Anda di halaman 1dari 41

Fak.

Kedokteran Makassar,1 November 2017


Universitas Muslim Indonesia
Blok Kedokteran Tropis

Laporan Tutorial
Modul Bercak Putih

Tutor: dr. Akina Maulidhany Tahir


Kelompok 9:
Ayu Pratiwi Hasari 110 2015 0011
Andira Ratu Nurrasyid 110 2015 0030
Alvi Kamal Fikri 110 2015 0043
Muhammad Iqbal Gaffar 110 2015 0058
Riska Dwiyansari 110 2015 0071
Tenri Risna Abdi 110 2015 0084
Meilinda Aji Syahputri 110 2015 0100
Annisa Dwi Amaliah 110 2015 0123
Cindy Purnamasari 110 2015 0136
Alifa Saphira Multhazam 110 2015 0018
Ainun Jariah Muliadi 110 2015 0033

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-nya yang telah diberikan kepada kelompok 12 sehingga dapat menyelesaikan hasil
Laporan Tutorial Skenario 2 Blok Tropis modul bercak putih ini sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Dalam penyusunan laporan tutorial, penulis menyadari sepenuhnya banyak
terdapat kekurangan di dalam penyajiannya. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan dan
pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan dan
bantuan dari semua pihak tidaklah mungkin hasil laporan tutorial ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan dengan
baik. 2. dr. Akina Maulidhany Tahir. selaku tutor pembimbing kelompok 12, atas segala
masukkan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi segala keterbatasan penulis. 3.
Teman-teman sejawat yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penyusunan
laporan. Akhir kata, segala bantuan serta amal baik yang telah diberikan kepada penulis,
mendapatkan balasan dari Allah SWT, serta Laporan Tutorial Blok Kedokteran Tropis Modul
Bercak Putih ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca umumnya.

Makassar, 1 november 2017

Kelompok 12
Skenario 1
Seorang perempuan19 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan timbul bercak putih di pipi
kanan yang terasa gatal sejak 5 bulan lalu. Makin lama bercak putih ini makin bertambah
banyak dan menyebar hampir ke seluruh pipi. Bercak terasa gatal terutama pada saat waktu
siang dan berkeringat. Tidak ada keluhan nyeri, tidak ada riwayat pengobatan.

Kata Sulit
-

Kata Kunci
- Perempuan19 tahun
- Bercak putih di pipi kanan
- Gatal
- Sejak 5 bulan lalu
- Bertambah dan menyebar ke seluruh pipi
- Gatal waktu siang hari dan berkeringat
- Tidak ada nyeri
- Tidak ada riwayat pengobatan

Pertanyaan Penting
1. Jelaskan anatomi,fisiologi dan histologi sistem integumen sesuai dengan skenario!
Jawab:
Anatomi dan histologi dari kulit
Kulit adalah selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi
utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Luas
kulit pada manusia rata-rata 2 meter persegi, dengan berat 10 kg jika dengan
lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak (Tranggono, 2007). Kulit terbagi atas lapisan
epidermis (kulit ari) sebagai lapisan yang paling luar, Dermis (korium, kutis, kulit
jangat), dan subkutis atau jaringan lemak terletak dibawah dermis.
Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling
tebal berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan
yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut.
Karena ukurannya yang tipis, jika kita terluka biasanya mengenai bagian setelah
epidermis yaitu dermis. Dermis terutama terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan
elastin. Serabut kolagen dapat mencapai 72 persen dari keseluruhan berat kulit manusia
bebas lemak (Tranggono, 2007). Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan
subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan
jaringan lemak.
1. JARINGAN EPIDERMIS terdiri atas :

a) Stratum korneum (lapisan


tanduk) adalah lapisan kulit yang
paling luar dan terdiri atas
beberapa lapis sel sel gepeng
yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya elah berubah
menjadi keratin (zat tanduk).
b) Stratum lucidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi
protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak
tangan dan kaki.
c) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir

butir kasar ini terdiri atas keratohialin, mukosa biasanya tidak mempunyai
lapisan ini. Stratum granulosum tampak jelas pada telapak tangan dan kaki.
d) Startum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula prickle cell layer
(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang
besarnya berbeda beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih
karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah tengah. Sel
sel ini makin dekat permukaan making gepeng bentuknya. Diantara sel sel
spinosum terdapat jembatan jembatan antar sel (intercellular bridges) yang
terdiri atas protoplasma dan tonofibrin atau keratin. Perlekatan antar jembatan
ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Di
antara sel spinosum terdapat pula sel Langerhans.
e) Stratum basale terdiri atas sl sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun
vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade).
Sel sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduksi. Terdiri dari
dua sel yaitu :
I. Sel sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan
besar.
II. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel sel
berwarna muda dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan
mnegandung butir pigmen.

2. LAPISAN DERMIS adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermas. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat dengan
elemen elemen selular dan folikel rambut. Lapisan dermis dibagi menjadi dua :
a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah
b. Pars retikulare, yaitu bagian yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini
terdiri atas serabut serabut penunjang misalnya, serabut kolagen, elastin dan
retikulin.

3. LAPISAN SUBKUTIS adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar
berisi sel sel lemak di dalamnya. Sel sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan
inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel sel lemak ini disebut
panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Vaskularisasi di kulit di
atur oleh 2 pleksus yaitu pleksus yang terletak di bagian atas dermis (pleksus
superfisialis) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda)

Adneksa kulit
1. Kelenjar kulit
a. Kelenjar keringat (glandula sudorifera).
Ada dua macam kelenjar keringat yaitu kelenjar ekrin yang kecil, terletak
dangkal di dermis dengan secret encer dan kelenjar apokrin yang lebih besar,
terletk lebih dalam dan sekretnya lebih kental

b. Kelenjar palit (glandula sebassea)


Terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali telapak tangan dan kaki.
Disebut kelenjar palit atau juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan
secret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel sel kelenjar. Biasanya terdapat
di samping kar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut.

c. Kuku
Bagian terminal lapisan tanduk yang menebal. Bagian kuku yang terbenam
dalam kulit jari disebut akar kuku (nail root), bagian yang terbuka di atas dasar
jaringan lunak kulit pada ujung jari tersebut badan kuku (nail plate), dan yang
paling ujung adalah bagian kuku yang bebas.
d. Rambut
Rambut terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian
yang berada di luar kulit (batag rambut). Ada 2 macam tipe rambut, yaitu
lanugo yang merupakan rambut halus, tidak mngandung pigmen dan terdapat
pada bayi, dan rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak
pigmen, mempunyai medulla dan terdapat pada orang dewasa.

Fisiologi kulit
1. Fungi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau
mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi, misalnya zat zat
kimia tertentuyang bersifat iritan, sontohnya; lisol, karbol, asam dan alkali kuat;
gangguan yang bersifat panas; misalnya radiasi, sengatan sinar UV; gangguan
infeksi luar. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya
lapisan kulit dan serabut serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai
pelindung terhadapt gangguan fisis
2. Fungsi aborpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat.
Tetapi, cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap. Kemampuan absorpsi
kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan, metabolism, dan
jenih vehikulum
3. Fungsi eksresi, kelenjar kulit mengeluarkan zat zat yang tidak berguna lagi atau sisa
metabolism dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan ammonia.
4. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Reseptor untuk rangsang panas adalah badan ruffini di dermis dan
subkutis, untuk rangang dingi adalah badan Krause di dermis. Untuk rangsang
rabaan oleh badan taktil Meissner di papilla dermis, dan badan merkel ranvier pada
dermis, sedangkan terhadap rangsang tekanan oleh badan paccini di epidermis.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termorgulasi), kulit melakukan peranan dengan cara
mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh darah kulit
6. Fungsi pembentukan pigmen, yang dilakukan oleh sel melanosit yang terletak di
lapisan basale dan sel ini berasala dari rigi saraf.
7. Fungsi keratiisasi.
8. Fungsi pembentukan vit. D, dimungkinkan denganmmengubah 7, dihidrosi
kolesterol dengan pertolongan sinar matahari menajdi vitamin D.

Referensi :
http://repository.unair.ac.id di akses pada tanggal 31 oktober 2017
djuanda, Prof.Dr. dr. Adhi, dkk. 2011. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta : badan penerbit
FKUI. Hal 3 8.
2. Jelaskan patomekanisme gatal dan bercak putih yang timbul pada pasien!
Jawab:
a.Patomekanisme gatal
Masing-masing faktor penyebab mempunyai jalur patomekanisme yang berbeda, namun pada
akhirnya semua mekanisme akan berhubungan dengan pengeluaran histamin sebagai mediator
inflamasi yang menyebabkan pruritus atau gatal. Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan dan
basofil. Pelepasannya dirangsang oleh kompleks antigen-antibodi (IgE), alergi tipe I,
pengaktifan komplemen (C3a, C5a), luka bakar, inflamasi, dan beberapa obat. Histamin
melalui reseptor H1 dan peningkatan konsentrasi Ca2+seluler di endotel akan menyebabkan
endotel melepaskan NO, yang merupakan dilator arteri dan vena. Melalui reseptor H2 histamin
juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah kecil yang tidak tergantung dengan NO.
Histamin meningkatkan permeabilitas protein di kapiler.
Ketika sel mast menghasilkan histamin, ia langsung dapat mensensitisasi ujung serabut saraf
C yang berada di bagian superfisialis kulit. Saraf C termasuk saraf tak bermielin yang juga
berfungsi sebagai reseptor rasa geli. Setelah impuls diterima oleh saraf C, impuls diteruskan
ke serabut radiks dorsalis kemudian diteruskan menuju medulla spinalis. Pada komisura
anterior medulla spinalis impuls menyilang ke kolumna alba anterolateral sisi berlawanan.
Kemudian naik ke batang otak atau talamus untuk diinterpretasikan sebagai sensasi gatal.
Sensasi ini kemudian merangsang refleks menggaruk untuk memberikan sensasi nyeri yang
cukup untuk kemudian menekan sinyal gatal pada medulla spinalis.

Ref: Burton G. Pathophysiology of pruritus. Australian College of Veterinary Scientists Dermatology Chapter
Science Week Proceeding. 2006: 34(6):18-25

b.Patomekanisme bercak putih


Patomekanisme dengan diagnose Pitryasis Versicolor
Tinea versikolor timbul bila M. Furfur berubah bentuk menjadi bentuk miselia
karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun endogen. Faktor eksogen meliputi
panas dan kelembaban. Hal ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak
dijumpai di daerah tropis dan pada musim panas di daerah sub tropis. Faktor eksogen lain
adalah penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana mengakibatkan peningkatan
konsentrasi CO2, mikroflora dan pH.
Faktor endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi
imunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu diabetes
melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan dan penyakit-penyakit berat
memudahkan timbulnya pitiriasis versikolor.
Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari yang
masuk ke dalam lapisan kulit yang akan mengganggu proses pembentukan melanin, adanya
toksin yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan adanya asam azeleat yang
dihasilkan oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam sebum yang merupakan inhibitor
kompetitif dari tirosinase.
Patogenesis dengan diagnose Vitiligo
Patogenesis vitiligo belum dapat dijelaskan dengan pasti. Dikemukakan 3 teori yaitu:
1. Teori autoimun
Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun. Pada penderita vitiligo dapat
ditemukan autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik disebut autoantibodi
anti melanosit., yang bersifat toksik terhadap melanosit atau menghambat
pembentukan melanin. Hal ini disokong dengan meningkatnya insiden vitiligo pada
penderita penyakit autoimun.
2. Teori neurogenik
Teori mengatakan bahwa mediator neurokimia seperti asetilkolin, epinefrin dan nor
epinefrin yang dilepaskan oleh ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik
yang menghancurkan melanosit atau menghambat produksi melanin. Bila zat-zat
tersebut diproduksi berlebihan sel melanosit didekatnya akan rusak.
3. Teori autositotoksik
Teori ini berdasarkan biokimia melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa
produk antara dari biosintesis melanin adalah monofenol atau polifenol. Sintesis
berlebihan dari produk antara tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit.

Patogenesis dengan diagnose Pitryasis Alba


Etiologi dan pathogenesis Pitiriasis alba masih belum jelas, Kelainan hipopigmentasi ini dapat
terjadi akibat perubahan-perubahan pasca inflamasi dan efek penghambatan sinar ultra violet
oleh epidermis yang mengalami hiperkeratosis dan parakeratosis.
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan terdapat
hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya
batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik

Patomekanisme dengan diagnose Morbus Hansen


Patogenesis terjadinya hipomelanosis pada penyakit ini adalah sebagai berikut:10
1. Efek langsung invasi Mycobacterium Leprae ke dalam melanosit
2. Digunakannya dopa sebagai substrat oleh sistem enzim Mycobacterium leprae
3. Perubahan pembuluh darah yang mengakibatkan atrofi melanosit
Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi karena menurunnya aktivitas melanosit.
Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat
melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom

Referensi : Donna Partogi : Pityriasis Versikolor Dan Diagnosis Bandingnya (Ruam-ruam


bercak putih pada kulit), 2008 USU e-Repository 2008
3. Sebutkan penyakit tropis yang berhubungan dengan bercak putih!
Jawab:
Diagnosis banding meliputi ruam-ruam bercak putih pada kulit seperti vitiligo, pitiriasis
alba, morbus hansen, hipopigmentasi post inflamasi chemical leukoderma, progressive
macular hipomelanosis, dan pinta

1. Morbus Hansen
Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita Morbus Hansen mempunyai
ciri-ciri khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis dan a fi. Lesi dapat satu atau
banyak, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Terdapat penebalan saraf perifer.
Kelainan ini tejadi karena menurunnya aktivitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi
jumlah melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan
mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom.
Patogenesis teriadinya hipomelanosis pada penyakit ini adalah sebagai berikut:
1. Efek langsung invasi Mycobacterium Leprae ke dalam melanosit
2. Digunakannya dona sebagai substrat oleh sistem enzim Micobacterium leprae
3. Perubahan pembuluh darah yang mengakibatkan atrofi melanosit.

Terapi untuk makula hipopigmentasi pada leprae dapat dipertimbangkan pemberian PUvA.

2. Vitiligo
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial
ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas dan asimtomatis. Makula
hipomelanosis pada vitiligo yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, bergaris
tengah beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong
dengan tepi berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai
skuama..
Vitiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang
terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha),
daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor permukaan
tulang yang menonjol Gari jari, lutut, sikuj.
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan sel melanosit dan reaksi dopa untuk
melanosit negatif Pada pemeriksaan dengan lampu Wood makula amelanotik pada vitiligo
tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan makula hipomelanotik pada
kelainan hipopigmentasi lainnya.

Patogenesis vitiligo belum dapat dijelaskan dengan pasti. Dikemukakan 3 teori yaitu:
1) Teori autoimun
Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun. Pada penderita vitiligo dapat
ditemukan autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik disebut autoantibodi anti
melanosit., yang bersifat toksik terhadap melanosit atau menghambat pembentukan
melanin. Hal ini disokong dengan meningkatnya insiden vitiligo pada penderita
penyakit autoimun.
2) Teori neurogenik
Teori mengatakan bahwa mediator neurokimia seperti asetilkolin, epinefrin dan nor
epinefrin yang dilepaskan oleh ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang
menghancurkan melanosit atau menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut
diproduksi berlebihan sel melanosit didekatnya akan rusak.
3) Teori autositotoksik
Teori ini berdasarkan biokimia melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa
produk antara dari biosintesis melanin adalah monofenol atau polifenol. Sintesis
berlebihan dari produk antara tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit.

Penatalaksanaan vitiligo meliputi


1 Tabir surya Tujuan penggunaan tabir surya adalah untuk melindungi kulit yang terlibat
agar tidak mengalami reaksi terbakar surya dan tidak terjadi tanning pada kulit yang
normal. Yang dianjurkan adalah tabir surya dengan SPF lebih dari 30
2 Kosmetik penutup Tujuan penggunaan kosmetik penutup adalah untuk
menyembunyikn lesi vitiligo sehingga tidak tampak.. Merek yang tersedia misalnya
Covermark (ydia o Leary), Dermablend, Vitadye dan Dy-o-Derm. Biasanya warna
disesuaikan dengan warna kulit dan tidak mudah hilang
3 Kortikosteroid topikal Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berlandaskan
pada teori autoimun. Jika tidak ada respon selama 2 bulan maka terapi dianggap tidak
akan berhasil. Evaluasi perlu dilakukan setiap 2 bulan untuk mencegah timbulnya
atropi kulit dan telangiektasia.
4 Pemakaian psoralen dengan UVA. Psoralen secara topikal ataupun sistemik yang
diikuti oleh pajanan terhadap sinar UVA (PUVA) menyebabkan proliferasi sel-el
pigmen didalam umbi rambut dan perpindahan sel- sel pigmen tersebut kedaerah kulit
yang putih (hipopigmentasi)
5 Mini grafting Minigrafting dapat digunakan pada vitiligo segmental yang stabil dan
tidak dapat diobati dengan tehnik yang lain.
6 Bleaching Terapi ini digunakan untuk vitiligo yang luas, gagal dengan terapi PUvA,
atau menolak PUvA Yang digunakan adalah Monobenzylether of hydroquinon 20%
cream, dioleskan 2 kali sehari. Biasanya dbutuhkan waktu 9-12 bulan agar terjadi
depigmentasi.

3. Hipopigmentasi post inflamasi


Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan
hipopigmentasi misalnya lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopik, psoriasis,
parapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi
yang teri adi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang
teriadi sesudah menderita psoriasis 12 Hipomelanosis teriadi segera setelah resolusi
penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan
terutama pada area yang terpapar matahari. Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil
dari gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis
hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin
akibat meningkatnya epidermal turnover.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya
Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan
menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya. Terapi biasanya sesuai dengan penyakit
dasarnya. Setelah proses inflamasi menyembuh maka warna kulit yang asli akan perlahan
kembali. Hal ini mungkin dapat dipercepat dengan paparan sinar matahari

4. Pitiriasis alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (0-40%). wanita dan
pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya les berwarna merah muda
atau sesuai wama kulit dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema menghilang lesi
yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwama. Bercak biasanya multipel 4
sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%, paling sering di sekitar
mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan, Lesi
umumnya asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas.
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan
terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan
adanya batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan
menggunakan lampu wood.
Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca
inflamasi dan efek penghambatan sinar ultra violet oleh epidemis yang mengalami
hiperkeratosis dan Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan namun penyakit ini dapat
menyembuh sendiri seiring dengan meningkatnya usia, namun pernah dilaporkan lesi yang
menetap hingga dewasa. Terapi yang dapat diberikan berupa kortikostroid topikal Untuk
lesi pitiriasis alba yang luas dapat digunakan PUVA

5. Chemical leukoderma
Chemical leukoderma adalah hipomelanosis yang didapat akibat paparan berulang
bahan kimia tertentu terutama derivat phenol dan sulthydril Telah dilaporkan teriadinya
leukoderma pada pekeria yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon (MBEH) yang
digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan pada desinfektan dan
germisida tapi juga adhesive, kontrasepsi diafragma baju karet, kondom karet, boneka
karet, sarung tangan karet dan lain-lain. Leukoderma yang diakibatkan oleh MBEH dapat
menyerupai vitiligo. Makula hipopigmentasi berwarna putih susu tidak hanya terjadi
di tempat aplikasi tetapi juga dapat teriadi lesi satelit berupa makula hipopigmentasi gutata
pada bagian tubuh lainnya yang bi permanen. Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat
tidak didahului erupsi iritan atau dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal
leukoderma bersifat reversibel jika paparan dihentikan. Hipomelanosis oleh karena
hidrokuinon biasanya tidak berbatas togas. tidak terjadi depigmentasi penuh dan tidak ada
lesi satelit. Kelainan in bersifat reversibel.
Pada pemeriksaan histologi leukoderma karena bahan kimia tidak mempunyai
gambaran diagnostik yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo. Pada makula tidak
ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada epidermis dan dermis.' Terdapat banyak
kemungkinan mekanisme teriadinya leukoderma akibat bahan kimia. Hal- hal ini
mencakup inhibitor kompetitif tirosinase, hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan
pada sintesis melanosom, gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit atau
berkurangnya sintesis melanin di melanosom. sulfliidril merupakan bahan sitotoksik yang
menggangu pembentukan melanin dengan cara menghambat tirosinase atau lebih
mengutamakan pembentukan phaeomelanin dan metabolitnya dibanding melanogenesis.
Diagnosis dugaan chemical leukoderma dapat dibuat berdasarkan riwayat paparan
ulang terhadap bahan kimia yang telah diketahui dapat menyebabkan leukoderma.
Chemical leukoderma harus selalu dijadikan diagnosis banding vitiligo. Namun tidak ada
tes definitif atau histologi untuk membedakan vitiligo dengan chemical leukoderma.
Chemical leukoderma bersifat irreversibel jika bahan kimia tersebut tidak segera
dieliminasi dengan segera. Leukoderma lokal dan masih pada tahap awal dapat pulih
kembali dengan cara menghentikan bahan kimia yang dicurigai dan jika perlu dengan oral
atau topikal PUvA. Leukoderma yang disebabkan oleh hidrokuinon biasanya pulih secara
spontan., terutama jika ditambah dengan sinar ultra violet.

6. Progressive macular hipomelanosis


Progressive macular hipomelanosis PME) adalah suatu kondisi yang sering
dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi yang menyebar cepat pada
badan. Ditemukan terutama pada usia muda terutama wanita usia 18-25 tahun.. Sering
disangka sebagai pitiriasis vetsikolor dan pitiriasis alba Lesi berbentuk makula
hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, tidak berskuama, berukuran numular dan dapat
berkonfluen dengan predileksi di badan bagian muka dan belakang, Patogenesis PMH
belum diketahui.
Beberapa hipotesis telah diajukan. Menurut Guilet dkk kelainan ini teriadi karena
campuran gen kulit hitam dan putih yang berasal dari orang tua penderita. Dugaan ini
timbul karena kelainan ini banyak dijumpai pada ras campuran. Menurut Wiete dkk
kelainan ini diakibatkan oleh Propionibacterium acnes. Makula hipopigmentasi timbul
karena P. Acnes diduga menghasilkan zat yang menghambat melanogenesis seperti
mekanisme hipopigmentasi pada pitiriasis versikolor. Hal ini berdasarkan pengamatannya
bahwa lesi makula hipopigmentasi PMH memberikan flouresensi berwarna merah dan
bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu Wood. Borelli menduga kelainan ini
karena is namun tidak ada data-data yang mendukung. mikroskopis lesi menunjukkan
melanin sedikit berkurang. Pemeri ultrastruktural menunjukkan pergeseran melanosom tipe
IV ke melanosom tipe I-Ill yang kecil Penemuan ini menunjukkan bahwa kelainan ini
mungkin merupakan hasil dari perubahan ukuran dan distribusi melanosom.
Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apapun tapi dapat
menyembuh secara spontan dalam waktu 3 bulan hingga 4 tahun Wiete dkk (2004)
melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil peroxide dan antibiotik topikal yang
berfungsi untuk menekan p. Acnes dan merangsang melanogenesis dengan hasil yang
bagus

7. Pinta (Carate, Mal de Pinta, Azu)


Pinta yang berarti bercak berwama dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh
Treponema carateum. Pinta adalah satu-satunya treponematosis dengan manifestasi klinis
terbatas pada kulit. Seperti sifilis, pada pinta terdapat 3 stadium klinis namun berbeda
dengan sifilis pada pinta lesi dari berbagai stadium dapat ditemukan bersamaan pada satu
pasien. 16.12 Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah inokulasi, berupa papul
eritem, satu atau lebih.
Dalam minggu berkembang menjadi plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan
dapat mencapai ukuran diameter 20 cm. Lesi timbul pada daerah yang terbuka misalnya
tangan, kaki, lengan, wajah dan leher. Lesi dapat bertahan hingga tahunan atau sembuh
secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi. Lesi sekunder (pintids) timbul antara 1
hingga 12 bulan kadang tahunan setelah munculnya lesi primer, berupa papul eritem yang
berkembang menjadi plak. Lesi sekunder mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi
primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak gatal. Beberapa lesi dapat berbentuk anular
atau sirsinata dengan batas yang meninggi dimana jumlah treponema ditemukan tinggi.
Lokasi lesi dapat pada lesi primer yang pertama, itau di badan, telapak tangan
berubah warna menjadi coklat atau tembaga dan dan telapak kaki. Sejalan dengan waktu
kadang biru, abu-abu atau hitam. Dalam 1 plak dapat dijumpai lebih dari satu warna. Lesi
tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah sekunder. Gambaran klinis utama go disertai
warna coklat, biru, merah dan ungu, Lesi mempunya berupa depigmentasi seperti v asi.
Makula timbul simetris pada penonjolan tulang batas yang tidak teratur dan berukuran
bervari tangan, umit, telapak tangan, tumit, dan disekitar lesi lama. anya pasien dengan
stadium lanjut yang bisa mengalami vitiligo (vitiligo pinta)
Pada histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hiperkeratosis, degeneras
mencair sel basal. Treponema dapat ditemukan diepidermis pada stadium primer, sekunder,
dan tidak ditemukan treponema pada makula depigmentasi Terapi yang diberikan berupa
injeksi Penisilin Benzathin single dose 1,2 MU untuk dewasa dan anak usia diatas 10 tahun.
Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 4x500 mg atau doksisiklin
2x100mg selama 15 hari sekunder dapat hilang setelah terapi diberikan namun lesi stadium
lanj akan menetap seumur hidup.
Referensi:1. Dr. dr. Tabri, farida sp.KK FINSDV dkk . Tata Laksana Bercak Putih Pada Kulit
Anak. Al Hayaatun Mufidah. 2016
2. dr. Partogi, donna Sp. KK. Pityriasis Versikolor dan Diagnosis bandingnya.
2008. USU e-repository

4. Jelaskan diagnosis banding yang berhubungan dengan skenario!


Jawab:
a. Pityriasis versicolor
1. Definisi
Pityriasis versicolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik,
biasanya asimtomatik, disebabkan oleh Malassezia furfur berupa bercak
dengan pigmentasi yang bervariasi pada umumnya mengenai badan.
Bercak berwarna putih sampai coklat kehitaman. Terutama meliputi badan
dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai
atas, leher, muka dan kulit. Pityriasis versicolor (PV), yang juga dikenal
sebagai tinea versicolor merupakan infeksi jamur superfisial berulang
kronis pada stratum corneum, dengan karakteristik adanya makula irreguler
depigmentasi berskuama, yang paling sering terjadi dengan predileksi
pada tubuh dan ekstremitas.
2. Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan diseluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah
tropis yang beriklim panas dan lembab, termasuk Indonesia. Prevalesnsi
mencapai 58% di daerah tropis, menyerang semua ras, angka kejadian pada
laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Sering dewasa muda 15-24
tahun, saat aktivitas kelenjar lemak lebih tinggi. Di Indonesia, kelainan ini
merupakan kelainan yang paling banyak ditemukan diantara berbagai
penyakit kulit akibat jamur.
3. Etiologi dan faktor predisposisi
- Etiologi

Pityriasis versikolor disebabkan oleh pertumbuhan superficial


berlebih bentuk hifa dari Malassezia furfur. M. furfur (sebelumnya disebut
Pityrosporum ovale, P. orbiculare) adalah jamur lipofilik yang normalnya
berada di keratin kulit dan folikel rambut pada individu dalam masa
pubertas dan setelahnya. Jamur ini bersifat oportunistik dalam kondisi
tertentu jamur berubah menjadi bentuk filamen yang patogenik lalu
menyebabkan pytiriasis versicolor dan folikulitis. Malassezia, dan
dihubungkan dengan patoogenesis dermatitis seboroik. Infeksi Malassezia
tidak menular tetapi pertumbuhan berlebihan flora normal kulit terjadi
dalam kondisi tertentu. Pityriasis Versicolor adalah penyakit universal dan
terutama di daerah tropis. Istilah versicolor mengacu pada akibat yang
ditimbulkan jamur ini yaitu perubahan warna kulit tergantung dari kondisi
kulit. Malassezia furfur (sebelumnya dikenal dengan nama Pityrosporum
ovale, P. orbiculare) adalah jamur lipofilik yang normal terdapat pada
keratin kulit dan folikel rambut. Jamur ini merupakan organisme
oportunistik yang dapat menyebabkan pityriasis versicolor. Jamur ini
membutuhkan asam lemak untuk tumbuh. Selain mengakibatkan Pitiriasis
Versikolor, Malassezia Furfur juga dapat mengakibatkan dermatitis
seboroik, folikulitis, dan blefaritis. Koloni Malassezia furfur dapat
tumbuh dengan cepat dan matur dalam 5 hari dengan suhu 30 37oC. Warna
koloni Malassezia furfur adalah kuning krem. Malassezia furfur memiliki
fragmen hifa dengan gambaran seperti sphagetti atau meatboll saat
dilihat dengan mikroskop. Sel jamur terdiri dari 2 bentuk :
1. Bentuk Hifa (pseudo hifa) yang merupakan bentuk vegetative
2. Bentuk spora yang merupakan bagian jamur untuk bertahan hidup.

- Faktor predisposisi
Suhu yang tinggi, kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter,
pengobatan dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun. Pemakaian
minyak seperti minyak kelapa merupakan predisposisi terjadinya Pitiriasis
Versikolor pada anak-anak. Faktor predisposisi lain adalah :
1. Pengangkatan glandula adrenal
2. Penyakit Cushing
3. Kehamilan
4. Malnutrisi
5. Luka bakar
6. Terapi steroid
7. Supresi sistem imun
8. Kontrasepsi oral
9. Suhu Panas
10. Kelembapan

4. Patogenesis
Malassezia berubah dari bentuk blastospore ke bentuk mycelial. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor predisposisi. Malassezia memiliki enzim oksidasi
yang dapat merubah asam lemak pada lipid yang terdapat pada permukaan
kulit menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilik ini menghambat
tyrosinase pada melanosit epidermis dan dapat mengakibatkan
hipomelanosit. Tirosinase adalah enzim yang memiliki peranan penting
dalam pembentukan melanin. Malassezia Furfur dapat menginfeksi pada
individu yang sehat sebagaimana ia dapat menginfeksi individu dengan
immunocompromised, misalnya pada pasien kanker atau AIDS.

5. Gejala klinis
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal
pada keluhan pasien. Pasien yang menderita Pitiriasis Versikolor
biasanya mengeluhkan bercak pigmentasi dengan alasan kosmetik.
Predileksi pitiriasis vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan atas,
leher, abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia (Burkhart and Lorie, 2010).
Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran
lesi dapat milier, lentikuler numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang
sering dijumpai :
1. bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan squama halus
diatasnya, dan tepi tidak meninggi.
2. bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.
6. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala klinis,
penemuan klinis (pemeriksaan fisik) ditemukan berupa makula, berbatas
tegas, bulat atau oval dengan ukuran yang bervarisasi. Kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang dengan mikroskopi langsung
diambil dari kerokan kulit. Kerokan kulit diambil dari bercak pityriasis
versicolor, atau dengan menggunakan cellotape yang ditempel pada
bercak. Setelah diambil diletakkan di atas gelas objek kemudian
ditetesi KOH 10-20% atau campuran 9 bagian KOH 10-20% dengan 1
bagian tinta Parker blueblack superchrome X akan lebih memperjelas
pembacaan karena memberi tampilan warna biru yang cerah pada elemen-
elemen jamur. Kemudian dipanaskan sebentar diatas lampu bunsen untuk
memfiksasi, dan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali.
- Hasil Positif: hifa pendek, lurus, bengkok (seperti huruf i.v.j) dan
gerombolan spora budding yeast yang berbentuk bulat mirip seperti
sphagetti with meatballs.
- Hasil Negatif: bila tidak ada lagi hifa, maka berarti bukan pitiriasis
versicolor walaupun ada spora

Kemudian pemeriksaan penunjang lainnya adalah dengan pemeriksaan


dengan Wood's Lamp. Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan
Malassezia dapat dideteksi dengan lampu wood dimana akan timbul
fluoresensi berwarna kuning keemasan.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Mikroskopi langsung
Kerokan kulit diambil dari bercak pityriasis versicolor,
atau dengan menggunakan cellotape yang ditempel pada bercak.
Setelah diambil diletakkan di atas gelas objek kemudian ditetesi KOH
10-20% atau campuran 9 bagian KOH 10-20% dengan 1 bagian
tinta Parker blueblack superchrome X akan lebih memperjelas
pembacaan karena memberi tampilan warna biru yang cerah pada
elemen-elemen jamur. Kemudian dipanaskan sebentar diatas lampu
bunsen untuk memfiksasi, dan dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 40 kali
- Hasil Positif: hifa pendek, lurus, bengkok (seperti huruf i.v.j) dan
gerombolan spora budding yeast yang berbentuk bulat mirip seperti
sphagetti with meatballs
- Hasil Negatif: bila tidak ada lagi hifa, maka berarti bukan pitiriasis
versicolor walaupun ada spora.

b. Pemeriksaan dengan Wood's Lamp


Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan Malassezia dapat
dideteksi dengan lampu wood dimana akan timbul fluoresensi berwarna
kuning keemasan.

8. Diagnosis banding
Kasus-kasus primer yang umumnya menyebabkan hipopigmentasi
adalah: vitiligo, pityriasis alba, postinflamatory hypopigmentation,
tuberculoid leprosy, morbus hansen.
9. Penatalaksanaan
a. Topical agents
Karena koloni jamur ini pada permukaan kulit, maka
pengobatan topical sangat efektif. Lotion atau sampo Selenium sulfide
(2.5%) dioleskan pada bercak selama 10-15 menit, kemudian dicuci,
digunakan selama satu minggu. Sampo ketokonazol digunakan sama
seperti selenium sulfide. Krim Azole (ketoconazole, econazole,
micronazole, clotrimazole) dioleskan selama 2 minggu. Solusio
Terbinafine 1% solution dioleskan selama 7 hari (Hawranek, 2002).
Topikal Terbinafine efektif pada pitriasis versikolor, dengan
penggunaan satu atau dua kali sehari selama dua minggu, terbukti
dapat menyembuhkan dari penelitian terhadap lebih dari 80%
pasien pitiriasis versikolor, tinea pedis, tinea corporis/cruris.

b. Systemic theraphy
Ketokonazol termasuk kelas antijamur imidazoles. Ketokonazol
bekerja dengan memperlambat pertumbuhan jamur yang menyebabkan
infeksi. Obat ini diminum satu kali sehari. Sediaan tablet ketokonazol
adalah 200 mg. Dosis Ketoconazole 400 mg (diminum satu jam sebelum
beraktifitas). Fluconazole 400 mg. Itraconazole 400 mg. Adapun efek
samping ketokonazol adalah nausea, dispepsia, sakit perut, dan diare.

c. Secondary profilactic
Sampo ketokonazol digunakan satu atau dua kali seminggu.
Selain itu juga dapat digunakan losion atau sampo selenium sulfide,
Salicylic acid/sulfur bar Pyrithione zinc ketokonazol 400 mg peroral
sebulan sekali. Disamping pengobatan, penting juga memberikan
edukasi atau nasehat kepada penderita agar :
- memakai pakaian yang tipis
- memakai pakaian yang berbahan cotton
- tidak memakai pakaian yang terlalu ketat.

10. Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun,
dan konsisten. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi
negative dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negatif.
Meskipun jamur telah dieradikasi dengan pengobatan, tetapi
hipopigmentasi menetap selama beberapa minggu sampai melanosit
memulai untuk memproduksi melanin lagi.

Referensi :
Ayuningtias, fadilla. Ptyriasis versicolor. Fakultas kedokteran dan ilmu ilmu kesehatan
universitas jendral soedirman. Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin.
b. Tinea Alba

Pitiriasis alba merupakan suatu penyakit kulit yang asimptomatik dengan ciri khas
berupa lesi kulit yang hipopigmentasi, penebalan, dan skuama dengan batas yang kurang tegas.
Kondisi seperti ini biasanya terletak pada daerah wajah, lengan atas bagian lateral, dan paha.
Jika terkena pada anak-anak biasanya lesinya menghilang setelah dewasa. Pitiriasis alba
umumnya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda dan sering didapatkan pada wajah,
leher, dan bahu.Lesi menjadi jelas pada saat setelah musim panas dimana hanya pada bagian
lesi, kulit tidak menjadi gelap. Ukuran lesinya bervariasi namun biasanya rata-rata berdiameter
2 4cm.

Pitiriasis alba pertama kali ditemukan oleh Gilbert tahun 1860 dan digolongkan sebagai
penyakit bersisik pada saat ini pitiriasis alba digolongkan sebagai bentuk inflamasi dermatosis
dan mempunyai beberapa nama yang berbeda dengan melihat aspek klinis pada lesi. Nama-
nama yang sering digunakan adalah seperti pityriasis alba faciei dan pityriasis alba simplex.

Meskipun pitiriasis alba bukan kasus serius, tapi penting dalam aspek kosmetik karena
sering mengenai pada wajah terutama pada mulut, dagu, pipi, serta dahi

ETIOLOGI

Sampai saat ini belum ditemukan adanya etiologi yang definitif walaupun beberapa
usaha telah dilakukan untuk menemukan adanya mikroorganisme pada lesi kulit. Namun
dikatakan juga biasanya pitiriasis alba seringkali didapat pada kulit yang sangat kering yang
dipicu oleh lingkungan yang dingin.

Pitriasis alba juga telah diketahui sebagai suatu manifestasi dari dermatitis atopik.
Penelitian terakhir mengenai etiologi pitriasis alba yang dilakukan pada tahun 1992, dimana
Abdallah menyimpulkan Staphylococcus aureus merupakan elemen penting dalam
menimbulkan manifestasi klinis penyakit ini. Dia menemukan bakteri ini ada pada 34% dalam
plak pitriasis alba dan 64% pada rongga hidung pasien yang sama dan pada kelompok kontrol
presentasinya secara berurutan 4% dan 10%. Faktor lingkungan sepertinya sangat berpengaruh
walaupun mungkin bukan berupa agen etiologis langsung, paling tidak dapat memperburuk
atau memperbaiki lesi.

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, pitiriasis alba umumnya terjadi sampai 5 % pada anak-anak, tetapi
epidemiologi yang pasti belum dapat dijelaskan. Pitiriasis alba umumnya terjadi pada anak-
anak yang berusia 3-16 tahun. Sembilan puluh persen kasus terjadi pada anak yang berusia
lebih muda dari 12 tahun. Sering juga terjadi pada orang dewasa.

Pitiriasis alba dapat terjadi pada semua ras, tetapi memiliki prevalensi yang tinggi pada
orang-orang yang memiliki kulit yang berwarna. Wanita dan pria sama banyak.

PATOGENESIS

Dalam penelitian pada 9 pasien dengan pitiriasis alba yang luas, ditemukan densitas
dari melanosit yang normal berkurang pada daerah lesi tanpa adanya aktivitas sitoplasmik.
Melanosom cenderung lebih sedikit dan lebih kecil namun pola distribusi dalam keratinosit
normal. Hipopigmentasi utamanya diakibatkan oleh berkurangnya jumlah melanosit aktif dan
penurunan jumlah dan ukuran dari melanosomes pada daerah lesi kulit. Transfer melanosom
di keratinosit secara umum tidak terganggu. Gambaran histologis kurang spesifik.
Hiperkeratosis dan parakeratosis tidak selalu ada dan sepertinya tidak berperan penting dalam
patogenesis dari hipomelanosis. Beragam derajat jumlah edema dan sekret lemak
intrasitoplasmik dapat terlihat..

GAMBARAN KLINIS

Pitiriasis alba umumnya bersifat asimtomatis tetapi bisa juga didapatkan rasa terbakar dan
gatal. Secara klinis, pitiriasis alba ditandai oleh makula berbentuk bulat atau oval kadang
irregular yang pada awalnya berwarna merah muda atau coklat muda ditutupi dengan skuama
halus, yang kemudian menjadi hipopigmentasi.

Gambar 1. Makula hipopigmentasi pada daerah pipi.*


Lesi biasanya multipel dengan diameter bervariasi antara 0,5-2 cm dan dapat tersebar
secara simetris. Lesi pada umumnya didapatkan pada daerah wajah ( sekitar 50-60 % kasus )
terutama pada daerah dahi, sekitar mata dan mulut. Tetapi dapat juga ditemukan pada daerah
yang lain seperti pada leher, bahu, ekstremitas atas serta pada ekstremitas bawah.

Secara klinis, pitiriasis alba bisa dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Bentuk lokal.

Bentuk yang sering ditemukan dan sering pada anak. Umumnya lesi didapatkan pada
daerah wajah. Bentuk ini memberikan respon yang baik dengan pengobatan.

2. Bentuk umum.

-
Jarang ditemukan dan sering pada usia remaja

-
Secara klinis bisa dibagi menjadi 2 varian, yaitu :

Idiopatik : ditandai oleh lesi nonsquamous yang simetris berbatas tegas dan
berwarna putih di mana cenderung untuk merusak permukaan kulit pada
daerah tungkai dan lengan secara ekstensif. Varian ini memberikan respon
yang jelek dengan pengobatan.

Dengan riwayat dermatitis atopik : varian ini juga dikenali sebagai extensive
pityriasis alba yang ditandai dengan rasa gatal pada daerah lesi dan sering
didapatkan pada daerah antecubital, popliteal dan bisa mengenai seluruh
badan. Varian ini memberikan respon yang baik dengan pengobatan
kortikosteroid.

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan yaitu mengeliminasi inflamasi dan infeksi, mengembalikan


barier stratum korneum dengan menggunakan emolient dan penggunaan bahan antipruritus
untuk mengurangi kerusakan pada kulit dan mengontrol faktor faktor eksaserbasi.

Dengan penggunaan hidrokortison dan krim emolien dapat mengurangi eritema,


skuama dan gatal.

Antibiotik juga dapat diberikan untuk mengatasi infeksi oleh staphylococcus aureus
seperti cephalexin, cefadroxil, dan dicloxacillin.

PENCEGAHAN

Setelah bercak menghilang dan warna kulit telah kembali normal, gunakan pelembab
secara teratur 2x/hari segera setelah mandi untuk membantu mengurangi kemungkinan
kambuh. Jangan gunakan krim steroid pada wajah untuk jangka waktu yang lama tanpa
pengawasan dokter. Juga rutin gunakan sunblok dengan SPF 30 setiap hari, terutama sebelum
beraktivitas di luar ruangan.

KOMPLIKASI

Kulit yang terkena ptiriasis alba dapat terbakar saat terkena sinar matahari.
Menggunakan tabir surya dan pelindung sinar matahari lain dapat membantu mrnjegah kulit
terbakar.

PROGNOSIS
Pitiriasis alba adalah suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri, setelah beberapa bulan
sampai beberapa tahun dan pasiennya tidak bergejala, tetapi umumnya pada wajah berlangsung
setahun atau lebih. Prognosis baik, pada akhirnya terjadi repigmentasi sempurna.

Ref: Bolognia, Jean L.,ed.Dermatology, pp.223-224, 965. New York: Mosby, 2013

c. Vitiligo

A. Definisi
Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan ditegakkan dengan pemeriksaan
histologi dimana didapati tidak adanya melanosit epidermal. Vitiligo adalah penyakit
hipomelanosis idiopatik yang didapat dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang
dapat meluas dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit,
misalnya rambut dan mata.

B. Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi dan patogenesis
Vitiligo adalah kelainan multifaktorial, poligenik dengan pathogenesis kompleks yang belum
dipahami dengan baik. Dari beberapa patogenesis penyakit, yang paling diterima adalah faktor
genetik dan non genetik saling berinteraksi untuk mempengaruhi fungsi dan kelangsungan
hidup melanosit, yang akhirnya menyebabkan destruksi melanosit. Beberapa penulis lain
mengemukakan penjelasan-penjelasan termasuk di antaranya defek adhesi melanosit,
kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, autositotoksisitas dan lainnya.

a.Hipotesis genetic

Studi epidemiologis menunjukan bahwa kebanyakan kasus vitiligo terjadi secara sporadik,
walaupun sekitar 15-25% pasien memiliki satu atau lebih keluarga lini pertama yang juga
terkena. Sebagian besar kasus agregasi familial menunjukan pola non-Mendelian yang
memberi kesan adanya penurunan multifaktorial dan poligenik yang berperan penting dalam
semua aspek patogenesis vitiligo. Peranan faktor genetik cukup penting pada vitiligo. Hal ini
telah dihubungkan sebagai bagian dari teori tentang pewarisan genetik, autoimun dan
autoinflamasi. Tipe Human leukocyte antigen (HLA) terkait vitiligo meliputi A2, DR4, DR7
dan CW6 pada kelompok keluarga Kaukasia dengan vitiligo generalisata dan penyakit
autoimun, disamping itu ditemukan pula hubungan dengan kromosom 1,7 dan 17. Selain itu
HLA, PTPN22, NALPI dan CTLA4 jug dihubungkan dengan kerentanan proses autoimun pada
penderita vitiligo.
Shaker & El-Tahlawi mengemukakan bahwa mutasi genetik pada pasien vitiligo dapat
menyebabkan gangguan metabolisme homosistein. Hal ini menyebabkan
hiperhomosisteinemia yang diduga berhubungan dengan patogenesis vitiligo.

Polimorfisme gen methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang terletak pada


kromosom 1p36.3 dan gen catalase (CAT) yaitu pada kromosom 11p13 dikaitkan dengan
hiperhomosisteinemia.

b. Hipotesis autoimun

Vitiligo khususnya tipe generalisata secara luas dianggap sebagai penyakit autoimun, dengan
keterlibatan komponen humoral dan seluler dari sistem imun bawaan dan adaptif.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian epidemiologi dan klinis. Kemampuan untuk dapat relaps
dan remisi yang biasanya dijumpai pada penyakit autoimun, dapat membaik setelah terapi
imunosupresif, adanya pola sitokin proinflamasi tipe T helper-1 (Th-1), dijumpainya infiltrat
sel T pada daerah perilesi, dan terdapat sel T sitotoksik antimelanosit pada kulit dan sirkulasi
serta antibody antimelanosit dalam sirkulasi merupakan karakteristik yang mendukung
hipotesis ini. Autoantibodi anti melanosit adalah autoantibodi yang dijumpai dengan target
antigen sistem melanogenik. Beberapa antigen target yaitu tirosinase, tyrosinase-related
protein-1, dopachrome tautomerase dan lainnya.

Autoantibodi ini toksik terhadap melanosit dan menghambat pembentukan melanin. Sistem
kekebalan seluler juga diduga memiliki peranan pada vitiligo. Hal ini dibuktikan dengan
dijumpai infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit T sitotoksik pada tepi lesi vitiligo yang
aktif. Sel-sel ini mengekspresikan pola sitokin tipe 1 yang memiliki aktivitas sitolisis terhadap
sisa melanosit yang ada, melalui jalur granzyme/ perforin. Homosistein sendiri diduga dapat
mengaktivasi NF-B dan memproduksi IL-6 pada sistem imunitas.

c. Hipotesis biokimia

Kulit manusia berperan untuk menjadi melindungi tubuh dari lingkungan sekitar. Kulit
senantiasa terpapar berbagai zat-zat fisik, kimiawi dan biologik yang dapat memproduksi ROS.
ROS dapat mendenaturasi protein, mengubah jalur apoptosis, merusak nukleus dan
mitokondria DNA dan memediasi pelepasan sitokin proinflamasi.

Beberapa penelitian menunjukan bukti adanya stress oksidatif di sepanjang epidermis pasien
vitiligo yang disebabkan H2O2 dalam jumlah besar. Peningkatan kadar hydrogen peroxide
(H2O2) pada epidermis daerah yang terkena, mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya
kapasitas antioksidan enzimatik pada keratinosit dan melanosit. Pertahanan antioksidan yang
defektif membuat peningkatan kerentanan melanosit baik terhadap sitotoksitas imunologik dan
terhadap sitotoksitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS ).

Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan kemampuan sistem biologic untuk dapat
mendetoksifikasi zat reaktif atau untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan akan
menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Stres oksidatif diperkirakan merupakan awal
peristiwa patogenik dalam terjadinya destruksi melanosit. Pada stres oksidatif, tidak adanya
aktivitas antioksidan yang memadai menyebabkan terjadinya akumulasi berlebihan dari radikal
bebas, yang akan merusak zat seluler seperti protein, karbohidrat, deoxyribonucleic acid
(DNA) dan lipid.

ROS diproduksi sebagai produk sampingan proses melanogenesis di dalam melanosit dan
dikendalikan oleh beberapa enzim antioksidan di epidermis seperti katalase dan glutation
peroksidase. Pada vitiligo terjadi produksi berlebihan dari H2O2 yang bersifat sitotoksik
terhadap melanosit melalui berbagai mekanisme.

Oksidasi homosistein dan abnormalitas biopterin berperan dalam pembentukan ROS. Hal ini
akan mengakibatkan destruksi melanosit yang berdampak perubahan pigmentasi kulit.

C. Epidemiologi
Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir setengah dari kasus
vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis kelamin sama-sama terkena vitiligo, dan
tidak ada perbedaan yang nyata dalam angka kejadian menurut jenis kulit dan ras.
Nonsegmental (atau generalisasi) vitiligo dan segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang
khusus dan riwayat alami.
Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini (tercatat 85-90%
dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa memiliki onset yang lebih cepat,
tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal kejadian, kedua jenis vitiligo baik nonsegmental
vitiligo dan segmental vitiligo dapat menunjukkan fokal vitiligo, yang mana ditunjukkan
karakteristiknya oleh bagian kecil area yang dipengaruhi (<15 cm2) (Taeb dan Picardo, 2009).
Pada banyak penelitian, vitiligo lebih banyak dijumpai pada wanita(dewasa) dibandingkan
pada laki-laki (dewasa) yaitu 2-3 :1. Sedangkan penelitian vitiligo pada anak-anak, dijumpai
perbandingan yang hampir sama pada kedua jenis kelamin. Kemungkinan ini disebabkan
wanita (dewasa) lebih memberikan perhatian terhadap penyakit nya dibandingkan laki-laki
(dewasa), sehingga lebih banyak mendapat pengobatan (Lubis, 2009).
D. Kriteria Diagnosis
Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu mencari perluasannya. Biopsi
kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan pemeriksaan TSH dan kadar glukosa darah puasa
(Barankin dan Freiman, 2006).
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011) terdapat beberapa
cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:
1. Anamnesis
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pada anamnesis ditanyakan:
a. awitan penyakit
b. riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini
c. riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan
anemia pernisiosa.
d. kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya, dan pajanan bahan
kimiawi.
e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.

2. Pemeriksaan Fisis:
Effloresensi : Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa macula
amelanotik yang berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya dapat ditentukan
batasnya dengan baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpaiscalloped. Makula vitiligo dapat
dievaluasi dengan pemeriksaan lampu wood.
Predileksi Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Nordlun dmembagi menjadi:
1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satudaerah
dan tidak segmental.
b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalamsatu
atau lebih daerah dermatom dan selalu
unilateral.
c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir(genital
dan mulut).

2. Tipe generalisata, yang terdiri atas:


a) Bentuk akrofasial : lesi terdpat pada bagian distal
ekstremitasdan muka.
b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.
c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau
akrofasial
3. Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atauhampir seluruh tubuh.

Gambar 2. Gambaran lokasi predileksi vitiligo


3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE) tampaknya normal kecualitidak ditemukan
melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula. Reaksi DOPA untuk
melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang berpigmentasi.
2. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan DOPA menunjukkan tidak adanya
tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal. Diagnosis pada vitiligo ditegakkan dengan
pemeriksaan fisik. Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan vitiligo
dengan
penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan laboratorium membantu menegakkan
diagnosis, termasuk kadar TSH (thyroid stimulating hormone), antibodi antinuklear, dan
pemeriksaan darah lengkap. Para klinisi juga harus melakukan investigasi dari serum
antitiroglobulin dan antitiroid peroksida antibodi, khususnya ketika pasien mempunyai tanda
dan gejala dari penyakit tiroid. Antitiroid peroksida antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan
spesifik dari kelainan autoimun tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit
dimana kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan dermal,
perivaskular dan limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga diamati pada batas lesi
vitiligo dan lesi awal, yang terdiri dari mediasi sel imun yang melakukan proses kerusakan
melanosit pada vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).
3. Pemeriksaan Lampu Wood
Lampu Wood bermanfaat dalam menegakkan diagnosis vitiligo dan membedakannya dari
pitiriasis alba dan hipopigmentasi pasca inflamasi. Pada pitiriasis versikolor dapat ditemukan
sisik halus dengan warna fluoresensi kuning kehijauan dibawah lampu Wood.

E. Penatalaksanaan
Non Farmakologi:
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk
menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak tampak. hindari faktor
pemicu atau pencetus
Farmakologi:
A. Usia dibawah 12 tahun
Steroid topikal
Penggunaan steroid diharapkan dapat meningkatkan mekanisme pertahanan
terhadap autodestruksi melanosit dan menekan proses immunologis. Steroid topikal
merupakan bentuk pengobatan yang paling mudah. Steroid yang aman digunakan
pada anak adalah yang potensinya rendah. Respon pengobatan dilihat minimal 3
bulan. Pengguaan steroid topikal yang berpotensi kuat dalam jangka waktu lama,
dapat menimbulkan efek samping yaitu terjadinya atrofi pada kulit, telengiektasis
(James et al, 2006).
Tacrolimus topikal
Berdasarkan penelitian tacrolimus topikal 0.1% dapat digunakan sebagai
pengobatan alternatif vitiligo pada anak. Tacrolimus adalah makrolid lakton yang
diisolasi dari hasil fermentasi streptomyces tsukubaensis. Merupakan suatu
immunosupressor yang poten dan selektif. Mekanisme kerja berdasarkan inhibisi
kalsineurin yang menyebabkan supresi dari aktivasi sel T dan inhibisi pelepasan
sitokin. Berdasarkan penelitian, penggunaan tacrolimus topical 0.1% memberikan
hasil yang baik pada daerah wajah dan memiliki efek samping yang lebih minimal
dibandingkan dengan steroid topikal poten yaitu adanya rasa panas atau terbakar dan
rasa gatal, namun biasanya menghilang setelah beberapa hari pengobatan (James et
al, 2006).
PUVA topikal
Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan vitiligo tipe
lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh. Digunakan
cream atau solution Methoxsalen (8-Methoxypsoralen, Oxsoralen) dengan
konsentrasi 0,1-0,3%. Dioleskan 12-30 menit sebelum pemaparan pada lesi yang
dpigmentasi. Pemaparan menggunakan UV-A dengan dosis awal 0,12 joule dan
pada pemaparan berikutnya dosis dapat ditingkatkan sebanyak 0,12 joule sampai
terjadi eritema yang ringan. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari.
Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit pada pengobatan
berikutnya dapat ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30 menit.
Pengobatan diberikan satu atau dua kali seminggu, tetapi tidak dalam 2 hari berturut
turut. Setelah selesai pemaparan, daerah tersebut dicuci dengan sabun dan
dioleskan tabir surya. Efek samping yang dapat timbul adalah photoaging, reaksi
fototoksik dan penggunaan yang lama dapat meningkatkan timbulnya resiko kanker
kulit. Respon pengobatan dilihat selama 3-6 bulan (James et al, 2006).

B. Usia lebih dari 12 tahun (remaja)


SISTEMIK PUVA
Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu pada
vitiligo tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-MOP,
Oxsolaren), bekerja dengan cara menghambat mitosis yaitu dengan berikatan secara
kovalen pada dasar pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-A. dosis yang
diberikan 0,2 0,4 mg/kg/BB/oral, diminum 2 jam sebelum pemaparan. Pemaparan
menggunakan UV-A yang berspektrum 320-400 nm. Dosis awal pemberian UV-A
yaitu 4 joule. Pada setiap pngobatan dosis UV-A dapat ditingkatkan 2-3 joule sehingga
lesi yang depigmentasi akan berubah menjadi merah jambu muda. Dosis tersebut akan
dipertahankan pada level yang konstan pada kunjungan yang berikutnya, sehingga
terjadi repigmentasi pada kulit. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari.
Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit, pada pengobatan
berikutnya dapat ditambahkan 5 menit sehingga dicapai eritema ringan dan maksimum
30 menit. Terapi ini biasanya diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak
dilakukan 2 hari berturut-turut (Majid, 2010)
Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, sakit kepala, kulit terbakar
dan meningkatnya resiko terjadinya kanker kulit. Penderita mendapat pengobatan
dengan psoralen secara sistemik, sebaiknya sewaktu dilakukan pemaparan
menggunakan kacamata pelindung terhadap sinar matahari hingga sore hari, untuk
menghindari terjadinya toksisitas pada mata. Terapi dilanjutkan minimum 3 bulan
untuk menilai respon pengobatan (Majid, 2010)

TERAPI BEDAH
Pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil, dapat dilakukan
transplantasi secara bedah, yaitu (Majid, 2010) :
1. Autologous skin graft
Sering dilakukan pada pasien dengan bercak depigmentasi yang tidak luas. Tehnik
ini menggunakan jaringan graft yang berasal dari pasien itu sendiri dengan pigmen
yang normal, yang kemudian akan dipindahkan ke area depigmentasi pada tubuh
pasien itu sendiri. Repigmentasi akan menyebar dalam waktu 4-6 minggu setelah
dilakukan graft. Komplikasi yang dapat terjadi pada tempat donor yang resipien
yaitu infeksi, parut, cobblestone appearance ataupun dijumpainya bercak-bercak
pigmentasi atau tidak terjadi samasekali repigmentasi.
2. Suction Blister
Prosedur tekhnik ini yaitu dibentuknya bulla pada kulit yang pigmentasinya normal
menggunakan vakum suction dengan tekanan 150 Hg ataupun menggunakan alat
pembekuan. Kemudian atap bula yang terbentuk dipotong dan dipindahkan ke
daerah depigmentasi. Komplikasi tekhnik ini adalah timbulnya jaringan parut,
cobble stone appearance ataupun terjadi repigmentasi yang tidak sempurna. Tetapi
dengan tekhnik ini, resiko timbulnya jaringan parut lebih sedikit dibandingkan
prosedur graft yang lain.
DEPIGMENTASI
Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau pada
vitiligo yang luas dimana melibatkan lebih dari 50% area permukaan tubuh atau
mendekati tipe vitiligo universal. Pengobatan ini menggunakan bahan pemutih seperti
20% monobenzyl ether dari hydroquinone (benzoquin 20%), yang dioleskan pada
daerah normal (dijumpai adanya melanosit). Dilakukan sekali atau dua kali sehari. Efek
samping yang utama adalah timbulnya iritasi lokal berupa kemerahan ataupun timbul
rasa gatal. Oleh karena itu dilakukan test pengolesan hanya pada satu lengan bawah
yang dioleskan sehari sekali. Apabila dalam 2 minggu tidak terjadi iritasi selanjutnya
cream dapat dioleskan sehari 2 kali. Kemudian setelah 2 minggu pengolesan tidak
terjadi iritasi maka krim tersebut dapat dioleskan pada tempat dimana saja pada tubuh.
Bahan ini bersifat sitotoksik terhadap melanosit dan menghancurkan melanosit.
Depigmentasi bersifat permanen dan irreversibel. Kulit penderita akan menjadi
albinoid dan membutuhkan tabir surya (Shimizu, 2007).
TATTO (MIKROPIGMENTASI)
Tatto merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan peralatan
khusus yang bersifat permanen. Tehnik ini memberikan respon yang terbaik pada
daerah bibir dan pada daerah yang berkulit gelap. Efek sampingnya yaitu terdapat
herpes simplex labialis (Shimizu, 2007).
Edukasi dan Pencegahan:
1. Menghindari pemicu yang dapat memperparah keadaan seperti terpapar cahaya matahari dan
trauma
2. Penggunaan tabir surya (SPF12-30) pada daerah yang terpapar sinar matahari. Melanosit
merupakan pelindung alami terhadap sinar matahari yang tidak dijumpai pada penderita
vitiligo. Penggunaan tabir surya mempunyai beberapa alasan yaitu:
Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar matahari (sunburn)
dan dapat mengakibatkan timbulnya kanker kulit
Trauma yang diakibatkan sinar matahari (sunburn) selanjutnya dapat memperluas
daerah depigmentasi (Koebner phenomenon)
Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah kulit normal menjadi lebih
gelap
F. Komplikasi:
1. Kekurangan melanin akan menyebabkan kulit rentan terhadap pengaruh sinar matahari
sehingga mudah terbakar dan mempertinggi risiko kanker kulit.
2. Kekurangan pigmen pada mata dapat menyebabkan inflamasi pada bagian iris
3. Penurunan kemampuan pendengaran. Kondisi ini umumnya terjadi pada kasus vitiligo yang
bersifat keturunan. Melanin berperan dalam fungsi dan struktur telingan bagian dalam.
Diperkirakan sekitar 15 persen penderita vitiligo dibawah umur 40 mengalami komplikasi ini.
G. Prognosis
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat
menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan penyakit
vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur hidup pada
penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada masa awal
pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara
kosmetik hasilnya kurang memuaskan (Djuanda, 2007).
Referensi :
1.Kusumo, Adi Suryo. 2014. VITILIGO. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman
2. dr. Donna Partogi, Sp.KK.2008. Pityriasis Versikolor dan diagnosis bandingnya. Medan:
Departemen Ilmu Kesehatan dan Kulit Kelamin
3. Lukas, Rika dkk. 2015. Vitiligo. Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung
4. Repository USU. 2012. Medan : Universitas Sumatera Utara

d. Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis
kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun
sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat,
khususnya pada tangan dan kaki.

Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti.
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat
menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih
sering mengenai laki-laki daripada wanita.

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai
107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun
2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih
penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari
seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India,
dan Brazil.

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola
penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara
nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun
2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di
Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah
Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per
100.000 tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi
7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.

Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH Armauer
Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam,
berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok
dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan
tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik
pada binatang armadilo.

Patogenesis

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra
adalah usia 25-35 tahun.

Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal
ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus,
sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.

Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas
rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit.
Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah
jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag,
sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah.

Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14
hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur
dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri
dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag)
menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai
keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak
didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan
respon imun pasien.

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS
spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan
atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar
tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon
imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe
1 dan 2).

Klasifikasi Lepra

Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe Indeterminan(I),
tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline (B). Ridley Jopling (1960)
membagi lepra kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan (I), Tuberculoid polar (TT),
Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan
Lepromatosa polar (LL).

Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar yaitu
tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu
juga dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% ,
mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang
terdiri atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid,
sedangkan pada tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.

Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan tipe
Pausibasilar (PB).

1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti
mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.
2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini berarti
bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi
Ridley- Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.

Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan yaitu
lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe
I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut
disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB
adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.

Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi dan
diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae serta
komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:

1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang terlibat
terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan gangguan
motorik, sensorik dan otonom.
2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi progresif,
beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris
pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia terjadi penebalan
saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan ada keadaan akut
apabila terjadi reaksi tipe 2.
3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe
lepromatosa)

Tabel 2.1Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe MB.

Borderline Lepromatosa
Sifat Lepramatosa (LL) Mid Borderline (BB)
(BL)
Lesi
Makula Infiltrat difus Papul Plakat Dome-shaped
- Bentuk Makula Plakat Papul
Nodus (kubah) Punched-out
Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih Dapat dihitung, kulit sehat
- Jumlah
tidak ada kulit sehat ada kulit seha jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada sampai tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret
Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe PB.


Borderline Tuberkuloid
Sifat Tuberkuloid (TT) Indeterminate (I)
(BT)
Lesi
Makula saja; makula Makula dibatasi infiltrat;
- Bentuk Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat saja
Beberapa atau satu dengan
- Jumlah Satu, dapat beberapa Satu atau beberapa
satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris V ariasi
-
Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
Permukaan
Dapat jelas atau tidak
- Batas Jelas Jelas
jelas
Tidak ada, sampai tidak
- Anestesia Jelas Jelas
jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes Dapat positif lemah atau
Positif kuat (3+) Positif lemah
lepromin negatif

Diagnosis

Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis,


histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara klinis adalah
yangterpenting dan paling sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu
paling sedikit (15-30 menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14
hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk membantu penentuan tipe yang
hasilnya baru dapat diketahuisetelah 3 minggu. Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya
dapat menetapkan terapi yang sesuai.

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun
1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit
dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997, diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal
yang dikeluarkan oleh WHOs Committe on Leprosy yaitu lesi pada kulit berupa
hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi, serta pada pemeriksaan skin
smear atau basil pada pengamatan biopsi positif.

Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau lebih dari tanda-tanda
terssebut.
Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut WHOs Cardinal Sign
(1997) .

Cardinal sign Klasifikasi


Hipopigmentasi atau eritema dengan disertai
kehilangan sensasi Pausibasilar (1-5 lesi kulit)
Penebalan saraf perifer
Multibasilar ( 6 atau lebih
Hasil positif dalam pemeriksaan skin smear lesi kulit)
atau biopsi

Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan terdapat
persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis klinis harus didasarkan hasil pemeriksaan
seluruh tubuh penderita, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan
tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) dapat berbeda
tipe dengan lesi lainnya. Begitu pula dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa
tempat dan dari mana biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi
lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jarum, kapas, tabung
reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinda dan sebagainya.

Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, dan kapas terhadap rasa raba.
Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan
dingin menggunakan dua tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf
otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang
dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dimulai
dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih
tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di
daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT).

Saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran, konsistensi, ada tidaknya
nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N.
Poplitea lateralis, dan N. Tibialis posterior.

Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui
irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk
melihat M. leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam
(BTA) yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang
penderita bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman,
setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat
ada tidaknya lesi di tempat tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman
paling banyak.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan. Dibedakan atas
batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid
adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan granular adalah kuman
mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak
dandapat menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+ menurut
Ridley. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:

a) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).


b) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi
pada pembesaran lensa objektif 100 kali. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk
solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui
daya penularan kuman dan untuk menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan
resistensi terhadap obat.

2) Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan


gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak
terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak
kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.

3) Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic
glycolipid-1(PGL 1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M. tuberculosis.

Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena
tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan
lepra subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah.
Macam-macam pemeriksaan serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick
test (Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow
test).

Penatalaksanaan

Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization- Multydrug Therapy


(WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe
MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat
antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan
lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi
obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi
dianggap tidak etis.

Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk
menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping obat,
ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya. Prosedur pemberian MDT
adalah sebagai berikut:

1) MDT untuk lepra tipe MB

Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap bulan,
klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100 mg setiap hari.
Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450
mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50
mg setiap hari.

2) MDT untuk leprae tipe PB

Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600 mg setiap
bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan
kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan.
Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan kombinasi
rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan
pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.

Pencegahan

Vaksin
Pencegahan penyakit lepra yang bisa di lakukan salah satu nya dengan melakukan
vaksin. Karena ada jenis vaksin untuk penyakit lepra sehingga jika ingin mencegah
terjadinya penyakit lepra sebaiknya melakukan suntik vaksin. Suntik vaksin biasanya
dilakukan kepada penderita yang baru sembuh atau yang belum pernah mengalami
penyakit lepra.
Menjaga Kebersihan
Menjaga kebersihan lingkuangan dan juga kulit bukan hanya untuk penyakit yang
berasal dari nyamuk saja, tetapi juga di untuk pencegahan penyakit lepra. Maka dari itu
jika tidak ingin di infeksi oleh bakteri penyakit lepra maka salah satu cara yang bisa di
lakukan dengan menjaga kebersihan dengan baik sehingga tidak ada bakteri yang dekat
dengan lingkungan atau pun kulit.
Meningkatkan daya tahan tubuh
Pencegahan penyakit lepra pun bisa dilakukan jika menigkatkan daya tahan tubuh,
kerena jika daya tahan tubuh kuat maka bisa digunakan untuk melawan berbagai infeksi
bakteri termasuk bakteri yang menyebabkan penyakit lepra. Oleh sebab itu makan
makanan sehat akan meningkatan daya tahan tubuh.

Prognosis

Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh pasien,
akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh pasien.

Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 0,14 % per tahun dalam 10 tahun.
Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin.

Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta wanita
yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau reaksi, terutama
reaksi tipe 2.

Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang
terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010).

Ref: djuanda, Prof.Dr. dr. Adhi, dkk. 2011. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta : badan
penerbit FKUI. Hal 73.

5. Sebutkan perspektif islam yang berkaitan dengan skenario!


Jawab:
Penyakit-penyakit yang telah dibahas di DD yang berkaitan dengan scenario lebih
banyak disebabkan karena masalah menjaga kebersihan dan higienitas. Kita dalam
agama juga dianjurkan untuk menjaga kebersihan.

(



:

Artinya:
Sesungguhnya Allah swt. Itu baik, Dia menyukai kebaikan. Allah itu bersih, Dia
menyukai kebersihan. Allah itu mulia, Dia menyukai kemuliaan. Allah itu dermawan
ia menyukai kedermawanan maka bersihkanlah olehmu tempat-tempatmu. (H.R. at
Tirmizi: 2723)

Dan juga:
Dari hadits riwayat Al-Baihaqi mengatakan bahwa Agama islam adalah agama
yang]bersih dan suci. Karena itu kamu harus menjaga kebersihan. Maka sesungguhnya
tidak akan masuk surge kecuali hanya orang-orang yang suci.

Ref: http://www.fiqihmuslim.com/2015/09/kumpulan-hadist-tentang-kebersihan.html

Learning Objectives:
1. Jelaskan bentuk-bentuk eflouresensi!
Jawab:
Untuk mempelajari kelainan-kelainan kulit sebaiknya dibuat pembagian menurut
SIMENS (1985) yang membaginya sebagai berikut :
- Setinggi permukaan kulit :
1. Makula : kelainan kulit berbatas tegas berupa perubahan warna semata-mata.

- Bentuk peralihan, tidak terbatas pada permukaan kulit :


1. Eritema : kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler
yang reversibel.

- Bentuk peralihan, di atas permukaan kulit :


1. Urtika : edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan.
2. Vesikel : gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran kurang dari cm garis
tengah, dan mempunyai dasar; vesikel berisi darah disebut vesikel hemoragik.
3. Pustul : vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah vesikel
disebut vesikel hipopion.
4. Abses : merupakan kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit berarti
didalam kutis atau subkutis.
5. Bula : vesikel yang berukuran lebih besar. Dikenal dengan juga istilah bula
hemoragik, bula purulen, dan bula hipopion.
6. Kista : Ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel. Kista berbentuk
bukan akibat peradangan, walaupun kemudian dapat meradang.
7. Papul : Penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, berukuran diameter lebih
kecil dari cm dan berisikan zat padat.
8. Nodus : Massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau subkutan, dapat menonjol,
jika diameternya lebih kecil daripada 1 cm disebut nodulus.
9. Tumor : Istilah umum untuk benjolan yang berdasarkan pertumbuhan sel maupun
jaringan.

- Bentuk peralihan, tidak terbatas pada suatu lapisan saja :


1. Sikatriks : terdiri atas jaringan tak utuh, relief kulit tidak normal, permukaan kulit
licin dan tidak terdapat adneksa kulit.
2. Erosi : Kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui
stratum basal.
3. Ekskoriasi : bila garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai ujung papil,
maka akan terlihat darah yang keluar selain serum.
4. Ulkus : hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasi.
5. Skuama : lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.
.

Berikut ini beberapa gambar dari kelainan kulit diatas :

MAKULA URTIKARIA

VESIKEL PAPULA
PUSTULA ABSES

EROSI SIKATRIKS

ULKUS

Ref: Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta : FKUI.
Hal 35-39.
2. Mengapa gatal memberat waktu siang hari dan berkeringat!
Jawab:
Malassezia furfur (dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum
ovale) merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel rambut
manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu.

Alasan mengapa organisme ini menyebabkan tinea versicolor, pada beberapa orang
sementara tetap sebagai flora normal pada beberapa orang lainnya, belum diketahui. Beberapa
faktor, seperti kebutuhan nutrisi organisme dan respon kekebalan tubuh inang (hosts immune
response) terhadap organisme sangatlah signifikan.
Sebagai organisme yang lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk
pertumbuhan in vitro dan in vivo. Lebih lanjut, tahap miselium dapat dirangsang in vitro
dengan penambahan kolesterol dan ester kolesterol pada medium yang tepat. Karena organisme
ini lebih cepat berkoloni/mendiami kulit manusia saat pubertas dimana lemak kulit meningkat
lebih banyak dibandingkan pada masa remaja (adolescent) dan tinea versicolor bermanifestasi
di area yang kaya minyak atau sebum-rich areas (misalnya: di dada, punggung), variasi
lemak di permukaan kulit individu dipercaya berperan utama dalam patogenesis penyakit.

Referensi : repository.usu.ac.id

Anda mungkin juga menyukai