Anda di halaman 1dari 37

Makassar, 11 Oktober 2019

LAPORAN TUTORIAL MODUL ‘’KULIT’’

BLOK INDERA KHUSUS

“SKENARIO 2”

DOKTER PEMBIMBING

dr. Rezky putri indarwati, M.kes

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 10
Andi Retno Afifah 11020170001

Dedy Kurniawan 11020170006

Novia Kurniyanti 11020170009

A. Ahmad Fitrah 11020170045


Fitrah Putra Irwan 11020170050
Andi Ambar 11020170058
Kasma 11020170087

Nirwana Utami Kadir 11020170100

Oryza Camilia Salsabila 11020170107

Andi Novalika Muzakky 11020170120

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini,


karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan
guna memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini.

Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi dalam


menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala


kebaikan dan pengorbanan dengan limpahan rahmatdari-Nya. Aamiin yaa Robbal
A’lamiin.

Makassar, 11 Oktober 2019

Kelompok 10

2
SKENARIO 2
Perempuan berusia 31 tahun datang ke poliklinik dengan bintik-bintik
merah bersisik pada wajah, punggung, dan dada sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan
disertai gatal dan pasien merasa ingin menggaruk tetapi ringan. Jika berobat
keluhan sembuh tapi kemudian muncul kembali. Gejala semakin berat setelah
pasien dipecat dari pekerjaanya dan belum kembali bekerja, sejak 3 bulan terakhir.
Penyakit sering kambuh dan sudah diderita sejak 2 tahun yang lalu. Sudah berobat
ke puskesmas berulang kali, keluhan semakin hebat karena penderita stres.
Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama ada. Pasien juga merasa nyeri pada
persendian.
KATA KUNCI
 Perempuan 31 tahun
 Bintik-bintik merah bersisik pada wajah, punggung, dan dada sejak 4
bulan lalu
 Keluhan disertai rasa gatal dan ingin menggaruk
 Jika berobat keluhan sembuh tapi muncul kembali
 Gejala memberat setelah pasien dipecat dari pekerjaanya 3 bulan terakhir
 Penyakit sering kambuh dan sudah diderita 2 tahun terakhir
 Sudah berobat ke puskesmas berulang kali dan keluhan semakin hebat
karena stres
 Riwayat keluarga ada
 Pasien merasa nyeri persendiaan
PERTANYAAN PENTING
1. Sebutkan anatomi, histologi dan fisiologi pada kulit?
2. Jelaskan patomekanisme dari gejala bintik merah, gatal, nyeri persendian
dan kulit bersisik?
3. Adakah hubungan pemecatan pekerjaan dengan kembalinya penyakit?
4. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang sesuai pada skenario?
5. Apa saja diferensial diagnosis yang sesuai pada skenario?
6. Bagaimana penatalaksanaan awal yang sesuai pada skenario?
7. Jelaskan perspektif islam sesuai skenario?

3
PEMBAHASAN
1. Sebutkan anatomi, histologi dan fisiologi pada kulit?

Gambar 1. Penampang Kulit

Anatomi kulit
Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi tubuh
dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat
dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 –
1,75 m. Rata- rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di
telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.Kulit
terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan
jaringan subkutan atau subkutis.
a. Epidermis
Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu :
1. Lapisan basal atau stratum germinativum
2. Lapisan malpighi atau stratum spinosum
3. Lapisan granular atau sratum granulosum
4. Lapisan tanduk atau stratum korneum

4
Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan
granular, yaitu stratum lusidium atau lapisan-lapisan jernih. Stratum
lusidium selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-
selnya sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi
jernih sekali dan tembus sinar. Dalam lapisan terlihat seperti suatu pita
yang bening, batas- batas sel sudah tidak begitu terlihat, disebut stratum
lusidium.
Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-
selnya terletak di bagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-
sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris
(tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir-butir yang
halus disebut butir melanin warna. Sel tersebut disusun seperti pagar
(palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang
disebut membran basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis
merupakan batas terbawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata batas
ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada waktu kerium menonjol pada
epidermis tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit), dan epidermis
menonjol ke arah korium. Tonjolan ini disebut Rete Ridges atau Rete
Pegg (prosessus interpapilaris).
Lapisan malpighi atau lapisan spinosum/akantosum, lapisan ini
merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri
dari 5-8 lapisan. Sel–selnya disebut spinosum karena jika kita lihat di
bawah mikroskop sel–selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal
(banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena
sel–selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah hubungan
antara sel yang lain disebut Interceluler Bridges atau jembatan interseluler.
Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel–sel
pipih seperti kumparan. Sel–sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang
sejajar dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butir–butir
yang disebut keratohiolin yang merupakan fase dalam pembentukan
keratin oleh karena banyaknya butir–butir stratum granulosum. Stratum

5
korneum selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah
mati) dan mengandung zat keratin.
Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar
sebaseus, rambut, dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan
apokrin. Fungsinya mengatur suhu tubuh, menyebabkan panas dilepaskan
dengan cara penguapan. Kelenjar ekrin terdapat di semua daerah di kulit,
tetapi tidak terdapat pada selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2
sampai 5 juta, yang terbanyak di telapak tangan. Sekretnya cairan jernih,
kira–kira 99% mengandung klorida, asam laktat, nitrogen, dan zat lain.
Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke folikel
rambut. Tardapat di ketiak, daerah anogenital, puting susu, dan areola.
Kelenjar sebaseus terdapat di seluruh tubuh, kecuali di tapak tangan,
tapak kaki, dan punggung kaki. Terdapat banyak di kulit kepala, muka,
kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak,
kolesterol, dan zat lain. Rambut terdapat diseluruh tubuh dan tumbuh dari
folikel rambut yang di dalamnya epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh
epidermis sebelah atas, dasarnya terdapat papil tempat rambut tumbuh.
Akar berada di dalam folikel pada ujung paling dalam dan bagian sebelah
luar disebut batang rambut. Pada folikel rambut terdapat otot polos kecil
sebagai penegak rambut. Rambut terdiri dari rambut panjang di kepala,
pubis dan jenggot, rambut pendek dilubang hidung, liang telinga dan alis,
rambut bulu lanugo diseluruh tubuh, dan rambut seksual di pubis dan
aksila (ketiak).
Kuku merupakan lempeng yang terbuat dari sel tanduk yang menutupi
permukan dorsal ujung jari tangan dan kaki. Lempeng kuku terdiri dari 3
bagian yaitu pinggir bebas, badan, dan akar yang melekat pada kulit dan
dikelilingi oleh lipatan kulit lateral dan proksimal. Fungsi kuku menjadi
penting waktu mengutip benda–benda kecil.
b. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis
dilapisi oleh membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan

6
subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah
mulainya terdapat sel lemak. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian
atas, pars papilaris (stratum papilar) dan bagian bawah, retikularis (stratum
retikularis).
Batas antara pars papilaris dan pars retikularis adalah bagian bawahnya
sampai ke subkutis . Baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari
jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut–serabut yaitu serabut
kolagen, serabut elastis, dan serabut retikulus. Serabut ini saling
bersamaan dan masing–masing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut
kolagen untuk memberikan kekuatan kepada kulit, dan retikulus dimana
terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut.
c. Subkutis
Subkutis terdiri dari kumpulan sel–sel lemak dan di antara gerombolan
ini berjalan serabut–serabut jaringan ikat dermis. Sel–sel lemak ini
bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk
seperti cincin.
Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama
pada tiap–tiap tempat dan juga pembagian antara laki–laki dan perempuan
tidak sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock
braker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit,
isolator panas, atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan
tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat selaput otot
kemudian baru terdapat otot.
Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ paling luas permukaannya yang membungkus
seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap
bahaya bahan kimia, cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet,
dan melindungi terhadap mikroorganisme, serta menjaga keseimbangan
tubuh terhadap lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang
untuk memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi
pada kulit. Misalnya menjadi pucat, kekuning–kuningan, kemerah–

7
merahan, atau suhu kulit meningkat yang memperlihatkan adanya kelainan
yang terjadi pada tubuh karena penyakit tertentu.
Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan pada
kulit, misalnya karena stress, ketakutan, atau dalam keadaaan marah yang
akan menyebabkan perubahan pada kulit wajah. Perubahan struktur kulit
dapat menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau masih muda.
Wanita atau pria juga dapat membedakan penampilan kulit. Warna kulit
juga dapat menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku
bangsa negro, kulit kuning bangsa mongol, kulit putih dari eropa, dan lain-
lain.
Perasaan pada kulit adalah perasaan reseptornya yang berada pada kulit.
Pada organ sensorik kulit terdapat 4 perasaan yaitu rasa raba/tekan, dingin,
panas, dan sakit. Kulit mengandung berbagai jenis ujung sensorik
termasuk ujung saraf telanjang atau tidak bermielin. Pelebaran ujung saraf
sensorik terminal dan ujung yang berselubung ditemukan pada jaringan
ikat fibrosa dalam. Saraf sensorik berakhir sekitar folikel rambut, tetapi
tidak ada ujung yang berselubung untuk persarafan kulit. Penyebaran kulit
pada berbagai bagian tubuh berbeda-beda, dan dapat dilihat dari keempat
jenis perasaan yang dapat ditimbulkan dari daerah-daerah tersebut.
Pada pemeriksaan histologi, kulit hanya mengandung saraf telanjang
yang berfungsi sebagai mekanoreseptor yang memberikan respon terhadap
rangsangan raba. Ujung saraf sekitar folikel rambut menerima rasa raba
dan gerakan rambut menimbulkan perasaan (raba taktil). Walaupun
reseptor sensorik kulit kurang menunjukkan ciri khas, tetapi secara
fisiologis fungsinya spesifik. Satu jenis rangsangan dilayani oleh ujung
saraf tertentu dan hanya satu jenis perasaan kulit yang disadari.

Referensi :
Djuanda, adhi. 2010. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keenam.
Jakarta : fkui. Hal 3-8

8
2. Jelaskan patomekanisme dari gejala bintik merah, gatal, nyeri
persendian, dan kulit bersisik?
Patomekanisme bintik merah :
Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi. Proses
inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh. Secara garis
besar imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu, sistem imun bawaan/ nonspesifik
dan sistem imun didapat/spesifik. Nonspesifik akan menyerang semua
antigen yang masuk, sedangkan spesifik merupakan pertahanan
selanjutnya yang memilih-milih antigen yang masuk. Ketika antigen
masuk kedalam tubuh, maka spesialis-spesialis fagositik (makrofag dan
neutrofil ) akan memfagosit antigen tersebut.
Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamine oleh sel
mast di daerah jaringan yang rusak. Histamin yang dilepaskan ini
membuat pembuluh darah bervasodilatasi untuk meningkatkan aliran
darah pada daerah yang terinfeksi. Selain itu, histamin juga membuat
permeabilitas kapiler meningkat sehingga protein plasma yang seharusnya
tetap berada di dalam pembuluh darah akan mudah keluar ke jaringan. Hal
ini yang menyebabkan kulit berwarna kemerahan.
Patomekanisme gatal :
Gatal adalah suatu persepsi akibat terangsangnya serabut
mekanoreseptor. Biasanya impuls berawal dari rangsangan permukaan
ringan, misalnya pada rambatan kutu, bahan iritan, dan gigitan serangga.
Penyebab gatal sangat beragam, antara lain : reaksi alergi (hipersensitivitas
tipe 1), pembentukan sistem komplemen, inflamasi, paparan fisik, stress,
autoimun, penyakit sistemik, obat – obatan, dll.
Masing-masing faktor penyebab mempunyai jalur patomekanisme yang
berbeda, namun pada akhirnya semua mekanisme akan berhubungan
dengan pengeluaran histamin sebagai mediator inflamasi yang
menyebabkan pruritus atau gatal. Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan
dan basofil. Pelepasannya dirangsang oleh kompleks antigen-antibodi
(IgE), alergi tipe I, pengaktifan komplemen (C3a, C5a), luka bakar,

9
inflamasi, dan beberapa obat. Histamin melalui reseptor H1 dan
peningkatan konsentrasi Ca2+ seluler di endotel akan menyebabkan endotel
melepaskan NO, yang merupakan dilator arteri dan vena. Melalui reseptor
H2 histamin juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah kecil yang
tidak tergantung dengan NO. Histamin meningkatkan permeabilitas
protein di kapiler. Jadi, protein plasma difiltrasi di bawah pengaruh
histamin, serta gradien tekanan onkotik yang melewati dinding kapiler
akan menurun sehingga terjadi edema.
Ketika sel mast menghasilkan histamin, ia langsung dapat
mensensitisasi ujung serabut saraf C yang berada di bagian superfisialis
kulit. Saraf C termasuk saraf tak bermielin yang juga berfungsi sebagai
reseptor rasa geli. Setelah impuls diterima oleh saraf C, impuls diteruskan
ke serabut radiks dorsalis kemudian diteruskan menuju medulla spinalis.
Kemudian naik ke batang otak atau talamus untuk dinterpretasikan sebagai
sensasi gatal. Sensasi ini kemudian merangsang refleks menggaruk untuk
memberikan sensasi nyeri yang cukup untuk kemudian menekan sinyal
gatal pada medulla spinalis.
Patomekanisme nyeri persendian :
Psoriasis dapat juga disertai arthritis dan secara klasik menyerang sendi
interfalang distal. Pada pasien ini tidak ditemukan faktor rheumatoid.
Arthritis tidak selalu berkaitan dengan beratnya psoriasis. Terdapat
kerentanan multigen. Beberapa tipe HLA (Cw6) berhubungan dengan
kelainan kulit saja, namun tipe lainnya (misalnya B27) berhubungan
dengan penyakit sendi tambahan. Psoriasis dikenal dua tipe : tipe I dengan
awitan dini bersifat familial, psoriasis tipe II dengan awitan lambat bersifat
nonfamilial. Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik ialah bahwa
psoriasis berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan
HLA-B13, B17, Bw57, dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-
B27 dan Cw6, sedangkan psoriasis pustulosa berhubungan dengan HLA-
B27Infeksi, stress, atau obat-obatan yang dapat mencetuskan terjadinya

10
serangan psoriasis. Plak ditandai dengan gambaran patologis ganda yaitu
hiperproliferasi epidermis dan inflamasi kutan.
Patomekanisme kulit bersisik :
Mengawali peran imunitas pada psoriasis melalui antigen precenting
cell (APC) yang akan memproses dan mempresentasikan antigen pada sel
T. Antigen precenting cell ini mengekspresikan MHC klas I dan II pada
permukaannya. Pada pasien psoriasis, jumlah DC plasmasitoid meningkat
baik pada bagian kulit yang terlibat atau tidak, tetapi hanya aktif pada kulit
yang terlibat. Proses antigen diakhiri dengan timbulnya peptida antigen di
permukaan APC oleh MHC. APC yang telah aktif akan berjalan menuju
limfonoid untuk mengaktifkan sel T. Interaksi sel T dan APC di limfonoid
akan menstimulasi sel T. Proses ini terdiri dari dua sinyal. Sinyal pertama
dihasilkan oleh komplek antigen yaitu MHC dan TCR sedangkan sinyal
yang kedua berperan sebagai konstimulasi.
Aktivasi limfosit T akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-α yang menyebabkan proliferasi keratinosit. Hiperproliferasi ini
menyebabkan menurunnya waktu transit epidermis (perkiraan waktu yang
diperlukan oleh sel kulit untuk maturasi secara normal) dari 28 hari
menjadi 2-4 hari dan memproduksi sisik kemerahan yang tipikal pada
psoriasis. IFN-γ juga menghambat apoptosis keratinosit dengan
menstimulasi protein anti-apoptosis.
Referensi :
- Champion RH. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Ertthroderma .
In: Champion RH eds. Rook’s, textbook of dermatology,Washington ;
Blackwell Scientific Publications. 1992
- Djuanda A, Hamzah M, Aisah S: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; hal: 321-323
- Davey, Patrick. 2005. At a glance medicine; alih bahasa, Annisa
Rahmalia, Cut Novianty; editor, Amalia Safitri. Jakarta :Erlangga.
Repository.usu.ac.id.

11
3. Adakah hubungan pemecatan pekerjaan dengan kembalinya
penyakit?
Kemungkinan besar, faktor yang berhubungan dengan kembalinya
penyakit pasien (Relaps) yaitu disebabkan karna adanya faktor stres
psikologis pada pasien akibat dipecat dari pekerjaannya. Pada awalnya
diketahui bahwa stres psikologis dapat mengakibatkan menurunnya
respons terapi dan menyebabkan bertambah beratnya keadaan pasien,
kemudian diketahui bahwa hormon stres, seperti kortisol dan norepinefrin
yang meningkat dapat mengganggu keseimbangan Th1/Th2, sebagai
akibat dari stimuli stres terhadap sumbu hipotalamus-pituitary- adrenal
(HPA).
Saat ini beberapa penelitian ditujukan untuk mengetahui peran stresor
psikologis dan neuroendokrin yang dapat mempengaruhi respons imun
dengan manifestasi klinis seperti penyakit autoimun, dermatitis atopik,
lupus eritematosus, alopesia, akne vulgaris, dan sebagainya. Belum banyak
penelitian peran stres dan hormon stress pada psoriasis. Zangeneh and
Fazeli (2008) menemukan semua hormon stres, katekolamin, CRH,
dopamin meningkat secara bermakna pada psoriasis, kecuali kortisol tidak
bermakna. Interferon-gamma (IFN-γ) merupakan sitokin proinflamasi
yang disintesis oleh sel Th1, telah diketahui sejak lama sangat berperan
pada patogenesis psoriasis. Stresor psikologis menyebabkan dominasi
peran sel Th1 sehingga terjadi sintesis IFN-γ yang berlebihan.
Secara umum banyak konsep stres yang dikemukakan oleh para ahli,
Selye dan Fortier (1950) menyatakan bahwa stress adalah suatu respons
nonspesifik tubuh terhadap setiap kebutuhan atau stimuli, konsep tersebut
lebih bernuansa biologis, karena perubahan temperatur, mekanik, stres
fisik termasuk dalam konsep ini. Stres dimaksud dapat berupa stres
biologis, stres fisik, stres mekanik, dan stres psikologis. Stimulus stres
akan diterima di sistem limbik, susunan saraf pusat sebagai stres
perception, disini akan terjadi perubahan neuro- kimiawi dan gelombang
otak yang akan diteruskan ke hipotalamus yang akan mengawali terjadinya

12
stres responses berupa dilepaskannya hormon kortikotropin (corticotrpin
realeasing hormone, CRH) melalui paraventricular nucleus akan
menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan
adrenocorticotropin hormone (ACTH), sebagai hasil akhir hormon ini
akan mengaktifkan korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Seperti
diketahui kortisol merupakan mediator imunosupresan dan anti-inflamasi.
Jalur ini disebut sumbu HPA.
Dalam waktu yang sama respons stres juga akan mengaktifkan sumbu
simpatethetic-adreno medullary (sumbu SAM) yang akan melepaskan
norepinefrin dari medula adrenal. Kortisol dan norepinefrin sebagai
hormon stres utama akan melepaskan norepinefrin dari medula adrenal.
Kortisol dan norepinefrin sebagai hormon stres utama akan menyebabkan
terganggunya keseimbangan sel Th1 dan Th2 dengan berbagai dampak
klinisnya.
Jadi kesimpulanya stres psikologis berperan pada psoriasis, sebesar
37,5% dengan skala stres yang tinggi, dengan rasio odds sebesar 4,6.
Psoriasis merupakan penyakit kulit inflamasi kronis-residif yang bersifat
multifaktorial, salah satu faktor pencetusnya adalah stres psikologis.
Adanya stresor psikologis secara fisiologis akan direspons oleh sumbu
SAM dengan norepinefrin sebagai salah satu petanda dan sumbu HPA
dengan biomarkernya adalah kortisol. Peran keseimbangan norepinefrin
dan kortisol sangat penting dalam menjaga keseimbangan peran Th1/Th2
dalam upaya menjaga homeostasis tubuh. Adanya gangguan pada
psoriasis dalam merespons stres, peningkatan norepinefrin secara
bermakna dan peningkatan yang tidak signifikan pada kortisol
menyebabkan kelebihan produksi dari IFN-γ sebagai sitokin pro-inflamasi
yang memegang peran penting patogenesis psoriasis.

Referensi :
Wardhana, Made. Stress Psikologis Pada Pasien Psoriasis. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 2012

13
4. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang sesuai pada skenario?
1.Anamnesis
Anamnesis mencakup identifikasi penderita, keluhan utama, dan
perjalanan penyakit. Yang perlu ditanyakan pada keluhan utama :
 Sejak kapan mulai sakit (berapa hari, minggu, bulan).
 Bagaimana dan berupa kelainan apa pada awalnya (merah-merah,
bintik-bintik luka, dsb.)
 Di mana kelainan pertama kali timbul (kaki, kepala, wajah, anggota
gerak).
 Apakah menjalar/tidak, atau hilang timbul.
 Apakah gatal, sakit, atau bagaimana.
 Apakah keluar cairan/kering.
 Obat yang telah digunakan, bagaimana pengaruh obat tersebut,
apakah penyakit membaik, memburuk atau menetap.
 Sosio-ekonomi keluarga, jumlah anggota keluarga, cara hidup, dan
penyakit dalam keluarga atau pada individu di sekitarnya.
 Apakah timbulnya penyakit berkaitan dengan suatu sebab,
misalnya akibat pekerjaan, luka-luka akibat benda tertentu.
2. Pemeriksaan Fisik
Tentukan lokalisasi kelainan untuk mencari efloresensi atau ruam
kulitnya (primer atau sekunder). Dan tentukan sifat-sifat efloresensi :
a. Mendeteksi ruam Primer
 Makula : Kelainan kulit yang sama tinggi dengan permukaan kulit,
warnanya berubah dan berbatas jelas.
 Papula : kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit,
padat, berbatas jelas, dan ukurannya tidak lebih 1 cm.
 Nadula : sama dengan papul tetapi ukurannya lebih dari 1 cm.
 Vesikula : kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit.
berisi cairan dan ukurannya tidak lebih dari 1 cm.
 Bulla : sama dengan vesikula tetapi ukurannya lebih dari 1 cm.

14
 Pustule : sama dengan vesikula tetapi berisi nanah.
 Urtika : kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit,
edematous, berwarna merah jambu, dan bentuknya bermacam-
macam
 Tumor : kelainan kulit yang menonjol dan ukurannya lebih besar
dari 2,5 cm.
b. Mendeteksi ruam sekunder
 Skuama : jaringan mati dari lapisan tanduk yang terlepas.
 Krusta : kumpulan eksudat atau sekret di atas kulit.
 Fisura : epidermis yang retak, hingga dermis terlihat.
 Erosi : kulit yang epidermis bagian atasnya terkelupas.
 Ekskoriasio : kulit yang epidermisnya terkelupas, lebih dalam dari
erosi
 Ulkus : kulit (epidermis dan dermis ) terlepas karena destruksi
penyakit. Pelepasan ini dapat sampai pada jaringan subkutan atau
lebih dalam.
 Parut : jaringan ikat yang kemudian terbentuk menggantikan
jaringan dermis atau jaringan lebih dalam yang telah hilang.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk memastikan diagnosis, adakalanya di perlukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan yang sering di perlukan :
1. Pemeriksaan rutin urin, darah tepi, dan kimia darah.
2. Pemeriksaan mikologi
3. Percobaan temple (patch test) untuk alergi.
4. Pemeriksaan bakteriologi
5. Tes serologik (untuk sifilis, frambusia, dsb)
6. Pemeriksaan dengan sinar wood
7. Biopsy untuk pemeriksaan histopatologi.

Referensi :
Harahap, Marwali. 2013. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates

15
5. Apa saja diferensial diagnosis yang sesuai pada skenario?
1. PSORIASIS
Definisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kullt kronik dengan dasar genetik
yang kuat dengan karakteristik perubahan perturmbuhan dan diferensiasi
sel epidermis disertai manifestasi vaskuler, juga diduga adanya pengaruh
sistem saraf. Patogenesis psoniasis digambarkan dengan gangguan
biokimiawi, dan imunologik yang menerbitkan berbagai mediator perusak
mekanisme fisiologis kulit, dan memengaruhi gambaran klinis. Umumnya
lesi berupa plak entematosa berskuama berlapis berwama putih keperakan
dengan batas yang tegas. Letaknya dapat terlokalisir, misalnya pada siku,
lutut, atau kulit kepala (skalp), atau menyerang hampir 100% luas
tubuhnya.
Epidemiologi
Psoriasis menyebar diseluruh dunia tetapi prevalensi usia psoriasis
bervariasi di setiap wilayah. Prevalensi anak anak berkisar dari 0% di
Taiwan sampai dengan 2:1 % di Itali. Sedangkan pada dewasa di Amerika
Serkat 0.98% sampai dengan 8% ditemukan di Norwegia. Di Indonesia
pencatatan pernah dilakukan oleh sepuluh RS besar dengan angka
prevalensi pada tahun 1996, 1997, dan 1998 berturut-turut 0,62%; 0,59%,
dan 0,92%. Psoriasis terus mengalami peningkatan jumlah kunjungan ke
layanan kesehatan di banyak daerah di Indonesia. Remisi dialami oleh 17-
55% kasus, dengan beragam tenggang waktu.
Etiopatogenesis
Hanseler dan Christopher pada tahun 1985 membagi psoriasis menjadi
tipe 1 bila onset kurang dari umur 40 tahun dan tipe 2 bila onset terjadi
pada umur lebih dari 40 tahun. Tipe 1 diketahui erat kaitannya dengan
faktor genetik dan berasosiasi dengan HLA-CW6, HLA-DR7, HLA-B13,
dan HLA-BW57 dengan fenotip yang lebih parah dibandingkan dengan
psoriasis tipe 2 yang kaitan familialnya lebin rendah. Peranan genetik
tercatat pada kembar monozigot 65- 72% sedangkan pada kembar dizigot

16
15-30%. Pasien dengan psoriasis artritis yang mengalami psoriasis tipe1
mempunyai riwayat psoriasis pada keluarganya 60% sedangkan pada
psoriasis tipe 2 hanya 30% (p-0.001). Sampai saat ini tidak ada pengertian
yang kuat mengenai patogenesis psoriasis, tetapi peranan autoimunitas,
dan genetik dapat merupakan akar yang dipakai dalam prinsip terapi.
Mekanisme peradangan kulit psoriasis cukup kompleks, yang
melibatkan berbagai sitokin kemokin maupun faktor pertumbuhan yang
mengakibatkan gangguan regulasi keratinosit, sel. sel radang, dan
pembuluh darah, sehingga lesi tampak menebal dan beskuama tebal
berlapis. Aktivasi sel T dalam pembuluh limfe terjadi setelah sel makrofag
penangkap antigen (antigen persenting cellAPC) melalui major
histocompatibility complex (MHC) mempresentasikan antigen tersangka
dan diikat oleh ke sel T naif. Pengikatan sel T terhadap antigen tersebut
selain melalui reseptor sel T harus dilakukan pula oleh ligan dan reseptor
tambahan yang dikenal dengan kostimulasi. Setelah sel T teraktivasi sel ini
berproliferasi menjadi sel T efektor dan memori kemudian masuk dalam
sirkulasi sistemik dan bermigrasi ke kulit.
Pada lesi plak dan darah pasien psoriasis dijumpai: sel Th1 CD4, sel T
sitoksik 1/Tc1CD8 IFN-Y, TNF-a, dan IL-12 adalah produk yang
ditemukan pada kelompok penyakit yang diperantarai oleh sel Th-1. Pada
tahun 2003 dikenal IL-17 yang dihasilkan oleh Th-17. IL-23 adalah sitokin
dihasilkan sel dendrit bersifat heterodimer terdiri atas p40 dan p19, p40
juga merupakan bagian dari IL-12. Sitokin IL-17A IL-17 F, IL-22, IL. 21
dan TNFa adalah mediator turunan Th-17. Telah dibuktikan IL-17 A
mampu meningkatkan ekspresi keratin 17 yang merupakan karakteristk
psoriasis. Inieksi intradermal 1L-23 dan 1L-21 pada mencit memicu
proliferasi keratinosit dan menghasilkan gambaran hiperplasia epidermis
yang merupakan ciri khas psoriasis, IL-22 dan 1L-17A seperti juga
kemokin ccR6 dapat mestimulasi timbulnya reaksi peradangan psoriasis.
Dalam peristiwa interaksi imunologi tersebut retetan mediator menentukan
gambaran klinis antara lain: GMCSF (granulocyte macrophage colony

17
stimulating factor), EGF, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IL-17, 1L-23, dan TNF-
a. Akibat peristiwa banjirnya efek mediator terjadi perubahan fisiologis
kulit normal menjadi keratinosit yang akan berproliferasi lebih cepat,
normal terjadi dalam 311 jam, menjadi 36 jam dan produksi harian
keratinosit 28 kali lebih banyak dari pada epidermis normal. Pembuluh
darah menjadi berdilatasi, berkelok-kelok, angiogenesis dan
hipermeabilitas vakular diperankan oleh vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan Vascular permaebility factor (VPF) yang dikeluarkan
oleh keratinosit.
Gambaran klinis
 Gambaran klasik :
Berupa plak eritenatosa diliput skuama putth disertai titik-titik
perdarahan bila skuama dilepas, berukuran seujung jarum sampai
dengan plakat menutupi sebagian besar area tubuh, dan umumnya
simetris. Penyakit ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa, dan
sendi tetapi tidak mengganggu rambut. Penampilan berupa infiltrat
eritematosa, eritema yang muncul bervariasi dari yang sangat cerah
(hof psoriasis) biasanya diikuti gatal sampai merah pucat (cold
psoriasis). Fenomena Koebner adalah peristiwa munculnya lesi
psoriasis setelah terjadi trauma maupun mikrotrauma pada kulit
pasien psoriasis. Pada lidah dapat dijumpai plak putih
berkonfigurasi mirip peta yang disebut lidah geografik. Fenotip
psoriasis dapat berubah-ubah, spektrum penyakit pada pasien yang
sama dapat menetap atau berubah, dari asimtomatik sampai dengan
generalisata (eritroderma). Stadium akut sering dijumpai pada
orang muda, tetapi dalam waktu tidak terlalu lama dapat berjalan
kronik residif. Keparahan memiliki gambaran klinik dan proses
evolusi yang beragam, sehingga tidak ada kesesuaian klasifikasi
variasi klinis.

18
 Psoriasis arthritis
Psoriatic arthritis (PSA) adalah penyakit kronis yang melibatkan
peradangan jaringan sinovial, kulit dan biasanya seronegatif untuk
faktor rheumatoid. Kompleks spondyloarthritis termasuk
ankylosing spondylitis, arthritis reaktif, arthritis yang berhubungan
dengan penyakit radang usus, spondyloarthritis yang tidak
terdiferensiasi, dan PSA. PSA termasuk dalam salah satu bagian
dari kompleks spondyloarthritis. PSA awalnya dianggap sebagai
penyakit ringan, tetapi dalam dekade terakhir, 40% -60% pasien
telah mengalami komplikasi sendi erosif dan deformasi.
Komplikasi kerusakan sendi yang diinduksi PSA tidak hanya
mengarah pada fungsi artikular yang lebih rendah dan mortalitas
yang lebih tinggi tetapi juga mempengaruhi kemampuan pasien
untuk bekerja dan mempengaruhi hubungan sosial mereka.
Gejala PSA telah dikaitkan dengan diagnosis dini dan
pengobatan dalam penelitian terbaru. Namun, PSA kurang
terdiagnosis pada pasien psoriasis, yang mungkin disebabkan oleh
kurangnya pengenalan gejala PSA dan kurangnya alat skrining
yang efektif. Spektrum klinis PSA beragam yang di alami pasien
psoriatik mungkin memiliki gangguan kerangka aksial, perubahan
kuku, peradangan sendi perifer, entheses, tenosynovitis, atau
dactylitis. Masing-masing kondisi ini dapat ditemukan secara
terpisah atau dikombinasikan dengan yang lain.
Gambaran klinis utama dari penyakit ini adalah spondilitis (18%
-46%), nyeri leher inflamasi (23% -39%), nyeri radang toraks (13%
-21%), dan gejala aksial (25% -50%) [ 8,34]. Sebagian besar pasien
dengan keterlibatan aksial dapat tidak memiliki gejala klinis dan
mempertahankan mobilitas tulang belakangnya tanpa pengurangan
fleksi tulang belakang atau ekspansi dada selama lebih dari 10
tahun.

19
 Psoriasis plakat
Kira-kira 90% pasien mengalami psoriasis vulgaris, dan
biasanya disebut psoriasis plakat kronik. Lesi ini biasanya dimulai
dengan makula eritematosa berukuran kurang dari satu sentimeter
atau papul yang melebar ke arah pinggir dan bergabung beberapa
lesi menjadi satu, berdiameter satu sampai beberapa sentimeter.
Lingkaran putih pucat mengelilingi lesi psoriasis plakat yang
dikenal dengan Woronoff's ring. Dengan proses pelebaran lesi yang
berjalan bertahap maka bentuk lesi dapat beragam seperti bentuk
utama kurva linier (psoriasis girata), lesi mirip cincin (psoriasis
anular), dan papul berskuama pada mulut folikel pilosebaseus
(psoriasis folikularis). Psorasis hiperkeratotik tebal berdiameter 2-
5 cm disebut plak rupioid, sedangkan plak hiperkeratotik tebal
berbentuk cembung menyerupai kulit tiram disebut plak ostraseus.
Umumnya dijumpai di skalp, siku, lutut, punggung, lumbal, dan
retroaurikuler. Hampir 70% pasien mengeluh gatal, rasa terbakar
atau nyeri, terutama bila kulit kepala terserang. Uji Auspitz
ternyata tidak spesifik untuk psoriasis, karena uji positif dapat
dijumpai pada dermatitis seboroik atau dermatitis kronis lainnya.
Psoriasis inversa ditandai dengan letak lesi di daerah
intertriginosa, tampak lembab dan eritematosa. Bentuknya agak
berbeda dengan psoriasis plakat karena nyaris tidak berskuama dan
merah merona, mengkilap, berbatas legas, sering kali mirip dengan
ruam intertrigo, misalnya infeksi jamur. Lesi dijumpai di daerah
aksila, fosa antekubital, popilitea, lipat inguinal, inframamae, dan
perineum.
 Psoriasis gutata
Jenis ini khas pada dewasa muda, bila terjadi pada anak sering
bersifat swasima. Namun pada suatu penelitian epidemiologis 33%
kasus dengan psoriasis gutata akut pada anak akan berkembang
menjadi psoriasis plakat. Bentuk spesifk yang dijumpai adalah lesi

20
papul eruptif berukuran 1 -10 mm berwarna merah salmon,
menyebar disekret secara sentripetal terutama dibadan, dapat
mengenai ekstremitas dan kepala. Infeksi Streptokokus beta
hemolitikus dalam bentuk faringitis, laringitis, atau tonsilitis sering
mengawali munculnya psoriasis gutata pada pasien dengan
predisposisi genetik.
 Psoriasis pustulosa
Bentuk ini merupakan manifestasi psoriasis tetapi dapat pula
merupakan komplikasi lesi klasik dengan pencetus putus obat
kortikosteroid sistemik, infeksi, ataupun pengobatan topikal
bersifat iritasi. Psoriasis pustulosa jenis von zumbusch terjadi bila
pustul yang muncul sangat parah dan menyerang seluruh tubuh,
sering dikuti dengan gejala konstitusi. Keadaan ini bersifat
sistemik dan mengancam jiwa. Tampak kulit yang merah, nyeri,
meradang dengan pustul milier tersebar di atasnya. Pustul terletak
nonfolikuler, putih kekuningan, terasa nyeri, dengan dasar
eritematosa. Pustul dapat bergabung membentuk lake of pustules,
bila mengering dan krusta lepas meninggalkan lapisan merah
terang. Perempuan lebih sering mengalami psoriasis pustulosa 9:1,
dekade 4-5 kehidupan dan sebagian besar perokok (95%). Pustul
tersebut bersifat steril sehingga tidak tepat diobati dengan
antibiotik. Psoriasis pustulosa lokalisata pada palmoplantar
menyerang daerah hipotenar dan tenar, sedangkan pada daerah
plantar mengenai sisi dalam telapak kaki atau dengan sisi tumit.
Perjalanan lesi kronis residif di mulai dengan vesikel bening,
vesikopustul, pustul yang parah, dan makulopapular kering cokelat.
Bentuk kronik disebut akrodermatitis kontinua supurativa dari
hallopeau, ditandai dengan pustul yang muncul pada ujung jari
tangan, dan kaki yang apabila mengering menjadi skuama yang
meninggalkan lapisan merah kalau skuama dilepas. Destruksi
lempeng kuku dan osteolisis falangs distal sering terjadi. Bentuk

21
psoriasis pustulosa palmoplantar mempunyai patogenesis berbeda
dengan psoriasis dan dianggap lebih merupakan komorbiditas
dibandingkan dengan bentuk psoriasis.
Histopatologik
Pada pemeriksaan histopatologis psoriasis plakat yang matur dijumpai
tanda spesifik berupa: penebalan (akantosis) dengan elongasi seragam dan
penipisan epidermis diatas papila dermis. Masa sel epidermis meningkat 3-
5 kali dan masih banyak djumpai mitosis di atas lapisan basal. Ujung rete
ridge berbentuk gada, yang sering bertaut dengan rete ridge sekitarnya.
Tampak hiperkeratosis dan parakeratosis dengan penipisan atau
menghilangnya stratum granulosum. Pembuluh darah di papila dermis
yang membengkak tampak memanjang, melebar dan berkelok-kelok. Pada
lesi awal di dermis bagian atas tepat di bawah epidermis tampak pembuluh
darah dermis yang jumlahnya lebih banyak daripada kulit normal. Infiltrat
sel radang limfosit, makrofag, sel dendrit, dan sel mast terdapat sekitar
pembuluh darah. Pada psoriasis yang matang dijumpai limfosit tidak saja
pada dermis tetapi juga epidermis. Gambaran spesifik psoriasis adalah
bermigrasinya sel radang granulosit-neutrofilik berasal dari ujung subset
kapiler dermal mencapai bagian atas epidermis yaitu lapisan parakeratosis
stratum korneum yang disebut mikroabses Munro atau pada lapisan
spinosum yang disebut spongioform pustules of Kogoj.
Faktor pencetus
Faktor lingkungan jelas berpengaruh pada pasien dengan predisposisi
genetik. Beberapa faktor pencetus kimiawi, mekanik, dan termal akan
memicu psoriasis melalui mekanisme koebner, misalnya garukan, aberasi
superfisial, reaksifototoksik, atau pembedahan. Ketegangan emosional
dapat menjadi pencetus yang mungkin diperantarai mekanisme
neuroimunologis. Beberapa macam obat misalnya beta-bloker,
angiotensin-converting enzyme inhibitors, anti-malaria, litium, nonsteroid
anti-inflamasi, gembfibrosil, dan beberapa antibiotik. Bakteri, virus, dan
jamur juga merupakan faktor pembangkit psoriasis. Endotoksin bakteri,

22
berperan sebagai superantigen dapat mengakibatkan efek patologik dengan
aktivasi sel limfosit T, makrofag, sel langerhans dan keratinosit. Penelitian
sekarang menunjukkan bahwa superantigen streptokokus dapat memicu
ekspresi antigen limfosit kulit yang berperan dalam migrasi sel limfosit T
bermigrasi ke kulit. Walaupun pada psoriasis plakat tidak dapat dideteksi
antigen streptokokus, beberapa antigen asing dan auto-antigen dapat
memicu interaks iAPC dan limfosit T. Peristiwa hipersensitivitas terhadap
obat, imunisasi juga akan membangkitkan aktivasi sel T. Kegemukan,
obesitas, diabetes melitus, maupun sindroma metabolik dapat
memperparah kondisi psoriasis.
Komplikasi
Pasien dengan psoriasis memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
meningkat terhadap gangguan kardiovaskuler terutama pada pasien
psoriasis berat dan lama. Risiko infark miokard terutama sekali terjadi
pada pasien psoriasis muda usia yang menderita dalam jangka waktu
panjang. Pasien psoriasis juga mempunyai peningkatan risiko limfoma
malignum. Gangguan emosional yang dikuti masalah depresi sehubungan
dengan manifestasi klinis berdampak terhadap menurunnya harga diri,
penolakan sosial, merasa malu, masalah seksual, dan gangguan
kemampuan profesional. Semuanya diperberat dengan perasaan gatal dan
nyeri, dan keadaan ini menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien eritroderma adalah hipotermia
dan hipoalbuminemia sekunder terhadap pengelupasan kulit yang
berlebihan juga dapat terjadi gagal jantung dan pneumonia. Sebanyak 10-
17% pasien dengan psoriasis pustulosa generalisata (PPG) menderita
artralgia, mialgia, dan lesi mukosa.
Tatalaksana
Jenis pengobatan psoriasis yang tersedia bekerja menekan gejala dan
memperbaiki penyakit. Tujuan pengobatan adalah menurunkan keparahan
penyakit sehingga pasien dapat beraktivitas dalam pekerjaan, kehidupan
sosial dan sejahtera untuk tetap dalam kondisi kualitas hidup yang baik,

23
tidak memperpendek masa hidupnya karena efek samping obat.
Kebanyakan pasien tidak dapat lepas dari terapi untuk mempertahankan
keadaan remisi
Pengobatan topikal :
Sebagian besar pasien psoriasis mengalami kelainan kulit yang
terbatas, misalnya di siku dan lutut. Untuk keadaan ini pengobatan topikal
menjadi pilihan dengan atau tanpa penambahan terapi sistemik untuk
artritis. Pengobatan topikal juga dapat ditambah pada pasien dengan
fototerapi atau sitemik termasuk pengobatan biologik bila masih ada lesi
tersisa. Selain untuk kelainan yang minimal pengobatan ini juga dipakai
untuk mengontrol psoriasis yang kambuh.
1. Kortikosteroid Topikal
Bekerja sebagai anti-inflamasi, anti-proliferasi, dan vasokonstriktor
yang masih tetap banyak dipakai dalam pengobatan psoriasis secara
tunggal atau kombinasi. Terapi jenis ini masih diminati oleh banyak
dokter maupun pasien karena efektif, relatif cepat ditioleransi dengan
baik, mudah digunakan, dan tidak terlalu mahal dibandingkan terapi
alternatif lainnya. Berdasarkan keparahan dan letak lesi, dapat
digunakan berbagai kelas kekvatan kortikosteroid topikal (menurut
Stoughton-Cornell) yang merespons mekanisme vasokonstriktor
pembuluh darah kulit. Obat tersedia dalam vehikulum beragam,
misalnya krim, salap, solusio, bahkan bedak, gel, spray, dan foam.
Resistensi adalah gejala yang sering terlihat dalam pengobatan, keadaan
ini disebabkan oleh proses takifilaksis.
2. Kalsipotriol/Kalsipotrien
Kalsipotriol adalah analog vitamin D yang mampu mengobati
psoriasis ringan. Mekanisme kerja dari sediaan ini adalah
antiproliferasi keratinosit, menghambat proliferasi sel, dan
meningkatkan diferensiasi juga menghambat produksi sitokin yang
berasal dari keratinosit maupun limfosit. Kalsipotriol merupakan pilihan
utama atau kedua pengobatan topikal. Walaupun tidak seefektif

24
kortikosteroid superpoten, namun obat ini tidak memiliki efek samping
yang mengancam seperti kortikosteroid.
3. Retinoid topikal
Acetylenic retinoid adalah asam vitamin A dan sintetik analog
dengan reseptor 3 dan y. Retinoid meregulasi transkripsi gen dengan
berikatan RAR-RXR heterodimer, berikatan langsung elemen respons
asam retinoat pada sisi promoter gen aktivasi. Tazaroten menormalkan
proliferasi dan diferensiasi kerinosit serta menurunkan jumlah sel
radang. Tazaroten telah disetujui FDA sebagai pengobatan psoriasis.
Reaksi iritasi (dermatitis tazaroten), juga dapat mengakibatkan reaksi
fototoksik. Tazarotene 0.1% lebih efektif dibandingkan dengan 0.05%,
pada pemakaian 12 minggu sediaan ini lebih efektif dibandingkan
vehikulum dalam meredakan skuama dan infiltrat psoriasis.
4. Ter dan Antralin
Ter berasal dari destilasi destruktif bahan organik, misalnya kayu,
batubara, dan fosil ikan (antara lain iktiol). Contoh ter kayu, ialah
minyak cemara, birch, beech (nothofagus) dan cade (uniperus
oxycedarus) tidak bersifat fotosensitasi namun lebih alergenik dari ter
batu bara. Ter batu bara (coal tar) dihasilkan dari produk sampingan
destilasi destruksi batu bara yang mengandung benzen, toluen, xylene,
kresol, antrasen, dan pitch. Ter merupakan senyawa aman untuk
pemakaian psoriasis ringan sampai sedang, namun pemakaiannya
mengakibatkan kulit lengket, mengotori pakaian, berbau, kontak iritan,
terasa terbakar, dan dapat terjadi fotosenstifitas.
5. Fototerapi
Fototerapi yang dikenal ultraviolet A (uva) dan ultraviolet
B(UvB). Fototerapi memiliki kemampuan menginduksi, apoptosis,
imunosupresan, mengubah profil sitokin dan mekanisme lainnya.
Diketahui efek biologik UVB terbesar pada kisaran 311-313 nm oleh
karena itu sekarang tersedia lampu UVB (TL-01) yang dapat
memancarkan sinar monokromatik dan disebut spektrum sempit

25
(narrowband). Efek samping cepat berupa sunburn, eritema, vesikulasi
dan kulit kering. Efek jangka panjang berupa penuaan kulit dan
keganasan kulit yang masih sulit dibuktikan. Bila dilakukan di klinik,
kombinasi UVB dengan ter dan antralin, memiliki masa remisi
berlangsung lama pada 55% pasien.
2. PITIRIASIS ROSEA
Definisi
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus, kemudian
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan tungkai atas
yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam
waktu 3-8 minggu.
Epidemiologi
Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15-40 tahun,
jarang pada usia kurang dari 2 tahun, dan lebih dari 65 tahun. Ratio
perempuan dan laki-laki adalah 1,5:1
Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan
epidemiologis diduga infeksi sebagai penyebab. Berdasarkan bukti ilmiah,
diduga pitiriasis rosea merupakan eksantema virus yang berhubungan
dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan HHV-6.
Erupsi menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian obat,
misalnya bismuth, arsenic, barbiturate, metoksipromazin, kaptopril,
klonidin, interferon, ketotifen, ergotamine, metronidazole, inhibitor tirosin
kinase, dan telah dilaporkan timbul setelah pemberian agen biologik,
misalnya adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat menyerupai
pitiriasis rosea, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pitiriasis
rosea dapat disebabkan oleh obat. Terdapat pula laporan erupsi
menyerupai pitiriasis rosea yang timbul setelah vaksinasi difteri, cacar,
pneumokokus, virus Hepatitis B, BCG, dan virus influenza H1N1.

26
Patofisiologi
Patofisiologi pitiriasis rosea dikaitkan dengan proses infeksi, atopik,
dan autoimunitas. Pitiriasis rosea sering kali didahului oleh infeksi saluran
pernapasan atas. Bakteri seperti Streptococcus diduga berperan dalam
terjadinya penyakit pitiriasis rosea, karena ditemukan peningkatan titer
antistreptolisin O (ASLO) pada 37,7% pasien pitiriasis rosea dan adanya
perbaikan klinis dengan pemberian eritromisin. Namun, hasil penelitian
lain masih banyak yang bertolak belakang.
Hipotesis infeksi virus berperan dalam patofisiologi pitiriasis rosea
muncul setelah ditemukannya partikel seperti intranuklear dan
intrasitoplasma virus pada sampel biopsy kulit. Hal ini diikuti pula dengan
peningkatan jumlah limfosit CD4 dan sel langerhans pada dermis yang
diduga akibat respon terhadap antigen virus. Anti-imunoglobulin M
keratinosit juga ditemukan pada pasien dengan pitiriasis rosea. Human
herpesvirus-6 dan 7 merupakan virus yang paling sering dikaitkan dengan
pitiriasis rosea. Pada usia anak 2-6 tahun, infeksi kedua jenis virus tersebut
bermanifestasi sebagai exanthema subitum. Munculnya pitiriasis rosea di
kemudian hari, diduga akibat reaktivasi virus tersebut.
Gambaran klinis
Tempat predileksi pitiriasis rosea adalah badan, lengan atas bagian
proksimal, dan paha atas sehingga membentuk seperti gambaran pakaian
renang. Sinar matahari mempengaruhi distribusi lesi sekunder, lesi dapat
terjadi pada daerah yang terkena sinar matahari, tetapi pada beberapa
kasus, sinar matahari melindungi kulit dari pitiriasis rosea. Pada 75%
penderita biasanya timbul gatal didaerah lesi dan gatal berat pada 25%
penderita.
1. Gejala klasik
Gejala klasik dari pitiriasis rosea mudah untuk dikenali. Penyakit
dimulai dengan lesi pertama berupa makula eritematosa yang berbentuk
oval atau anular dengan ukuran yang bervariasi antara 2-4 cm, soliter,
bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan bagian tepi mempunyai

27
batas tegas yang ditutupi oleh skuama tipis yang berasal dari keratin
yang terlepas dan juga melekat pada kulit normal ( skuama collarette ).
Lesi ini dikenal dengan nama herald patch.

Gambar herald patch

Gambar plak primer tipikal ( herald patch )


Pada lebih dari 69% penderita ditemui adanya gejala prodromal
berupa malaise, mual, hilang nafsu makan, demam, nyeri sendi, dan
pembengkakan kelenjar limfe. Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu
kemudian akan timbul lesi sekunder generalisata. Pada lesi sekunder
akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri dari lesi dengan bentuk yang
sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil ( diameter 0,5 – 1,5
cm ) dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar
dengan kosta sehingga memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain
berupa papul-papul kecil berwarna merah yang tidak berdistribusi
sejajar dengan garis kulit dan jumlah bertambah sesuai dengan derajat
inflamasi dan tersebar perifer. Kedua lesi ini timbul secara bersamaan.

28
2. Gejala atipikal
Terjadi pada 20% penderita pitiriasis rosea. Ditemukannya lesi yang
tidak sesuai dengan lesi pada pitiriasis rosea pada umumnya. Berupa
tidak ditemukannya herald patch atau berjumlah 2 atau multipel.
Bentuk lesi lebih bervariasi berupa urtika, eritema multiformis, purpura,
pustul, dan vesikuler. Distribusi lesi biasanya menyebar ke daerah
aksila, inguinal, wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Adanya gejala
atipikal membuat diagnosis dari pitiriasis rosea menjadi lebih sulit
untuk ditegakkan sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan.
Pemeriksaan penunjang
Umumnya untuk menegakkan diagnosis pitiriasis rosea tidak
dibutuhkan pemeriksaan penunjang, namun dalam hal diagnosis susah
ditegakkan dan kita membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan diagnosis banding lain. Dapat dilakukan RPR (Rapid
Plasma Reagin) dan FTA-Abs (Fluoresent Treponemal Antibody
Absorbed) untuk skrining sifilis.
Penatalaksanaan
1. Umum
Walaupun pitiriasis rosea bersifat self limited disease (dapat sembuh
sendiri), bukan tidak mungkin penderita merasa terganggu dengan lesi
yang muncul. Untuk itu diperlukan penjelasan kepada pasien tentang :
 Pitiriasis rosea akan sembuh dalam waktu yang lama
 Lesi kedua rata-rata berlangsung selama 2 minggu, kemudian
menetap selama sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang
sekitar 2 minggu. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa pitiriasis
rosea berlangsung hingga 3-4 bulan
 Penatalaksanaan yang penting pada pitiriasis rosea adalah dengan
mencegah bertambah hebatnya gatal yang ditimbulkan. Pakaian
yang mengandung wol, air, sabun, dan keringat dapat menyebabkan
lesi menjadi bertambah berat.

29
2. Khusus
 Topikal
Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida,
kalamin losion atau 0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat
dengan lesi yang luas dan gatal yang hebat dapat diberikan
glukokortikoid topikal kerja menengah (bethametasone dipropionate
0,025% ointment 2 kali sehari).
 Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi
rasa gatal. Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat
diberikan kortikosteroid sistemik atau pemberian triamsinolon
diasetat atau asetonid 20-40 mg yang diberikan secara intramuskuler.
Prognosis
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam waktu
3-8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan. Dapat terjadi hipo
atau hiperpigmentasi paska-inflamasi sementara yang biasanya hilang
tanpa bekas. Pitiriasis rosea jarang sekali kambuh.
3. DERMATITIS SEBOROIK
Definisi
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa dengan
predileksi di daerah kaya kelenjar sebasea, scalp, wajah, dan badan.
Dermatitis ini dikaitkan dengan malasesia, terjadi gangguan imunologis
mengikuti kelembaban lingkungan, perubahan cuaca, ataupun trauma,
dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan, misalnya ketombe
sampai dengan bentuk eritroderma.
Epidemiologi
Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada
populasi umum. Lesi ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe
sebagai bentuk yang lebih sering dijumpai. Pada kelompok HIV, angka
kejadian dermatitis seboroik lebiih tinggi dibandingkan dengan populasi
umum. Sebanyak 36% pasien HIV mengalami dermatitis seboroik.

30
Umumnya diawali sejak usia pubertas, dan memuncak pada umur 40
tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai dalam bentuk yang ringan,
sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle
cap) Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan.
Etiopatogenesis
Peranan kelenjar sebasea dalam pathogenesis dermatitis seboroik masih
diperdebatkan, sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang
mengalami dermatitis seboroik, menunjukkan sekresi sebum yang normal
pada laki-laki dan menurun pada perempuan. Dengan demikian penyakit
ini lebih tepat disebut sebagai dermatitis di daerah sebasea. Dermatitis
seboroik dapat merupakan tanda awal infeksi HIV. Dermatitis seboroik
sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ, malignansi,
pankreatitis alkoholik kronik, hepatitis C juga pasien Parkinson. Terapi
levodopa kadang kala memperbaiki dermatitis ini. Kelainan ini sering juga
dijumpai pada pasien dengan gangguan paralisis saraf.
Peningkatan lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respons
imunologis terhadap Pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi
kulit sehingga terjadi mekanisme eksema. Jumlah rugi genus Malassezia
meningkat di dalam epidermis yang terkelupas pada ketombe ataupun
dermatitis seboroik. Diduga hal ini terjadi akibat lingkungan yang
mendukung. Telah banyak bukti yang mengaitkan dermatitis seboroik
dengan Malassezia. Pasien dengan ketombe menunjukkan peningkatan
titer antibody terhadap Malassezia, serta mengalami perubahan imunitas
selular. Kelenjar sebasea katif pada saat bayi dilahirkan, namun dengan
menurunnya androgen ibu, kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9-12
tahun.
Gambaran klinis
Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala berambut; alis,
lipat nasolabial, side burn; telinga dan liang telinga; bagian atas-tengah
dada dan punggung, lipat gluteus, inguinal, genital, ketiak. Sangat jarang

31
menjadi luas. Dapat ditemukan skuama kuning berminyak eksematosa
ringan, kadang kala disertai rasa gatal dan menyengat. Ketombe
merupakan tanda awal manifestasi dermatitis seboroik. Dapat dijumpai
kemerahan perifolikular yang pada tahap lanjut menjadi plak eritematosa
berkonfluensi, bahkan dapat membentuk rangkaian plak di sepanjang batas
rambut frontal dan disebut sebagai korona seboroika.
Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut. Lesi dapat juga
dijumpai pada daerah retroaurikular. Bila terjadi di liang telinga, lesi
berupa otitis eksterna atau di kelopak mata sebagai blefaritis. Bentuk
varian di tubuh yang dapat dijummpai ptiriasiform (mirip ptiriasis rosea)
atau anular. Pada keadaan parah dermatitis seboroik dapat diberikan antara
lain : buspirone, klorpromazin, simetidin, etionamid, fluororasil, gold,
griseofulvin, haloperidok, interferon alfa, lithium, metoksalen, metildopa,
fenotiaine, psoralen.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksterna dengan
skuama kuning berminyak di area predileksi. Pada kasus yang sulit perlu
pemeriksaan histopatologi.
Diagnosis banding
1. Psoriasis: Skuama lebih tebal berlapis transparan seperti mika, lebih
dominan di daerah ekstensor.

32
2. Dermatitis atopik dewasa: terdapat kecenderungan stigmata atopi.
3. Dermatitis kontak iritan: riwayat kontak misalnya dengan sabun
pencuci wajah atau bahan iritan lainnya untuk perawatan wajah
(tretinoin, asam glikolat, asam alfa hidroksi).
4. Dermatofitosis: perlu pemeriksaan skraping kulit dengan KOH.
5. Rosasea: perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih teliti.
Tata laksana
Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi
dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara
lain:
1. Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, misalnya: selenium
sulfide, zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang mengandung
ter dan solusio terbinafine 1%.
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum
pada kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan
sabun lunak. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim
imidazole dan turunannya, bahan antimikotik di daerah lipatan bila ada
gejala.
3. Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat
atau sulfur
4. Pengobatan simtomatik dengan kortikosteriod topical potensi sedang,
immunosupresan topical (tacrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk
daerah wajah sebagai pengganti kortikosteroid topical.
5. Metronidazole topical, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida
dan salep litium suksinat 5%.
6. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat
digunakan terapi sinar ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itraconazole
100mg/hari per oral selama 21 hari.
7. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis
seboroik yang luas dapat diberikan prednisolone 30mg/hari untuk
respons cepat.

33
Referensi :
- Menaldi, Sri Linuwih.2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Badan penerbit Fakultas Kedokteran UMI.
- Gomez JMV. Pityriasis Rosea: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Physician. 2018;97(1):38-44.
- Nair PA, Le JK. Pityriasis Rosea. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing;2019.
- Linuwah Sri, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Fernando, Leo. Pitiriasis Rosea. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
- Jacoeb, Tjut Nurul Alam. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
- www.ncbi.nlm.nih.gov

34
6. Bagaimana penatalaksanaan awal yang sesuai pada skenario?
Farmakologi :
 Kortikosteroid topikal : Bekerja sebagai anti-inflamasi, anti-proliferasi,
dan vasokonstriktor yang masih tetap banyak dipakai dalam pengobatan
psoriasis secara tunggal atau kombinasi. Contoh obat krim, salap, foam
 Kalsitopril atau kalsipotrien : merupakan pilihan utama atau kedua
pengobatan topikal. Walaupun tidak seefektif kortikosteroid superpoten,
namun obat ini tidak memiliki efek samping yang mengancam seperti
kortikosteroid.
 Retinoid topikal : Acetylenic retinoid adalah asam vitamin A dan
sintetik analog dengan reseptor 3 dan y. Tazarotene 0.1% lebih efektif
dibandingkan dengan 0.05%, pada pemakaian 12 minggu sediaan ini
lebih efektif dibandingkan vehikulum dalam meredakan skuama dan
infiltrat psoriasis
 Fototerapi : fototerapi memiliki kemampuan menginduksi, apoptosis,
imunosupresan, mengubah profil sitokin dan mekanisme lainnya
Non farmakologi :
 Sebelum memilih pengobatan harus dipikirkan evaluasi dampak
penyakit terhadap kualitas hidup pasien. Dikategorikan penatalaksanaan
yang berhasil bila ada perbaikan penyakit, mengurangi
ketidaknyamanan, dan efek samping.
 Mengajari pasien agar lebih kritis menilai pengobatan sehingga ia
mendapat informasi sesuai dengan perkembangan penyakit terakhir.
Diharapkan pasien tidak tergantung dokter, dapat mengerti dan
mengenal obat dengan baik termasuk efek sampingnya. Menjelaskan
bahwa pengobatan lebih berbahaya dari penyakitnya sendiri.
Referensi :
- Menaldi, Sri Linuwih.2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran UMI.
- Linuwih, Sri., 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

35
7. Jelaskan perspektif islam sesuai skenario?
Begitu pentingnya kebersihan menurut islam, sehingga orang yang
membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah
SWT, sebagaimana firmannya dalam surah Al-Baqarah ayat 222 yang
berbunyi :

َ َ‫ْﺍل ُمت‬
.......‫طﻬِّ ِريْنَ ۝ َوي ُِحب ﺍلتوﺍبِيْنَ ﺍِنﷲَي ُِحب‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan


orang-orang yang menyucikan / membersihkan diri”. (Al-Baqarah : 222)

36
37

Anda mungkin juga menyukai