Anda di halaman 1dari 92

Laporan Tutorial Case 1 OHIS

Pneumociniosis Silicosis e.c Crystaline Silica


Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah tutorial

Tutor: Fajar Awalia Yulianto, dr., M.Epid.

Disusun oleh:
Kelompok 13
10100117194 Alfian Rizky Budiman
10100118021 Anggina Budi Lestari
10100118040 Aulia Nurfajriani Suseno
10100118047 Tasya Aureliyana
10100118081 Dika Rifky Fernanda
10100118102 Ihsani Putri Henda Muharam
10100118164 Dian Alfiani
10100118183 Anissa Febie Melati
10100118201 Rifqy Zidane El-Fariq Nizar

Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung
2021/2022
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyusun laporan tutorial dengan case “Pneumociniosis Silicosis e.c Crystaline
Silica” ini. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok tutorial tingkat 4 di Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Bandung.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam pembuatan
dan penyusunan laporan ini, karena kami tidak dapat menyelesaikan laporan ini tanpa bantuan
setiap pihak, bantuan berupa materil ataupun segala hal yang dapat membantu dalam
penyelesaian laporan ini.
Laporan ini masih jauh dari sempurna, karena kami manusia yang tidak bisa lepas dari
kesalahan, kami hanya dapat berusaha untuk mencoba lebih baik, karena itu kami bersedia untuk
menampung setiap kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi penyusun, pembaca,
dan seluruh kalangan masyarakat. Aamin.

Bandung, 29 November 2021.

Kelompok 13

i
Daftar Isi

Kata Pengantar...............................................................................................................................i

Daftar Isi.........................................................................................................................................ii

Bab I. Review Case........................................................................................................................1

Bab II. Pembahasan.......................................................................................................................4

2.1. Basic Science....................................................................................................................4

2.1.1. Anatomi Bronchial Tree............................................................................................4

2.1.2. Fisiologi Bronchial Tree..........................................................................................13

2.1.3. Respiratory Defense Mechanism.............................................................................22

2.1.4. Occupational Hazard...............................................................................................27

2.2. Clinical Science...............................................................................................................32

2.2.1. Dyspnea...................................................................................................................32

2.1.5. Penyakit Obstruktif dan Restriktif...........................................................................35

2.2.2. Occupational Disease...............................................................................................39

2.2.3. Occupational Lung Diease.......................................................................................46

2.2.4. Pneumoconiosis.......................................................................................................49

2.2.5. Silicosis....................................................................................................................51

2.2.6. Management............................................................................................................60

2.2.7. Asuransi...................................................................................................................69

2.2.8. Interpretasi...............................................................................................................74

Bab III. Penutup..........................................................................................................................83

3.1. Patomekanisme...............................................................................................................83

3.2. BHP.................................................................................................................................84

3.3. IIMC................................................................................................................................84

ii
Daftar Pustaka.............................................................................................................................86

iii
Bab I. Review Case

Mr. Moko ,50 tahun pekerja di PT.Semen Jaya dirujuk ke RS dari perusahaan klinik dengan;

CC: keluhan batuk dan sesak nafas

 Sesak nafas sudah sejak 1 tahun yang lalu


 Akhir-akhir ini disertai dengan dahak yang kental, keras dan sulit di keluarkan
 Dulu sesak nya muncul saat beraktivitas, tetapi sekarang memburuk bahkan saat berjalan pun
Mr.Moko merasa sesak
 Keluhan disertai dengan sakit pada dada
 Tidak ada mengi,demam dan keringat malam
 Keluhannya juga tidak dipengaruhi oleh cuaca, posisi, dan tidak ada batuk produktif
 Terdapat penurunan BB
- Mr. Moko menjelaskan bahwa ia dan keluarganya tidak memiliki Riwayat penyakit TBC
ataupun batuk kronis.
- Ia juga berkata bahwa tidak ada riwayat penyakit asma, hipertensi, penyakit jantung
ataupun keganasan
- Mr. Moko menikah dan bekerja sebagai penambang batu setiap hari selama 8 jam dan hanya
memiliki hari libur pada hari minggu.
- Dia telah bekerja selama 20 tahun di perusahaan ini, sebelumnya ia bekerja di perusahaan
lain sebagai pekerja konstruksi selama 5 tahun
- Lingkungan kerja Mr. Moko berdebu, dan beberapa pekerja juga memiliki keluhan yang
sama dengan Mr.Moko
- Riwayat merokok 1-2 batang/hari selama 10 tahun dan telah berhenti sejak 5 tahun yang lalu
- Ia tidak pernah menggunakan alat pelindung diri saat bekerja untuk melindunginya dari
berbagai bahaya di tempat kerja.

Physical Diagnosis Findings:

 General condition: Moderately ill


 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital:

1
o TD:120/70 mmHg
o PR: 106x/minute
o RR: 24x/minute
 Temperature: 36.6o C
 O2 saturation: 90% SpO2
 BW: 58kg, Height 168cm

HEENT:

 Head : Normal
 Eyes : Pale conjunctiva (-/-), sclera jaundice (-/-)
 Mouth : good oral hygiene
 Neck: JVP5-2cmH2O, tracheadeviation (-), lymphnodeenlargement (-)
 Chest: Venectation (-)
 Heart: regular heart sounds, murmur (-), gallop (-)
 Lungs:
o Inspection: symmetrical shape and movement,
o Palpation: Vocal Fremictus right = left,
o Percussion: sonor/sonor,
o Auscultation: Vesicular +/+, crackles + / + wet rough, no wheezing
 Abdomen: Flat, Soft, liver/spleen not palpable, Bowel sounds (+) normal.
 Extremities: warm, edema (-), clubbing finger (+), CR < 2”\

Lab

 Hb : 17,50
 Hematocrit : 52,5
 Trombosit : 305.000
 Leukosit : 13.260
 Differential count : 0,7/2,9/42/46,4/8 SGOT/SGPT : 14/15
 Ureum/Creatinine : 21/1,0 Random Blood Sugar : 96 Na/K/Cl : 139/4/103
 BGA : pH 7,3/ PCO2 50,5/ PO2 92,3/HCO3-16,5/BE -13/SaO2 95

2
 Sputum TCM for tuberculosis: negative
- Anda telah berkonsultasi mengenai temuan pasien dengan pulmonologist, dan diagnosis
akhir yang didapat adalah pneumoconiosis
- -Pulmonologist meminta Anda untuk membantunya melakukan riwayat pekerjaan Mr. Moko
untuk menemukan
- hubungan antara penyakit dan pekerjaannya.
- Ahli paru meminta Anda untuk meminta hasil audit lingkungan pabrik ke perusahaan.
- HRD perusahaan PT. Semen Jaya yang membawa Pak Moko ke rumah sakit, memberikan
audit lingkungan tahun lalu
- dengan hasil sebagai berikut:
 Pemeriksaan debu lingkungan: 5 juta partikel debu/kaki kubik udara.
 Pemeriksaan bahan baku semen batu :Kandungan silika bebas 10%.
 Pemeriksaan debu yang dapat terhirup/dengan pengukur sampel debu pada Mr. Moko:
0,8 mg/m3/8 jam/hari.
- Setelah 6 bulan pengobatan, dokter konsultan spesialis paru meminta Anda untuk membuat
- surat pernyataan dokter menggunakan formulir BP Jamsostek yang diminta oleh HRD
Perusahaan berdasarkan resume medis dalam rekam medis.
- HRD Perusahaan menanyakan tentang kesesuaian Pak Moko untuk bekerja di divisi atau unit
kerja yang sama dengan
- sebelum sesudah pengobatan dan manfaat apa saja yang dapat diperoleh Pak Moko dari
keikutsertaan BP Jamsostek.
- Gaji Pak Moko yang terdaftar di BP Jamsostek adalah Rp. 4.000.000/bulan, padahal gaji
sudah diterima setiap bulan lebih dari itu.
 Spirometry :
 FEV1/FVC > 85% VC < 44 %
 Thorax photo: Methode ILO procedure and guideline:
 Eggshell calcification (+), cavities (+)
 Lesi bilateral pada lobus superior, opasitas nodular multipel dengan diameter q/q (2/2)
 Ukuran lobus superior bilateral lebih kecil

3
Bab II. Pembahasan

1.1. Basic Science


1.1.1. Anatomi Bronchial Tree
Setiap pulmonary cavity (kanan dan kiri) dilapisi oleh pleura.

Pleurae, Lungs, and Tracheobronchial Tree


• Bagian dalam dinding balon: visceral pleura
• Dinding luar yang tersisa dari balon: parietal pleura.
• Rongga antara lapisan-lapisan balon (berisi udara): pleural
cavity. Pleural cavity hanya berisi lapisan tipis cairan.
• Pergelangan tangan: root of the lung

4
Pleura

A. Pleural Sac
• Visceral pleura/ pulmonary pleura: melapisi semua permukaan paru-paru dan membuat
permukaan luarnya yang mengkilap, kontinyu dengan parietal pleura di hilum.
• Parietal pleura: pleura yang berbatasan dengan thoracic wall (di luar). Lebih tebal dari
pleura visceral. Terdiri dari:
1. Mediastinal – melingkupi bagian medial, berbatasan dengan pericardium.
2. Costal – melingkupi anteroposterolateral, berbatasan dengan thoracic wall.
3. Diaphragmatic – melingkupi inferior, berbatasan dengan diafragma.
4. Cervical – melingkupi bagian superior aperture/apex. Membentuk cup-like dome (pleural
cupula).
• Pleural sleeve/ mesopneumonium : pertemuan antara parietal pleura dan visceral
pleura. Ada di medial dari hilum.
• Pleural cavity : mengandung capillary layer of serous pleural fluid. Ruangan antara
parietal dan visceral pleura yang berisi cairan pleura (capillary layer of serous pleural
fluid) yang berfungsi untuk melubrikasi pleura ketika bergesekan saat respirasi.
B. Recess  sisa ruangan parietal cavity saat respirasi maksimal

5
1. Costodiaphragmatic recess: sisa di bagian
inferior. Mengelilingi upward convexity of the
diaphragm.
2. Costomediastinal recess: sisa di bagian
medial. Reses kiri lebih besar (kurang terisi)
karena cardiac notch.
C. Pulmonary Ligament
Terletak di: Inferior dari root of the lung
• Terdiri dari: double layer of pleura (dipisahkan
oleh sejumlah kecil connective tissue).
• Memanjang antara paru dan mediastinum.
Lungs / Paru
• Paru-paru: organ vital pernapasan.
• Fungsi: oxygenate the blood dengan cara membawa udara inspirasi.
• Paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh mediastinum.
1. Apex: bagian superior dari paru-paru yang membentuk kubah. Dilapisi oleh cervical
pleura.
2. Base: bagian inferior dari paru-paru yang mencekung dan berbatasan dengan diafragma

3. Lobus: Dipisahkan oleh fissures. Pembagian lobus paru berdasarkan percabangan


tracheobronchial tree.
• Lobus Superior – lobus paling atas
• Lobus Middle – hanya ada pada paru kanan dan terletak di tengah
• Lobus Inferior – lobus paling bawah

6
4. Fissure: garis batas antar lobus
• Horizontal Fissure – di paru kanan: memisahkan antara lobus superior dan middle di
paru kanan
• Oblique Fissure – di paru kanan: lobus middle dan inferior; di paru kiri: lobus
superior dan inferior
5. Surfaces
• Mediastinal, permukaan paru di bagian medial yang berbatasan dengan pericardium.
Terdapat hilum
• Costal, permukaan paru di bagian anteroposterolateral yang berbatasan dengan
dinding thorax
• Diaphragmatic, permukaan paru di bagian inferior yang berbatasan dengan
diafragma

6. Borders: perbatasan atau pertemuan antara dua surface


• Anterior, perbatasan dan pertemuan antara mediastinal dan costal surface di bagian
anterior. Anterior border of the right lung relatif lurus.
• Posterior, perbatasan dan pertemuan antara mediastinal dan costal surface di bagian
posterior
• Inferior, perbatasan dan pertemuan antara diaphragmatic dan costal surface di bagian
inferior

7
7. Hilum of Lung / “doorway”: Lubang di bagian mediastinal surface. Tempat masuknya
root of lung
8. Root of Lung: pangkal dari paru. Terdiri dari:
• Bronkus
• Pulmonary Artery
• Pulmonary Vein
• Pulmonary plexus of Nerves (sympathetic, parasympathetic, and visceral afferent
fibers)
• Lymphatic vessels

8
Tracheobronchial Tree

9
• Respiratory bronchioles: alveoli tersebar dari lumennya.
• 2-11 alveolar ducts: saluran udara memanjang yang dilapisi dengan alveoli
• 5-6 alveolar sacs: tempat kumpulan alveoli terbuka.
Vaskularisasi, Drainase, Limfatik, Innervasi
• Vaskularisasi
1. Nutrisi paru  Bronchial arteries: mensuplai darah untuk nutrisi struktur-struktur yang
menyusun root of lungs, jaringan paru, serta pleura visceral

2. Fungsi respirasi  Pulmonary artery: membawa CO2

10
• Drainase
1. Nutrisi paru  Bronchial veins: membawa darah mengandung CO2 dan sisa
metabolisme dari jaringan paru

2. Fungsi respirasi  Pulmonary veins: membawa darah kaya akan O2 ke jantung untuk
dipompakan ke seluruh tubuh

 Limfatik

11
 Innervasi
1. Parasympathetic fibers: dari vagus nerve (CN X). Bersifat motorik ke smooth muscle
of the bronchial tree (bronchoconstrictor), inhibitory ke pulmonary vessels (vasodilator),
dan secretory ke glands of the bronchial tree (secretomotor).
2. Sympathetic fibers: berada di paravertebral sympathetic ganglia of the sympathetic
trunks. Bersifat inhibitory ke bronchial muscle (bronchodilator), motoric ke pulmonary
vessels (vasoconstrictor), dan inhibitory ke alveolar glands of the bronchial tree—type II
secretory epithelial cells of the alveoli
3. Visceral afferent fibers:
a. Reflexive (menghantarkan sensasi bawah sadar yang terkait dengan refleks yang
mengontrol fungsi. Ada di vagus nerve (CN X), menyertai parasympathetic fibers)
b. Nosiseptif (menghantarkan impuls nyeri. Dari visceral pleura dan bronchi, menyertai
sympathetic fibers)

• Parietal pleura: intercostal and phrenic nerves.


• Costal pleura dan diaphragmatic pleura (peripheral part): intercostal nerves. Memediasi
sensasi sentuhan dan rasa sakit.
• Diaphragmatic pleura (central part) dan mediastinal pleura: phrenic nerves (Gbr. 1.32 dan
1.34B & D).

12
1.1.2. Fisiologi Bronchial Tree
A. Ventilasi
Fungsi utama:
Memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel tubuh dan mengeluarkan CO2 yang diproduksi
oleh sel.
Respirasi mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan:
1. Respirasi Selular
Proses-proses metabolik intrasel yang dilaksanakan di dalam mitokondria, yang
menggunakan O2 dan menghasilkan CO2 sembil mengambil energi dari molekul
nutrient.
2. Respirasi Eksternal
Seluruh rangkaian peristiwa pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel
tubuh.
Respirasi eksternal mencakup empat langkah:
- Ventilasi: Udara secara bergantian masuk dan keluar dari paru-paru sehingga udara
dapat dipertukarkan antara atmosfer (lingkungan luar) dan kantung udara (alveoli) paru-
paru.
- Difusi: O2 dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di dalam kapiler
pulmonal.
- Transport: Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru-paru dan jaringan.
- Exchanged: O2 dan CO2 dipertukarkan antara sel-sel jaringan dan darah melalui proses
difusi melintasi kapiler sistemik (jaringan).

13
3. Mekanisme Ventilasi
- Udara cenderung mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan
tekanan rendah, yaitu menuruni gradien tekanan.
- Terdapat tiga tekanan yang berbeda yang berperan penting dalam ventilasi :
a. Tekanan atmosfer (barometrik)
Tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer pada benda di
permukaan bumi.
Pada ketinggian permukaan laut tekanan ini sama dengan 760 mm Hg.
b. Tekanan intra-alveolus/Tekanan intrapulmonal
Tekanan di dalam alveolus. Besar tekanan intraalveolus adalah 760 mmHg
sama dengan tekanan atmosfer.
c. Tekanan intrapleural/Tekanan intratoraks
 Tekanan di dalam kantong pleura atau tekanan yang ditimbulkan di luar paru
di dalam rongga toraks.
 Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, rerata
756 mm Hg saat istirahat
 Tekanan intrapleural tidak seimbang dengan tekanan atmosfer atau
intraalveolar karena kantung pleura adalah kantung tertutup tanpa bukaan,
sehingga udara tidak dapat masuk atau keluar meskipun ada gradien tekanan
yang mungkin ada antara rongga pleura dan atmosfer atau paru-paru.

14
 Penurunan tekanan ini terjadi karena rongga pleura terisi cairan, yang tidak
dapat mengembang untuk mengisi volume yang sedikit lebih besar
 Tekanan intraalveolus, yang menyeimbangkan diri dengan tekanan atmosfer
pada 760 mm Hg, lebih besar daripada tekanan intrapleura yang 756 mm
Hg, sehingga tekanan yang menekan keluar dinding paru lebih besar
daripada tekanan yang mendorong ke dalam.
 Perbedaan neto tekanan ke arah luar ini disebut gradien tekanan
transmural yang mendorong paru keluar,meregangkan, atau menyebabkan
distensi paru.
 Karena gradien tekanan ini, paru selalu dipaksa mengembang untuk mengisi
rongga toraks.

 Karena udara mengalir menuruni gradien tekanan, tekanan intraalveolar harus


lebih kecil dari tekanan atmosfer agar udara dapat mengalir ke paru-paru
selama inspirasi (menghirup napas) dan harus lebih besar dari tekanan
atmosfer agar udara dapat mengalir keluar dari paru-paru selama ekspirasi
(menghela nafas).
 Berdasarkan Hukum Boyle: Mengubah volume paru-paru dapat mengubah
tekanan intraalveolar.
 Perubahan volume paru-paru, dan tekanan intraalveolus, secara tidak
langsung disebabkan oleh aktivitas otot pernapasan.

15
 Otot-otot pernapasan tidak bekerja langsung pada paru-paru untuk mengubah
volumenya. Tetapi, otot-otot ini mengubah volume rongga dada,
menyebabkan perubahan yang sesuai pada volume paru-paru.
4. Otot-Otot Pernapasan
● Otot Inspirasi
● Otot Utama
- Diafragma
- Otot interkostalis eksternal
● Otot Aksesoris
- Sternocleidomastoid
- Scalenus
Otot Ekspirasi
Otot Utama Otot interkostalis internal
Otot Aksesoris  Otot dinding abdomen.

• Perubahan tekanan intra-alveolus dan intrapleural sepanjang siklus pernapasan


1. Selama inspirasi, tekanan intraalveolus < tekanan atmosfer.
2. Selama ekspirasi, tekanan intraalveolus > tekanan atmosfer.
3. Pada akhir inspirasi dan ekspirasi, tekanan intraalveolus = tekanan atmosfer karena
alveoli berhubungan langsung dengan atmosfer, dan udara terus mengalir menuruni
gradien tekanannya sampai kedua tekanan tersebut seimbang.
4. Selama siklus pernapasan, tekanan intrapleura < tekanan intraalveolus.

16
5. Karena itu, gradien tekanan transmural selalu ada, dan paru-paru selalu teregang
sampai derajat tertentu, bahkan selama ekspirasi.

B. Volume dan Kapasitas Paru

17
• Secara rerata, pada orang dewasa sehat, udara maksimal yang dapat ditampung paru
adalah sekitar 5,7 liter pada pria, 4,2 liter pada wanita.
• Faktor yang memengaruhi kapasitas paru total yaitu:
- Ukuran anatomic
- Usia
- Compliance paru
- Ada tidaknya penyakit pernapasan
• Volume dan kapasitas paru-paru berikut dapat ditentukan:
- Tidal volume (TV): Volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu kali
bernapas. Nilai rerata pada kondisi istirahat = 500 mL.
- Inspiratory reserve volume (IRV): Volume udara tambahan yang dapat secara
maksimal dihirup di atas volume tidal istirahat. IRV dicapai oleh kontraksi maksimal
diafragma, otot interkostalis eksternal, dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata =
3000 mL.
- Inspiratory capacity (IC): Volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir
ekspirasi tenang normal (IC = IRV + TV). Nilai rerata = 3500 mL.
- Expiratory reserve volume (ERV): Volume udara tambahan yang dapat secara
aktif dikeluarkan dengan mengontraksikan secara maksimal otot-otot ekspirasi
melebihi udara yang secara normal dihembuskan secara pasif pada akhir volume tidal
istirahat. Nilai rerata = 1000 mL.
- Residual volume (RV): Volume udara minimal yang tertinggal di paru bahkan
setelah ekspirasi maksimal. Nilai rerata = 1200 mL.
- Functional residual capacity (FRC): Volume udara di paru pada akhir ekspirasi
pasif normal Nilai rerata = 2200 mL.
- Vital capacity (VC): Volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan dalam satu
kali bernapas setelah inspirasi maksimal. (VC = IRV + TV + ERV). KV
mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi pada paru. Nilai
rerata = 4500 mL.
- Total lung capacity (TLC): Volume udara maksimal yang dapat dtampung oleh
paru (TLC = VC + RV). Nilai rerata = 5700 mL.

18
- Forced expiratory volume in 1 second (FEV1): Volume udara yang dapat
dihembuskan selama detik pertama ekspirasi dalam suatu penentuan VC. Biasanya
FEV1 berkisar 80% dari VC.

C. Suara Nafas Tambahan

D. Pulmonary Defense Mechanism


Tujuan: Bertujuan untuk melindungi dari infeksi dan mengurangi risiko terpaparnya paru paru
oleh benda asing

19
a. Physical and Mechanical
1. Air Conditioning
- Suhu dan kelembapan udara sekitar sangat bervariasi, dan alveolus harus dilindungi
dari dingin dan kekeringan.
- Mukosa hidung, nasal turbinates, orofaring, dan nasofaring memiliki suplai darah yang
kaya dan merupakan area permukaan yang luas.
- Saat udara inspirasi melewati area ini dan berlanjut melalui percabangan
trakeobronkial, udara dipanaskan hingga mencapai suhu tubuh dan dilembabkan jika
seseorang bernapas melalui hidung.
2. Olfaction/ Penciuman
- Reseptor penciuman terletak di posterior nasal cavity
- seseorang dapat mencium untuk mencoba mendeteksi gas yang berpotensi berbahaya
atau bahan berbahaya di udara yang diinspirasi.
- Inspirasi yang cepat dan dangkal ini membawa gas ke dalam kontak dengan olfactory
sensors tanpa membawanya ke paru-paru.
- Tidak semua gas berbahaya memiliki bau yang dapat dideteksi, misalnya karbon
monoksida
3. Filtration and Removal of Inspired Particles
- Partikel yang diameter >10 to 15 μm oleh nasal hair dan vibrissae.
- Sedimentasi sebagian besar partikel ukuran 2 hingga 5 μm terjadi oleh gravitasi di
saluran udara yang lebih kecil, di mana laju aliran udara sangat rendah.

20
- Sebagian besar partikel dengan diameter antara 2 dan 10 μm dihilangkan dengan
impaksi atau sedimentasi dan terperangkap dalam lendir yang melapisi saluran udara
bagian atas, trakea, bronkus, dan bronkiolus.
- Partikel yang lebih kecil dan semua gas asing mencapai duktus alveolus dan alveolus.
Beberapa partikel yang lebih kecil (0,1 μm dan lebih kecil) diendapkan.
- Partikel lain, dengan diameter antara 0,1 dan 0,5 μm, sebagian besar tetap tersuspensi
sebagai aerosol, dan sekitar 80% di antaranya dihembuskan.
4. Refleks di Airway
-Stimulasi mekanis atau kimiawi dari reseptor di hidung, trakea, laring, atau di tempat lain
di saluran pernapasan dapat menghasilkan bronkokonstriksi untuk mencegah penetrasi
iritan yang lebih dalam ke saluran udara dan juga dapat menghasilkan batuk atau
bersin.
-Bersin dihasilkan dari stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring; batuk hasil dari
stimulasi reseptor di trakea atau bronkus.
-*Cough Reflex*
- Di trigger oleh masuknya benda asing ke trachea dan larynx
- Mekanisme:
1) inhalasi udara secara cepat (2,5 liter)
2) Penutupan epiglottis dan vocal cord
3) Kontraksi abdominal muscle dan expiratory muscle (internal intercostal m.)

4) Peningkatan tekanan pada paru paru (100 mmHg)


5) Pembukaan vocal cord dan epiglottis secara cepat
6) Batuk
5. Tracheobronchial Secretions and Mucociliary Transport: The “Mucociliary Escalator”
- Seluruh saluran pernapasan, dari saluran napas atas hingga bronkiolus terminal, dilapisi
oleh epitel bersilia yang dilapisi mucus, dengan perkiraan luas permukaan total 0,5 m2.
- Sekresi saluran napas dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar yang mensekresi mukus.
- Mucus adalah polimer kompleks mukopolisakarida.
- Kelenjar mucus ditemukan terutama di submukosa dekat supporting cartilage saluran
udara yang lebih besar.

21
- Pada keadaan patologis, seperti bronkitis kronis, jumlah sel goblet dapat meningkat dan
kelenjar mukus dapat mengalami hipertrofi, mengakibatkan peningkatan sekresi
kelenjar mukus dan peningkatan viskositas mukus.
- Mucociliary escalator adalah mekanisme yang sangat penting untuk menghilangkan
partikel yang dihirup yang berhenti di saluran udara.
- Bahan yang terperangkap dalam mucus terus bergerak ke atas menuju faring.
- Gerakan ini bisa sangat meningkat selama batuk.
- Mucus yang mencapai faring biasanya ditelan, dikeluarkan, atau dikeluarkan dengan
meniup hidung.
- Pasien yang tidak dapat membersihkan sekret trakeobronkialnya (pasien yang
diintubasi atau pasien yang tidak dapat batuk secara adekuat) terus menghasilkan
sekret. Jika sekret tidak dikeluarkan dari pasien dengan suction atau cara lain terjadi
obstruksi jalan napas

- Mucus terdiri dari dua lapisan  outer gel layer dengan partikel inspirasi yang
terperangkap dan sol layer yang langsung menutupi epitel bersilia.
- Mucus biasanya berukuran 5 hingga 100 µm, kental dan memiliki pH yang cukup
rendah yaitu 6,6-6,9.
- Silia yang melapisi saluran udara beating/berdenyut sedemikian rupa sehingga mucus
yang menutupinya selalu bergerak ke atas jalan napas, menjauh dari alveoli, dan
menuju faring,
- Silia berdenyut pada frekuensi antara 600 dan 900 beat/menit, dan mukus bergerak
secara progresif lebih cepat

22
- Pada saluran udara kecil (diameter 1-2 mm), kecepatan linier berkisar dari 0,5 hingga 1
mm/menit; di trakea dan bronkus, kecepatan linier berkisar antara 5 hingga 20
mm/menit.
- Fungsi silia terhambat atau terganggu oleh asap rokok.

1.1.3. Respiratory Defense Mechanism


Defense Mechanisms Terminal Respiratory Units
Inspired material yang mencapai terminal airways dan alveoli dapat dikeluarkan dengan
beberapa cara:
1. Ingestion oleh alveolar macrophages
2. Nonspecific enzymatic destruction
3. Entrance to limfatik
4. Reaksi imunologi.
A. Makrofag Alveolar
- Alveolar Makrofag → sel ameboid mononuklear besar yang menghuni permukaan
alveolus.
- Partikel yang terhirup yang ditelan oleh makrofag alveolus dapat dihancurkan oleh
lisosomnya.
- Beberapa bahan yang tertelan oleh makrofag, seperti silika, tidak dapat didegradasi oleh
makrofag dan bahkan dapat menjadi racun bagi makrofag.
- Rentang hidup rata-rata makrofag alveolar diyakini 1 sampai 5 minggu.
- Rute keluar utama dari makrofag yang membawa bahan yang tidak dapat dicerna tersebut
adalah migrasi ke mucociliary escalator melalui pori-pori Kohn dan akhirnya dikeluarkan
melalui airway.
- Makrofag yang mengandung partikel juga dapat bermigrasi dari permukaan alveolus ke
interstitium septum, dapat memasuki sistem limfatik atau mucociliary escalator.
- Fungsi makrofag telah terbukti dihambat oleh asap rokok.
- Makrofag alveolar juga penting dalam respon imun dan inflamasi paru:
1. Menekan respon imun terhadap antigen nonpatogenik yang dikenali maupun

23
2. Mengaktifkan respon imun dan inflamasi sebagai respon terhadap patogen yang
dikenali.
- Mereka mengeluarkan banyak enzim, metabolit asam arakidonat, komponen respon
imun, faktor pertumbuhan, sitokin, dan mediator lain yang memodulasi fungsi sel lain,
seperti limfosit
B. Metode Lain Penghilangan atau Penghancuran Partikel
- Beberapa partikel mencapai mucociliary escalator karena lapisan cairan alveolus itu
sendiri secara perlahan bergerak ke atas menuju respiratory bronchioles.
- Lainnya menembus ke dalam interstitial space atau memasuki darah, di mana mereka
difagosit oleh makrofag interstisial atau fagosit darah, atau mereka memasuki limfatik.
- Partikel dapat dihancurkan atau didetoksifikasi oleh enzim permukaan dan faktor dalam
plasma dan sekresi saluran napas. Ini termasuk:
1. lisozim → terutama dalam leukosit dan diketahui memiliki sifat bakterisida
2. laktoferin → yang disintesis oleh limfosit polimorfonuklear dan oleh glandular
mucosal cells dan merupakan agen bakteriostatik yang poten
3. 1-antitrypsin → menonaktifkan enzim proteolitik yang dilepaskan dari bakteri, sel
mati, atau sel yang terlibat dalam pertahanan paru-paru (misalnya, neutrofil elastase)
4. Interferon → zat antivirus ampuh yang mungkin diproduksi oleh makrofag dan
limfosit
5. Komplemen → berpartisipasi sebagai kofaktor dalam reaksi antigen-antibodi dan
juga dapat berpartisipasi dalam aspek pertahanan seluler lainnya.
Secara bersama-sama ini dianggap sebagai innate immunity system.
Banyak kontaminan biologis aktif dari udara inspirasi dapat dihilangkan dengan respon
imunologi yang diperantarai antibodi atau yang diperantarai sel (adaptive or acquired
immunity system).
Schematic diagram of bronchoalveolar defense mechanisms

24
Respiratory Defense Mechanism
 Bertujuan untuk melindungi dari infeksi dan mengurangi risiko terpaparnya paru paru oleh
benda asing
 Terbagi menjadi 3 defense mechanism utama:
o Physical
o Humoral
o Cellular
A. Physical Barrier
 Terletak pada upper respiratory tract
 Memiliki 2 Mekanisme utama:
o Preventing entry (mencegah masuk)
 Rambut hidung: Berfungsi sebagai filter udara
untuk mencegah partikel asing masuk ke dalam saluran napas, dapat
menimbulkan sneeze reflex
 Nasophyarnyx filter
– Mucus trapping: Trapping partikel asing yang masuk ke nasofaring,
disekresikan oleh respiratory epithelium
– Cillia: partikel yang di trapping akan di transport ke GI tract

25
 Swallowing: saat menelan, epiglottis terlipat ke belakang, disertai konstriksi dari
opening ke larynx dan terjadi elevasi sehingga menutup jalur pernapasan untuk
mencegah aspirasi makanan
 Irritant C-fibre nerve endings: teraktivasi akibat inhalasi partikel asing  vagal
reflex contraction of bronchial smooth muscle  penyempitan diameter saluran
napas dan meningkatkan sekresi mucus  mencegah penetrasi dari partikel asing
lebih lanjut
o Airway Clearance
 Cough Reflex
– Di trigger oleh masuknya benda asing ke trachea dan larynx
– Mekanisme:
1) inhalasi udara secara cepat (2,5 liter)
2) Penutupan epiglottis dan vocal cord
3) Kontraksi abdominal muscle dan expiratory muscle (internal intercostal m.)
4) Peningkatan tekanan pada paru paru (100 mmHg)
5) Pembukaan vocal cord dan epiglottis secara cepat
6) Batuk
 Mucociliary clearance
– Bertujuan untuk filter benda asing yang masuk ke bronchi dan bronchioles
– Terdapat adanya mucus film yang disekresikan oleh goblet cells dan
submucosal gland, terbagi 2 layer:
1) Pericilliary fluid, terletak mendekati permukaan epitel, mucus yang
diproduksi dihidrasi oleh sel epitel sehingga viskositasnya berkurang agar
cilia bisa bergerak
2) Superficial gel layer, membentuk mucus untuk trapping partikel
– Cilia akan bergerak secara terkoordinasi sehingga superficial gel layer yang
trapping benda asing bergerak kearah trachea dan larynx untuk ditelan atau
dikeluarkan
– Aktivitasnya dihambat oleh:
1) Tembakau
2) Udara dingin

26
3) Obat obatan (ex: anesthetic dan atropine)
4) Sulphur oxide
5) Nitrogen oxide
B. Humoral Defense
 Antimicrobial Peptide
o Memiliki sifat antibakteri
o Contoh: Defensin, lysozyme dan lactoferin
 Surfactant
o Terdapat pada struktur alveolus
o Memiliki fungsi untuk:
– Mengurangi surface tension dan mencegah paru paru collapse
– Sulfactant protein (Sp) A dan D: Bersifat hydrophyilic, berfungsi untuk
membantu uptake dari benda asing oleh alveolar macrophage
– Sp B dan C: Bersifat hydrophobic, berfungsi untuk membantu kerja
surfactant dan menurunkan surface tension
 Immunoglobulin
o Diproduksi oleh B lymphocytes (paling banyak IgA)
o Terletak di sekresi mucus di paru berfungsi untuk mengeleminasi antigen spesifik
 Complement
o Terdapat pada paru, dan konsentrasinya meningkat pada saat terjadinya inflamasi
o Berfungsi sebagai chemoattractant ke site of injury
o Diproduksi oleh alveolar macrophage
 Antiprotease
o Berfungsi untuk breakdown protease yang disekresikan bakteri, makrofag dan
neutrophil mati
o Contoh: a1-antitrypsin, diproduksi di liver
C. Cellular Defense
 Alveolar macrophage
o Berupa hasil diferensiasi dari monosit dan bersifat phagocytic dan mobile

27
o Terletak pada lining alveoli untuk ingest bakteri dan debris dan membawa ke
bronchioles untuk di remove oleh mucocilliary clearance
o Berfungsi untuk menimbulkan dan memperkuat respon inflamasi dengan
menyekresikan:
– Complement
– Cytokines (IL-1, IL-6) dan chemokines
– Growth factor
 Neutrophils
o Sel paling dominan saat terjadi respon inflamasi akut
o Bermigrasi dari intravascular space ke alveolar lumen untuk melakukan intracellular
killing terhadap bakteri dengan cara:
– Oxidative: release ROS
– Non oxidative: release protease

1.1.4. Occupational Hazard


Occupational Hazard
Occupational hazard adalah suatu kecelakaan atau kejadian yang tidak diharapkan yang
dapat menyebabkan penyakit atau cedera pada seseorang saat berada di tempat kerja, atau pada
saat melaksanakan tugas pekerjaannya.
Mengikuti rekomendasi OSHA, pengusaha harus melakukan analisis tempat kerja yang
komprehensif untuk mengidentifikasi adanya potensi bahaya. Hal ini dapat dilakukan melalui
Job Hazard Analysis (JHA).
Gagasan di balik pelaksanaan JHA adalah pertama-tama membantu mengidentifikasi
bahaya yang tidak terkendali, dan kemudian mengendalikannya untuk mengurangi tingkat risiko
dan membuat tugas kerja lebih aman, yang akan menghasilkan peningkatan keselamatan dan
kesehatan pekerja di tempat kerja. Ini adalah tiga langkah utama JHA:
- Memecah pekerjaan menjadi serangkaian langkah yang terlibat;
- Mengidentifikasi potensi bahaya yang terkait dengan setiap langkah;
- Merumuskan tindakan perlindungan untuk mengatasi setiap bahaya yang teridentifikasi.
Secara umum, OSHA mengklasifikasikan bahaya di tempat kerja dalam salah satu kategori
berikut:

28
a) Safety Hazards
b) Physical Hazards
c) Biological Hazards
d) Chemical Hazards
e) Ergonomic Hazards
f) Work Organization Hazards
Menurut publikasi OSHA A Guide to The Globally Harmonized System of Classification
and Labeling of Chemicals (GHS), istilah 'klasifikasi bahaya' digunakan untuk menunjukkan
bahwa hanya sifat intrinsik berbahaya dari zat dan campuran yang melibatkan 3 langkah berikut:
- Identifikasi data yang relevan mengenai bahaya suatu zat atau campuran;
- Meninjau data yang dikumpulkan untuk menentukan bahaya yang terkait dengan bahan atau
campuran; dan
- Keputusan apakah bahan atau campuran akan diklasifikasikan sebagai bahan atau campuran
berbahaya dan tingkat bahaya, jika sesuai, dengan membandingkan data dengan kriteria
klasifikasi bahaya yang disepakati.

A. Safety Hazards
Ini adalah yang paling umum dan akan hadir di sebagian besar tempat kerja pada satu
waktu atau yang lain. Mereka termasuk kondisi tidak aman yang dapat menyebabkan cedera,
penyakit dan kematian.
- Tumpahan di lantai atau bahaya tersandung, seperti gang yang tersumbat atau kabel yang
melintang di lantai
- Bekerja dari ketinggian, termasuk tangga, perancah, atap, atau area kerja yang ditinggikan

29
- Mesin yang tidak dijaga dan suku cadang mesin yang bergerak; pelindung melepas atau
bagian mesin yang bergerak yang dapat disentuh oleh pekerja secara tidak sengaja
- Bahaya listrik seperti kabel yang berjumbai, kabel yang tidak tepat
- Ruang terbatas
- Bahaya terkait mesin (lockout/tagout, keamanan boiler, forklift, dll.)
B. Physical Hazards
Merupakan faktor dalam lingkungan yang dapat membahayakan tubuh tanpa harus
menyentuhnya.
- Radiasi: termasuk pengion, non-pengion (EMF, gelombang mikro, gelombang radio, dll.)
- Paparan sinar matahari / sinar ultraviolet yang tinggi
- Suhu ekstrem – panas dan dingin
- Suara keras konstan
C. Biological Hazards
Terkait dengan bekerja dengan hewan, manusia, atau bahan tanaman menular. Bekerja di
sekolah, fasilitas penitipan anak, perguruan tinggi dan universitas, rumah sakit, laboratorium,
tanggap darurat, panti jompo, pekerjaan di luar ruangan, dll. dapat membuat pekerja terkena
bahaya biologis.
- Darah dan cairan tubuh lainnya
- Jamur
- Bakteri dan virus
- Tanaman
- Gigitan serangga
- Kotoran hewan dan burung
D. Chemical Hazards
Hadir ketika seorang pekerja terkena persiapan bahan kimia di tempat kerja dalam bentuk
apapun (padat, cair atau gas). Beberapa lebih aman daripada yang lain, tetapi untuk beberapa
pekerja yang lebih sensitif terhadap bahan kimia, bahkan bahan umum dapat menyebabkan
penyakit, iritasi kulit, atau masalah pernapasan.
- Cairan seperti produk pembersih, cat, asam, pelarut – terutama jika bahan kimia berada
dalam wadah yang tidak berlabel!
- Uap dan asap yang berasal dari pengelasan atau paparan pelarut

30
- Gas seperti asetilen, propana, karbon monoksida dan helium
- Bahan yang mudah terbakar seperti bensin, pelarut, dan bahan kimia yang mudah meledak.
- Pestisida
E. Ergonomic Hazards
Terjadi ketika jenis pekerjaan, posisi tubuh, dan kondisi kerja membebani tubuh pekerja.
Bahaya ini adalah bahaya yang paling sulit dikenali karena pekerja tidak selalu segera menyadari
ketegangan pada tubuhnya atau bahaya yang ditimbulkan oleh bahaya ini. Paparan jangka
pendek dapat menyebabkan "sakit otot" pada hari berikutnya atau pada hari-hari setelah paparan,
tetapi paparan jangka panjang dapat menyebabkan penyakit jangka panjang yang serius.
- Tempat kerja dan kursi yang tidak diatur dengan benar
- Sering mengangkat
- Postur tubuh yang buruk
- Gerakan yang tidak nyaman, terutama jika berulang-ulang
- Mengulangi gerakan yang sama berulang-ulang
- Harus menggunakan terlalu banyak kekuatan, terutama jika harus sering melakukannya
- Getaran
F. Work Organization Hazards
Bahaya atau stressor yang menimbulkan stress (efek jangka pendek) dan strain (efek
jangka panjang). Ini adalah bahaya yang terkait dengan masalah tempat kerja seperti beban kerja,
kurangnya kontrol dan/atau rasa hormat, dll.
- Tuntutan beban kerja
- Kekerasan di tempat kerja
- Intensitas dan/atau kecepatan
- Rasa hormat (atau kurangnya)
- Fleksibilitas
- Kontrol tentang berbagai hal
- Dukungan/hubungan sosial
- Pelecehan seksual

31
Debu
Debu terbuat dari partikel halus dari materi yang padat, umumnya terdiri dari partikel-
partikel di atmosfer yang berasal dari berbagai sumber seperti tanah yang terangkat oleh angin,
letusan gunung berapi dan polusi.
◦ Berdasarkan Ukuran Partikel
◦ Debu Total
◦ Debu Respirable
◦ Berdasarkan Efek terhadap Jaringan Paru-Paru
◦ Debu Fibrogenik ( dapat menimbulkan fibrosis jaringan paru (Pneumokoniosis: silica,
asbes,batu bara, dll)
◦ Debu non-Fibrogenik (irritant, alergenik, inert)
Ukuran Partikel
◦ 5-10 µm > tertangkap pernafasan bagian atas
◦ 3-10 µm> tertangkap pernafasan bagian tengah
◦ 1-3 µm > tertangkap pada alveoli (debu respirable)
◦ 0,1-1 µm >mengikuti gerak pernafasan dapat masuk dan keluar Kembali.
Contoh Debu
◦ Mineral dusts, such as those containing free crystalline silica (e.g., as quartz), coal and
cement dusts;
◦ Metallic dusts, such as lead, cadmium, nickel, and beryllium dusts;
◦ Other chemical dusts, e.g., many bulk chemicals and pesticides:
◦ Organic and vegetable dusts, such as flour, wood, cotton and tea dusts, pollens;
◦ Biohazards, such as viable particles, moulds and spores
Tamda dan Gejala

32
• Breathing difficulties
• Respiratory pain
• Diminished lung function
• Weakened immune systems
• Increased hospitalization

1.2. Clinical Science


1.2.1. Dyspnea
Dyspnea
 Definisi
• Dispnea adalah pengalaman subjektif atau persepsi pernapasan yang tidak nyaman
[Current Diagnosis]
• Dispnea adalah sensasi subjektif karena tidak mampu udara yang cukup [McCance]
• Menurut Pernyataan American Thoracic Society consensus → Pengalaman subjektif
dari ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari berbagai sensasi dengan intensitas yang
berbeda-beda.
• Ini adalah gejala umum yang mempengaruhi jutaan orang dan mungkin manifestasi
utama penyakit pernapasan, jantung, neuromuskular, psikogenik, sistemik, atau
kombinasi dari semuanya.
• Dispnea dapat berupa akut atau kronis dengan akut terjadi selama beberapa jam hingga
hari dan kronis terjadi selama lebih dari 4 hingga 8 minggu
 Tiga faktor yang menyebabkan Dyspnea: [Guyton]
1. Abnormality gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia dan, pada tingkat
yang jauh lebih rendah, hipoksia
2. jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapasan untuk memberikan ventilasi
yang memadai
3. keadaan pikiran.
 Tipe-Tipe
1. Dyspnea on Exertion → Biasanya terjadi ketika olahraga
2. Orthopnea → dispnea yang terjadi ketika seseorang berbaring datar dan sering terjadi
pada individu dengan gagal jantung.

33
Posisi berbaring mendistribusikan kembali air tubuh, menyebabkan isi perut memberikan
tekanan pada diafragma, dan menurunkan efisiensi otot-otot pernapasan.
Ortopnea umumnya berkurang dengan duduk dalam posisi condong ke depan atau
menopang tubuh bagian atas dengan beberapa bantal.
3. Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) → individu dengan gagal jantung atau penyakit
paru-paru bangun di malam hari terengah-engah dan harus duduk atau berdiri untuk
meredakan dispnea.
 Grading

 DD

• Respiratory → asthma, acute exacerbation of or chronic congestive obstructive


pulmonary disorder (COPD), pneumonia, pulmonary Embolism, lung malignancy,
pneumothorax, or aspiration.

34
• Cardiovascular → congestive heart failure, pulmonary edema, acute coronary syndrome,
pericardial tamponade, valvular heart defect, pulmonary hypertension, cardiac
arrhythmia, or intracardiac shunting.
• Neuromuscular → chest trauma with fracture or flail chest, massive obesity,
kyphoscoliosis, central nervous system (CNS) or spinal cord dysfunction, phrenic nerve
paralysis, myopathy, and neuropathy.
• Psychogenic → hyperventilation syndrome, psychogenic dyspnea, vocal cord dysfunction
syndrome, and foreign body aspiration.
• Other systemic illnesses → anemia, acute renal failure, metabolic acidosis,
thyrotoxicosis, cirrhosis of the liver, anaphylaxis, sepsis, angioedema, and epiglottitis
Dyspnea juga terjadi pada keadaan:
1. Ketinggian
2. Setelah menahan napas
3. Selama situasi stres yang menyebabkan kecemasan atau panik
4. Selama olahraga berat.

 Tanda
- Pelebaran lubang hidung
- Penggunaan otot bantu pernapasan
- Retraksi (menarik ke belakang) interkostal space.

35
Pada dispnea yang disebabkan oleh penyakit parenkim (misalnya, pneumonia), retraksi jaringan
di antara ribs (retraksi subkostal dan interkostal) lebih sering diamati daripada retraksi
superkostal (retraksi jaringan di atas ribs), yang mendominasi obstruksi jalan napas bagian atas.
 Mekanisme

 Evaluasi

2.1.5. Penyakit Obstruktif dan Restriktif


• Definisi
Gangguan fungsi pada paru terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Gangguan paru restriktif
2. Gangguan paru obstruktif, dan
3. Gangguan paru campuran.

36
- Gangguan paru restriktif
- Gangguan paru yang disebabkan oleh adanya hambatan pada pengembangan paru baik
karena perubahan pada parenkim paru, atau adanya penyakit pada pleura maupun dinding
dada sehingga udara tidak bisa mengisi paru-paru dengan maksimal.
- Gangguan paru obstruktif
- Gangguan paru yang terjadi karena adanya peningkatan resistensi jalan napas .
- Gangguan paru campuran adalah campuran dari gangguan obstruksi dan restriksi
• Etiologi
1) Etiologi penyakit paru Restriktif
Etiologi penyakit paru restriktif secara anatomi terbai dua yaitu terdiri dari :
A. Penyakit paru intrinsic: penyakit yang melibatkan parenkim paru dapat berupa
inflamasi/interstisial lung disease atau pneumonitis. Beberapa etiologi penyakit paru
intrinsik yaitu :
o Penyakit Fibrosis Idiopatik meliputi peneumonia interstisial akut, pneumonitis
interstisial limfositik dan pneumonitis interstisial desquamatif.
o Penyakit kolagen vaskular yaitu : skleroderma, polimiositis, dermatomiositis,
SLE, RA dan ankilosing spondilitis c. Obat-obatan : nitrofurantoin, amiodarone,
preparat emas, phenitoin, bleomisin, siklopospamid, metotrexat, radiasi, dll
o Penyakit lain berupa : sarkoidosis, pulmonary langerhans cell histiocytosis.
Pulmonary vasculitis, pneumonia eosinofilia, alveolar proteinosis.
o Paparan debu anorganik : silikosis, asbestosis, pneumoconiosis, beryliosis, metal
fibrosis. f. Paparan debu organik : farmers lung, bird fanciers lung, bagassosis,
hipersensitivitas pneumonitis.
B. Gangguan ekstrinsik adalah:
o Penyakit nonmuskular dinding thorax baik primer atau sekunder seperti kiposis,
polio, muskular distropi, fibrothorax, efusi pleura masif, obesitas, ankilosing
spondilitis dll.
o Gangguan neuromuskular seperti miasteniagrapis, miopati atau miositis,
quadraplegia,dll.
o Gangguan pleura meliputi efusi, asbestosis dll
2) Etiologi penyakit paru Obstruktif

37
- Merokok
- Aktor lingkungan
- Defisiensi enzim Alpha1-antitrypsin (AAT)
- Hiperrensponsif jalan nafas
- Penggunaan obat iv
- Sindrom vasculitis,dll
• Tanda dan Gejala
1) Tanda dan gejala Restriktif Paru
Evaluasi awal berupa riwayat pekerjaan, paparan, kebiasaan dan faktor risiko HIV pada
pasien ditanyakan kepada pasien untuk mengidentifikasi etiologi penyakit. Berdasarkan
onset terjadinya penyakit dapat dibagi 3 yaitu :
- Onset akut : beberapa hari- minggu, contoh interstisial pneumonitis, pneumonia
eosinofilia, difuse alveolar hemorage
- Onset subakut : beberapa minggu – bulan, contoh sarkoidosis, connective tissue
diseases, alveolar hemorrage, drug induced interstisial lung diseases
- Onset kronik : sarkoidosis, pulmonary langerhans cell histiocytosis
Gejala intrinsik dan ekstrinsik pada penyakit paru restriktif.
Gejala intrinsik penyakit paru restriktif:
- Sesak nafas
- Batuk kering.
- Batuk produktif merupakan gangguan parenkim paru difus
- Wheezing merupakan manifestasi yang jarang, tetapi dapat timbul pada pasien
dengan limpangitic carcinomatosis, pneumonia eosinopili kronik dan bronkiolitis
respiratori
- Nyeri dada merupakan gejala yang sangat jarang, tetapi dapat terjadi oleh karena
nyeri pleuritik karena reumatoid artritis, sistemik Lupus Eritematosus, drug-induced
disorder
Gejala Ekstrinsik penyakit paru restriktif:
- Penyebab gagal nafas biasanya bersifat multifaktorial dan merupakan penyebab
kedua dari deformitas spinal, kelemahan otot, gangguan kontrol ventilasi, gangguan
bernafas dan penyakit saluran nafas.

38
- Gangguan neuromuskular muncul sesuai dengan progresifitas kelemahan otot bantu
nafas. Pasien mengalami sesak nafas saat latihan, diikuti dispneu saat istirahat dan
kondisi ini berpotensi untuk terjadinya gagal nafas. - Pasien dengan gangguan
neuromuskular menimbulkan kelemahan otot nafas dan menyebabkan kelelahan,
dispneu, gangguan kontrol sekresi dan serangan infeksi saluran nafas berulang.
2) Pada pemeriksaan fisik penyakiit paru restriktif dapat ditemukan :
Gangguan intrinsik :
- Velcro crackles merupakan tanda yang sering pada penyakit paru interstisial.
- Ronkhi inspiratoar pada bronkiolitis
- Sianosis saat istirahat jarang ditemukan pada penyakit paru interistial. Hal ini
merupakan manifestasi pada kondisi berat
- Clubbing finger sering ditemukan pada idiopatik pulmonary fibrosis dan jarang
pada kondisi lain seperti sarkoidosis atau pneumonitis hipersensitivitas
- Extrapulmonary berupa eritema nodosum sebagai salah satu tanda sarkoidosis.
Makulopapular rash merupakan tanda conective tissue disease, atau drug induced.
Raynoud phenomenon merupakan tanda connective tissue disease dan teleangiectase
merupakan tanda skleroderma. Tanda dari sarkoidosis sistemik berupa limpadenopati
perifer, pembesaran kelenjar liur, hepatosplenomegali. Uveitis dapat muncul pada
sarkoidosis dan ankilosing spondilitis.
- Cor pulmonale Chronicum muncul pada fibrosis paru tahap lanjut atau kiposkoliosis
tahap lanjut. Hipertensi pulmonal dan cor pulmonale ditandai dengan adanya
pergeseran jantung ke kanan, gallop.
Gangguan extrinsik yaitu berupa :
- Gangguan pleura berupa menurunnya strem fremitus, sonor memendek dan hilangnya
suara pernafasan.
- Pada penyakit neuromuskular, dijumpai penggunaan otot bantu nafas, pernafasan
cepat dan dangkal dan gejala sistemik lainnya
3) Tanda dan gejala Obstruktif paru
- Susah bernapas,
- Kelemahan badan, batuk kronik,

39
- Mengi atau wheezing dan terbentuknya sputum dalam saluran nafas dalam waktu
yang lama.
- Sesak nafas atau dyosnea. Pada tahap lanjutan dari penyakit paru obstruktif kronik
(ppok), dypsnea dapat memburuk bahkan dapat dirasakan ketika penderita sedang
istirahat atau tidur.
• Jenis penyakit
1) Restriktif Paru
- Idiopathik Pulmonary Fibrosis
- Connective Tissue Diseases ( Sistemik Lupus Eritematosus (SLE), Reumatoid artritis
(RA) , Skleroderma)
- Penyakit Paru Eosinopilia
2) Obstruktif:
- Bronkitis Obstruksi Kronis
- Emfisema
- Asma

1.2.2. Occupational Disease


Kesehatan Kerja
Definisi kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya
yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh deraja kesehatan yang
setinggi-tingginya, baik fisik atau mental, maupun sosial dengan usaha-usaha preventif dan
kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-
faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Konsep
kesehatan kerja dewasa ini semakin berubah, bukan sekadar “kesehatan pada sektor industri”
saja melainkan juga mengarah kepada upaya kesehatan untuk semua orang dalam melakukan
pekerjaannya (total health of all at work). Keselamatan kerja sama dengan hygene perusahaan.
Kesehatan kerja memiliki sifat sebagai berikut.
a. Sasarannya adalah manusia.
b. Bersifat medis.
Fungsi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Fungsi dari kesehatan kerja sebagai berikut.

40
a. Identifikasi dan melakukan penilaian terhadap risiko dari bahaya kesehatan di tempat kerja.
b. Memberikan saran terhadap perencanaan dan pengorganisasian dan praktik kerja termasuk
desain tempat kerja.
c. Memberikan saran, informasi, pelatihan, dan edukasi tentang kesehatan kerja dan APD.
d. Melaksanakan survei terhadap kesehatan kerja.
e. Terlibat dalam proses rehabilitasi.
f. Mengelola P3K dan tindakan darurat.
Penyakit Akibat Kerja
Lingkup Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja
termasuk penyakit terkait kerja. Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang mempunyai
beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau lingkungan kerja memegang peranan
bersama dengan faktor risiko lainnya.
Definisi penyakit akibat kerja (ILO)
1. Menurut Protokol 2002 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
2. 1981, istilah "penyakit akibat kerja" mencakup setiap penyakit yang diderita sebagai akibat
dari paparan faktor risiko yang timbul dari aktivitas kerja.
3. Rekomendasi Tunjangan Kecelakaan Kerja ILO, 1964 (No. 121), Paragraf 6(1),
mendefinisikan penyakit akibat kerja dalam istilah berikut: “Setiap Anggota harus,
berdasarkan kondisi yang ditentukan, mempertimbangkan penyakit yang diketahui muncul
dari paparan zat dan kondisi berbahaya dalam proses, perdagangan atau pekerjaan sebagai
penyakit akibat kerja.”
4. Ada dua elemen utama dalam definisi penyakit akibat kerja:
5. hubungan kausal antara paparan di lingkungan kerja atau pekerjaan tertentu aktivitas dan
penyakit tertentu; dan fakta bahwa penyakit tersebut terjadi di antara sekelompok orang yang
terpapar dengan frekuensi di atas rata-rata morbiditas penduduk lainnya.
Epidemiologi
- ILO menyatakan tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan
kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja
Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Penyebab penyakit akibat kerja dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:

41
 Golongan fisika
- Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion dan non pengion dan tekanan
udara
 Golongan kimia
- Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut, partikel nano
dan lain-lain.
 Golongan biologi
- Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain.
 Golongan ergonomi
- Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak repetitif, penerangan,
Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain.
 Golongan psikososial
- Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja monoton, hubungan
interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain.
Klasifikasi
WHO
Penyakit akibat kerja tidak hanya dicirikan oleh penyakit itu sendiri, tetapi oleh kombinasi dari
penyakit dan paparan, serta hubungan antara keduanya. Klasifikasi pekerjaan penyakit telah
dikembangkan terutama untuk dua tujuan:
(A) pengawasan dan pemberitahuan untuk persalinan tujuan pemeriksaan dan
(B) tujuan jaminan sosial (kompensasi).
Sebagian besar klasifikasi sistem memiliki hierarki berikut:
1. Penyakit yang disebabkan oleh agen
1.1 Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia
1.2 Penyakit yang disebabkan oleh agen fisik
1.3 Penyakit yang disebabkan oleh agen biologis
2. Penyakit menurut organ sasaran
2.1 Penyakit pernapasan akibat kerja
2.2 Penyakit kulit akibat kerja
2.3 Penyakit muskuloskeletal akibat kerja
3. Kanker kerja

42
4. Lainnya
Klasifikasi berisi kategori yang ditentukan oleh agen penyebab dan kategori yang
ditentukan oleh diagnosa medis. Kasus penyakit tertentu karena itu dapat jatuh ke dalam
beberapa kategori. Tidak adanya kriteria diagnostik terpadu, sistem pengkodean dan klasifikasi
mengurangi kompatibilitas dan komparatif statistik nasional penyakit akibat kerja. Bahkan untuk
penyakit akibat kerja klasik seperti asbestosis, ada heterogenitas dalam statistik nasional dan
praktik klinis dalam kondisi seperti apa yang dikodekan di bawah judul umum asbestosis).
ILO

43
Prinsip-Prinsip Penyakit Akibat Kerja
Dalam mendiagnosis penyakit akibat kerja terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus diperhatikan:
1. Hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit.
2. Frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada pada masyarakat.
3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan dan pencegahan
penyakit.
Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki :
1. Aspek medik: dasar tata laksana medis dan tata laksana penyakit akibat kerja serta
membatasi kecacatan dan keparahan penyakit.
2. Aspek komunitas: untuk melindungi pekerja lain
3. Aspek legal: untuk memenuhi hak pekerja
Diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut
dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan sebagai berikut :

44
Langkah 1. Menegakkan diagnosis klinis
Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan:
1. anamnesa;
2. pemeriksaan fisik
3. bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus.
Langkah 2. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja
Beberapa pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter harus mendapatkan
informasi semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pekerja. Untuk memperoleh
informasi tersebut, dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, mencakup:
1. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang
2. dialami (pekerjaan terdahulu sampai saat ini).
3. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan.
4. Produk yang dihasilkan.
5. Bahan yang digunakan.
6. Cara bekerja.
7. Proses kerja.
8. riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia).
9. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan.
Informasi tersebut semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS
(Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan mengenai
informasi tersebut diatas.

45
Langkah 3. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan dengan penyakit yang
dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala
setelah terpajan oleh bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja
dan berkurang saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan
sebagai salah satu data untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya.
Langkah 4. Menentukan besarnya pajanan
Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk menimbulkan gejala penyakit
dapat dilakukan secara :
1. kualitatif :
a. pengamatan cara, proses dan lingkungan kerja dengan memperhitungkan lama kerja dan
masa kerja.
b. Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk mengurangi besar pajanan.
2. kuantitatif :
a. data pengukuran lingkungan kerja yang dilakukan secara periodik.
b. data monitoring biologis.
Langkah 5. Menentukan faktor individu yang berperan
Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain:
1. jenis kelamin
2. usia
3. kebiasaan
4. riwayat penyakit keluarga (genetik)
5. riwayat atopi
6. penyakit penyerta.
Langkah 6. Menentukan pajanan di luar tempat kerja
Penyakit yang timbul mungkin disebabkan oleh pajanan yang sama di luar tempat kerja sehingga
perlu informasi tentang kegiatan yang dilakukan di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan
rumah dan pekerjaan sampingan.
Langkah 7. Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang diderita oleh pekerja adalah
penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja.

46
Factor of Disease Causation
 Predisposing factors (faktor predisposisi) adalah faktor yang menciptakan keadaan
kerentanan, membuat host rentan terhadap agen. Ini adalah usia, jenis kelamin dan penyakit
sebelumnya.
 Enabling factors (faktor pendukung) adalah faktor yang membantu perkembangan (atau
pemulihan dari) penyakit; misalnya kondisi tempat tinggal, status sosial ekonomi.
 Precipitating factors adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan paparan langsung
terhadap agen penyakit atau timbulnya penyakit, mis. minum air yang terkontaminasi, kontak
dekat dengan kasus TB paru.
 Reinforcing factors (faktor pendorong) adalah faktor yang memperburuk penyakit yang
sudah ada, mis. malnutrisi, paparan berulang.
 Faktor risiko adalah kondisi, kualitas atau atribut, yang kehadirannya meningkatkan
kemungkinan seseorang untuk memiliki, berkembang atau terpengaruh secara merugikan
oleh proses penyakit. Faktor risiko tidak harus selalu menyebabkan penyakit tetapi
meningkatkan kemungkinan bahwa orang yang terpapar faktor tersebut dapat dengan mudah
terkena penyakit.

1.2.3. Occupational Lung Diease


Occupational Lung Disease
Occupational Lung Disease: mencakup spektrum yang luas dari gangguan pernapasan dengan
gejala, tanda, dan hasil tes diagnostik yang sering muncul dengan gambaran yang mirip dengan
penyakit non-occupational.
Misalnya, asma onset dewasa mungkin asma pekerjaan, sarkoidosis diduga sebenarnya penyakit
berilium kronis, fibrosis paru idiopatik yang jelas mungkin asbestosis, atau pneumonia virus
yang dicurigai mungkin pneumonitis hipersensitivitas dari penyebab pekerjaan seperti cairan
kerja logam yang terkontaminasi.
Epidemiologi
Tidak ada angka yang dapat diandalkan untuk total insiden atau prevalensi penyakit paru-paru
akibat kerja, dan variasi regional dalam pekerjaan dan paparan adalah substansial.
Asma terkait pekerjaan telah menjadi penyakit paru-paru kronis akibat kerja yang paling umum
di negara maju, di mana asma akibat kerja (asma yang disebabkan oleh pekerjaan) menyumbang

47
sekitar 15% dari semua asma onset dewasa, dan asma yang diperburuk oleh pekerjaan terjadi
pada 25 hingga 52% pekerja asma.
Kontribusi pekerjaan dari debu, asap, dan gas di tempat kerja terhadap penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) diperkirakan 15%.
Sebaliknya, pneumokoniosis dari silika atau debu batu bara, meskipun masih penting di negara
berkembang, insidennya menurun di negara maju (E-Gbr. 93-1) sebagai akibat dari tindakan
kebersihan kerja.
Misalnya, sekitar 100.000 orang Amerika menerima manfaat dari Program Paru-Paru Hitam
Federal pada tahun 2005, dibandingkan dengan sekitar 500.000 pada tahun 1980, dan persentase
penambang batu bara dengan pneumokoniosis telah turun dari 11% pada pertengahan 1970-an
menjadi 3%.
Klasifikasi

48
49
1.2.4. Pneumoconiosis
Pneumoconiosis
Definisi
Merupakan penyakit paru yang disebabkan terinhalasinya dari debu organic dan nonorganic
airborne dust & fibers. pasien biasanya terpapar oleh debu tersebut di lingkungan kerja, oleh
karena itu Pneumoconiosis di kenal juga sebagai Occupational disease
Etiologi
Terpapar,terinhalasi hingga terakmulasinya inorganic dust yang hinggap diparenkim paru yang
menyebabkan fibrosis paru yang irreversible. Dan yang paling sering menginfeksi adalah
asbestosis, silicosis, and coal miner. Debu yang dapat menginfeksi pada paru adalah debu
respirable atau yang memiliki ukuran 1-3 Micron.
Klasifikasi berdasarkan etiologi terdapat adanya;
Fibrogenik dust: memiliki kemungkinan fibrosis paru dengan adanya akumulasi yang
menyebabkan retriksi paru
Non-Fibrogenic dust: contohnya seperti pneumoconiosis mimic (inert), hanya sedikit
menghasilkan jaringan parut atau tidak menghasilkan jaringan parut sama sekali dan sifatnya
sementara.
Epidemiologi
Silicosis merupakan tipe yang paling sering terinfeksi karena jumlah dari inhalasi crystalline
silicon dioxide yang cukup besar.

50
Faktor Resiko
 Menghirup : silica, asbestosis & coal dusts.
 Terpapar ditempat kerja, tapi paparan lingkungan bisa menyebabkan penyakit ini.
 Menyebar ke istri dan anak-anak dirumah dari pakaian yang terdapat asbes, pabrik asbes dan
tambar asbes yang berada di lingkungan terdekat.
 Silica terpapar 3-10 tahun atau berdekade
 Asbestos terpapar bertahun-tahun sampai 20 tahun
 Coal/batu bara terpapar bertahun-tahun sampai berdekade.
 Tidak menggunakan PPE
 Merokok
Klasifikasi
ILO (International labour Organization)
a. Pneumoconiosis mimic (inert dust)
- Siderosis (iron dust)
- Stenosis (tin dust)
- Baritosis (barium sulfate)
b. Uncomplicated pneumoconiosis (without PMF - progressive massive fibrosis)
- Alluminosis (aluminium)
- Talcosis (talc)
- Berylliosis (baryllium)
c. Complicated pneumoconiosis (with PMF)
- Coal worker’s pneumoconiosis - CWP (coal)
- Silicosis (silica)
- Asbestosis (asbestos)
Different Diagnosis
 Mixed connective-tissue disease
 Pneumonia interstitial
 Polymyositis
 Pulmonary fibrosis, (idiophatic&interstitial)
 Restrictive lung disease

51
Perbedaan dengan Silicosis
The primary pneumoconioses are asbestosis, silicosis, and coal workers’ pneumoconiosis
(commonly referred to as CWP or black lung).
Other forms of pneumoconioses can be caused by inhaling dusts containing aluminum,
antimony, barium, graphite, iron, kaolin, mica, talc, among other dusts

1.2.5. Silicosis
Silicosis
Definisi
Silicosis adalah pneumoconiosis akibat kerja yang disebabkan oleh inhalasi crystalline silicon
dioxide. Penyakit ini adalah salah satu dari beberapa komplikasi paru yang dijelaskan dengan
baik terkait dengan paparan racun di tempat kerja, bersama dengan asbestosis, beriliosis, paru-
paru penambang batu bara, pneumokoniosis logam keras, antara lain.
Etiologi
Dua bentuk silikon dioksida ada di alam: amorphous and crystalline.
 Bentuk crystalline silicon dioxide adalah mineral alami yang melimpah, umumnya
ditemukan dalam zat seperti batu pasir, kuarsa, dan granit.
 Inhalasi bentuk amorf tampaknya tidak menyebabkan komplikasi yang signifikan secara
klinis, inhalasi senyawa kristal dapat menyebabkan penyakit paru.

52
Epidemiologi

 Banyak pekerjaan dapat menempatkan pekerja pada risiko terpapar debu silika di berbagai
industri. Pekerjaan berisiko tinggi termasuk perbaikan jalan, pembuatan beton, penambangan
batu bara, pengerjaan batu bata, dan penggalian batu. Juga berisiko adalah pekerja yang
bekerja di pemotongan batu, ekstraksi minyak bumi, pekerjaan baja, sandblasting, dan lain-
lain.
 Menurut Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, ada lebih dari dua juta pekerja
yang terpapar beberapa bentuk silikon dioksida yang dapat terhirup secara teratur.
Klasifikasi
Berdasarkan manfes:

53
 Akut: paling jarang namun paling merusak, terjadi akibat paparan konsentrasi silika kristal
bebas yang sangat berlebihan selama few weeks to 5 years. Gejala dyspnea, mudah Lelah,
penurunan berat badan, demam, pleuritic pain
 Akselerata: exposure konsentrasi tinggi selama 5-10 tahun. batuk berdahak, sesak nafas yang
progresif (dari saat beraktivitas-ketika istirahat),
 Kronik/klasik: low-mod exposure selama ≥20 tahun. Lifetime exposure. cough, sputum
production, and dyspnea as a result of industrial bronchitis or concurrent cigarette smoking,
gejala cenderung bersifat ringan

Berdasarkan bentuknya:
 Akut/silicoproteionosis: pajanan akut yang menyebabkan paru mengalami peningkatan
kandungan protein ekstraseluler. Alveoli terisi penuh cairan, alveolar lipoproteionosis,
gambaran radiologi berupa konsolidasi bilateral yang disertai dengan ground-glass opacities
yang banyak terdapat pada regio perihilar. Pada pemeriksaan CT scan menunjukkan
gambaran opak nodular centrilobular bilateral, gambaran opak patchy yang bersifat
multifocal dan konsolidasi yang mengindikasikan akumulasi cairan kayak akan protein pada
ruang intraalveolar. Pada beberapa kasus, dapat juga ditemukan penebalan septum
interlobular.
 Klasik: reticulonodular kronik
 Sederhana: gambaran opak kecil, dapat berbentuk bulat maupun iregular

54
 Berkomplikasi: ditandai dengan large conglomerate opacities yang mengindikasikan
terjadinya progressive massive fibrosis (PMF). Secara histopatologi, ditandai dengan terdapat
nodul silikotik (variasi warna abu-abu – hitam) yang berisi kolagen pada bagian sentral dan
particle-laden-macrophage pada bagian perifer.
Patohenesis dan Patofisiologi

Diagnosis
History
 Silikosis nodular atau murni dapat terjadi setelah 20 tahun atau lebih terpapar dalam
pekerjaan.
 accelerated forms terjadi setelah paparan yang lebih berat selama 5 hingga 10 tahun.
 Silikosis akut adalah reaksi yang tidak biasa yang disebabkan oleh paparan berat dalam
waktu singkat terhadap silika tingkat tinggi dengan ukuran partikel kecil.
Penunjang
 Pada simple silicosis, Chest X-ray menunjukkan gambaran variabel yang terutama terdiri dari
kekeruhan yang jelas dengan diameter mulai dari 1 hingga 10 mm, terletak di lobus atas dan
bagian posterior paru. Temuan CT-scan terdiri dari beberapa nodul kecil dengan
limfadenopati hilus dan mediastinum. Beberapa nodul mungkin mengalami kalsifikasi.
 Pada silikosis akut, chest X-ray menunjukkan konsolidasi bilateral terkait dengan kekeruhan
ground-glass. Temuan CT-scan terdiri dari banyak opasitas ground-glass sentrilobular
dengan konsolidasi

55
Histopatologi
 Nodular silicosis  silicotic nodules (firm, discrete, rounded lesions that contain a
variable amount of black pigment. The nodules tend to occur around respiratory
bronchioles and small pulmonary arteries and in the subpleural and paraseptal areas.)
 acute silicosis  mimic pulmonary alveolar proteinosis, Tidak seperti proteinosis
alveolus biasa, biasanya juga terdapat inflamasi interstisial dan fibrosis atau parut hialin
yang tidak teratur serta jumlah pigmen yang bervariasi.

Management
Tidak ada modalitas terapi khusus. Prosedur perawatan utama terdiri dari menghilangkan sumber
paparan
Differential Diagnosis
Diagnosis banding utama adalah rheumatoid arthritis. Nodul silikosis dapat menunjukkan
gambaran yang menyerupai nodul reumatoid. Nodul-nodul ini dicirikan oleh daerah nekrosis
aselular sentral yang dikelilingi oleh histiosit palisading dan tepi perifer limfosit dan sel plasma.
Patofisiologi

56
Menghirup silikon dioksida kristal menyebabkan endapan mineral terbentuk pada tingkat
bronkiolus terminal dan alveoli. Adanya bahan asing mengakibatkan aktivasi makrofag alveolus
dan juga memberikan efek toksik langsung pada parenkim paru di sekitarnya. Kerusakan sel
menghasilkan pelepasan sitokin inflamasi (seperti IL-1 dan TNF-alpha), pembentukan radikal
bebas, dan peningkatan jalur pensinyalan sel. Sitokin yang berbeda menghasilkan promosi
fibrosis. Peran sel mast jaringan juga telah dilaporkan. Ada juga bukti bahwa silika mengganggu
kemampuan makrofag untuk menghambat pertumbuhan mikobakteri dan efek ini menjelaskan
asosiasi umum silikosis/tuberkulosis. Dalam bentuk akut silikosis, efek toksik langsung dari sel
tipe 2 alveolar, serta pada makrofag dapat terjadi. Peran faktor imunologi telah lama didalilkan
tetapi tidak terbukti pada silikosis.[4][5]
Deposit silika di saluran pernafasan, kontak dengan permukaan alveolar dan endobronkial
menghasilkan spesies oksigen reaktif. Partikel yang lebih kecil diambil melalui fagositosis ke
dalam makrofag, yang menghasilkan radikal bebas tambahan. Kerusakan oksidatif oleh
makrofag teraktivasi dan partikel silika menghasilkan pelepasan sitokin inflamasi, peningkatan
sinyal sel, dan apoptosis sel parenkim dan makrofag. Infiltrasi fibroblas terjadi dalam pola
nodular seiring perkembangan penyakit

Sign and symptoms silicosis


 Gejala mungkin tidak muncul pada tahap awal chronic silicosis. Faktanya chronic silicosis
mungkin tidak terdeteksi selama 15-20 tahun setelah terpapar. Saat silicosis berkembang,
gejalanya mungkin termasuk:
 Shortness of breath. Munculnya atau perkembangan dispnea dapat menandakan
perkembangan komplikasi termasuk tuberculosis, airway obstruction, PMF (progressive
massive fibrosis), or cor pulmonale.
 Severe cough. Batuk kadang-kadang juga dapat dikaitkan dengan tekanan pada trakea atau
bronkus utama dari massa besar silicotic lymph nodes.

57
 Wheeze and chest tightness dapat terjadi pada silikosis, tetapi biasanya berhubungan dengan
bronchitis or airflow obstruction.
 Weakness
 Karena kemampuan tubuh dalam melawan infeksi dapat dilemahkan oleh silica di paru-paru,
penyakit lain (seperti tuberculosis) dapat terjadi dan dapat menyebabkan:
 Fever
 Weight loss : menunjukkan komplikasi infeksi atau penyakit neoplastik.
 Night sweats
 Chest pains
 Respiratory failure
 Gejala-gejala ini dapat menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu, yang dapat menyebabkan
kematian.
Diagnosis Silicosis
a. Anamnesis
 Dengan riwayat paparan yang cukup dan gambaran radiografik yang khas, diagnosis
silikosis umumnya tidak sulit untuk ditegakkan.
History
 Detailed occupational history for suspected silicosis and other pneumoconiosis
 Catat secara kronologis periode pajanan,
 jenis pajanan kerja,
 alat pelindung pernapasan yang digunakan, dan
 apakah orang lain yang bekerja di lingkungan yang sama memiliki gejala atau penyakit
yang sama.
b. Radiographic Patterns in Silicosis
 Tanda-tanda radiografi awal silikosis tanpa komplikasi umumnya small, rounded
opacities. Ini dapat dikategorikan menggunakan ILO International Classification of
Radiographs of Pneumoconioses berdasarkan size, shape, and profusion category.
 Pada silicosis, rounded opacities dari tipe “q” dan “r” mendominasi (lihat Tabel 88-1 di
atas).

58
 Gambaran opaque yang terlihat pada radiografi merupakan beberapa dari nodul silikosis
patologis dan perubahan terkait lainnya. Mereka biasanya ditemukan pada awalnya
mendominasi di upper lung zones dan dapat berkembang untuk melibatkan zona lain.
 Eggshell calcification pada lymph nodes sangat mengarah pada silicosis, meskipun fitur
ini jarang terjadi.

c. Pulmonary function tests


 Pulmonary function tests, including spirometry and diffusing capacity, sangat membantu
dalam evaluasi klinis individu dengan suspek silikosis. Spirometri mungkin juga
bermanfaat dalam pengenalan dini efek kesehatan dari pajanan debu di tempat kerja,
karena dapat mendeteksi kelainan fisiologis yang mungkin mendahului perubahan
radiografi. Tidak ada pola spesifik atau karakteristik gangguan ventilasi pada silikosis.
Spirometri mungkin normal, atau bila abnormal, penelusuran dapat menunjukkan
obstruksi, restriksi, atau pola campuran.
Differential Diagnosis Silicosis
 Asbestosis
 COPD
 Tuberkulosis
 Neoplasma
 PMF
Management Silicosis

59
 Tidak ada modalitas terapi khusus. Prosedur perawatan utama terdiri dari menghilangkan
sumber paparan.
 Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala.
 Obat lain yang diberikan bersifat suportif. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit,
sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan.
 Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi
infeksi, bisa diberikan antibiotik.
 Agar penyakit tidak bertambah parah, semua pasien silikosis perlu menghilangkan paparan
silika. Iritasi paru-paru lainnya, seperti polusi udara dalam dan luar ruangan, alergen dan asap
(rokok), juga harus dihindari.
 Pasien silikosis juga dapat mengambil langkah-langkah berikut untuk menjaga diri tetap
sehat :
1. Jaga berat badan dan nutrisi dengan diet seimbang.
2. Tetap seaktif mungkin dengan berolahraga secara teratur tetapi berhati-hati untuk tidak
terlalu memaksakan diri.
3. Mencegah infeksi saluran pernapasan yang dapat memperburuk kondisi paru-paru.
4. Waspada untuk mengawasi perkembangan TB atau infeksi lain.
5. Miliki rencana untuk mengelola serangan penyakit.
Komplikasi Silicosis
 Tuberkulosis,
 Airway obstruction
 Cor pulmonale
 Neoplasma,
 Glomerulonephritis and nephrotic syndrome have been described in association with
silica exposure. The specific mechanism(s) of renal injury is not completely understood
 Several autoimmune diseases (scleroderma, systemic lupus erythematosus (lupus),
rheumatoid arthritis, autoimmune hemolytic anemia, and dermatomyositis or
dermatopolymyositis).
Prognosis Silicosis
Prognosis tergantung pada berbagai faktor resiko
Prevention Silicosis

60
 Pengendalian penyakit silikosis baik di negara maju maupun berkembang memerlukan
strategi pencegahan yang komprehensif, termasuk exposure control, medical surveillance,
research, and education. Contoh pendekatan termasuk yang berikut:
 Upaya besar harus diarahkan pada engineering controls yang efektif dan peningkatan praktik
kerja untuk secara progresif mengurangi paparan debu ke tingkat yang direkomendasikan
Penggunaan respirator
 Pencegahan primer harus melibatkan pemantauan paparan debu secara terus-menerus, dan
mencakup mekanisme umpan balik untuk memodifikasi dan meningkatkan kondisi kerja jika
paparan diukur di atas tingkat yang direkomendasikan. Bahkan paparan pada tingkat yang
diizinkan saat ini telah diakui sebagai risiko penyakit.
 Pencegahan sekunder melalui medical screening dan pengawasan harus dirancang untuk
pekerja individu dan pekerja lain yang berpotensi terpapar.
 Edukasi tentang bahaya kesehatan pernapasan dari paparan silika dan debu tambang batu
bara yang tidak terkontrol harus tersedia bagi pekerja, pengusaha, manajer, dan penyedia
layanan kesehatan.
 Informasi tentang beban kumulatif penyakit harus dipantau dari waktu ke waktu untuk silika
dan debu tambang batu bara.
 Penelitian penyakit paru-paru terkait pertambangan harus didorong, untuk meningkatkan
recognition, monitoring, exposure reduction, and therapy, dan untuk meningkatkan
pemahaman patogenesis.
 Dokter yang mengenali penyakit terkait batu bara atau silikosis pada pasien mereka harus
berusaha untuk menentukan apakah pajanan di tempat kerja yang berkelanjutan
menghadirkan risiko berkelanjutan bagi pekerja saat ini, sambil menjaga kerahasiaan
hubungan pasien-dokter.

1.2.6. Management
Hierarchy of Hazard Controls
Mengontrol paparan terhadap bahaya kerja adalah
metode dasar untuk melindungi pekerja. Secara

61
tradisional, hierarki kontrol telah digunakan sebagai sarana untuk menentukan bagaimana
menerapkan solusi kontrol yang layak dan efektif.
Salah satu representasi dari hierarki ini adalah sebagai berikut:

A. Elimination and Substitution


walaupun paling efektif untuk mengurangi bahaya, juga cenderung paling sulit untuk diterapkan
dalam proses yang ada. Jika prosesnya masih dalam tahap desain atau pengembangan, eliminasi
dan substitusi bahaya mungkin tidak mahal dan mudah diterapkan. Untuk proses yang ada,
perubahan besar dalam peralatan dan prosedur mungkin diperlukan untuk menghilangkan atau
mengganti bahaya
B. Engineering Controls
Lebih disukai dari pada Administrative control & Personal Protective Equipment (PPE) untuk
mengendalikan paparan pekerja yang ada di tempat kerja karena dirancang untuk menghilangkan
bahaya pada sumbernya, sebelum kontak dengan pekerja. Engineering controls yang dirancang
dengan baik bisa sangat efektif dalam melindungi pekerja dan biasanya tidak tergantung pada
interaksi pekerja untuk memberikan perlindungan tingkat tinggi. Biaya awal bisa lebih tinggi
dari Administrative control & PPE, dalam jangka Panjang untuk maintenance dan biaya operasi
lebih rendah, dan dapat memberikan penghematan biaya.
C. Administrative Controls and PPE
Sering digunakan apabila hazard tidak dikontrol dengan baik. Administrative controls & PPE
mungkin relative murah untuk dilakukan namun, dalam jangka Panjang, bisa sangat mahal untuk
di pertahankan. Metode untuk melindungi pekerja ini juga terbukti kurang efektif di bandingkan
dengan Tindakan yang lain, yang membutuhkan upaya yang signifikan dari pekerja yang terkena
dampak.
Personal Protective Equipment (PPE) / APD
Alat Pelindung Diri (APD) adalah suatu alat yang memiliki fungsi mengisolasi
sebagian atau seluruh bagian tubuh untuk melindungi seseorang dari potensi bahaya di
tempat kerja. Menurut OSHA atau Occupational Safety and Health Administration, pesonal
protective equipment alat pelindung diri ( A P D ) didefinisikan sebagai alat yang digunakan

62
untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan
bahaya (hazards) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik,
mekanik dan lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 1 tahun 1970 bahwa pengurus atau pimpinan
tempat kerja berkewajiban menyediakan alat pelindung diri (APD/PPE) untuk para pekerja dan
para pekerja berkewajiban memakai APD/PPE dengan tepat dan benar. Tujuannya adalah untuk
melindungi kesehatan pekerja tersebut dari risiko bahaya di tempat kerja.
Tujuan APD
 Melindungi tenaga kerja
 Meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja.
 Menciptakan lingkungan kerja yang aman.
Jenis-jenis APD

Alat Pelindung Kepala (Helem Keselamatan)


harus memenuhi kriteria berikut:
• Tahan terhadap penetrasi atau tusukan dari benda.
• Dapat menyerap kejutan pukulan.
• Tahan terhadap air dan tidak mudah terbakar.
• Memiliki intruski penggunaan yang jelas dan memiliki sistem perubah atau penggantian
suspensi dan ikat kepala.
Jenis pengaman industri dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

63
• Kelas A : Memberikan perlindungan terhadap benturan benda jatuh dan penetrasi benda
keras serta perlindungan terhadap sengatan listrik hingga 2,200 volt.
• Kelas B : Memberikan perlindungan terhadap benturan benda jatuh dan penetrasi benda
keras serta perlindungan terhadap sengatan listrik hingga 20,000 volt.
• Kelas C : Memberikan perlindungan terhadap benturan benda jatuh, ringan dan nyaman
akan tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap sengatan listrik
Beberapa jenis alat pelindung mata dan wajah adalah sebagai berikut:
1. Kacamata Safety; bahan kacamata ini memiliki kemampuan untuk melindungi mata
dengan lensa yang tahan benturan dan frame dari palstik atau logam.
2. Goggles; adalah kacamata pelindung yang menutupi semua area disekitar mata. Goggles
dapat melindungi mata dari debu dan percikan bahan kimia cair. Goggles juga bisa
digunakan bersamaan dengan kacamata resep karena disainnya yang lebih besar.
3. Perisai Pengelasan (Welding); umumnya dibuat dari fiberglass dan dilengkapi dengan
lensa saring sehingga bisa melindungi mata dari luka bakar akibat radiasi sinar
inframerah yang berasal dari pengelasan, perisai ini juga dapat melindungi wajah dari
percikan api dan logam panas dari pengelasan. OSHA mensyaratkan lensa filter memiliki
nomor peneduh (shade number) yang bisa diatur sesuai dengan radiasi sinar pada saat
pengelasan .
4. Kacamata Pengaman Laser; kacamata ini khsusus dibuat untuk melindungi mata dari
sinar laser. Pemilihan jenis kacamata ini tergantung pada peralatan dan kondisi operasi
ditempat kerja.
5. Perisai Wajah; terbuat dari lembaran plastic transparan yang dapat menutupi semua
wajah yang dapat melindungi semua wajah dari percikan atau semprotan cairan atau debu
berbahaya. Tetapi perisai wajah tidak dapat melindungi dari bahaya benturan dan karena
itu harus digunakan bersamaan dengan kacamata safety untuk perlindungan terhadap
benturan

64
Alat pelindung pendengaran (hearing protection)
Berdasarkan pada:
• Kesesuaian dengan jenis pekerjaan.
• Memberikan perlindungan yang memadai. Periksa literatur produsen.
• Nyaman untuk dipakai.
Ada tiga jenis alat pelindung pendengaran (hearing protection), yaitu:
1. Ear Plug dimasukkan untuk memblokir saluran telinga. Ear plug berbentuk premolded
(preformed) atau moldable (busa). Ear plug umumnya dijual sebagai produk sekali pakai
(disposable) atau dapat digunakan kembali (reusable).
2. Semi-insert ear plugs terdiri dari dua ear plug yang dipasang diujung head band.
Ear muff Penutup telinga yang terbuat dari bahan yang lembut yang dapat menurunkan
kebisingan dengan cara menutupi semua bagian telinga dan ditahan/dipegang oleh head band.
1. Sarung Tangan : Melindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi dari
mikroorganisme ataupun hazard (bahaya)
2. Masker : Masker dapat berfungsi sebagai pelindung hidung dan penyaring udara yang dihirup
saat bekerja. Apalagi kita yang bekerja di tempat udara yang berdebu. Masker harus selalu
dipakai.
3. Respirator : Masker jenis khusus, disebut respirator partikel, yang dianjurkan dalam situasi
memfilter udara yang tertarik nafas dianggap sangat penting
4. Boots : Dipakai untuk melindungi kaki dari perlukaan oleh benda tajam atau berat atau dari
cairan yang kebetulan jatuh atau menetes pada kaki.

65
Occupational Health and Safety Management
Hirarki Pengendalian Risiko
Mengontrol paparan terhadap bahaya kerja adalah metode dasar untuk melindungi
pekerja. Secara tradisional, hierarki kontrol telah digunakan sebagai sarana untuk menentukan
bagaimana menerapkan solusi kontrol yang layak dan efektif.

66
a. Elimination and Substitution
Eliminasi dan substitusi, walaupun paling efektif untuk mengurangi bahaya, juga
cenderung paling sulit untuk diterapkan dalam proses yang ada. Jika prosesnya masih dalam
tahap desain atau pengembangan, eliminasi dan substitusi bahaya mungkin tidak mahal dan
mudah diterapkan. Untuk proses yang ada, perubahan besar dalam peralatan dan prosedur
mungkin diperlukan untuk menghilangkan atau mengganti bahaya.
b. Engineering Control
Kontrol teknik melindungi pekerja dengan menghilangkan kondisi berbahaya atau
dengan menempatkan penghalang antara pekerja dan bahaya. Contohnya termasuk ventilasi
pembuangan lokal untuk menangkap dan menghilangkan emisi udara atau pelindung mesin
untuk melindungi pekerja.
Pengendalian ini biasanya tidak mengganggu produktivitas pekerja atau kenyamanan
pribadi dan membuat pekerjaan lebih mudah dilakukan.
c. Administrative Control and Personal Protective Equipment (PPE)
Kontrol administratif dan APD sering digunakan dengan proses yang ada di mana bahaya
tidak dikontrol dengan baik. Kontrol administratif dan program APD mungkin relatif murah
untuk dilakukan, akan tetapi dalam jangka panjang bisa sangat mahal untuk dipertahankan.
Metode untuk melindungi pekerja ini juga terbukti kurang efektif dibandingkan dengan tindakan
lain, yang membutuhkan upaya yang signifikan dari pekerja yang terkena dampak.
Ambang Batas Paparan
Batas paparan yang diizinkan (PEL) OSHA saat ini untuk debu terhirup yang
mengandung silika kristal (kuarsa) untuk industri konstruksi diukur dengan jutaan partikel per
kaki kubik (mppcf) dan dihitung menggunakan rumus berikut:
 PEL† = 250 mppcf / % silica +5
The current OSHA PEL: PEL = 10 mg/m3 / % silica +2
Batas paparan yang direkomendasikan NIOSH (REL) untuk silika kristal yang dapat terhirup
adalah 0,05 mg/m3 (50 µg/m3)
Pengendalian Pajanan
Karena silikosis tidak dapat disembuhkan, pencegahan paparan adalah cara terbaik untuk
menjaga pekerja tetap aman dari silika kristal yang dapat terhirup. CDC merekomendasikan
pengusaha untuk mengikuti Hirarki Kontrol sehingga dapat mengurangi tingkat efektivitas.

67
- Hilangkan tugas pekerjaan yang membuat pekerja terpapar silika kristal yang dapat terhirup.
- Ganti bahan silika non-kristal jika memungkinkan.
- Gunakan kontrol teknik, seperti menggunakan ventilasi pembuangan lokal atau semprotan air
untuk mengurangi debu silika.
- Gunakan kontrol administratif, seperti membatasi waktu yang dihabiskan pekerja di sekitar
silika kristal yang dapat terhirup atau akses mereka ke area dengan konsentrasi tinggi dari
silika kristal yang dapat terhirup.
- Kenakan alat pelindung diri, seperti respirator, saat bekerja dengan silika kristal yang dapat
terhirup.
Pengendalian Debu
Kunci untuk mencegah silikosis adalah dengan menjauhkan debu dari udara. Kontrol
debu bisa sesederhana selang air untuk membasahi debu sebelum mengudara.
- Gunakan sistem pengumpulan debu yang tersedia untuk berbagai jenis peralatan penghasil
debu.
- Selama pengeboran batu, gunakan air melalui batang bor untuk mengurangi jumlah debu di
udara, atau gunakan bor dengan sistem pengumpulan debu.
- Saat menggergaji beton atau batu, gunakan gergaji yang mengalirkan air ke mata pisau.
- Gunakan praktik kerja yang baik untuk meminimalkan paparan pada pekerja.
- Gunakan bahan abrasif yang mengandung silika kristalin kurang dari 1% selama peledakan
abrasif untuk mencegah debu kuarsa terlepas ke udara.
- Gunakan metode penahanan seperti mesin pembersih ledakan dan untuk mencegah debu
terlepas ke udara.
Kebersihan Diri
Praktik kebersihan pribadi berikut sangat penting untuk melindungi pekerja dari silika
kristal yang dapat terhirup dan kontaminan lain seperti timbal, terutama selama operasi
peledakan abrasif.
- Jangan makan, minum, atau menggunakan produk tembakau di area berdebu.
- Cuci tangan dan wajah sebelum makan, minum, atau merokok di luar area berdebu.
- Parkirkan mobil di tempat yang tidak akan terkontaminasi silika dan zat lain seperti timbal.
Pakaian Pelindung

68
Lakukan langkah-langkah berikut untuk memastikan bahwa pakaian berdebu tidak
mencemari mobil, rumah, atau tempat kerja di luar area berdebu:
- Ganti pakaian kerja sekali pakai atau bisa dicuci di tempat kerja.
- Mandi dan ganti pakaian bersih sebelum meninggalkan tempat kerja.
Pelindung Pernapasan
Jangan gunakan respirator sebagai sarana utama untuk mencegah atau meminimalkan
paparan kontaminan di udara. Sebaliknya, gunakan kontrol sumber yang efektif seperti
substitusi, otomatisasi, sistem tertutup, ventilasi pembuangan lokal, metode basah, dan praktik
kerja yang baik. Langkah-langkah tersebut harus menjadi sarana utama untuk melindungi
pekerja. Namun, ketika kontrol sumber tidak dapat menjaga eksposur di bawah NIOSH REL,
kontrol harus dilengkapi dengan penggunaan respirator.
Pemantauan Medis
Pemeriksaan medis harus tersedia untuk semua pekerja yang mungkin terpapar silika
kristal yang dapat terhirup. Namun, pemeriksaan harus selalu melengkapi pemantauan dan
kontrol debu yang efektif.
- Riwayat medis dan pekerjaan untuk mengumpulkan data tentang paparan silika kristal dan
tanda dan gejala penyakit pernapasan
- Rontgen dada yang diklasifikasikan menurut Klasifikasi Internasional Radiograf
Pneumokoniosis 1980 dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) [ILO 1981]
- Tes fungsi paru (spirometri)
- Evaluasi tahunan untuk tuberculosis.
Tanda Peringatan
Tanda peringatan harus dipasang untuk menandai batas-batas area kerja yang
terkontaminasi silika kristalin. Tanda-tanda ini harus memperingatkan pekerja tentang bahaya
dan menentukan peralatan pelindung yang diperlukan (misalnya, respirator).

69
Pelatihan
- Informasi tentang potensi efek kesehatan dari paparan silika kristal yang dapat terhirup
- Lembar data keamanan bahan untuk silika, produk pasangan bata, bahan abrasif alternatif,
dan bahan berbahaya lainnya
- Instruksi tentang tujuan dan pengaturan area yang diatur yang menandai batas area kerja
yang mengandung silika kristal
- Informasi tentang penanganan, pelabelan, dan penyimpanan bahan beracun yang aman
- Diskusi tentang pentingnya substitusi, kontrol teknik, praktik kerja, dan kebersihan pribadi
dalam mengurangi paparan silika kristal
- Instruksi tentang penggunaan dan perawatan peralatan pelindung yang sesuai
1.2.7. Asuransi
JAMSOSTEK

Pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan, yang menggantikan Jamsostek, mulai beroperasi
sebagai salah satu lembaga jaminan sosial baru di Indonesia.

70
BPJS Ketenagakerjaan  BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
 Jaminan social bidang Kesehatan  program jaminan social yg diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan
 Jaminan social ketenagakerjaan  program jaminan social yg diselenggarakan oleh BPJS
Ketenagakerjaan
Definisi :
• Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) lahir didasarkan pada UU No, 3 tahun 1992 dan
melalui PP No, 36 tahun 1995 inilah tonggak penting dalam berdirinya Jamsostek.
• Jamsostek ini memiliki program kerja yaitu memberikan perlindungan dasar untuk
memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian
atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
• Sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT Jamsostek berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Januari 2014. Yang berarti kini Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek) telah berganti nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan dan Jamsostek ini memiliki banyak perbedaan. Perbedaan – perbedaan itu
adalah
• Jika BPJS Ketenagakerjaan memiliki sifat wajib bagi seluruh pekerja, Jamsostek ini hanya
wajib diikuti oleh pekerja formal.
• BPJS Ketenagakerjaan memiliki 4 program yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kematian, jaminan hari tua, dan juga jaminan pensiun. Sedangkan Jamsostek hanya
memiliki 3 program yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
• Biaya perawatan kerja pada Jamsostek hanya sekitar Rp.20.000.000 sedangkan untuk BPJS
Ketenagakerjaan tidak ada batas besaran biaya perawatan.
• BPJS Ketenagakerjaan merupakan badan hukum publik yang langsung di bawah
naungan presiden. Sedangkan Jamsostek penyelenggaranya merupakan perseroan atau
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
• Karena Jamsostek merupakan perseroan maka mereka mencari untung sedangkan BPJS
Ketenagakerjaan benar – benar untuk melayani masyarakat.
Bpjs Kesehatan & ketenagakerjaan

71
• BPJS merupakan layanan jaminan kesehatan yang resmi mulai beroperasi pada 1 Januari
2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan baru beroperasi pada 1 Juli 2015.
• BPJS kesehatan merupakan transformasi dari PT Asuransi Kesehatan, sedangkan BPJS
Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari PT Jamsostek.

Manfaat BPJS Ketenagakerjaan


Jaminan Hari Tua (JHT)
• Program perlindungan yang diselenggarakan untuk tujuan menjamin agar peserta
menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, cacat total tetap, atau mrninggal
dunia
• Manfaat berupa uang tunai yang besarnya adalah akumulasi seluruh iuran yang telah
dibayarkan ditambah hasik pengembangnya
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
• Manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat
Peserta mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan
kerja
• Manfaat berupa pelayanan kesehatan (perawatan dan pengobatan) sesuai kebutuhan
medis, santunan berupa uang dan program kembali bekerja (return to work)

72
Jaminan Pensiun (JP)
• Program perlindungan yang diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki
usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)
• Jaminan yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan
kerja dengan tujuan mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja
kehilangan pekerjaan. Pekerja dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak saat
terjadi risiko akibat pemutusan hubungan kerja seraya berusaha mendapatkan pekerjaan
kembali.
Jaminan Kematian (JKM)
• Manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia
bukan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja
• Diberikan dalam bentuk uang tunai berupa santunan kematian, santunan berkala, biaya
pemakaman dan beasiswa Pendidikan anak
Santunan
• Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB)
4 bulan pertama, 100% upah sebulan
4 bulan kedua, 75% upah sebulan
Selanjutnya 50% upah sebulan
• Santunan Cacat
Cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan sekaligus sebesar % tabel x 80 bulan upah
Cacat total untuk selama-lamanya, dibayarkan sekaligus dan berkala, sebesar:
• Sekaligus : % tabel x 80 bulan upah
• Berkala : Rp 200.000,00 per bulan selama 24 bulan
• Santunan Kematian
Santunan dibayarkan sekaligus, sebesar 60 % x 80 bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar
santunan kematian
Santunan dibayarkan berkala sebesar Rp. 200.000,00 per bulan selama 24 bulan
Biaya pemakaman sebesar Rp 2.000.000,00

73
Alur Pelaporan
• Lapor 2x24 Jam ke BPJS Ketenagakerjaan
• Bila pertolongan pertama tidak dilakukan di RS yang kerjasama dengan BPJS
Ketenagakerjaan yang kita sebut Rumah Sakit Trauma Center (RSTC) maka segera di rujuk
ke RSTC
• Melengkapi kelengkapan berkas Kecelakaan Kerja
maksimal 7x24 jam

Syarat Klaim BPJS

Berkas Tahap 1 (Max 7 Hari Kerja)


1. Copy Ktp
2. Copy Kpj
3. Kronologi Kejadian
4. Absensi
5. Isi Formulir Tahap 1
Berkas Wajib Tambahan

74
1. Surat Kepolisian ( Bila kecelakaan lalulintas)
2. Surat keterangan 2 org saksi berikut copy KTP (bila kecelakaan tunggal)
3. Surat tugas (bila sedang melekukan tugas dinas)
4. Surat perintah lembur (bila sedang melakukan lembur)
Jadwal shift bila bekerja dengan metode kerja shift
PELAPORAN TAHAP 2 ( ketika pasien dinyatakan selesai pengobatan)
Klaim Biaya Pengobatan
1. Formulir Tahap 2
2. Formulir KK4 diisi Dr yang merawat
3. Kwitansi Bermaterai
4. Rincian biaya pengobatan dan hasil pemeriksaan
Berkas Ahli Waris Bila Tenaga Kerja Meninggal Dunia
1) KTP ahli waris
2) KK ahli waris
3) Surat kematian dari RS
4) Surat kematian dari kelurahan
5) Surat keterangan ahli waris
6) Buku nikah
7) Surat keterangan kerja
8) Mengisi formulir santunan berkala, formulir JHT, dan formulir JP

1.2.8. Interpretasi

75
Profusion/Konsentrasi/Banyaknya

76
Profusion of small opacities : konsentrasi small opacities di zona paru-paru yang terkena.
central subcategory, yaitu 0/0, 1/1, 2/2, 3/3  Jika tidak ada kategori alternatif yang
dipertimbangkan secara serius
subcategory 2/1  kategori 1 dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif sebelum
memutuskan untuk mengklasifikasikannya sebagai kategori 2
Shape (2 jenis : rounded dan irregular) and size (3 jenis)
Untuk small rounded opacities :
1. p-opacities dengan diameter ≤1.5 mm.
2. q-opacities dengan diameter >1.5 mm sampai ≤3 mm.
3. r-opacities dengan diameter >3 mm sampai ≤10 mm.
Untuk small irregular opacities :
1. s-opacities dengan lebar ≤ 1.5 mm.
2. t-opacities dengan lebar >1.5 mm sampai ≤3 mm.
3. u-opacities dengan lebar >3 mm sampai ≤10 mm.
Huruf dua kali (misalnya q/q)  semua/hampir semua opacities yang terlihat : satu bentuk dan
ukuran
Huruf yang berbeda (misalnya q/t)  Jika terlihat bentuk/ukuran lain

77
1. Nab Bahan Kimia
 Kadar bahan kimia rata2 di lingkungan kerja selama 8 jam/hari atau 40 jam/minggu
 dimana hampir semua tenaga kerja dpt terpajan berulang-ulang / sehari2 dlm
melaksanakan pekerjaan
 tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan maupun penyakit akibat kerja.
2. Nab Batas Pemaparan Singkat / Pemajanan Singkat Diperkenankan
 Kadar tertentu bahan2 kimia di udara lingkungan kerja
 dimana hampir semua tenaga kerja dpt terpajan secara terus menerus dlm wkt yg
singkat (<15 mnt dan <4x kepajanan perhari kerja)
 Tanpa menderita / mengalami gangguan iritasi, kerusakan atau perubahan jaringan
yang kronis serta efek narkosis
3. Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) / NAB tertinggi
 Kadar tertinggi bahan2 kimia di udara lingkungan kerja setiap saat
 Batasnya tdk boleh dilewati selama melakukan pekerjaan
A-1 > Terbukti karsinogen utk manusia.
A-2 > Diperkirakan karsinogen untuk manusia.

78
A-3 > Karsinogen terhadap binatang.
A-4 > Tdk diklasifikasikan karsinogen terhadap manusia.
A-5 > Tdk diperkirakan karsinogen terhadap manusia.
Satuan Konsentrasi Bahan Kimia
BDS (Bagian Dalam Sejuta) / PPM (Part Per Million)  bagian uap/gas perjuta volume dari
udara terkontaminasi, atau satu bagian persejuta atau cm3 atau uap/gas permeter kubik udara ).
Mg/m3 : Miligram bahan kimia per meter kubik udara.
Fibres/m3 : jumlah serat/kubik udara.
Konversi : mg/m3 = ppm x BM/24,5
Bisa diukur menggunakan alat (pada lingkungan) atau biomarker pada manusia (feses, urin,
darah, dll)
Silica dust
 Silica (SiO2) : senyawa keras seperti batu yang mampu terfragmentasi menjadi partikel
halus. Ini adalah konstituen dari banyak batuan yang mengandung ore-bearing rocks, coal
seams, granites, china clay, sandstones, dan sand.
 Penggunaan : Abrasives, building materials, ceramics, foundry work (pekerjaan
pengecoran ), dan road stone.
Workplace exposure limits (WEL) :
1. Silica, respirable crystalline  WEL: 8-h TWA, 0.3 mg/m3
2. Fused respirable dust WEL : 8-h TWA, 0.08 mg/m3
Pada mr moko 8-h TWA, 0.8 mg/m3  MELEWATI NAB
TWA : paparan udara rata-rata karyawan dalam shift kerja 8 jam dalam seminggu kerja 40 jam
yang tidak boleh dilampaui
Cuplikan Nab Bhn Kimia Permenaker 5/2018

79
Vital Paru
 Kapasitas vital paru adalah jumlah volume udara yang dapat dikeluarkan secara maksimum
dari paru setelah pertama kali inhalasi secara maksimal yang dilanjutkan dengan ekspirasi
maksimum. Sederhananya, kapasitas vital paru-paru adalah volume udara yang dapat masuk
dan keluar dari paru-paru ketika manusia bernapas.
 Faktor yang Mempengaruhi kapasitas organ paru.
1. Usia; Penuaan dapat membuat otot diafragma menjadi lebih lemah sehingga mengurangi
elastisitas jaringan paru-paru dan otot dada yang berperan dalam proses pernapasan. Hal
ini membuat penuaan kerap menjadi salah satu faktor yang memicu berkurangnya
kapasitas paru-paru.
2. Penyakit paru retrsriktif
Penyakit paru restriktif merupakan kondisi ketika paru-paru tidak bisa
menyimpan udara terlalu banyak. Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
penurunan kapasitas paru-paru, antara lain: Berbagai kondisi medis di atas membuat
penderitanya lebih sulit menarik napas. Pneumonia
a. Efusi pleura
b. Fibrosis paru idiopatik
c. Riwayat operasi paru
d. Obesitas
e. Pembengkakan paru
f. Kerusakan saraf pada otot pernapasan
g. Pernyakit payu interstisial
h. Skoliosis

80
Hal ini disebabkan oleh kerusakan jaringan paru-paru atau adanya masalah pada otot
pernapasan, sehingga tubuh tidak mampu menarik napas dengan maksimal.
3. Kondisi terkait peningkatan kapasitas paru-paru
Kapasitas paru-paru juga bisa mengalami peningkatan. Beberapa kondisi medis
yang dapat menyebabkan peningkatan kapasitas paru-paru adalah:
a. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
b. Asma
c. Bronkiektasis
d. Cystic fibrosis
 Faktor lain juga dapat memengaruhi kapasitas paru-paru: bentuk dinding dada, kebiasaan
merokok, sering terpapar polusi, hingga kurangnya aktivitas fisik.
 Cara Mengukur Kapasitas Paru
Untuk mengetahui jumlah kapasitas paru-paru, metode yang sering digunakan adalah
spirometri. Spirometri adalah tes untuk mengukur berapa banyak udara yang dapat dihembuskan
secara maksimal dalam satu kali napas. Tes ini dilakukan oleh dokter dengan menggunakan alat
spirometer.
Kapasitas vital paru-paru penting untuk diukur melalui tes diagnostik bernama spirometri
agar dapat menguji fungsi organ tersebut. Spirometri sendiri sering digunakan untuk
mendiagnosis PPOK atau asma.
 Cara Menjaga Kapasitas Paru
Penurunan fungsi paru-paru merupakan bagian normal dari proses penuaan. Meski
demikian, ada langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mempertahankan kapasitas paru-paru
dan menjaga kesehatan sistem pernapasan, di antaranya:
a. Berolahraga secara rutin dan melakukan berbagai latihan untuk memperkuat fungsi dan
kapasitas paru-paru, seperti latihan pernapasan otot diafragma dan yoga
b. Berhenti merokok serta menghindari paparan asap rokok
c. Menerapkan pola makan sehat, termasuk memperbanyak asupan makanan yang kaya akan
antioksidan
d. Meningkatkan kualitas udara dalam ruangan menggunakan alat penyaring udara
e. Melengkapi imunisasi untuk mencegah infeksi paru-paru, misalnya dengan mandapatkan
vaksin flu dan vaksin pneumonia

81
Spirometri
 Suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi mekanik paru, dinding dada dan otot-otot
pernapasan dengan mengukur jumlah volume udara yang dihembuskan dari kapasitas paru
total (TLC) ke volume residu.
 Obstructive Ventilatory Defects (OVD): Gangguan obstruktif pada paru, dimana terjadi
penyempitan saluran napas dan gangguan aliran udara di dalamnya, akan mempengaruhi
kerja pernapasan dalam mengatasi resistensi nonelastik dan akan bermanifestasi pada
penurunan volume dinamik.
 Restrictive Ventilatory Dects (RVD): Gangguan restriktif yang menjadi masalah adalah
hambatan dalam pengembangan paru dan akan mempengaruhi kerja pernapasan dalam
mengatasi resistensi elastik. Manifestasi spirometrik yang biasanya timbul akibat gangguan
ini adalah penurunan pada volume statik. RVD menunjukkan reduksi patologik pada TLC.

82
83
84
Bab III. Penutup

3.1. Patomekanisme

85
3.2. BHP
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
PER.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri
1. Pasal 4
 Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan atau Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat
mewajibkan penggunaan APD di tempat kerja
2. Pasal 5
 Pengusaha atau Pengurus wajib mengumumkan secara tertulis, dan memasang rambu-
rambu mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja.
3. Pasal 6
 Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau
menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
1. Pasal 86 Ayat (1):
 Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
2. Pasal 86 Ayat (2):
 Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Pasal 87 Ayat (1)
 Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

3.3. IIMC
Q.S. Al- A’raf:157

 “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan

86
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-
orang yang beruntung.”

Q.S. Ash – Sura: 30

 Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”

87
Daftar Pustaka

1. Gray’s Anatomy fot Students, 4th edition.


2. Moore’s Clinically Oriented Anatomy 7th edition.
3. Junquiera’s Basic Histology Text & Atlas, 15th edition.
4. Difiore’s Atlas of Histology, 11th edition.
5. Sherwood’s Human Pgysiology, 9th edition.
6. Guyston and Hall’s Textbook of Medical Physiology, 13th edition.
7. Current Medical Diagnosis & Treatment 2019
8. McCance’s Pathophysiology, 7th edition.
9. Harrison’s Internal Medicine, 20th edition.
10. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
PER.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
13. Protokol 2002 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
14. National Health Portal India
15. Tunjangan Kecelakaan Kerja ILO, 1964 (No. 121)
16. Jurnal Spirometri https://www.respirologi.com/upload/file_1455185923.pdf
17. Science direct. Diakses pada 2021. Vital Capacity
18. NCBI. Diakses pada 2021. Vital Capacity
19. Healthline. Diakses pada 2021. Breathing Exercises to Increase Lung Capacity
20. Delgado, B.J. & Bajaj, T. NCBI Bookshelf (2020). Physiology, Lung Capacity.
Yamamoto-Morimoto, et al. (2019). Positive Effects of Yoga on Physical and Respiratory
Functions in Healthy Inactive Middle-Aged People. International Journal of Yoga, 12(1), pp.
62–67
21. American Lung Association (2020). Lung Capacity and Aging.
22. American Lung Association (2020). Protecting Your Lungs.
23. American Lung Association (2020). Spirometry.

88

Anda mungkin juga menyukai