Anda di halaman 1dari 101

LAPORAN TUTORIAL SISTEM KEDOKTERAN TROPIS CASE 8

“LEPROSY”

Diajukan kepada:
Yuktiana Kharisma, dr., M.Kes.

Disusun oleh:
Kelompok 4

1. Azhari Fadhilah 10010020025

2. Fadilul Fatihah Razi 10100120189

3. Reynindita Alya Harsyanti 10100120106

4. Nazmi Abiyah 10100120135

5. Dimas Satrio Aji 10100120064

6. Ayyas Robabani 10100120066

7. Ayunita Meita Dewi Rasiwan 10100120040

8. Rifira Hanifah 10100120020

9. Triya Mustika Sukendar 10100120105

10. Destri Ramadhani 10100120111

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
tutorial minggu ini. Adapun laporan ini disusun guna memenuhi salah satu tugas
tutorial pada Universitas Islam Bandung.
Dalam proses penulisan laporan ini, kami menemui banyak halangan dan
kesulitan, namun semuanya dapat kami lalui. Dalam kesempatan ini pula, kami tak
lupa ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tutor yang telah
terlibat dalam proses penyusunan laporan ini, terutama kepada teman tutorial dan
tutor kami yang senantiasa memberikan dukungan tiada henti.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
penyajian maupun dari segi penyusunannya. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca guna penyempurnaan
laporan ini pada masa yang akan datang.
Akhir kata kami mengucapkan semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan kami sendiri khususnya.

Bandung, 14 Juni 2023

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
REVIEW CASE 4
BAB I BASIC SCIENCE 6
1.1 Anatomi Ulnar nerve 6
1.2 Histologi Kulit 9
1.3 Efloresensi 14
1.4 Mikrobiologi 20
BAB II CLINICAL SCIENCE 31
2.1 Leprosy 31
2.2 Treatment 44
2.3 Prevention 52
2.4 Pemeriksaan 55
2.5 Patomekanisme 62
2.6 BHP 63
2.7 IIMC 64
REVIEW CASE

CC: Anda adalah mahasiswa kedokteran tahun ketiga di bagian dermato-venereologi.


Anda bertemu dengan seorang pasien berusia 25 tahun, M, yang mengeluh adanya
white patch di sekitar left elbow lebih dari 3 tahun dan 6 bulan terakhir kadang-
kadang merasa numbness di tangan kirinya.

Dia tidak pernah merasa itchy pada lesinya. Ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya
di Tangerang (kampung kusta, endemic kusta) . Ayahnya adalah pasien RS Sitanala
(RS Kusta) selama 1 tahun. Pak M memiliki seorang istri dan seorang putra berusia 2
tahun.

Physical examination: Consciousness General appearance Vital Sign compos mentis,


mildly ill Vital signs (BP normal , PR normal, RR normal, T: normal ), General
examination dalam batas normal

Dermatologicalexam :
At regio left elbow: 5 cm diameter well defined hypo pigmented patch and anesthetic.

Neurological exam : tenderness dan enlargement di ulnar nerve and hypesthesia of his
left hand.

Temuan laboratorium dalam batas normal, Pemeriksaan histopatologi dari lesi kulit
menunjukkan nerve fibrils pada dermis dan granuloma dengan Langhans giant cell.

Dilakukan apusan kulit dari lesi kulit, daun telinga kiri dan kanan dan tidak ditemukan
basil tahan asam.

Treatment:
Tn M. diobati dengan rifampisin 600 mg sebulan sekali dan dapson 100 mg daily.
Kasus ini dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten. Pasien diharapkan untuk
menemui dokter pada bulan berikutnya, tetapi dia tidak muncul. Dua bulan kemudian,
dia datang dengan rasa sakit di siku dengan kaku dan mati rasa di tangan kirinya.
Pemeriksaan neurologis: pain, tenderness, pembesaran nervus ulnaris kiri dan
hipestesia tangan kiri. 🡪 inflamasi saraf tepi (neuritis)

Tn M menerima steroid untuk keluhannya dan advise to immobilize his left arm.
Setelah beberapa minggu rasa sakitnya berkurang, tetapi dia merasa numbness pada
jari keempat dan kelimanya. Dia diminta untuk melakukan exercise pada jari-jarinya
untuk menghindari kontraktur/ kekakuan. Istri dan anaknya dalam keadaan sehat dan
tidak ada kelainan kulit. Pak M mendapat MDT-PB sebanyak 6 dosis dan steroid
neuritis selain olahraga untuk menjaga fungsi tangan kirinya.
BAB I

BASIC SCIENCE

1.1 ANATOMI ULNAR NERVE

A. Anatomi Inervasi ekstremitas atas


B. Innervasi Poplitea
Saraf skiatik terpisah menjadi komponen-komponennya di puncak fossa poplitea.
Kursus saraf fibula umum di sepanjang medial perbatasan biceps femoris. Semua
cabang motorik yang timbul dari saraf tibialis, kecuali satu, muncul dari sisi lateral;
akibatnya, dalam operasi lebih aman untuk membedah di sisi medial. Tingkat di mana
saraf sural medial dan lateral bergabung untuk membentuk saraf sural — terjadi tinggi
di sini — cukup bervariasi; bahkan mungkin terjadi pada tingkat pergelangan kaki.
C. Innervasi Ankle
C. Mechanism of Numbness

Aferen fiber di peripheral nerve masuk melalui dorsal root ganglion  menuju
dorsal horn yang berasal dari spinal cord , itu proyeksi polisinaptik dari serat yang
lebih kecil yang berperan dalam nosisepsi, gatal, suhu, kepekaan, dan sentuhan,
akan menuju ke  medulla dan melakukan croos over dan bersinaps dengan
second order neuron di nucleus of gracilis/ nucleus of funiculus cuneatus  pons
 midbrain  ke inti ventral posterolateral (VPL)  sinpas third order neuron di
nukleus thalamus  cortex cerebri  persepsikan ke kaki, wajah dan tangan
D. Mechanism of Numbness cause by Leprosy
1.2 Histologi Peripheral Nerve

A. Schwann cells

Kadang-kadang disebut neurolemmosit, hanya ditemukan di PNS dan berbeda dari


prekursor di puncak saraf. Sel Schwann memiliki interaksi trofik dengan akson dan
penting memungkinkan mielinisasi mereka, seperti oligodendrosit dari SSP. Sel
Schwann: berfungsi untuk memproduksi selubung myelin di saraf perifer, dimana 1
sel schwann hanya bisa menyelubungi 1 bagian axon.
B. Satellite Cells of Ganglia

Juga berasal dari krista neural embrionik, sel-sel satelit kecil membentuk lapisan
penutup yang intim di atas badan sel neuron besar di ganglia PNS. Sel-sel satelit
memberikan efek trofik atau suportif pada neuron-neuron ini, mengisolasi,
memelihara, dan mengatur lingkungan mikro mereka. Sel satelit: sel yang berfungsi
untuk menyokong badan sel neuron di PNS, terletak disekitar badan sel PNS
(terutama di ganglion)
HISTOLOGI KULIT

Kulit terdiri atas epidermis yang merupakan lapisan epithelial yang berasal dari
ectodermal, dermis yang merupakan lapisan jaringan ikat mesodermal, dan jaringan
subkutan atau hypodermis yang merupakan lapisan jaringan ikat longgar yang

biasanya terdiri atas lemak. Fungsi dari kulit adalah untuk proteksi, sensori,
thermoregulasi, metabolik dan sinyal seksual.
Epidermis
Epidermis membentuk perbedaan utama :
1. Kulit tebal (telapak tangan & kaki) : 400 to 1400 μm (1.4 mm)
2. Kulit tipis (other) : 75 to 150 μm
Lapisan epidermis terdiri dari sel
• Stratified squamous keratinized epithelium (keratinocyte)
• Melanocyte
• Antigen-presenting Langerhans cells
• Tactile epithelial cells (Markel cell)
Selain itu, epidermis memiliki 5 lapisan dari bagian dermis hingga ke lapisan terluar
yang terdiri dari
1. Stratum basalis :

● Lapisan tunggal sel kuboid atau kolumnar basofilik , progenitor cell

(regenerasi kulit ; Epidermis manusia diperbarui setiap 15-30 hari, tergantung


pada usia, wilayah tubuh, dan faktor lainnya)
● Keratin sitoskeletal yang terdapat di keratinosit sel-sel bergerak ke atas dan

jumlah serta jenis filamen keratin meningkat sampai mereka mewakili


setengah dari total protein dalam keratinosit superfisial.

● Melanosit – S. spinosum

● Merkel cell mekanoreseptor untuk merasakan sentuhan lembut., Mereka

berlimpah di kulit yang sangat sensitif seperti ujung jari dan di dasar beberapa
folikel rambut.
2. Stratum spinosum :

● Lapisan paling tebal

● Terdiri dari sel-sel polihedral, sintesis keratin

● Disini terdapat zona kombinasi antara lapisan lapisan basal dan spinosa yang

disebut stratum germinativum

● Langerhans cell : Sel penyaji antigen yang disebut sel Langerhans, berasal dari

monosit, mewakili 2% -8% sel di epidermis dan biasanya paling jelas terlihat
di lapisan spinosus.
3. Granular layer :
Terdiri dari 3-5 sel poligonal gepeng yang mengalami differensiasi (skin’s
barrier against water loss & barrier to penetration by most foreign materials.)
4. Stratum lucidum :
hanya pada kulit tebal, Inti dan organel telah hilang, dan sitoplasma hampir
seluruhnya terdiri dari filamen keratin yang dikemas dalam matriks padat
elektron.
5. Stratum corneum :
terdiri dari 15-20 lapis sel gepeng berkeratin, squames mati yang sebagian
besar terdiri dari keratin.

Perbedaan antara kulit tebal dan tipis berada pada lapisan lucidum

Melanocyte
• Merupakan penentu warna kulit
• Mensintesis melanin
• Mensintesis eumelanin yang merupakan pigmen hitam kecoklatan
• Memiliki badan sel bulat yang hemidesmosom dengan lamina basal, dan tidak
desmosom dengan keratinosit yang bersebelahan
• Terdiri atas juluran dendritik yang [anjang dan irreguler dari melanosit yang
bercabang ke dalam epidermis lalu berlajan diantara sel-sel lapisan basal dan
lapisan spinosa dan berakhir dengan invaginasi 5-10 keratinosit yang
bersebelahan
• Secara unstruktural : sel pucat, mitokondria kecil, sisterna pendek RER

Langerhans cell
Dermis

• Terdapat saraf dan Pembuluh darah (difusi nutrisi ke epidermis)


• Dermis mengandung dua sublapisan dengan batas yang tidak jelas
• The thin papillary layer terdiri dari jaringan ikat longgar, dengan serat
kolagen tipe I dan III, fibroblas dan tersebar sel mast, sel dendritik, dan
leukosit.
• Reticular layer (much thicker) : terdiri dari jaringan ikat padat tidak teratur
(terutama berkas kolagen tipe I), dengan lebih banyak serat dan lebih sedikit
sel daripada lapisan papiler. jaringan serat elastis
• Dermis juga kaya akan persarafan.
• Serabut saraf aferen sensorik membentuk jaringan di dermis papiler dan di
sekitar folikel rambut. Serabut saraf sensori yang terdapat di kulit yaitu
• Merkel cells yang merupakan tonic receptor untuk sentuhan halus yang lama
dan untuk merasakan tekstur benda
• Free nerve ending akan merespon terhadap suhu yang tinggi dan renda, nyeri,
gatal dan juga merupakan reseptor taktil
• Meissner corpuscle yang menginisiasi impuls ketika ada sentuhan halus atau
stimulus frekuensi rendah terhadap kulit yang akan merubah bentuknya
sementara
• Pacinian corpuscle akan merasakan dari sentuhan kasar, tekanan, dan getaran
• Krause end bulbs akan merasakan getaran dengan frekuensi rendah
• Rufini corpuscle akan terstimulus ketika ada stretch atau twisting terhadap
kulit

Subcutaneous
Terdiri atas jaringan ikat longgar yang menghubungkan kulit dengan organ sekitar
secara longgar, sehingga masih adanya pergerakan kulit diatas organ tersebut.
Subkutan terdiri atas adipocyte yang berbeda berdasarkan body region, dan ukurannya
pun bergantung dari status gizi seseorang.
1.3 EFLORESENSI
Primary lesion
1. Macule
Lesi datar, berbatas tegas, perubahan warna, Ukuran 🡪 <0.5 cm

2. Papule
Lesi terpalpasi, massa solid, Papule (berbatas tegas) <0.5cm
3. Plaque
Lesi terpalpasi, massa solid, Plaque (kumpulan papul) >0.5cm

4. Nodule
Lesi terpalpasi, massa solid, Nodul >0.5cm
5. Pustule
Lesi terpalpasi, massa liquid, pustule (nanah)

6. Vesikel & Bullae


Lesi terpalpasi, massa liquid
a) Vesicle (mengandung cairan serum <0.5cm)
b) Bula (mengandung serum, darah, >0.5cm)

7. Wheals (hives) / bintik


Lesi kuat, merupakan edematous plaque yang mengalami infiltrasi hingga
dermis berisi air
8. Tumor
Lesi menonjol, solid, >2cm

9. Cyst
Lesi menonjol, mengandung semi cariann

Efloresensi sekunder
• Scale/sisik: Sisik: menumpuk, sel-sel berkeratin, kulit terkelupas, bentuk tidak
beraturan, tebal atau tipis, kering atau berminyak, ukuran bervariasi

• Likenifikasi : Epidermis yang kasar dan menebal akibat gesekan, gatal, atau
iritasi kulit yang persisten sering melibatkan permukaan fleksor ekstremitas
• Keloid : Bekas luka berbentuk tidak beraturan, meninggi, semakin membesar;
tumbuh melampaui batas luka; disebabkan oleh pembentukan kolagen yang
berlebihan selama penyembuhan

• Scar : Jaringan fibrosa tipis hingga tebal yang menggantikan kulit normal
setelah cedera atau laserasi pada dermis

• Excoriation : Hilangnya epidermis; area linier, berlubang, berkerak

• Fissure : Retak linier atau putus dari epidermis ke dermis; mungkin lembab

atau kering
• Erosion : Hilangnya sebagian epidermis; tertekan, lembab, berkilau; mengikuti
pecahnya vesikel atau bula

• Ulcer : Hilangnya epidermis dan dermis; cekung; bervariasi dalam ukuran

• Athropy : Penipisan permukaan kulit dan hilangnya tanda kulit


1.4 MIKROBIOLOGI

Mycobacterium
 Mycobacterium adalah genus basil gram positif yang semuanya menunjukkan
karakteristik pewarnaan tahan asam.
 Ada lebih dari 200 spesies Mycobacterium, termasuk banyak yang saprofit.
Mycobacterium Leprae
 Mycobacterium leprae juga dikenal sebagai Hansen’s bacillus, adalah bakteri
penyebab leprosy (Hansen’s disease).
 Mycobacterium Leprae organisme ini dideskripsikan oleh Hansen pada tahun
1873, Dia menyebabkan leprosy. Ada lebih dari 10 juta kasus leprosy,
terutama di Asia
 Mycobacterium leprae, penyebab leprosy, adalah basil tahan asam yang tidak
tumbuh dalam artificial medium atau kultur jaringan selama beberapa
generasi.

Struktur
Capsule:
 Capsular lipid (surface glycolipids)
- Phthicerol dimycocerosates (PDIM)
- Phenolic glycolipid-1 (PGL-1)
- phosphatidylinositol mannoside (PIM)
 Melindungi enzim dan metabolit bakteri-lisosom

Cell Wall
 20 nm thick
 Terdiri dari peptidoglikan berikatan silang yang melekat pada primer
arabinogalactan
 Outer layer:
- Mycolid acids
- LAM (Lipoarabinomannan)
- Lipopolisakarida & lipopolisakarida protein complexes
- Electron lucent
 Inner layer
- Peptidoglycan
- Electron dense

Cell Membrane
 Responsible for molecules into and out membrane
 Fosfolipid
 Protein MMP-1 & MMP-2

Cytoplasm
 Storage Granule
 DNA
 RNA
Faktor virulensi
 Mycolic acids (long-chain fatty acids) + uramyl dipeptide (from
peptidoglycan) berfungsi granuloma formation; phospholipids induce caseous
necrosis.
 LAM berfungsi menghambat maturasi phagosom & induksi sel proinflamasi.
 PGL-1 + laminin-binding protein berfungsi memfasilitasi invasi ke schwan
cell & binding ke basal lamina peripheral nerve axon units > cell injury and
demyelination of peripheral nerves Invasi & demyelinasi peripheral sensory
nerves > local anesthesia and other changes in the skin depending on the
location and degree of immune response.
- Lipid ini khusus untuk M. leprae dan merupakan faktor virulensi M. leprae
yang paling banyak dipelajari.

Transmisi
 M. leprae tidak terlalu menular
 Penularan lebih sering terjadi di antara kontak serumah
 Penularan diyakini terjadi melalui inhalasi organisme menular
 Penularan melalui gigitan serangga dan inokulasi melalui kulit yang rusak
(atau utuh) tidak dikecualikan
 Orang yang terinfeksi dianggap melepaskan organisme dari selaput lendir
hidung, terutama jika ada ulserasi
 M. leprae dapat bertahan hidup dalam sekret hidung selama lebih dari 36 jam
 Infeksi ulang dapat menyebabkan kasus kusta pada orang tua

Patogenesis
Disease
 Variabilitas individu dalam tingkat respon imun bertanggung jawab atas dua
bentuk utama leprosy dengan spektrum penyakit di antaranya.
 Tuberculoid leprosy (representing high resistance): sdkt M leprae yg terlihat
pd lesi, dgn well-formed granulomas, abundant (melimpah) CD4+ T cells,
extensive epithelioid cells, giant cells, and lymphocytic infiltration.
 Lepromatous leprosy (representing low resistance): kekurangan sel T CD4+,
banyak sel T CD8+, makrofag foamy, dan infiltrasi padat dengan basil
leprosy.
 Leprosy is classified into 6 groups according to modified Ridley and Jopling’s
classification. These groups are T (Tuberculoid Polar), BT (Boderline
Tuberculoid), MB (Mid Borderline), LI (Lepromatous Indeterminate), BL
(Borderline Lepromatous), LL (Lepromatous Polar).

Sign and symptom


 Incubation period: few weeks-5 years but. Bisa selama 20 years or even more
u/ terjadi. Symptom bertahan biasanya selama 1 tahun.
 Tuberkuloid: macules or large, flattened plaques di wajah, trunk, limbs yg
elevasi, tepi eritem, bag tengah kering, pucat, tidak berambut, anesthetic
lesion.
- Penyakit lambat > dgn bukti simultan dari perkembangan dan
penyembuhan yang lambat.
- Krn sedikit > tidak menular.
 Lepromatous: lesi kulit infiltratif, luas, simetris, dan difus, terut. pd wajah,
dgn penebalan looser skin pd bibir, dahi dan telinga.
- Neuropati perifer > deformitas/nonhealing painless ulcers.
- Organisme menyebar scr sistemik, dgn keterlibatan sistem
retikuloendotelial

Diagnosis
 Smears: diagnosis bakteriologis mudah pada kusta lepromatosa di mana basil
berlimpah tetapi mungkin sulit pada kasus tuberkuloid. Namun kehilangan
sensorik selalu ada pada lesi kulit tuberkuloid meskipun mungkin tidak
ditemukan pada makula lepromatosa yang bagaimanapun mengandung basil
tahan asam.
- Diagnosis terdiri dari demonstrasi basil tahan asam pada lesi. Hal ini
ditunjukkan dalam “slit-skin smear” atau dalam biopsi kulit.
- Scrapings dgn surgical blade dari skin/nasal mucosa/biopsy earlobe skin
(dari lesinya > smeared on slide > stained by the Ziehl-Neelsen technique
 Skin testing (Lepromin test) is of no diagnostic value in leprosy.
 PCR: Recently PCR for defection of M. leprae DNA in environmental and
clinical samples has been standardised.

Treatment
 Treatment regimens are different for patients with multiple AFB smear
positive skin lesions (multibacillary) and those in which AFB are difficult to
detect (paucibacillary).
 For multibacillary disease dapsone and clofazimine are combined with
monthly rifampin doses for a year.
 For paucibacillary leprosy dapsone combined with monthly rifampin usually
cures disease when given for 6 months.
BAB II
CLINICAL SCIENCE
2.1 MORBUS HANSEN
A. Definisi
• Leprosy/Kusta adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
infeksi mycobacterium leprae.
Hal ini terutama ditandai dengan proses berbahaya dari infeksi langsung pada
kulit dan saraf dan kerusakan imunologi terkait. Keterlibatan saraf
bertanggung jawab atas ulserasi berulang dan kelumpuhan yang memengaruhi
tangan, kaki, dan mata.
• Kusta adalah infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, yang menginfeksi jaringan kulit mukosa dan saraf tepi,
menyebabkan hilangnya sensasi pada kulit-dengan atau tanpa lesi dermatologi.
WHO menyatakan bahwa setiap individu di negara endemik yang
menunjukkan lesi kulit dengan kehilangan sensori yang pasti atau apusan kulit
positif dapat didiagnosis menderita kusta.
• Timbulnya Kusta merupakan suatu interaksi antara berbagai faktor penyebab
yaitu pejamu (host), kuman (agent), dan lingkungan (environment), melalui
suatu proses yang dikenal sebagai rantai penularan yang terdiri dari 6
komponen, yaitu penyebab, sumber penularan, cara keluar dari sumber
penularan, cara penularan, cara masuk ke pejamu, dan pejamu. kemenkes

B. Epidemiologi
• tingkat prevalensi yang lebih tinggi  di daerah tropis disebabkan oleh faktor
sosial ekonomi.
• Tingkat prevalensi bervariasi: Asia Tenggara memiliki 75% , India, 65% ,
Afrika 12%, dan Amerika 8%
• Pada tahun 1995 (WHO) memperkirakan ada 1,8 juta orang di dunia dengan
kusta aktif
• Terjadi penurunan yang nyata selama beberapa dekade sebelumnya (12-15
juta).
• Pada tahun 2008, WHO melaporkan sekitar 250.000 kasus kusta baru, dan
perkiraan prevalensi telah turun menjadi 213.000.
• Di sebagian besar daerah endemik, hanya 5-10% orang yang terinfeksi
mengembangkan penyakit klinis progresif.
• Anak-anak mungkin merupakan 20-30% dari kasus & Pada orang dewasa,
rasio pria dan wanita adalah 2-3:1.
• kontak pekerjaan (misalnya, petugas kesehatan) memiliki tingkat sensitisasi
tertinggi terhadap M. leprae (58%)kontak rumah tangga (47%)  non-
kontak di daerah endemik (29%)

1. Distribusi Penderita Kusta di Indonesia secara Geografi


• Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil,
dengan jumlah Penderita Kusta baru pada tahun 2017 mencapai 15.910
Penderita Kusta (angka penemuan Penderita Kusta baru 6,07 per 100.000
penduduk).
• Eliminasi Kusta telah dicapai di 24 provinsi (Gambar 2.1) dan 142
Kab/Kota (Gambar 2.2). Walaupun demikian, Penderita Kusta masih
tersebar di ± 7.548 desa/kelurahan/kampung, mencakup wilayah kerja ±
1.975 Puskesmas, di ± 341 Kab/Kota di seluruh Provinsi di Indonesia.
• Diantara tahun 2015-2016 sebanyak 11 provinsi (32,35%) termasuk dalam
beban kusta tinggi sedangkan 23 provimsi lainnya (67,65%) termasuk dalam
beban kusta rendah
• Hampir provinsi di Indonesia bagian timur merupakan daerah dengan beban
kusta tinggi.
• Priode 2015-2016 provinsi jawa timr merupakan satu-satunya provinsi di
bagian barat Indonesia dengan beban kusta tinggi tahun 2017 jawa timur
mengalami penurunan menjadi kategori angka beban kusta rendah.
C. Etiologi
• Penyebab Kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae, untuk pertama kali
ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1873.
• a noncultivable obligate intracel- lular pathogen that mainly damages skin and
periph- eral nerves, is the causative agent of leprosy
• M. leprae adalah gram positif, basil tahan asam dari kompleks Mycobacterium
leprae, yang terdiri dari M. leprae dan M. lepromatosis.
• M. leprae, berukuran 0,5 m × 4,0–7,0 m, adalah basil tahan asam (BTA) dalam
ordo Actinomycetales dan famili Mycobacteriaceae.
• Tes laboratorium menunjukkan bahwa M. leprae tumbuh optimal pada suhu
sekitar 27 hingga 33 C memperkuat teori awal tentang kecenderungan M. leprae
untuk menyebar lebih efisien di daerah tubuh yang lebih dingin termasuk kulit,
saraf yang dekat dengan permukaan kulit dan selaput di saluran pernapasan bagian
atas.

D. Klasifikasi
 Berdasarkan WHO

- paucibacillary (PB)  dimana lima atau < lesi , (-) untuk Acid Fast
Bacili, gangguan saraf hanya 1, hipopigmentasi/eritema, distribusi
asimetris, mati rasa jelas
- multibasiler (MB) Enam atau lebih lesi, Skin smear : (+) untuk Acid
Fast Bacili, gangguan saraf lebih dari 1. distribusi lebih simetris, mati rasa
tidak jelas
 Berdasarkan Skala Ridley-Jopling
• Penyakit Hansen dapat muncul dengan spektrum penyakit klinis yang luas.
Skala Ridley dan Jopling mengklasifikasikan kasus berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologis, imunologis, dan histopatologis.
A. Tuberculoid Leprosy
• Lesi tuberkuloid soliter
• Sedikit jumlahnya (lima atau kurang) dan
• Terdistribusi secara asimetris. Lokasi yang paling umum adalah wajah,
tungkai, atau badan; kulit kepala, aksila, selangkangan, dan perineum
tidak terlibat.
• Lesi dapat berupa hipopigmentasi atau eritematosa dan biasanya
kering, bersisik, dan tidak berambut (Gbr. 17.1).
• Lesi tuberkuloid adalah anestesi atau hipestetik dan anhidrotik, dan
saraf perifer superfisial atau proksimal lesi membesar, lunak, atau
keduanya.
• Keterlibatan saraf : Saraf auricular mayor dan saraf peroneal
superfisial dapat terlihat membesar. Keterlibatan saraf adalah awal dan
menonjol pada kusta tuberkuloid, menyebabkan perubahan
karakteristik pada kelompok otot. Mungkin ada atrofi otot interoseus
tangan, dengan pengecilan tonjolan tenar dan hipotenar, kontraktur
jari, kelumpuhan otot wajah, dan footdrop. Kerusakan saraf wajah
secara dramatis meningkatkan risiko keterlibatan okular dan
kehilangan penglihatan.
Histopatologi :
Kusta tuberkuloid menunjukkan epidermis yang biasanya normal dan zona bening
subepidermal tidak ada. Ada proses granulomatous dermal noncaseating yang
terutama terdiri dari makrofag aktif (sel epiteloid) dengan sel T CD4+ di tengah sel
epiteloid, sel T CD8+ di mantel yang mengelilingi granuloma, dan sel raksasa tipe
Langhans. Granuloma dapat menghubungi epidermis dan sering tersusun di sekitar
saraf dan pembuluh darah. Keterlibatan saraf perifer, infiltrasi seluler kelenjar
keringat, dan invasi otot pilorum arrectores oleh infiltrasi granulomatosa sering
terjadi. Tidak ada basil tahan asam atau jika ada ditemukan lebih sering di dalam
saraf perifer, otot arrectores pilorum, atau bahkan granuloma.
B. Borderline Tuberkuloid (BT) Leprosy.
• Lesi BT mirip dengan lesi tuberkuloid,
• lebih kecil dan lebih banyak (Gbr. 17.2).
• Lesi satelit di sekitar makula atau plak besar merupakan ciri khas.

Histopatologi :
Histopatologi bentuk borderline-tuberkuloid dapat dibedakan dari kusta
tuberkuloid dengan adanya zona grenz subepidermal. Secara umum, tidak ada
granuloma yang terdefinisi dengan baik dengan kumpulan sel epiteloid yang
terorganisir, dan ada penurunan frekuensi limfosit dan sel Langhans yang langka
dengan basil tahan asam yang langka.
C. Borderline Borderline (BB) Leprosy.
• Lesi kulit sangat banyak (tetapi dapat dihitung) dan terdiri dari plak
merah berbentuk tidak beraturan.
• Lesi satelit kecil dapat mengelilingi plak yang lebih besar.
• Lesi bersifat umum tetapi asimetris.
• Keterlibatan saraf : saraf mungkin menebal dan lunak, tetapi anestesi
hanya sedang pada lesi.
Histopatologi :
Di borderline-borderline, terdapat agregat sel epiteloid, limfosit
terdispersi yang langka, tidak ada sel raksasa berinti banyak Langhans,
dan peningkatan jumlah basil tahan asam.

D. Borderline Lepromatous (BL) Leprosy.


• Lesinya simetris dan banyak (terlalu banyak untuk dihitung) dan
mungkin termasuk makula, papula, plak, dan nodul (Gbr. 17.3).
• Jumlah lesi lepromatous yang kecil melebihi jumlah lesi tipe
borderline yang lebih besar.
• Keterlibatan saraf ; saraf membesar, lunak, atau keduanya, dan penting
untuk dicatat bahwa keterlibatannya simetris.
• Penderita biasanya tidak menunjukkan ciri-ciri kusta lepromatosa full-
blown, seperti madarosis (kehilangan alis mata), keratitis, ulserasi
hidung, dan fasies leonine.

Histopatologi ;
Kusta borderline-lepromatous menunjukkan zona grenz subepidermal,
kumpulan makrofag, kadang-kadang sel epiteloid dengan sitoplasma
yang banyak, dan beberapa sel berbusa, dengan sedikit limfosit.
Sejumlah besar basil dan beberapa globi dapat ditemukan

E. Lepromatosa Leprosy
• Berkembang setelah kusta tak tentu atau dari penurunan kusta
borderline.
• Lesi kulit kusta lepromatosa terutama terdiri dari makula pucat
(Gambar 17.4) atau infiltrasi difus pada kulit.

• Kusta lepromatosa dapat dibagi menjadi bentuk polar (LLp) dan


bentuk subpolar (LLs);
• Lesi lepromatosa makula tersebar secara difus dan simetris di seluruh
tubuh.
• Makula tuberkuloid besar dan sedikit jumlahnya, sedangkan makula
lepromatosa kecil dan banyak.
• Makula lepromatosa tidak jelas, tidak menunjukkan perubahan tekstur
kulit, dan berbaur dengan kulit di sekitarnya.
• Sedikit atau tidak ada kehilangan sensasi pada lesi, tidak ada penebalan
saraf, dan tidak ada perubahan keringat.
• Kerontokan rambut yang lambat dan progresif terjadi dari sepertiga
bagian luar alis, kemudian bulu mata, dan terakhir badan; Namun,
rambut kulit kepala biasanya tetap tidak berubah.
Histopatologi :
Pada kusta lepromatosa terdapat epidermis normal hingga rata, zona grenz
subepidermal, agregat dan lembaran makrofag berbusa yang bercampur
dengan limfosit CD8+ dan sel plasma yang dominan di seluruh dermis dan
ke dalam lemak subkutan. Sejumlah besar basil tahan asam dan globi
ditemukan dalam makrofag berbusa (sel Virchow), saraf, otot arrectores
pilorum, epitel folikel, dan kelenjar keringat.

F. Histoid Leprosy
• Kusta histoid adalah bentuk yang tidak biasa dari penyakit Hansen
multibasiler
• Lesi kulit muncul sebagai papul dan nodul besar, kuning-merah,
mengkilap di dermis atau jaringan subkutan.
• Lesi muncul di latar belakang kulit normal.
• Ukurannya bervariasi dari diameter 1–15 mm, dan dapat muncul di
mana saja di tubuh tetapi menonjol di bokong, punggung bawah,
wajah, dan tonjolan tulang.
Histopatologi :
Kusta histoid ditandai dengan atrofi epidermal, zona grenz
subepidermal, dan dermis yang menunjukkan lembaran sel-sel yang
sebagian besar berbentuk gelendong dengan piknosis nuklear dan
sitoplasma berbusa, bervakuola, dan tersusun dalam pola storiform.
Beberapa sel berbentuk poligonal, makrofag, dan sel inflamasi hadir.
Beberapa kasus mungkin menunjukkan pseudokapsul. Lesi
menyerupai tumor fibrohistiocytic
E. PATOGENESIS
PATOFISIOLOGI

F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda kardinal (min.1) :
1. Lesi hipopigmentasi/eritema dengan berkurang/hilangnya sensasi
2. Pembesaran/penebalan saraf perifer dan gangguan fungsi
sensorik/motor/autonom
3. (+) BTA skin smear
Tanda-Tanda Suspek/Tersangka Kusta
1) Tanda-Tanda Pada Kulit
a) bercak kulit yang eritema atau hipopigmentasi (gambaran yang paling sering
ditemukan), datar atau menimbul, dapat disertai dengan tidak gatal dan
mengkilap atau kering bersisik.
b) adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat (anhidrosis) dan atau alis mata
tidak berambut (madarosis).
c) bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping telinga.
d) timbul lepuh atau luka tanpa rasa nyeri pada tangan dan kaki.
Tanda-tanda pada saraf
a) nyeri tekan dan/atau spontan pada saraf.
b) rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota gerak.
c) kelemahan anggota gerak dan/atau kelopak mata. ) adanya disabilitas
(deformitas).
e) luka (ulkus) yang sulit sembuh.

G. DIAGNOSIS
Penjelasan gambar diatas :
Alur Penemuan Dini Penderita Kusta tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penemuan Penderita Kusta diawali dengan pemeriksaan bercak kulit yang
dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya pemeriksaan bercak kulit akan dikonfirmasi
oleh tenaga kesehatan terlatih untuk mencari tanda utama Kusta, yaitu bercak kulit
mati rasa, penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi yang diperoleh dari
pemeriksaan klinis, dan Basil Tahan Asam (BTA) positif
pada kerokan kulit pada bercak yang diperoleh dari pemeriksaan laboratorium.
2. Jika ditemukan salah satu saja dari tanda utama maka diagnose Kusta dapat
ditegakkan. Selanjutnya klasifikasi Kusta ditentukan berdasarkan jumlah bercak
Kusta, jumlah saraf tepi yang menebal dan disertai gangguan fungsi dan hasil
pemeriksaan BTA.
3. Jika bercak Kusta berjumlah 1-5, penebalan saraf tepi dan disertai gangguan fungsi
hanya satu saraf serta BTA negative pada kerokan kulit, maka klasifikasinya adalah
Pausibasiler
(PB).
4. Jika jumlah bercak Kusta lebih dari 5, penebalan saraf tepi dan disertai gangguan
fungsi lebih dari satu saraf serta BTA positif pada kerokan kulit, maka klasifikasinya
adalah Multibasiler (MB).
5. Selanjutnya Penderita Kusta diberikan pengobatan sesuai klasifikasi Kusta.
6. Jika dari pemeriksaan klinis, belum ditemukan tanda utama, namun ada bercak
kulit yang mencurigakan, riwayat menetap di wilayah dengan riwayat Penderita
Kusta, riwayat kontak erat dan lama dengan orang yang mengalami Kusta, maka
orang tersebut dinyatakan sebagai tersangka/suspek Kusta. Pada tersangka/suspek
Kusta dilakukan pemeriksaan kerokan jaringan kulit oleh tenaga kesehatan
Puskesmas. Jika tenaga kesehatan Puskesmas tidak ada, maka suspek diberikan
edukasi tentang keadaannya dan lakukan observasi 3-6 bulan untuk kemudian
diperiksa kembali. Selanjutnya apabila selama observasi 3-6 bulan ditemukan tanda
utama pada tersangka/suspek Kusta, maka diagnosa Kusta dapat ditegakkan dan
diberikan pengobatan sesuai klasifikasi.
7. Untuk tersangka yang tetap menunjukkan tanda meragukan maka dianjurkan untuk
dirujuk ke layanan spesialistik.
8. Jika dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan tanda utama dan tanda mencurigakan,
serta tidak ada riwayat menetap di wilayah dengan Penderita Kusta ataupun riwayat
kontak lama dengan orang yang mengalami Kusta maka orang tersebut dapat
langsung dinyatakan bukan Kusta

Untuk menetapkan diagnosis Kusta, perlu dicari tanda-tanda utama (cardinal signs),
yaitu:
a. kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa
(anestesi).
b. penebalan saraf tepi disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan saraf
tepi (neuritis perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf ini dapat berupa:
1) gangguan fungsi sensoris: anestesi
2) gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis otot
3) gangguan fungsi otonom: kulit kering atau anhidrosis dan terdapat fisura
c. adanya Basil Tahan Asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Diagnosis Kusta ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda- tanda utama di atas.
Pada dasarnya sebagian besar Penderita Kusta dapat di diagnosis dengan pemeriksaan
klinis dan/atau pemeriksaan bakteriologis dan penunjang lain. Jika masih ragu maka
dianggap sebagai Penderita Kusta yang dicurigai (suspek/tersangka).
Anamnesis
 kapan timbul bercak,
 apakah ada anggota kelurga yang mempunyai keluhan yang sama,
 apakah ada kontak dan
 apakah mempunyai riwayat pengobatan sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Panduan praktik klinis PERDOSKI 2021
Pemeriksaan fisik meliputi:6(1C)
1. Inspeksi
Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi
dan morfologi) harus diperhatikan.
2. Palpasi
• Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki.
• Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri tekan,dan
nyeri spontan).
3. Tes fungsi saraf
• Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu
• Tes otonom
• Tes motoris: voluntary muscle test (VMT)
Pemeriksaan
Pemeriksaan yang teliti dan lengkap sangat penting dalam menegakkan diagnosa
Kusta. Pemeriksaan tersebut meliputi:
a. anamnesis, termasuk riwayat kontak
b. pemeriksaan fisik
1) pemeriksaan kulit/dermatologis pemeriksaan kulit/dermatologis merupakan
pemeriksaan bercak putih mati rasa atau merah pada kulit.
2) pemeriksaan saraf tepi
pemeriksaan saraf tepi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara meraba saraf
tepi antara lain saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis posterior. Pemeriksaan
fungsi saraf dilakukan secara sistematis pada mata, tangan dan kaki

Pemeriksaan penunjang
Panduan praktik klinis PERDOSKI 2021
Pemeriksaan Penunjang1,6(1C)
1. Bakterioskopik: sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen. (1C)
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan melalui kerokan jaringan kulit (skin smear) yaitu
pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui sayatan dan kerokan jaringan kulit yang
kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat Mycobacterium leprae.
2. Bila diagnosis meragukan, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi dan
histopatologi, serta pemeriksaan serologi (PGL-1) atau PCR. (2C)
REAKSI KUSTA
H. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Bahkan ada istilah yang menyebutkan Kusta sebagai peniru terhebat (the greatest
imitator) dalam penyakit kulit. Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan Kusta
antara lain:
1. bercak eritem berskuama: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, tinea
korporis.
2. Bercak hipopigmentasi dengan skuama: pitiriasis versicolor, pityriasis alba.
3. Bercak hipopigmentasi tanpa skuama: vitiligo.
4. Papul atau nodul: neurofibromatosis, prurigo nodularis.

I. KOMPLIKASI
a. Erythema nodusum leprotum (ENL)
b.Chronic disability (hands, feet, or eye)
c. Venous insufficiency: statis dermatitis, leg ulcers
d.Destruction of joints
J. MANAJEMEN
(hunters tropical medicine ed10)

Pengobatan Secara Umum

Pengobatan Kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.

 MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat anti Kusta, salah satunya Rifampisin
sebagai anti Kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti Kusta lain
bersifat bakteriostatik.
- MDT tersedia dalam bentuk 4 macam blister MDT sesuai dengan kelompok umur
1. PB dewasa
2. MB dewasa
3. PB anak
4. MB anak

Tata cara minum MDT:

1. Dosis hari pertama pada setiap blister MDT diminum di depan petugas saat
Penderita Kusta datang
2. Selanjutnya diminum di rumah dengan pengawasan keluarga.

Pengobatan Kusta dengan MDT bertujuan untuk:

a. memutuskan mata rantai penularan

b. mencegah resistensi obat

c. meningkatkan keteraturan berobat

d. mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah bertambahnya disabilitas yang


sudah ada sebelum pengobatan

Kelompok orang yang membutuhkan MDT meliputi:

1. Penderita Kusta yang baru didiagnosa Kusta dan belum pernah mendapat
MDT.
2. Penderita Kusta ulangan yaitu Penderita Kusta yang mengalami hal-hal di
bawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default/bawaan (dapat PB maupun MB)
c. Pindah berobat (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh


WHO:
A. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB)
Pengobatan Tipe PB diberikan dosis berdasarkan golongan umur sesuai tabel di
samping.
Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang dapat
diminum selama 6–9 bulan.
B. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB)

Pengobatan Tipe MB diberikan dosis berdasarkan golongan umur sesuai tabel di


samping.
Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 12 blister yang dapat
diminum selama 12-18 bulan.
Efek Samping MDT dan Penanganannya
Pengobatan pada Penderita Kusta dengan Keadaan Khusus

a. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu hamil/menyusui dan anaknya

b. Tuberkulosis: bila seseorang menderita Tuberkulosis (TB) dan Kusta, maka


pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis
Rifampisin sesuai dosis untuk Tuberkulosis:

1) untuk penderita TB yang menderita Kusta tipe PB untuk pengobatan Kusta


cukup ditambahkan Dapson 100 mg,
2) untuk penderita TB yang menderita Kusta tipe MB Pengobatan Kusta cukup
dengan Dapson dan Klofazimin

c. Untuk Penderita Kusta PB yang alergi terhadap Dapson, Dapson dapat diganti
dengan Klofazimin.

d. Untuk Penderita Kusta MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya


dengan dua macam obat saja, yaitu Rifampisin dan Klofazimin

e. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Dapson (contoh Sindrom Dapson/SD)
Penderita Kusta MB melanjutkan terapi dengan Rifampisin dan Klofazimin saja
sampai memenuhi regimen 12 bulan.

f. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Rifampisin mereka mendapat regimen 24
bulan sebagai berikut:

1) Klofazimin 50 mg ditambah 2 dari obat berikut-Ofloksasin 400 mg atau


Minosiklin 100 mg atau Klaritomisin 50 mg, setiap hari - untuk 6 bulan.

2) kemudian dilanjutkan dengan Klofazimin 50 mg ditambah Ofloksasin 400 mg


atau Minosiklin 100 mg, setiap hari selama 18 bulan.

g. Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin

MDT MB 12 bulan tapi Klofazimin diganti Ofloksasin 400 mg per hari atau
Minosiklin 100 mg per hari atau Rifampisin 600 mg per bulan, Ofloksasin 400 mg
per bulan dan Minosiklin 100 mg per bulan, selama 24 bulan.

Upaya mengatasi dan mengendalikan faktor pencetus terjadinya reaksi Kusta:

1. Memperhatikan status gizi baik dengan memenuhi konsumsi gizi seimbang


2. Pemeriksaan gigi
3. Pemberian obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 untuk membantu
mengurangi dampak efek samping obat
4. Pemberian obat cacing dosis tunggal sesuai berat badan
5. Penanganan infeksi lain
6. Pemberian konseling

Upaya Penanganan Reaksi Kusta


(fitzpatrick 9Ed 2019)

- Penanganan reaksi Kusta yang cepat dan tepat akan mencegah disabilitas pd
penderita kusta.
- Penanganan reaksi Kusta dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terdiri atas dokter
dan tenaga kesehatan lain yang terlatih dalam penanganan Kusta.
 Penanganan Untuk Reaksi Ringan

1) Berobat jalan, istirahat dirumah.

2) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.

3) Mencari dan menghilangkan faktor pencetus.

4) Jika dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah.

 Penanganan Untuk Reaksi Berat

1) Mobilisasi lokal/istirahat di rumah.

2) Pemberian analgesik, sedatif.

3) Mencari dan menghilangkan faktor pencetus.

4) Jika dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis tidak berubah.

5) Reaksi tipe 1 dan tipe 2 berat diobati dengan prednison sesuai skema.

6) Bila ada indikasi rawat inap Penderita Kusta dikirim ke rumah sakit.

7) Reaksi tipe 2 berat berulang diobati dengan prednison dan Klofazimin

Pada Penderita Kusta dgn reaksi berat  diperlukan pengisian Form Evaluasi
Pengobatan Reaksi Berat Form ini diisi rutin setiap 1-2 minggu  u/
mengevaluasi kondisi Penderita Kusta

Skema Pemberian Prednison u/ Reaksi tipe 1 dan tipe 2


Pada Orang Dewasa Reaksi Tipe 1 dan 2 Berat

1) 2 minggu I : 40 mg/hari (1 x 8 tab) pagi hari sesudah makan

2) 2 minggu II : 30 mg/hari ( 1 x 6 tab) pagi hari sesudah makan

3) 2 minggu III : 20 mg/hari (1 x 4 tab) pagi hari sesudah makan

4) 2 minggu IV : 15 mg/hari (1 x 3 tab) pagi hari sesudah makan

5) 2 minggu V : 10 mg/hari ( 1 x 2 tab) pagi hari sesudah makan

6) 2 minggu VI : 5 mg/hari (1 x 1 tab) pagi hari sesudah makan

Sebelum menurunkan dosis Prednison, kondisi Penderita Kusta perlu dievaluasi.


Apabila ada nyeri saraf, sebaiknya dicari dosis awal untuk Penderita Kusta
tersebut dengan memeriksa ulang setelah 1 minggu, bila tidak ada perbaikan
dosis dinaikkan menjadi 50 mg sampai 60 mg/hari. Dosis awal ini dipertahankan
selama 2 minggu.

Efek Samping Prednison (Kortikosteroid)

Penghentian prednison secara tiba-tiba mengakibatkan:

1) Demam

2) Nyeri otot

3) Nyeri sendi

4) Malaise

Pemberian prednison terus-menerus mengakibatkan:

1) Gangguan cairan dan elektrolit


2) Hiperglikemi
3) Mudah infeksi
4) Perdarahan atau perforasi pada penderita tukak lambung
5) Osteoporosis
6) Cushing Syndrome: moon face, obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut
berlebihan, timbunan lemak supraklavikuler.
Kontra indikasi pemberian Prednison:

1. Hipertensi
2. TBC
3. Diabetes melitus
4. Tukak lambung berat
5. Infeksi berat.

Pemberian Klofazimin  Reaksi tipe 2 berat berulang  prednison + Klofazimin

- Klofazimin baru akan menunjukkan khasiatnya dalam mengatasi peradangan


setelah lebih dari 4 minggu, sebelum itu efek anti radang hanya didapat dari
prednison.

Jenis reaksi yang membutuhkan tambahan klofazimin:

1) Reaksi Tipe II (ENL eritema nodosum leprosum) berat berulang:


 Episode reaksi lebih satu kali
 ENL berat dengan dosis prednison naik turun
2) Reaksi ENL berat setelah RFT Dosis untuk orang dewasa adalah 3 x 100 mg/hari
selama 2 bulan. Kemudian dosis diturunkan menjadi 2 x 100 mg per hari selama 2
bulan, dan kemudian diturunkan menjadi 100 mg per hari selama 2 bulan.
*Jika Penderita Kusta masih dalam pengobatan MDT, maka dosis Klofazimin
harus disesuaikan dengan dosis di atas.

Management Kasus Pasien  pasien diberikan Rifampicin & Dapsone


1. Rifampicin
 Rifampin/Rifampicin  termasuk kedalam rifamycins (antibiotik macrocyclic yg
mirip secara structural)  sebagai oral, first line, untuk tuberculosis
 merupakan semisynthetic derivative dari rifamycin, antibiotik yang diproduksi
oleh Amycolatopsis rifamycinica, yg sebelumnya bernama Streptomyces
mediterranei.
 Memiliki antimicrobial activity yg luas dibanding isoniazid
 Tidak diberikan sebagai agen tunggal dalam pengobatan tuberkulosis aktif
Mechanism of Action
Memblok transkripsi RNA dengan berinterasik dengan β subunit mycobacterial DNA-
dependent RNA polymerase
Indikasi
Bersifat bactericidal  untuk intracellular & extracellular mycobacteria, termasuk M.
tuberculosis, dan NTM, seperti M. kansasii dan Mycobacterium avium complex
(MAC).
 Efektif melawan organisme gram-positive dan gram-negative organisms seperti
Escherichia coli, Pseudomonas, Proteus indole-positif dan indole-negatif, dan
Klebsiella
 Profilaksi untuk meningitis yg disebabkan meningococci atau Haemophilus
influenzae.
 Untuk M. Leprae (memiliki bactericidal effect).
Dapat terjadi Resistensi  Disebabkan oleh mutasi pada afinitas gen RNA
polimerase yang bergantung pada DNA bakteri untuk obat tersebut.
Pharmacokinetic
 Absorption : adequate setelah pemeberian secara oral.
 Distribution : terjadi keseluruh cairan tubuh dan organ. Konsentrasi pada CSF
bervariasi, dapat 10-20% dari konsentrasi darah.
 Obat dibawa oleh hati dan mengallami enterohepatic recycling.
 Dapat menginduksi hepatic cytochrome P450 enzymes dan transporters 
menyebbakan banyak interaksi obat.
 Rifamycins dimetabolisme oleh microsomal B-esterases dan cholinesterases.
 Elimination half life : selama 1-2 minggu pertama pemberian dosis.
 Elimination rifampin dan metabolitesnya : melalui bile dan feces, dibersihkan
dalam urin (dalam presentasi kecil).

Notes : Dieksresikan terutama melalui liver ke bile  Kemudian mengalami


enterohepatic recirculation, dengan sebagian besar dieksresikan sebagai deacylated
metabolite dalam feces dan sejumlah kecil dieksresikan dalam urin
Efek Samping
 Reaksi paling umum termasuk mual, muntah, dan ruam.
 Hepatitis dan kematian  akibat liver failure
 Jika digunakan bersama dengan isoniazid dan pirazinamid  hepatic dysfunction
 Harus digunakan hati2 pada pasien  usia tua, pecandu alkohol, atau memiliki
chronic liver disease
 Ketika diberikan secara intermiten dan dosis tinggi  flu-like syndrome, fever,
chills, dan myalgia, dapat meluas jadi acute renal failure, hemolytic anemia, dan
shock.
 Rifampisin memberi  warna oranye pada urin, keringat, dan air mata (soft
contact lenses dapat terwarna secara permanen). Efek samping lain : ruam,
trombositopenia, dan nefritis. Dapat menyebabkan cholestatic jaundice dan
hepatitis(kadang2)
Administration : oral / intravenous
Kontraindikasi
 Jika ada gejala hepatotoksisitas (nausea, vomiting, abdominal pain, worsening
LFTs, pruritus)  dosis harus dikurangi/dihentikan
 Rifampisin harus dihentikan jika alanine aminotransferase (ALT) meningkat
3xlipat dari batas normal (dengan gejala hepatitis jaundice, abdominal pain,
nausea, anorexia)
 Monitoring pada : diabetes, malabsorption syndromes, HIV, atau populasi usia
lanjut.
Dosis :
Untuk Leprosy
 dosis 600 mg per bulan dapat diberikan dalam terapi kombinasi.
2. Dapsone (diaminodiphenylsulfone)
 broad-spectrum agent dengan efek antibacterial, antiprotozoal, dan antifungal.
 Seperti sulfonamida,  menghambat sintesis folat.
MOA
analog struktural PABA dan inhibitor kompetitif sintase dihydropteroate (folP1/P2) di
jalur folat. Efek anti-inflamasi dapson terjadi melalui inhibisi kerusakan jaringan oleh
neutrofil. Dapson menginhibisi aktivitas myeloperoxidase neutrofil dan respiratory
burst, dan menghambat aktivitas enzim lisosom neutrofil. Dapsone dapat bertindak
sebagai free-radical scavenger yang dihasilkan oleh neutrofil, dan dapat menghambat
migrasi neutrofil ke lesi inflamasi.

Administration : oral.
Indikasi
Efek
a. Antibacterial  bacteriostatic against M. leprae
b. Antiparasitic.
 Efektif terhadap Plasmodium falciparum L
 Toxoplasma gondii tachyzoites
c. Antifungal  Efektif terhadap fungus Pneumocystis jiroveci.
 Jika dikombinasikan dengan chlorproguanil  untuk mengobati malaria.
 Untuk infeksi P. jiroveci dan prophylaxis
 Prophylaxis untuk T. gondii
 Efek anti-inflammatory  pemphigoid, dermatitis herpetiformis, linear IgA
bullous disease, relapsing chondritis, dan ulcers disebabkan oleh brown recluse
spider.

Resistensi dapat muncul, misalnya pada lepromatous leprosy, terutama jika dosis
rendah diberikan. Maka, kombinasi dapsone, rifampin, dan clofazimine
direkomendasikan untuk terapi awal lepromatous leprosy.
Kontraindikasi
 hypersensitivity terhadap dapsone atau derivatives termasuk agranulocytosis dan
hypersensitivity syndrome.
 Kematian akibat agranulocytosis, aplastic anemia, dan blood dyscrasias lainnya
 allergy pada sulfonamide antimicrobials, significant cardiopulmonary disease,
significant liver atau renal function impairment, atau pre-existing peripheral
neuropathy.
 Untuk pengobatan wanita yang sedang hamil  obat kategori C. Oleh karena itu,
harus digunakan dengan hati-hati hanya jika manfaatnya lebih besar daripada
risikonya.
Pharmacokinetic
 Administration : oral, absorption selesai
 Sulfones  diabsorbsi dengan baik dari usus dan didistribusikan secara luas
seluruh cairan tubuh dan jaringan.
 Eliminasi t 1/2 : 20–30 jam.
 half-life : 1–2 hari, dan obat cenderung tertahan di kulit, otot, hati, dan ginjal
 Dapsone mengalami N-asetilasi oleh NAT2. N-Oksidasi menjadi dapsone
hydroxylamine melalui CYP2E1 dan pada tingkat yang lebih rendah oleh CYP2C.
Dapsone hydroxylamine memasuki sel darah merah, menyebabkan pembentukan
methemoglobin. Sulfon dapat bertahan hingga 3 minggu di kulit dan otot dan
terutama di hati dan ginjal. Reabsorpsi usus sulfones diekskresikan dalam empedu
 Eksresi : Sekitar 70%–80% diekskresikan dalam urin sebagai mono-N-
glukuronida dan mono-N-sulfamat yang labil asam.
 Sulfones  diekskresikan ke empedu dan diserap kembali di usus.

Dosis Untuk Leprosy


 dewasa biasa pada leprosy adalah 100 mg setiap hari.
Efek Samping
 Hemolysis  terutama jika mereka mengalami defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase. Methemoglobinemia
 headache, nervousness, insomnia, blurred vision, paresthesias, reversible
peripheral neuropathy, drug fever, hematuria, pruritus, psychosis, dan ruam kulit.
 infectious mononucleosis-like syndrome
 erythema nodosum leprosum  selama terapi lepromatous leprosy
3. MDT (Multi drug therapy)
Definisi : kombinasi 2/lebih obat anti kusta  Rifampisin sebagai anti Kusta yang
bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti Kusta lain bersifat bakteriostatik
Digunakan untuk  tipe PB maupun MB.
Tersedia dalam 4 macam blister MDT  sesuai dengan kelompok umur (PB
dewasa, MB dewasa, PB anak dan MB anak)

Cara minum MDT :


1. dosis hari pertama MDT diminum di depan petugas saat Penderita Kusta datang
atau bertemu
2. selanjutnya diminum di rumah dengan pengawasan keluarga
Notes: Disabilitas yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki
dengan MDT.
Jika tidak teratur : maka kuman Kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT,
sehingga gejala penyakit menetap, bahkan memburuk.
Indikasi
Penderita Kusta yang baru didiagnosa Kusta dan belum pernah mendapat MDT.
Penderita Kusta ulangan yaitu :
1) relaps
2) masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
3) pindah berobat (pindah masuk)
4) ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO :
a. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB)

Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang dapat
diminum selama 6–9 bulan.
b. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB)
Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 12 blister yang dapat
diminum selama 12-18 bulan.
Pada pasien multibacillary : ada 3 jenis bacilli yg dapat dibedakan
 fully drug‐sensitive bacteria
 drug‐resistant mutants dan small population of ‘persisters’,
 dormant non‐multiplying bacilli

.
Notes : Clofazimine
 brick red, fat‐soluble crystalline dye (pewarna kristal berwarna merah bata yang
larut dalam lemak).
 Memiliki efek anti inflamasi, yg berguna dalam pengobatan reaksi ENL
 Konsentrasi obat yg tinggi ditemukan di intestinal mucosa, mesenteric lymph
nodes dan lemak tubuh.
 Efek samping : perubahan warna kulit, mulai dari merah menjadi ungu-hitam,
tingkat perubahan warna tergantung pada dosis dan jumlah infiltrasi leprous.
Pigmentasi biasanya memudar dalam waktu 6-12 bulan setelah menghentikan
clofazimine, walaupun bekas perubahan warna dapat bertahan hingga 4 tahun.
Urine, sputum dan keringat dapat menjadi merah muda. Dapat menghasilkan
ichthyosis yg khas pada tulang kering dan lengan bawah.
 Efek samping Gastrointestinal : mulai dari keram ringat-diare dan penurunan berat
badan  dapat terjadi akibat deposisi clofazimine crystal di dinding usus kecil.
Efek Samping
.Komplikasi
Reaction :
suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit Kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen-antibodi (Humoral respons) yang
dapat merugikan Penderita Kusta, terutama pada saraf tepi yang bisa menyebabkan
gangguan fungsi (cacat) yang ditandai dengan peradangan akut baik di kulit maupun
saraf tepi.
Dapat terjadi pada: sebelum pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah
pengobatan.
Pencetus terjadinya reaksi Kusta misalnya:
 Penderita Kusta dalam keadaan kondisi lemah
 Kehamilan dan setelah melahirkan (masa nifas)
 Sesudah mendapat imunisasi
 Infeksi (seperti malaria, infeksi pada gigi, bisul, dan lain-lain)
 Stress fisik dan mental
 Kurang gizi
 Pemakaian obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh.
Dari sumber lain : Terapi antibiotik, infeksi penyerta, vaksinasi, kehamilan, vitamin
A, iodida, dan bromida.
Jenis
a. reaksi tipe 1  disebabkan oleh peradangan imun yang dimediasi sel di dalam
lesi kulit yang ada. Biasanya terjadi pada borderline leprosy (BT, BB, BL).
b. reaksi tipe 2  dimediasi oleh kompleks imun dan terjadi pada pasien
lepromatous (BL, LL).

1. Type 1 Reactions (Reversal, Lepra, & Downgrading Reactions) ((Jopling’s


Type I Reaction)
Ditandai dengan :
 muncul dengan peradangan pada lesi yang ada
 Lesi membengkak, menjadi eritematosa, dan terkadang lunak, menyerupai
selulitis.
 Dapat terjadi ulserasi
 tidak memiliki gejala sistemik, seperti demam, menggigil, atau arthralgia.
 Neuritis  ringan hingga parah, dan berpotensi berbahaya, terutama jika
melibatkan banyak saraf.
Notes : Reversal reaction  terjadi di dalam saraf dapat menyebabkan hilangnya
fungsi saraf secara tiba-tiba dan kerusakan permanen pada saraf tersebut.  sehingga
dapat darurat dan saraf yang terkena membesar dan lunak.
Histology
peningkatan diferensiasi epiteloid makrofag, peningkatan limfosit, Langhans-type dan
foreign-body giant cells (sering bercampur), penebalan epidermis, dan, peningkatan
bakteriolisis (kadang-kadang).

2. Type 2 (ENL) reactions (Jopling’s Type Ii Reaction) :


Ditandai dengan :
 ENL : adalah kelainan sistemik yang menyebabkan demam dan malaise dan dapat
disertai dengan uveitis, daktilitis, artritis, neuritis, limfadenitis, miositis, dan
orkitis.
 ENL  bermanifestasi sebagai nodul merah yang nyeri pada wajah dan
permukaan ekstensor ekstremitas.
 neuritis, keratitis, iritis, sinovitis, nefritis, hepatosplenomegali, orchitis, dan
limfadenopati.
 Lesi akut muncul dan mengelupas, memudar selama beberapa hari
Histologi
 Pola "bottom-heavy"  menunjukkan gradien sel inflamasi, sedikit di papila dan
berat pada deep dermis atau subkutis.
 pan-dermal infiltrate dengan edema pada papillary dermis
 neutrofil “signature” cells
 peningkatan limfosit, penebalan epidermis, pannikulitis lobular, dan fibrosis.
3. Lucio Reaction
 Terjadi pada diffuse lepromatous leprosy (DLL) tipe “la bonita”.
 Komplikasi umum leprosy  timbul dari peripheral nerve injury, venous
insufficiency, scarring.
 Exposure Keratitis  dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk mata
kering, insensitivitas kornea, dan lagophthalmos.
 Keratitis tsb dan anterior chamber lesions (termasuk keterlibatan saraf iris, sklera
atau kornea)  dapat menyebabkan kebutaan.
 Insufisiensi vena, akibat keterlibatan endothelial katup vena dalam 
menyebabkan dermatitis stasis dan ulkus kaki.
 Destruksi sendi (charcot joints)  dapat terjadi karena hilangnya sensasi
protective pain sensation.
 Keterlibatan saraf simpatis  menyebabkan penurunan hidrosis, menyebabkan
telapak tangan dan kaki kering.
Ditandai dengan :
 bercak eritematosa berbentuk tidak teratur yang menjadi gelap dan sembuh, atau
membentuk bula dan nekrosa, meninggalkan deep painful ulcers yang lambat
sembuh. Gangguan sistemik parah dan bisa berakibat fatal.
Management Untuk Reaction  Pasien reaction type 2

reaksi dapat muncul setelah terapi obat dilakukan  tetapi tidak disarankan untuk
menghentikan atau mengurangi pengobatan antileprosy
Tentukan derajat reaksi melalui form Pemantauan Fungsi Saraf (PFS)
1) Apakah lagopthalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir ?
2) Adakah nyeri tekan pada saraf ?
3) Adakah kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir ?
4) Adakah rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir ?
5) Adakah bercak pecah atau nodul ulserasi/pecah ?
6) Adakah bercak aktif (meradang) di lokasi saraf tepi ?
 Jika tidak ada jawaban “ya” dari semua pertanyaan di atas, maka dikategorikan
sebagai “Reaksi Ringan”, sedangkan bila ada jawaban “ya” dari salah satu
pertanyaan di atas, maka dikategorikan sebagai “Reaksi Berat”.
a. Penanganan Untuk Reaksi Ringan
1) Berobat jalan, istirahat dirumah
2) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
3) Mencari dan menghilangkan faktor pencetus.
4) Jika dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah.
b. Penanganan Untuk Reaksi Berat
1) Mobilisasi lokal/istirahat di rumah.
2) Pemberian analgesik, sedatif.
3) Mencari dan menghilangkan faktor pencetus.
4) Jika dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis tidak berubah.
5) Reaksi tipe 1 dan tipe 2 berat diobati dengan prednison sesuai skema.
6) Bila ada indikasi rawat inap Penderita Kusta dikirim ke rumah sakit.
7) Reaksi tipe 2 berat berulang diobati dengan prednison dan Klofazimin.
Pada Penderita Kusta yang mengalami reaksi berat, diperlukan pengisian form lain,
yaitu Form Evaluasi Pengobatan Reaksi Berat. Form ini akan diisi rutin setiap 1-2
minggu untuk mengevaluasi kondisi Penderita Kusta.
Prednisone (Kortikosteroid)
 Sebelum menurunkan dosis Prednison  kondisi Penderita Kusta perlu
dievaluasi.
 Apabila ada nyeri saraf, sebaiknya dicari dosis awal untuk Penderita Kusta
tersebut dengan memeriksa ulang setelah 1 minggu, bila tidak ada perbaikan dosis
dinaikkan menjadi 50 mg sampai 60 mg/hari.
Penangan Reaksi Berat Pada Anak :
Dosis maksimum Prednison pada anak tidak boleh melebihi 1 mg/kgBB. Minimal
jangka waktu pengobatan adalah 12 minggu
Klofazimin
 Diberikan bersamaan dengan prednisone.
 Untuk mengatasi peradangan setelah lebih dari 4 minggu, sebelum itu efek anti
radang hanya didapat dari prednison.
Indikasi:
1) Reaksi Tipe II (ENL) berat berulang:
a) Episode reaksi lebih satu kali
b) ENL berat dengan dosis prednison naik turun
2) Reaksi ENL berat setelah RFT
Dosis untuk orang dewasa : 3 x 100 mg/hari selama 2 bulan. Kemudian dosis
diturunkan menjadi 2 x 100 mg per hari selama 2 bulan, dan kemudian diturunkan
menjadi 100 mg per hari selama 2 bulan. Jika Penderita Kusta masih dalam
pengobatan MDT, maka dosis Klofazimin harus disesuaikan
Notes
 Prednisone  diberikan secara oral, dimulai dengan dosis 40-60 mg/hari.
 Indikasi terapi steroid sistemik : Neurits dan lesi mata.
 Clofazimine  memiliki beberapa aktivitas melawan reaksi tipe 1 dan dapat
ditambahkan ke pengobatan dalam dosis hingga 300 mg/hari jika dapat
ditoleransi.
 Cyclosporine dapat digunakan jika steroid gagal atau sebagai agen hemat
steroid (steroid-sparing agent).
 Thalidomide efektif melawan ENL dan merupakan pengobatan pilihan.
Merupakan teratogen kuat dan tidak boleh diberikan pada wanita usia subur
Komplikasi Lain
 Komplikasi umum : timbul dari peripheral nerve injury, venous insufficiency,
atau scarring.
 Cedera saraf  kecacatan kronis sekunder, biasanya pada tangan atau kaki, atau
akibat keterlibatan mata.
 Exposure keratitis disebabkan oleh berbagai faktor termasuk mata kering,
insensitivitas kornea, dan lagophthalmos.
 Keratitis tsb dan anterior chamber lesions (termasuk keterlibatan saraf iris, sklera
atau kornea)  dapat menyebabkan kebutaan.
 Venous insufficiency  keterlibatanendotel katup vena dalam  menyebabkan
dermatitis stasis dan ulkus kaki.
 Kerusakan sendi (sendi Charcot)  dapat terjadi karena hilangnya protective pain
sensation
 Keterlibatan saraf simpatis  menyebabkan penurunan hidrosis, menyebabkan
telapak tangan dan kaki kering.
 hiperkeratosis, fisura dan superinfeksi bakteri.
 Komplikasi dari fenomena Lucio (yg jarang)  septikemia dari ulserasi yang luas
dan kontraktur sekunder akibat pembentukan scar.
 Cedera saraf  menyebabkan hilangnya persarafan otot dapat menyebabkan
kelemahan.

Upaya Pencegahan Disabilitas

1. Penemuan Dini Penderita Kusta Sebelum Disabilitas


Kegiatan ini dilakukan dengan cara active case finding (penemuan Penderita
Kusta secara aktif).
2. Pengobatan Penderita Kusta dengan MDT sampai RFT
Dengan memberikan MDT sesuai regimen WHO maka dapat menghindari risiko
penularan dan mengurangi resiko disabilitas.
3. Deteksi Dini Adanya Reaksi Kusta dengan Pemeriksaan Fungsi Saraf Secara
Rutin
4. Setiap kali memeriksa seorang Penderita Kusta, juga dilakukan pemeriksaan pada
kulit dan saraf untuk mendeteksi dini adanya reaksi  Hasil pemeriksaan dicatat
ke dalam formulir Pemantauan Fungsi Saraf (PFS).
 Formulir tersebut rutin diisi pada setiap kali kunjungan Penderita Kusta ke
Puskesmas saat mengambil obat.
 Hasil kesimpulan pemeriksaan selanjutnya akan menentukan penanganan lebih
lanjut terhadap kerusakan saraf yang terjadi.

Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medis diberikan kepada Penderita Kusta yang membutuhkan intervensi
medis yang lebih kompleks. Beberapa intervensi tersebut membutuhkan penanganan
spesialistik misalnya pada:

1. Mata

Penderita Kusta yang mengalami lagoftalmos berat dilakukan bedah korektif.

2. Tangan

a) Kelemahan jari tangan atau claw-hand dilakukan operasi koreksi, dengan syarat
sendi-sendi masih bergerak (mobile).

b) Penderita Kusta dengan infeksi berat yang membutuhkan antibiotik atau operasi.

3. Kaki

a) Ulkus kronik atau semua luka komplikata dilakukan tindakan bedah


septik/skuestrektomi/amputasi.

b) Penderita Kusta dengan infeksi berat yang membutuhkan antibiotik atau operasi.

Pemantauan dan evaluasi pengobatan

Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan harus tetap dilakukan
pemantauan oleh petugas Puskesmas untuk menghindari reaksi Kusta yang dapat
menyebabkan disabilitas.

Hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan dan evaluasi pengobatan:

1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.


2. Apabila Penderita Kusta terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan
harus dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa
diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT Penderita Kusta dikeluarkan
dari register kohort.
4. Penderita Kusta yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
a. disabilitas tingkat 1 atau 2
b. pernah mengalami reaksi
c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara semi-aktif
5. Penderita Kusta PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister)
dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
6. Penderita Kusta MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister)
dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
7. Putus obat (default) jika seorang Penderita Kusta PB tidak mengambil/minum
obatnya lebih dari 3 bulan dan Penderita Kusta MB lebih dari 6 bulan secara
kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu
yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat
(default) dan Penderita Kusta tersebut disebut sebagai penderita defaulter.

Tindakan Bagi Penderita Putus Obat (Defaulter):

a. Dikeluarkan dari register kohort


b. Bila kemudian datang kembali, lakukan pemeriksaan klinis ulang dengan teliti.
Bila hasil pemeriksaan:
1. Ditemukan tanda-tanda klinis yang aktif
- Kemerahan/peninggian dari lesi lama di kulit
- Adanya lesi baru
- Adanya pembesaran saraf yang baru; maka penderita mendapat pengobatan MDT
ulang sesuai klasifikasi saat itu
2. Hasil pemeriksaan indeks Morphology (MI) positif
3. Tidak ada tanda-tanda aktif maka penderita tidak perlu diobati lagi. Ada
kalanya setelah dinyatakan default penderita diobati kembali, tetapi tetap
belum memahami tujuan pengobatan sehingga ia berhenti atau tidak lagi
mengambil obatnya sampai lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default
kedua. Penderita default kedua tidak dikeluarkan dari register kohort, dan
hanya dilanjutkan pengobatan yang tersisa hingga lengkap. Untuk penderita
dengan default lebih dari 2 kali, diperlukan tindakan dan penanganan
khusus.

Relaps

Untuk dinyatakan relaps harus dikonfirmasikan kpd dokter yang memiliki


kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps.

Relaps terjadi bila:


- Sebelumnya Penderita Kusta sudah pernah dinyatakan sembuh atau telah
menyelesaikan pengobatan MDT oleh dokter atau petugas kesehatan,
- Timbul lesi kulit baru di tempat yang berbeda dan bukan lesi lama yang
bertambah aktif.
- Terdapat penebalan saraf baru yang disertai defisit neurologis yang sebelumnya
tidak ada.
- Untuk relaps MB  jika pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT(Release From
Treatment) terjadi peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau lebih bila dibandingkan
dengan Indeks bakteri saat diagnosis.

Apabila tidak dilakukan pemeriksaan BTA saat diagnosis  dpt melakukan


pemeriksaan Indeks Morphology.

- Bila hasil Indeks Morphology positif maka dinyatakan relaps.


- Untuk orang yang pernah mendapat pengobatan dapson monoterapi (sebelum
diperkenalkannya MDT) bila tanda Kusta aktif muncul kembali, maka Penderita
Kusta tersebut dimasukkan dalam kategori relaps dan diberi MDT

 Penderita Kusta dapat diberikan MDT(Multi Drug Therapy) maksimal 24 bulan


dengan follow up pemeriksaan MI(morphology Indeks) setiap 3 bulan.
 Jika MI sudah negatif maka MDT dihentikan. Jika di akhir bulan ke 24 hasil MI
masih positif maka harus dilakukan pemeriksaan resistensi MDT.

Indikasi Rujukan Penderita Reaksi Kusta ke Rumah Sakit

1. ENL melepuh, suhu tubuh tinggi, neuritis, ENL yang pecahpecah


2. Reaksi tipe 1 dengan disertai dengan bercak ulserasi, lesi di wajah, edema tangan
dan kaki, atau neuritis
3. Disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi,
tukak lambung yang berat, dan lain-lain.
4. Ibu hamil
5. Reaksi ENL berat berulang pada Penderita Kusta anak

Kemoprofilaksis Kusta
Kemoprofilaksis kusta  u/ pencegahan Kusta.

 Kemoprofilaksis kusta dilakukan pada daerah yang memiliki Penderita Kusta


yang tinggi.

Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada penduduk yang memenuhi kriteria dan


persyaratan sebagai berikut:

1. Penduduk yang menetap paling singkat 3 bulan pada daerah yang memiliki
Penderita Kusta
2. Berusia > 2 tahun
3. Tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun 2 tahun terakhir
4. Tidak sedang dirawat di RS
5. Tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati
6. Bukan suspek tuberkulosis
7. Bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta
8. Bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif

Pemberian Kemoprofilaksis Kusta  dilaksanakan 1 kali dan dapat diulang kembali


setelah 2 tahun dari pemberian sebelumnya apabila di antara kontak
serumah/kontak tetangga/kontak sosial ditemukan lagi Penderita Kusta baru.

Pelaksanaan Kemoprofilaksis Kusta sebagai berikut:

PELAKSANAAN KEMOPROFILAKSIS KUSTA

METODE PENDEKATAN

 Situasi masyarakat juga harus diketahui (kearifan lokal, budaya, dan adat istiadat),
terutama stigma dan diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta
(OYPMK)

 Pendekatan blanket
 Kemoprofilaksis dengan sasaran seluruh penduduk suatu daerah
 Butuh biaya dan tenaga yang besar, oleh karena itu pendekatan ini disarankan
pada daerah dengan kriteria:
 Pendekatan partisipasi masyarakat
 Pendekatan ini melibatkan anggota keluarga, petugas kesehatan, tokoh
masyarakat, kader kesehatan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang berada
di lokasi tempat tinggal penderita kusta
 Kriteria daerah dengan pendekatan partisipiasi masyarakat:

 Keuntungan pendekatan ini yaitu dapat meningkatkan informasi kusta dan tingkat
kewaspadaan terhadap risiko penularan kusta
 Pendekatan kontak
 Setiap kontak penderita kusta mendapatkan kemoprofilaksis
 Sasaran meliputi seluruh kontak (kontak serumah, tetangga, dan sosial)
 Daerah yang tidak termasuk kriteria pendekatan blanket dan partisipasi
masyarakat dapat melakukan pendekatan kontak
 Keuntungan pendekatan ini yaitu dapat menjadi sarana masyarakat dan petugas
sehingga cakupan pemeriksaan kontak dapat meningkat

(apabila saat pelaksanaan, ada penduduk yang tidak di tempat maka petugas wajib
untuk mengunjungi rumah tsb untuk memberikan kemoprofilaksis paling lambat 1
bulan

ALUR PELAKSANAAN KEMOPROFILAKSIS


K. Prognosis
 tergantung pada beberapa faktor, yang meliputi: stadium penyakit saat diagnosis,
inisiasi pengobatan dini, akses pasien terhadap pengobatan, dan kepatuhan
terhadap terapi
 Penyakit ini terutama menyerang kulit dan saraf tepi. Jika tidak diobati, penyakit
ini dapat menyebabkan kecacatan progresif dan permanen.
 Satu-satunya penderita leprosy yang akan sembuh sendiri tanpa terapi adalah
penderita TT, atau penderita BT yang upgrade ke TT.
 Jika tidak, penyakit ini akan progresif, dengan morbiditas akibat cedera saraf
dan/atau keadaan reaksional yang tumpang tindih (superimposed reactional
states).

L. Prevention
Edukasi Pasien

a. Vaksinasi

Bacille Calmette-Guérin (BCG) 34%–80% perlindungan terhadap infeksi M.


Leprae
b. Pencegahan penularan

Karena 80% pasien memiliki kontak dengan pasien multibasiler, pencegahan


bergantung pada perawatan pasien multibasiler aktif dan pemeriksaan orang yang
terpajan setiap tahun untuk mendeteksi bukti awal infeksi
c. Chemoprophylaxis

MDT sekali setahun dengan rifampisin dosis tunggal, minosiklin, dan klofazimin 
di daerah hiperendemik.
2.5 PATOMEKANISME
2.6 BHP

1. Edukasi mengenai penyakit kusta (tanda gejala, faktor resiko, dll).

2. Edukasi agar memperbaiki nutrisi, perumahan, dan sanitasi lingkungan agar

mengurangi risiko kusta.

3. Memberikan motivasi pasien bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan

dengan cara penyuluhan baik ke pasien ke keluarga dan diharapkan penderita


dapat berobat secara teratur.

4. Memberikan edukasi kepada keluarga agar selalu mendukung proses

penyumbuhan, karena penderita kusta sebagian besar mengalami tekanan


psikologis yang berat.

5. Membuat laporan ke dinkes/faskes

2.7 IIMC

Hadist nabi pada Kitab Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi :

Doa agar terhindar dari kusta


Diriwayatkan dari sahabat Anas RA, bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa :
“Ya Allah, aku berlindung padamu dari kusta, gila, dan penyakit-penyakit buruk.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih.


Hadist ini memberitahukan bahwa Nabi Muhammad Saw juga pernah mengajarkan
doa agar terhindar dari penyakit kusta. Hal ini juga menunjukkan bahwa penyakit
kusta juga sudah dikenal di zaman Nabi Muhammad Saw. Nabi mengajarkan agar
umatnya menghindarkan diri dari penyakit kusta, salah satunya dengan berdoa agar
terhindar dari penyakit kusta.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 110 yang menjelaskan tentang mu'jizat Nabi Isa AS,
Allah Swt berfirman :
“Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam
kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak (kusta) dengan seizin-Ku.”

Setiap mu'jizat diturunkan sesuai dengan budaya jamannya. Pada masa Nabi Isa,
tradisi kedokteran sedang mengalami kemajuan pesat. Hingga Allah menurunkan
kusta sebagai penyakit yang sulit untuk disembuhkan, bahkan para ahli kedokteran di
masa itu menganggap mustahil untuk melakukan penyembuhan. Namun kebesaran
Allah menunjukkan, bahwa kusta dapat disembuhkan atas kehendak-Nya. Dan untuk
saat ini, Allah juga telah menurunkan pertolongan kepada manusia untuk bisa
menyelesaikan penyakit kusta.

Anda mungkin juga menyukai