SISTEM INDERA
“ SKENARIO 3 ”
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Tutor:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing
KELOMPOK PENYUSUN
STEP 1
Kata Sulit
------------
Kata Kunci
1. Wanita 21 tahun
2. Penciuman berkurang sejak 1 tahun yang lalu
3. Keluhan hidung buntu
4. Keluhan muncul saat hawa dingin
STEP 2
Rumusan Masalah
Hipotesis
STEP 4
Mind Mapping
STEP 5
Learning Objective
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis
superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale
lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding
medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas
kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os
vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan
oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major. (Zahra, et
al., 2016)
B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di
anterior terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os
etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina
perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian
terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang
paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan
mengalami rudimenter. Diantara konkakonka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
(Zahra, et al., 2016)
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah
yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka
media. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus
sfenoid. (Zahra, et al., 2016)
Sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan
di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan
tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah
satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai
infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila,
dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal
dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
(Zahra, et al., 2016)
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga
meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-
kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
(Zahra, et al., 2016)
C) Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kana dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid,
bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila, krista palatina dan krista sfenoid. (Zahra, et al., 2016)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan
hidung) terutama pada anak. (Zahra, et al., 2016)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial. (Zahra, et al., 2016)
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung
lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
(Zahra, et al., 2016)
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
(Zahra, et al., 2016)
Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori
fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal
adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks
nasal. (Zahra, et al., 2016)
2. Diagnosis banding
RHINITIS ALERGI
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
e. Skin test
RHINITIS VASOMOTOR
a. Gejala klinis
b. Diagnosis
DIAGNOSIS BANDING
Mulai
Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
serangan
Riwayat terpapar
Riwayat terpapar allergen ( - )
allergen (+ )
Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler terhadap beberapa
Etiologi terhadap rangsangan rangsangan mekanis atau kimia, juga faktor
spesifik psikologis
Gatal &
Menonjol Tidak menonjol
bersin
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret
Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
hidung
Eosinofil
Meningkat Normal
darah
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Pemeriksaan Fisik
Melakukan inspeksi untuk melihat adanya:
- Allergic shinner: warna kebiruan di bawah mata yang
diakibatkan oleh statis vena akibat obstuksi hidung
- Allergic salute: aktivitas menggosok hidung dengan punggung
tangan ke arah atas
- Allergic crease: garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah akibat
kebiasaan menggosok hidung.
- Facies adenoid: bentuk wajah yang khas, bercirikan mulut yang
selalu terbuka, langit-langit mulu tumbuh cekung ke atas, dan
gigi rahang atas maju ke depan.
Sedangkan dari rhinoskopi anterior ditemukan mukosa udem-
hipertrofi, livid, sekret serous & banyak. (Soepardi, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Tes dapat dilakukan dengan 2 macam cara; in vitro (material diambil
dari darah, untuk mengetahui IgE dan IgG) dan in vivo (material
dapat dari kulit atau melalui tes provokasi)
• In vitro:
• In vivo:
Indikasi:
• Persiapan Penderita :
– Hentikan obat (antihistamin/KS) 5-7 hari sebelum tes.
• Persiapan pemeriksa :
– Emergency kit
Teknik Pemeriksaan:
• Tandai area
4. Diagnosis kerja
Rhinitis non-alergika adalah suatu sindrom dan gabungan
dari beberapa penyakit yang berkaitan dengan gejala peradangan
hidung tanpa adanya pemicu alergi yang dapat ditemukan. Pasien
datang dengan keluhan berbagai tingkatan sumbatan hidung,
rhinorrhea anterior atau posterior, tekanan di dalam sinus, hiposmia,
gangguan kognitif, gangguan tidur, dan tampak kelelahan. Gejala-
gejala bersin serta terasa gatal di mata, hidung atau palatum juga
bisa menyertai tetapi tidak begitu umum daripada yang terlihat pada
rhinitis alergika . Berbagai iritan dari lingkungan, efek samping obat,
disfungsi otonom, penyakit autoimun, dan pengaruh hormonal
adalah etiologi potensial dari Rhinitis non-alergika. (Dilorenzo,
2011)
Rhinitis sering dibagi menjadi tiga kategori utama: alergika,
non-allergika, dan infeksi. Rhinitis non-alergika lebih lanjut dapat
dibagi lagi menjadi rhinitis idiopatik (IR), rhinitis non-alergika
dengan sindrom eosinofilia (NARES), rhinitis otonomik, rhinitis
terkait pekerjaan, rhinitis akibat obat, rhinitis hormonal, rhinitis
atropik (AR), serta berbagai penyebab sistemik dari rhinitis.
Sebagian besar dari ini merupakan kategorisasi berdasarkan gejala
yang ada dimana patofisiologi yang mendasarinya begitu beragam
dan masih belum sepenuhnya dipahami. Meskipun terdiri dari
berbagai kelompok, dapat dibuat kategori umum mengenai rhinitis
non-alergika. Prevalensi terbanyak usia 20-an keatas. Lebih dominan
pada perempuan . Pasien cenderung memiliki peningkatan kepekaan
terhadap iritan .Gejala yang muncul bersifat menahun bukan
musiman, dan tanda eosinofilia hidung 33% nampak pada pasien .
(Settipane RA, 2001)
Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga
akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu
oleh zat-zat tertentu (Soepardi dan Iskandar, 2012).
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor (Soepardi dan Iskandar, 2012) :
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf
simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti
hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas,
pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular
pembuluhpembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan
sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi
spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini
merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non –
spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor
pemicu (Soepardi dan Iskandar, 2012).
1. Latar belakang
- Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu
ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam
mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa
hidung vasodilatasi dan edema pembuluh darah
mukosa hidung hidung tersumbat dan rinore.
- Disebut juga "rinitis non-alergi (nonallergic rhinitis)"
- Merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan –
perubahan lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi
yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik
pada zat allergen nya.
- Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang
diperantarai oleh IgE (IgE-mediated hypersensitivity)
(Soepardi dan Iskandar, 2012)
2. Pemicu (triggers) :
- alkohol
- perubahan temperatur / kelembapan
- makanan yang panas dan pedas
- bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
- asap rokok atau polusi udara lainnya
- faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
- penyakit – penyakit endokrin
- obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
(Soepardi dan Iskandar, 2012)
PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa
hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah
di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis
mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi
sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja
parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik
sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang
hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan
kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya
akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti. Teori lain
mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin,
leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin.
Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh
darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung,
yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak
diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau
kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan
temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara
dan stress ( emosional atau fisikal ).(Suti Rahardjo dkk., 1995)
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu
penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu :
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf
simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf
parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.(Segal S dkk.,
1999)
Alkohol
Perubahan tempratur atau kelembapan
Makanan yang pedas dan panas
Bau-bauan yang menyengat
Asap rokok atau polusi udara lainnya
Faktor-faktor psikis seperti stress, ansietas
Penyakit-penyakit endokrin
Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
(Adriana, 2003)
PENATALAKSANAAN
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar,
pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17
c. Pembengkakan wajah
(Becker, 1994).
Prognosis