Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL

SISTEM INDERA

“ SKENARIO 3 ”

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Tutor:

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial “Skenario 3” telah melalui konsultasi dan disetujui


oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 27 Februari 2018

Pembimbing
KELOMPOK PENYUSUN

Ketua kelompok :Syihabuddin Farid (6130015033)

Sekretaris 1 :Olivia Indira Sofyan (6130015038)

Sekretaris 2 :Sahlia Lizami (6130015048)

Anggota kelompok :Anisa Widia Sudarman (6130015003)

Habil Yoga Lesmana (6130015008)

Mochammad Sulung N. SKM (6130015013)

Ferren Oktavena Faisal (6130015018)

Fiemel Setya Amaydhea (6130015023)

Delvia Sekar Apsari (6130015028)

Yunita Ayu Puspita Sari (6130015043)

Atina Hasana (6130015053)


SKENARIO 1

Wanita 21 tahun dating ke puskemas dengan keluhan hidung buntu


disertai penciuman berkurang sejak 1 tahun yang lalu. Buntu terutama saat
hawa dingin.

STEP 1
Kata Sulit

------------

Kata Kunci

1. Wanita 21 tahun
2. Penciuman berkurang sejak 1 tahun yang lalu
3. Keluhan hidung buntu
4. Keluhan muncul saat hawa dingin

STEP 2
Rumusan Masalah

1. Mengapa keluhan hidung buntu muncul saat hawa dingin


2. Bagaimana pasien merasakan hidung buntu dan penciuman
berkurang dalam waktu 1 tahun
3. Bagaimana hubungan faktor usia dan jenis kelamin dengan keluhan
yang diderita oleh pasien
STEP 3
Jawaban Rumusan Masalah

1. Hawa dingin dapat merubah saraf-saraf pada tubuh menyebabkan


dilatasi dan menumpuk di mukosa hidung terutama konka sehingga
pasien mengeluh buntu.
2. Edema menyebabkan saraf olfaktorius mengalami gangguan dalam
penciuman
3. Semakin bertambah usia maka imunitas semakin menurun, bisa
karena faktor pekerjaan, perempuan lebih banyak 5:1 dengan laki-
laki

Hipotesis

Berdasarkan data pasien dan gejala klinisnya, pasien diduga


mengalami rhinitis vasomotor, rhinitis alergika, rhinitis infeksi, rhinitis
nasal kongesti, sinusitis, polip hidung, rhinitis hiperemika

STEP 4
Mind Mapping

STEP 5
Learning Objective

1. Mampu mengetahui dan menjelaskan anatomi dan fisiologi hidung


2. Mampu mengetahui dan menjelaskan diagnosis banding pada
skenario
3. Mampu mengetahui dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan
penunjang
4. Mampu mengetahui dan menjelaskan diagnosis kerja pada skenario
5. Mampu mengetahui dan menjelaskan etiopatogenesis diagnosis kerja
6. Mampu mengetahui dan menjelaskan patofisiologi diagnosis kerja
7. Mampu mengetahui dan menjelaskan faktor resiko
8. Mampu mengetahui dan menjelaskan manifestasi klinis diagnosis
kerja
9. Mampu mengetahui dan menjelaskan tatalaksana dan pencegahan
10. Mampu mengetahui dan menjelaskan komplikasi dan prognosis
11. Mampu mengetahui dan menjelaskan pandangan islam

STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

Hasil Belajar Mandiri


1. Anatomi dan fisiologi hidung
Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang
dari nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian
hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. (Zahra, et al., 2016)
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris
dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan
dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan
dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan
dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides. (Zahra, et al., 2016)

A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis
superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale
lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding
medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas
kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os
vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan
oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major. (Zahra, et
al., 2016)

B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di
anterior terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os
etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina
perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian
terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang
paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan
mengalami rudimenter. Diantara konkakonka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
(Zahra, et al., 2016)
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah
yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka
media. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus
sfenoid. (Zahra, et al., 2016)
Sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan
di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan
tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah
satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai
infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila,
dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal
dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
(Zahra, et al., 2016)
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga
meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-
kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
(Zahra, et al., 2016)

C) Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kana dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid,
bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila, krista palatina dan krista sfenoid. (Zahra, et al., 2016)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan
hidung) terutama pada anak. (Zahra, et al., 2016)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial. (Zahra, et al., 2016)
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung
lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
(Zahra, et al., 2016)
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
(Zahra, et al., 2016)

Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori
fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal
adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks
nasal. (Zahra, et al., 2016)

2. Diagnosis banding

RHINITIS ALERGI

Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal


yang disebabkan oleh paparan material alergenik yang terhirup yang
kemudian memicu serangkaian respon imunologik spesifik
diperantarai IgE (Bousquet et al, 2008).

Diagnosis rinitis alergi

a. Gejala dan tanda

Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila


mengalami dua atau lebih dari gejala-gejala rinore anterior dengan
produksi air berlebih, bersin-bersin, obstruksi nasal, rasa gatal atau
pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang) selama lebih dari
satu hari (Bousquet et al., 2008).

b. Pemeriksaan fisik

Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan


adanya lingkaran hitam di bawah mata (allergic shiners), adanya
luka pada daerah hidung yang disebabkan karena seringnya anak
menggosok hidung, pernapasan adenoidal, edema nasal yang dilapisi
dengan lendir jernih, serta pembengkakan periorbital. Simptom fisik
lebih susah diamati pada orang dewasa (Schwinghammer in DiPiro
et al., 2009).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya


menunjukkan jumlah eosinofil yang sangat banyak. Penghitungan
eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya kurang
spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST)
dapat digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi
spesifik terhadap antigen tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif
ketimbang test perkutan (Bousquet et al., 2008).

d. Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal

Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan cermin dapat


memberikan informasi penting mengenai kondisi fisiologis pasien.
Sementara endoskopi nasal dibutuhkan untuk mengidentifikasi
gejala- gejala lain dari rinitis seperti polip hidung dan abnormalitas
anatomik lainnya. Kedua metode diagnosa di atas sering digunakan
untuk penegakan diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis
alergi persisten (Bousquet et al., 2008).

e. Skin test

Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi


allergen- spesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom
yang dialami bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau
bila kualitas hidup pasien mulai terpengaruh (Bousquet et al., 2008).

f. Nasal challenge test

Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis


alergi tipe occupational. Test ini juga akan mengidentifikasi
sensitivitas pasien terhadap faktor pemicu tertentu secara spesifik
(Bousquet et al., 2008).

Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi,


yaitu dengan pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio
Allergo Sorbent Test). Skin test ataupun skin prick test merupakan
tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien terhadap allergen
tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk
mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai
karena lebih mahal dan kurang sensitif, sehingga hanya digunakan
pada kasus- kasus tertentu di mana skin test tidak dapat dilakukan
(Bousquet et al, 2008).

RHINITIS VASOMOTOR

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik


lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas
parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada
mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan
keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga
dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability,
non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic
rhinitis. (Kasakeyan, 1997)

Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi


sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala
hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin
walaupun jarang. (Kasakeyan, 1997)

a. Gejala klinis

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit


dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore
yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung
tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang
lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu
nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di
hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun
tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan
juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai
keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ) (Becker,
1994).

Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor


dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers)
dan golongan rinore (runners / sneezers). Prognosis pengobatan
golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena
golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis
dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
(Kasakeyan, 1997)

b. Diagnosis

Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi


keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam
keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien
hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan
tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar
(Jones AS, 1997).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik
berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah
gelap atau merah tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai
berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak
rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit.
Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat
serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat
dijumpai post nasal drip (Jones AS, 1997).

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan


kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif,
demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal.
Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan
tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam secret (Jones AS, 1997).
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema
dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus
telah terlibat.

Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor


(Jones AS, 1997).

- Tidak berhubungan dengan musim


- Riwayat keluarga ( - )
Riwayat - Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - )
penyakit
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin ( - )
- Struktur abnormal ( - )
Pemeriksaan - Tanda – tanda infeksi ( - )
THT - Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering dijumpai
- Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan sinus
Radiologi X – Ray / CT
- Umumnya dijumpai penebalan mukosa
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Test alergi Ig E total - Normal
Prick Test - Negatif atau positif lemah

RAST - Negatif atau positif lemah

DIAGNOSIS BANDING

1. Rinitisalergi 2. Rinitisinfeksi (Becker, 1994).

Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai
Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
serangan
Riwayat terpapar
Riwayat terpapar allergen ( - )
allergen (+ )
Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler terhadap beberapa
Etiologi terhadap rangsangan rangsangan mekanis atau kimia, juga faktor
spesifik psikologis
Gatal &
Menonjol Tidak menonjol
bersin
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret
Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
hidung
Eosinofil
Meningkat Normal
darah
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

3. Pemeriksaan fisik dan penunjang

Pemeriksaan Fisik
Melakukan inspeksi untuk melihat adanya:
- Allergic shinner: warna kebiruan di bawah mata yang
diakibatkan oleh statis vena akibat obstuksi hidung
- Allergic salute: aktivitas menggosok hidung dengan punggung
tangan ke arah atas
- Allergic crease: garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah akibat
kebiasaan menggosok hidung.
- Facies adenoid: bentuk wajah yang khas, bercirikan mulut yang
selalu terbuka, langit-langit mulu tumbuh cekung ke atas, dan
gigi rahang atas maju ke depan.
Sedangkan dari rhinoskopi anterior ditemukan mukosa udem-
hipertrofi, livid, sekret serous & banyak. (Soepardi, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Tes dapat dilakukan dengan 2 macam cara; in vitro (material diambil
dari darah, untuk mengetahui IgE dan IgG) dan in vivo (material
dapat dari kulit atau melalui tes provokasi)

• In vitro:

- Hitung eosinofil à ditemukan jumlah eosinofil yang


meningkat

- Pemeriksaan IgE total

- Pemeriksaan IgE spesifik

• In vivo:

- Skin Prick test

- Diet eliminasi & Challenge Test


Pada klinis, pemeriksaan yang sering dan praktis untuk
dilakukan adalah Skin Prick Test, yang bertujuan untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit
kulit dan menentukan macam alergen sehingga pasien bisa
menghindari alergen tersebut, dan sebagai dasar pemberian
imunoterapi jika medikamentosa gagal mengatasi gejala.

Diet eliminasi adalah untuk mengetahui alergen makanan, di


mana pasien akan menghentikan konsumsi makanan yang dicurigai
sebagai penyebab alergi .

Challenge Test dilakukan untuk pasien yang telah melakukan


diet eliminasi namun tidak berhasil menemukan makanan penyebab
alergi. Dalam diet ini, pasien akan diberikan menu makanan tinggi
protein secara satu per satu dan jika timbul gejala laeri maka dapat
diduga makanan tersebut adalah penyebabnya. (Children Allergy
Center, 2009)

Skin Prick Test

Indikasi:

1. Jika ada kecurigaan rhinitis alergika terutama jika gejala


tidak dapat dikontrol dengan medikamentosa
2. Ada riwayat asma persisten pada penderita yang terpapar
alergen
3. Kecurigaan alergi terhadap makanan
4. Kecurigaan alergi terhadap sengatan serangga

Persiapan sebelum dilakukannya Skin Prict Test:

• Persiapan bahan/material ekstrak alergen.

– gunakan material yang belum kedaluwarsa

– gunakan ekstrak alergen yang terstandarisasi

• Persiapan Penderita :
– Hentikan obat (antihistamin/KS) 5-7 hari sebelum tes.

– Hati2 pada imunodefisien

• Persiapan pemeriksa :

– Teknik dan ketrampilan

– Emergency kit

Teknik Pemeriksaan:

• Desinfeksi area volar dengan alkohol 70%

• Tandai area

• Teteskan satu tetes larutan alergen (Kontrol positif ) dan


larutan kontrol ( Buffer/ Kontrol negatif)

• Cukitkan (jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G / blood lancet),


0
sudut kemiringan 45 menembus lapisan epidermis tanpa
menimbulkan perdarahan.

• Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang


timbul.

Interpretasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) (Baylor, 2010):

Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The


Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of
Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat
alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan
kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut :

- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)


- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang
timbul besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol.
- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter
bento histamin dinilai ++++ (+4).

4. Diagnosis kerja
Rhinitis non-alergika adalah suatu sindrom dan gabungan
dari beberapa penyakit yang berkaitan dengan gejala peradangan
hidung tanpa adanya pemicu alergi yang dapat ditemukan. Pasien
datang dengan keluhan berbagai tingkatan sumbatan hidung,
rhinorrhea anterior atau posterior, tekanan di dalam sinus, hiposmia,
gangguan kognitif, gangguan tidur, dan tampak kelelahan. Gejala-
gejala bersin serta terasa gatal di mata, hidung atau palatum juga
bisa menyertai tetapi tidak begitu umum daripada yang terlihat pada
rhinitis alergika . Berbagai iritan dari lingkungan, efek samping obat,
disfungsi otonom, penyakit autoimun, dan pengaruh hormonal
adalah etiologi potensial dari Rhinitis non-alergika. (Dilorenzo,
2011)
Rhinitis sering dibagi menjadi tiga kategori utama: alergika,
non-allergika, dan infeksi. Rhinitis non-alergika lebih lanjut dapat
dibagi lagi menjadi rhinitis idiopatik (IR), rhinitis non-alergika
dengan sindrom eosinofilia (NARES), rhinitis otonomik, rhinitis
terkait pekerjaan, rhinitis akibat obat, rhinitis hormonal, rhinitis
atropik (AR), serta berbagai penyebab sistemik dari rhinitis.
Sebagian besar dari ini merupakan kategorisasi berdasarkan gejala
yang ada dimana patofisiologi yang mendasarinya begitu beragam
dan masih belum sepenuhnya dipahami. Meskipun terdiri dari
berbagai kelompok, dapat dibuat kategori umum mengenai rhinitis
non-alergika. Prevalensi terbanyak usia 20-an keatas. Lebih dominan
pada perempuan . Pasien cenderung memiliki peningkatan kepekaan
terhadap iritan .Gejala yang muncul bersifat menahun bukan
musiman, dan tanda eosinofilia hidung 33% nampak pada pasien .
(Settipane RA, 2001)

5. Etiopatgenesis diagnosis kerja

Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga
akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu
oleh zat-zat tertentu (Soepardi dan Iskandar, 2012).
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor (Soepardi dan Iskandar, 2012) :
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf
simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti
hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas,
pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular
pembuluhpembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan
sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi
spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini
merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non –
spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor
pemicu (Soepardi dan Iskandar, 2012).
1. Latar belakang
- Adanya paparan terhadap suatu iritan  memicu
ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam
mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa
hidung  vasodilatasi dan edema pembuluh darah
mukosa hidung  hidung tersumbat dan rinore.
- Disebut juga "rinitis non-alergi (nonallergic rhinitis)"
- Merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan –
perubahan lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi
yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik
pada zat allergen nya.
- Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang
diperantarai oleh IgE (IgE-mediated hypersensitivity)
(Soepardi dan Iskandar, 2012)
2. Pemicu (triggers) :
- alkohol
- perubahan temperatur / kelembapan
- makanan yang panas dan pedas
- bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
- asap rokok atau polusi udara lainnya
- faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
- penyakit – penyakit endokrin
- obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
(Soepardi dan Iskandar, 2012)

6. Patofisiologi diagnosis kerja

PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa
hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah
di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis
mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi
sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja
parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik
sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang
hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan
kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya
akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti. Teori lain
mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin,
leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin.
Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh
darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung,
yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak
diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau
kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan
temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara
dan stress ( emosional atau fisikal ).(Suti Rahardjo dkk., 1995)
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu
penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu :
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf
simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf
parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.(Segal S dkk.,
1999)

7. Factor resiko diagnosis kerja

Rhinitis vasomotor merupakan kelainan neurovascular


pembuluh-pemuluh darah pada mukosa hidung yang melibatkan
sistem saraf parasimpatis, pada rhinitis vasomotor ditemukan banyak
triggers atau pemicu terjadinya keluhan yang diderita. Adapun faktor
resiko dari rhinitis vasomotor antara lain :

 Alkohol
 Perubahan tempratur atau kelembapan
 Makanan yang pedas dan panas
 Bau-bauan yang menyengat
 Asap rokok atau polusi udara lainnya
 Faktor-faktor psikis seperti stress, ansietas
 Penyakit-penyakit endokrin
 Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
(Adriana, 2003)

8. Manifestasi klinis diagnosis kerja


Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang
sulit dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan
rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering
dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu
perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila
dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di
hidung dan mata (Kasakeyan, 2007).
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur
oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan
juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat
dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal
drip). Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor
dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers)
dan golongan rhinorrhea (runners / sneezers). Prognosis pengobatan
golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena
golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis
dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya
(Kasakeyan, 2007).

9. Tatalaksana dan pencegahan diagnosis kerja

PENATALAKSANAAN
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar,
pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17

1. Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy)

2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan


untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat.
Contohnya : Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan
Oxymetazoline (semprot hidung ).

- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.


- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung
tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan
respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator
vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1
atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide,
Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone

- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan


rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh :
Ipratropium bromide ( nasal spray )

3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan


konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklorasetat pekat ( chemical
cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal
diathermy of the inferior turbinate )

- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )

- Reseksi konka parsial atau total (partial or total


turbinate resection)

- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )


- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu
dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila
dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan
rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan
angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai komplikasi

10. Komplikasi dan prognosis diagnosis kerja


Komplikasi
a. Sinusitis
Sinusiris merupakan penyakit yang sering ditemukan, termasuk
dalam inflamasi mukosa sinus paranasal, disertai atau dipicu oleh rhinitis
sehingga sering disebut rhinosinusitis dengan penyebab utama selesma
(common cold) yang merupakan infeksi bakteri (Efiaty, 2012).

b. Eritema pada hidung bagian luar

c. Pembengkakan wajah
(Becker, 1994).

Prognosis

Prognosis dari rhinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-


kadang dapat membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga persisten terhadap
pengobatan yang diberikan (Becker, 1994).

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan


rinore, oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosis (Efiaty,
2012).

11. Pandangan islam

Anda mungkin juga menyukai