efusi pleura, pneumotoraks atau komplikasi lain.
Sebagaimana manifestasi klinis, demikian pula pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan perbedaan
nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Apabila dijumpai adanya gambaran butterfly di sekitar
jantung /parakardial maka kemungkinan infeksi oleh virus. Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan
ekstensif tidak perlu dilakukan, tapi pemeriksaan laboratorium mungkin membantu dalam
memperkirakan kuman penyebab. Leukositosis hingga >15.000/ul seringkali dijumpai. Dominasi
neutrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menununjukkan bakteri sebagai penyebab.
Leukosit >30.000/ul dengan dominasi neutrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Laju endap
darah dan C-reactive protein (CRP) indikator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit
membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Biakan darah
merupakan cara yang spesifik untuk diagnosis namun hanya positif pada 10%-15% kasus terutama
pada anak kecil. Adanya efusi pleura menguatkan dugaan bakteri sebagai penyebabnya. Empiema
lebih banyak dijumpai pada anak <2 tahun dan pada laki-laki. 29

Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologik. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun
biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang
dari 50% kasus. Dengan demikian diagnosis pneumonia terutama berdasarkan manifestasi klinis,
dibantu pemeriksaan penunjang lain. Tanpa pemeriksaan mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar
adalah membedakan kuman penyebab; bakteri, virus, atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih
sering mengenai bayi dan balita dibanding anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial biasanya
timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai menggigil, dan sesak memburuk
dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan, pasien tidak tampak sakit berat, demam
tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah secara bertahap. Infeksi virus biasanya melibatkan
banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus). Semakin banyak organ tersebut terlibat
makin besar kemungkinan virus sebagai penyebabnya. Pneumonia bakterial bersifat khas yaitu hanya
organ paru yang terkena.29

E. Tatalaksana

1) Pneumonia ringan

a) Anak di rawat jalan

b) Berikan antibiotik : Kortimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5
hari.

2) Pneumonia berat

a) Anak dirawat di rumah sakit

b) Terapi antibiotik
Berikan ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kg BB/kali IV atau IM setiap 6 jam), dipantau dalam 24
jam selama 72 jam. Bila anak memberi respon yang baik maka diberikan selama 5 har. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/kg BB/kali tiga kali
sehari) untuk 5 hari berikutnya.30

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat
menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak

sadar, sianosis, distres pernafasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM
atau IV setiap 8 jam). 30

Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi
ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin –gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100
mg/kg BB IM atau IV sekali sehari). Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila
memungkinkan foto dada.

Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin(7,5 mg/kg BB IM sekali
sehari) dan kloksasilin (50 mg/kg BB Im atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kg BB/hari-3
kali pemberian). Bila keadaan anak emmbaik, lanjutkan kloksasilin atau dikloksasilin secara oral 4
kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin secara oral selama 2
minggu.30

c) Terapi oksigen

Berikan oksigen, jika tersedia pulse oximetri gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan
pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji
coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi
tetap stabil > 90%.

Gunakan nasal prong untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau maskr
kepala tidak direkomendasikan. Osigen harus tersedia secara terus- menerus setiap waktu. Lanjutkan
pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang
berat atau napas ≥ 70x/menit) tidak ditemukan lagi. Perawat sebaiknya memeriksa kateter dan nasal
prong setiap 3 jam.30

d) Perawatan penunjang

Bila anak disertai demam (≥390C) yang menyebabkan distres, maka berikan parasetamol. Bila
ditemukan adanya wheeze, berikan bronkhidilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di
tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan
anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur, anjurkan ASI dan cairan oral. Jika anak
tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan sedikit tapi sering. jika
oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang
sama.

Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Berikan makan sesuai dengan
kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya. 30

c. Asma
Definisi:
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi
episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Ciri-ciri klinis yang
dominan pada asma adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering
disertai batuk.31
Epidemiologi
Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi asma sebesar 4,5% dan lebih tinggi pada
perempuan. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa
Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Sulawesi
Utara merupakan salah satu dari 18 provinsi yang mempunyai prevalensi asma melebihi
angka nasional. Prevalensi asma pada anak tertinggi pada umur 5-14 tahun sebesar 10,06%
pada pasien rawat inap dan 16,78% pada pasien rawat jalan.31
Faktor/Etiologi
Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan baik di dalam maupun di luar rumah,
tetapi anak dengan riwayat asma pada keluarga memiliki risiko lebih besar terkena asma.
Tiap penderita asma akan memiliki factor pencetus yang berbeda dengan penderita asma
lainnya sehingga orangtua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat mencetus kejadian asma
pada anak.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap unsur di udara yang kita hirup dapat
mencetus kambuhnya asma pada penderita. Faktor pencetus asma dibagi dalam dua
kelompok, yaitu genetik, di antaranya atopi/alergi bronkus, eksim; faktor pencetus di
lingkungan, seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, pembakaran sampah,
kelembaban dalam rumah, serta allergen seperti debu rumah, tungau, dan bulu binatang.32
Diagnosis
Masalah penting pada morbiditas asma adalah kemampuan untuk menegakkan diagnosis, dan
seperti telah kita ketahui bahwa diagnosis asma pada anak tidak selalu mudah untuk
ditegakkan. Beberapa kriteria diagnosis untuk itu selalu mempunyai berbagai kelemahan,
tetapi umumnya disepakati bahwa hiperreaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif
yang perlu untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada anak.
Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas, tetapi
pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan satusatunya gejala klinis yang
ditemukan. Biasanya batuk kronik itu berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain
itu harus dipikirkan pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi
terhadap aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari.33

Pencegahan
Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen sejak
masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang belum
menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma.
Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan alergen dan
polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus. Para peneliti
umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah,
kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan
harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam rumah.
Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah asap
kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus dilakukan di tempat
anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat bermain sehari-hari. 33

Tatalaksana
Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga status aktivitas
anak normal dan faal paru normal, mencegah timbulnya asma kronik, serta mencegah
pengaruh buruk Tindakan pengobatan. Secara umum obat asma dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu obat pelega (relievers) dan obat pengontrol (controllers).
Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan saluran napas dan menghilangkan serangan
serta eksaserbasi akut dengan pemberian bronkodilator. Bronkodilator yang banyak dipakai
saat ini adalah β2-agonis, selain xantin dan antikolinergik. Obat pengontrol asma bertujuan
menjaga dan mengontrol asma persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat pengontrol
asma yang banyak dipergunakan adalah kortikosteroid, selain anti-inflamasi lain seperti
sodium kromolin, nedokromil, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta berbagai antihistamin
generasi baru.33

11. Pencegahan penyakit-penyakit respirasi sesuai dengan gejala batuk dan sesak yang
dialami

Pencegahan penyakit repirasi pada anak dengan gejala utama batuk atau sesak yang dapat
dilakukan yaitu terdiri dari imunisasi, status gizi, lingkungan sehat, dan kebersihan diri,
mencegah berhubungan dengan penderita dengan gejala-gejala ISPA yang tentunya juga
harus di dahului pengetahuan bagaimana gejala-gejala dari penyakit respirasi itu sendiri,
menghentikan aktivitas yang dapat mencetuskan terjadinya penyakit respirasi salah satunya
merokok, menerapkan etika saat batuk atau bersin yaitu menutup mulut atau menggunakan
tissue, dan berolahraga secara teratur.34
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen F & Waschke J, 2010; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 2, Edisi 23,
EGC: Jakarta
2. Paulsen F & Waschke J, 2010; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 3, Edisi 23,
EGC: Jakarta
3. Fernandez, Gregory J, 2018. Sistem Pernapasan. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Bali. Hal 2-8
4. Fitria, Hamna & Sri Herawati J, 2010. Peran Traktus Trakeo-Bronkial Dalam
Proteksi Paru. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Hal 142-145
5. Purwanto I. F., Imandiri A., Arifianti L. 2018. Combination of Acupuncture Therapy
and Turmeric-Liquorice Herbs for Chronic Coughing Case. Journal of Vocational
Health Studies. 1: 121–125
6. Iskandar, Junaidi. 2010. Penyakit Paru Dan Saluran. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer.
7. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta:
EGC, 1022
8. Kasper, et al. Harrison’s principles of internal medicine vol 2. 16th ed. McGraw-Hill,
2005.
9. Kusumosutoyo, D., 2009. Patofisiologi Sesak Napas. Jakarta: Departemen
Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI RS Persahabatan
10. Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC,
595-677
11. Davey, Patrick. 2005. Medicine At A Glance. Alih Bahasa: Rahmalia. A,dkk. Jakarta:
Erlangga
12. Kumar, V. NCBI (2017). Influenza in Children. Journal of Pediatrics. 84(2): 139-143.
13. Mayo Clinic (2018). Influenza (flu).
14. Lizzo, J.M. & Cortes, S. NCBI Bookshelf (2020). Pediatric Asthma.
15. Sectish TC, Prober CG. pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders
2008; h. 1795-99.
16. Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting.
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit I
17. Anonim. 2019. Human Physiology Mini Notes. MMN Publishing: Makassar
18. Sherwood, Lauralee. 2019. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 9. EGC:
Jakarta
19. Cissy B. Kartasasmita (2019). Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol. 11, No.
2, Agustus 2009, Hal: 128
20. RI, K. 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020
tentang Standar Antropometri Anak. Nomor, 2, 1-78.
21. Indonesia, K. R. 2017. Pemantauan Status Gizi (PSG).
22. Syahadatina Meitria, Rahmiati, dkk. 2018. Modul Blok Keterampilan Klinik Dasar 4
Keluhan Berkaitan Dengan Kesehatan Bayi dan Anak. Medical Education Unit
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Hal 3-5
23. World Health Organization. (2009). Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit. Jakarta: WHO.
24. Udin, M. F. (2019). Buku Praktis Penyakit Respirasi pada Anak untuk Dokter Umum.
Universitas Brawijaya Press.
25. Calistania, Chrysilla, Indawati Wahyudi. 2018. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV
Jilid I. Media Aesculapius : Jakarta
26. Nawas, Arifin dkk. 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
27. Supriyatno, Bambang. 2016. Infeksi Respiratorik Bawah Akut Pada Anak. Sari
pediatri. Vol 8, No 2. Hal 101-104.
28. Sutarga, Made. 2017. Determinan Pneumonia Pada Balita. Tinjauan Pustaka.
Program Studi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
29. Anwar, Athena, Ika dharmayanti. 2014. Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 8, No. 8. Hal 359-360.
30. Seyawati, Ari. 2018. Tata Laksana Kasus Batuk Dan Atau Kesulitan Bernafas :
Literature Review. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol 9, No.1. Hal 30-52.
31. Imaniar, E. (2015). Asma Bronkial pada Anak. Jurnal Agromedicine, 2(4), 360-364.
32. Dharmayanti, I., Hapsari, D., & Azhar, K. (2015). Asma pada anak Indonesia:
Penyebab dan Pencetus. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National
Public Health Journal), 9(4), 320-326.
33. Akib, A. A. (2016). Asma pada anak. Sari Pediatri, 4(2), 78-82.
34. Setyanto, B. Darmawan, 2004. Batuk Kronik pada Anak: Masalah dan Tata Laksana.
Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak: FK UI.

Anda mungkin juga menyukai