0
Skenario :
.
Seorang laki-laki berumur 37 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan muncul
bercak putih
di dada, perut, dan lengan atas kiri berbentuk bulat lonjong disertai sisik halus dengan
diameter 3-4 cm. Keluhan dialami sejak 6 bulan yang lalu, awalnya kecil dan makin
melebar. Status dermatologi bercak tampak kering, tidak berambut halus dan kurang
jelas jika diraba dibandingkan kulit sekitarnya
BERCAK PUTIH PADA KULIT
(MODUL 3)
Problem Tree
Anamnese
- Onset lesi
- Gejala konstitusi Pemeriksaan Fisik
- Riwayat keluarga Tipe lesi
- Keluhan lain Bentuk dan ukuran lesi Pemeriksaan Penunjang;
- Hub dengan Lokasi lesi 1.Mikrobiologis
musim: paparan Effloresensi 2.Iluminasi
sinar, obat dll Pola distribusi 3.Epiluminescence microscopy
Sensibilitas lesi 4.Patologi anatomi
1. Tinea versicolor
2. Lepra
MEKANISME 3. Vitiligo
DASAR 4. P. alba
Basic Sicence: 5. Hipomelanosis
6. Anatomi
gutata
7. Histologi
8. Mikrobiologi
9. Patologi
anatomi
DIAGNOSIS
Kata Kunci :
1. laki-laki
1
2. umur 37 tahun
3. bercak-bercak berwarna putih pada dada, perut, lengan atas 4. bercak
berbentuk bulat atau lonjong
5. diameter 3 – 4 cm.
6. Muncul 6 bulan yang lalu
Jawaban :
2
2. Jamur yang terdapat pada permukaan kulit akan menghalangi sinar
matahari yang membantu proses pembentukan pigmen.
Kusta (Morbus Hansen=MH).
1. Embrional, sel-sel saraf perifer dan sel melanosit berasal dari
neural crest sehingga infeksi dalam sel saraf akan turut
mempengaruhi pembentukan melanin dari sel-sel melanosit.
2. Proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh basil lepra akan
menghasilkan zat-zat yang bersifat toksik terhadap sel melanosit
sehingga terjadi penurunan pembentukan pigmen melanin.
3. Akibar dari respon imunitas tubuh penderita yang ditimbulkan oleh
reaksi antigen antibodi.
4. Cara mendiagnosis penyakit infeksi yang memberikan gejala
hipopigmentasi kulit Pitiriasis (Tinea) Versikolor, berdasarkan
pada hasil :
• Anamnesis: lesi kulit berwarna putih yang gatal terutama jika
berkeringat dan menjadi bertambah banyak dalam beberapa
waktu.
• Klinis: lesi hipopigmentasi dengan skuama halus.
• Fisis: lesi tampak lebih jelas, putih dan bersisik setelah
diregangkan dengan dua jari.
• Penunjang: Wood’s lamp: tampak floresensi
warna kuning keemasan. Dengan
KOH 20%: hifa pendek dan spora berkelompok diluar hifa
(sphagetti and meet ball appearance ).
Kusta (Morbus Hansen=MH) :
• Anamnesis: lesi kulit berwarna putih tidak gatal tetapi terasa kebal
dan kurang rasa serta sering terasa ngilu pada persendian.
• Klinis: lesi hipopigmentasi, hipoanestesi atau anestesi.
• Fisis: lesi hipopigmentasi pada beberapa tempat, teraba
pembesaran saraf, yang nyeri – sakit jika ditekan dan sangat ngilu
bila kena trauma.
• Skin smear BTA dari cuping telinga kanan-kiri dan 2 tempat lesi
aktif (BTA BI dan MI)
• Biopsi kulit untuk pemeriksaan PA → gambaran histopatologi
untuk kusta dan ditemukan basil kusta.
• Lepromin tes (+) dan MLPA (+) atau negatif.
3
a. Memastikan terlebih dahulu penyakitnya dengan jalan melakukan tes
sensibilitas kulit daerah lesi baik menggunakan jarum, kapas ataupun
tabung air panas – dingin. Biasanya rangsangan rasa, raba dan sakit
tersebut akan berkurang sampai menghilang.
b. Lakukan pemeriksaan skin smear dengan kerokan serum pada
cuping telingan kanan – kiri, menggunakan skalpel tajam atau pisau
dan kerok serum tanpa berdarah. Lakukan fiksasi dan pewarnaan
BTA Ziehl-Neelsen dan lihat dibawah mikroskop.
c. Lakukan pemeriksaan lepromin tes yang hasilnya dibaca 24 jam dan
1 minggu setelah penyuntikan.
d. Lakukan pemeriksaan serologis dengan MLPA yang hasilnya dapat
diketahui dalam 2 jam dan 24 jam kemudian.
e. Lakukan pemeriksaan biopsi kulit daerah lesi untuk histopatologi
(gambaran PA) dengan pewarnaan HE(Hematoxilline-Eosin) dan FF
(Fite Faraco).
4
- Lamprene (clofazimin); dosis 300 mg/bulan dilanjutkan 50 mg/hari
selama 6 – 9 bulan untuk tipe PB dan 12 – 18 bulan untuk tipe MB.
b. Pengobatan alternatif jika terjadi alergi terhadap salah satu obat dari
regimen MDTWHO atau penderita menolak karena efek pada kulit menjadi
coklat. Adapun obat yang sering digunakan adalah :
- Ofloksasin 400 mg/bulan.
- Minosiklin 100 mg/bulan.
- Claritromisin 500 mg/bulan.
- Sedangkan untuk mencegah terjadinya cacat; penderita dianjurkan
untuk merawat diri dan menggunakan alas kaki untuk berjalan.
8. Indikasi dan kontraindikasi pemberian pengobatan Pitiriasis (Tinea)
Versikolor
- Indikasi pengobatan : memenuhi kriteria diagnosis.
- Kontraindikasi: terdapat gangguan hepar.
- Cara pengobatan: oral / sistemik dan topikal.
Kusta (Morbus Hansen=MH).
- Indikasi pengobatan: memenuhi kriteria diagnosis.
- Kontraindikasi: terdapat gangguan hepar, alergi salah satu obat
regimen MDT-WHO atau obat alternatif.
- Cara pengobatan: oral / sistemik.
9. Lokasi target dan cara kerja obat-obat tersebut.
5
- Hipopigmentasi pasca inflamasi --> topikal dengan prinsip terapi
setengah basah setengah kering sedian bentuk krim.
Kusta (Morbus Hansen=MH).
- Reaksi kusta: pengobatan sistemik dengan analgetik antipiretik atau
kortikosteroid.
- Cacat: perawatan diri secara teratur dan kortikosteroid.
- Ulkus: istirahat total dan perawatan luka.
HIPOPIGMENTASI
Definisi: hipopigmentasi adalah perubahan warna kulit pada penderita dimana warna
kulit kelihatan menjadi lebih terang daripada kulit disekitarnya. Perubahan warna
tersebut dapat disebabkan oleh karena produksi pigmen melanin yang berkurang
atau sel-sel melanosit menjadi lebih kecil ukurannya.
TINEA VERSICOLOR
Definisi :Tinea versicolor adalah dermatosis berskuama kronis asimptomatis yang
dihubungkan dengan pertumbuhan berlebihan dari hifa Pityrosporum ovale, yang
mempunyai karakteristik bercak berbatas tegas, berskuama dengan variasi
pigmentasi dan paling sering terdapat di daerah badan.
6
Sinonim: Pityriasis versicolor
Etiologi: Penyebab tinea versicolor adalah Pityriasis ovale (P. orbiculare dan
Malassezia purpur), yeast lipopolik, terdapat secara normal pada lapisan keratin
kulit dan folikel rambut individu yang berusia 15 tahun keatas. Merupakan
organisme oportunistik.
Gambaran klinis: makula hipopigmentasi yang berbatas tegas, bentuk bulat atau
lonjong dengan ukuran bervariasi. Terdapat skuama halus diatasnya. Pada
individu kulit putih dapat berupa makula yang berwarna agak kecoklatan.
Diagnosis banding
1. Pityriasis alba
2. Vitiligo
3. Kusta tipe tuberkuloid
4. Hipopigmentasi pasca inflamasi (HPI)
Penatalaksanaan
1. Topikal
- selenium sulfida 2,5% losio atau sampo
- krim azol (ketokonazole, econazole, miconazole, clotrimazole)
- ketoconazole sampo
- terbinafine 1% solusio
2. Sistemik
- Ketokonazole 200 mg/hr oral 7-14 hari - Flukonazole 400 mg dosis
tunggal - Itraconazole 200-400 mg/hr oral 3-7 hari.
VITILIGO
Sinonim: Shwetakustha, suitra, behak, leukopatia dan beras.
7
Defenisi: Vitiligo merupakan suatu gangguan genetik dan hipomelanotik dengan
hilangnya proses pigmentasi di epidermis akibat destruksi melanosit. Dapat
mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut
dan mata.
Epidemiologi: Insidens yang dilaporkan bervariasi antara 0,1 sampai 0,8 %. Dapat
mengenai semua ras dan jenis kelamin. Pria dan wanita sama banyak, lebih sering
pada individu yang berkulit gelap. Timbulnya penyakit ini mulai pada anak-anak
hingga orang tua, namun sebagian besar terkena sebelum usia 20 tahun.
Penelitian lain mengatakan bahwa 50% kasus dimulai pada dekade I – II
kehidupan, dilaporkan juga bahwa vitiligo dapat timbul setelah 3 atau 4 generasi
berikutnya.
Vitiligo kongenital sangat jarang, walaupun dikatakan bahwa faktor genetik turut
berpengaruh dan 30 - 40 % penderita yang mempunyai riwayat keluarga yang
positif vitiligo. Prevalensi penyakit ini pada anak yang orang tuanya menderita
vitiligo adalah 4 – 5%.
Etiologi: belum diketahui secara pasti, walaupun vitiligo umumnya diakui sebagai
satu kesatuan tetapi penyebab sebelumnya sangat kompleks. Berbagai faktor
diduga sebagai penyebab sehingga muncul beberapa teori yaitu teori autoimun,
teori neural, teori sitotoksik, faktor genetik dan faktor bahan kimia. Hal lain
dikatakan bahwa lesi vitiligo menjadi lebih mudah timbul akibat faktor trauma atau
tekanan dan faktor bahan kimia (fenol). Pada keadaan tertentu vitiligo juga sering
ditemukan pada penderita dengan gangguan absorbsi vitamin B12 (anemia
defisiensi vitamin B12).
Patogenesis:
1. Mekanisme Autoimun
Proses autoimun diduga merupakan penyebab utama terjadinya vitiligo.
Berdasarkan data observasi klinis yang nyata pada penderita dengan penyakit
autoimun yang menderita vitiligo dengan hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap serum penderita, didapatkan auto antibodi yang merusak melanosit.
Antibodi terhadap melanosit ini ditemukan pada 80 % serum penderita vitiligo,
dimana antibodi terhadap melanosit ini mampu membunuh sel pigmen secara in
vitro. Kadar antibodi terhadap melanosit akan berpengaruh langsung terhadap
luasnya depigmentasi pada vitiligo.
Adanya hubungan antara vitiligo dengan penyakit autoimun seperti tiroiditis
Hasimoto, anemia pernisiosa, diabetes mellitus, insufisiensi adrenal,
hipoparatiroid, limfoma, timoma, miastenia gravis dan mukokutaneus
kandidiasis, akan meperkuat dugaan bahwa vitiligo merupakan penyakit
autoimun.
2. Mekanisme Neural
Teori neural pada vitiligo diperkenalkan oleh Learner sekitar 40 tahun yang lalu
dengan hipotesisnya berdasarkan pada :
- Laporan kasus dari penderita dengan trauma saraf
- Vitiligo dermatomal (klinik segmental)
- Peningkatan prodiksi keringat dan vasokontriksi pada area vitiligo.
- Depigmentasi area serabut saraf pada hewan coba
Melanosit berasal dari puncak neural yang memperlihatkan kontak dengan
bagian akhir saraf pada kulit depigmentasi. Degenerasi dan regenerasi saraf
autonom dan membran basal yang tipis dari sel schwann kulit tampak dipusat
dan perifer dari bercak depigmentasi.
Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol. Kemiripan
struktur antara epinefrin dan prekursor melanin memperkuat dugaan bahwa
8
produk intermediate selama sintesa katekol mempunyai efek merusak
melanosit. Selain tiu adanya peningkatan mediator neurokimia pada ujung saraf
yang dapat merusak melanosit.
3. Mekanisme autositotoksik
Sel pigmen mensintesis melanin melalui proses oksidasi tirosin menjadi dopa
dan dopa menjadi dopakuinon. Melalui berbagai tahapan reaksi dopakuinon
akan dioksidasi menjadi indol dan radikal bebas.
Melanosit mempunyai pertahanan intrinsik yang dapat mengeliminasi prekursor
melanin yang toksik. Rusaknya mekanisme ini akan mengakibatkan akumulasi
indol dan radikal bebas yang dapat menghancurkan melanosit. Tirosin, dopa,
dopachrom memeperlihatkan sebagai zat sitotoksik terhadap melanosit secara
in vitro.
4. Faktor genetik
Vitiligo dapat terjadi secara sporadis atau bersamaan dengan adanya hubungan
antara keluarga. Hal ini didukung oleh adanaya pola herediter pada beberapa
keluarga, dimana vitiligo diturunkan melaui gen autosomal dominan atau malalui
gen autosomal resesif.
5. Faktor bahan kimia
Depigmentassi kulit dapat terjadi akibat paparan monobenzil eter hidroquinon
yang terdapat pada sarung tangan. Terdapat sejumlah bahan kima yang mampu
menyebabkan terjadinya depigmentasi yaitu : thiol, senyawa fenol, derivate
katekol, merkapto amin dan beberapa kuinon. Menghirup atau menelan senyawa
kimia ini akan berperan dalam terjadinya depigmentasi.
Gejala klinis: Makula berwarna putih dengan diameter beberapa millimeter sampai
beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan
epidermis yang lain. Kadangkadang terlihat makula hipomelanotik selain makula
apigmentasi.
Di dalam makula vitiligo dapat ditemukan makula dengan pigmentasi normal atau
hiperpigmentasi disebut repigmentasi folikuler. Kadang-kadang ditemukan tepi lesi
yang meninggi, eritema dan gatal, disebut inflamatoar.
Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas jari,
periorifisial, sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan
tangan bagian fleksor. Lesi dapat bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area
yang terkena trauma juga dapat timbul. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang
mengenai genital eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Klasifikasi:
Berdasarklan lokasi dan distribusinya maka vitiligo dapat dibagi atas:
1. Tipe Lokalisata, yang terdiri atas :
1.1 Tipe fokal : satu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak
segmental.
1.2 Tipe segmental : satu atau lebih makula pada satu area, deengan
distribusi menurut dermatom misalnya satu tungkai.
1.3 Tipe mukosal : hanya terdapat pada membran mukosa.
2. Tipe Generalisata, yang terdiri dari :
2.1 Tipe akrofasial: depigmerntasi hanya terjadi dibagian distal ekstremitas
dan muka, merupakan stadium mula vitiligo yang generalisata
2.2 Tipe vulgaris : makula tanpa pola trertentu di banyak tempat.
2.3 Tipe campuran : depigmentasi terjadi menyeluruh atau menyeluruh
merupakan vitiligo total.
9
Diagnosis:
1. Evaluasi Klinis
Diagnosis didasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Ditanyakan
pada penderita : a. Awitan penyakit.
b. Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini.
c. Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesi areata, DM, dan anemia
pernisiosa.
d. Kemungkinan faktor pencetus, yakni stress, emosi, terbakar matahari dan
pajanan bahan kimiawi.
e. Riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.
2. Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaan HE tampaknya normal kecuali tidak ditemukan melanosit,
kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula. Reaksi dopa untuk
melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang
hiperpigmentasi.
3. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa menunjukkan
tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal.
Metode pengobatan pada vitiligo terdiri atas pengobatan secara umum dan
spesifik.
A. Pengobatan Umum
1. Arahan kepada penderita untuk menenteramkan penderita dan
memberikan informasi mengenai penyakit.
2. Penggunaan tabir surya memakai SPF 8 atau SPF15.
3. Bahan-bahan kosmetik, misalnya pewarna topikal.
B. Pengobatan Spesifik
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik atau topikal. Penggunaan
kortikosteroid topikal dapat meningkatkan mekanisme pertahanan terhadap
autodestruksi melanosit dan menekan perubahan imunologis sehingga
melanosit yang tidak aktif dapat mengadakan repigmentasi.
2. Fotokemoterapi
Fotokemoterapi merupakan bentuk pengobatan kombinasi dengan
menggunakan bahan yang bersifat fotosensitizer dengan radiasi ultraviolet
gelombang panjang atau sinar matahari. Beberapa bentuk fotokemoterapi
saat ini :
− PUVA merupakan bentuk pengobatan kombinasi antara psoralen
(topikal atau sistemik) kemudian dipaparkan sinar ultraviolet dari
matahari (pukul 11.00-16.00) atau sumber buatan (fluorescent 320-
400 nm). Sampai saat ini cara tersebut masih dianggap efektif.
10
− KUVA merupakan fotokimia baru dengan menggunakan Khellin
sebagai fotosensitizer. Kelebihan Khellin yaitu tidak menimbulkan
eritema fototoksik pada kulit.
− PAUVA merupakan fotokimia dengan menggunakan asam amino essensial
L-
fenilalanin sebagai fotosensitizer. Respon vitiligo terhadap
pengobatan ini sangat bervariasi, dilaporkan hanya 16% kasus yang
mengalami repigmentasi.
3. Tindakan Bedah
Tindakan bedah paling sering dilakukan pada vitiligo tipe segmental atau
tipe lokalisata dan tidak progresif.
4. Depigmentasi. Diberikan pada :
− Penderita dengan lesi luas lebih dari 50% luas tubuh.
− Penderita yang gagal, tidak memungkinkan, atau tidak
menghendaki pengobatan PUVA.
− Penderita yang dapat menerima kelainan pigmentasi yang menetap
dan ireversibel.
5. Pengobatan alternatif
− Multivitamin (folic acid + vitamin B12 +
vitamin C). − Pseudocatalase + kalsium +
UVB, 2 kali/minggu.
Prognosis: Perjalanan vitiligo tidak dapat diduga. Pada vitiligo generalisata, lesi
dapat tetap statis atau menyebar mengenai daerah tubuh yang luas, namun dapat
juga terjadi repigmentasi spontan. Vitiligo segmental mempunyai perjalanan klinis
yang stabil, kemungkinan untuk terjadi evolusi atau repigmentasi adalah kecil.
Belum ditemukan hasil yang memuaskan pada berbagai macam pengobatan.
Prognosis untuk kehidupan penderita umumnya baik, tetapi bagi perbaikan
kosmetiknya kurang baik.
PITIRIASIS ALBA
Definisi: Pitiriasis alba adalah kerusakan kulit secara relatif yang umumnya pada
anak-anak dan orang dewasa. Dan biasanya pasien datang ke dokter karena
faktor kosmetik atau penampilan. Dermatitis yang tak spesifik dan belum
diketahui penyebabnya ditandai dengan bercak kemerahan dan skuama halus
yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi.
Etiologi: Etiologi dari pitiriasis alba belum dapat diketahui, tapi diduga akibat
infeksi Streptococcus.
Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga impetigo dapat merupakan
faktor pencetus. Pitiriasis alba merupakan manifestasi dermatitis non spesifik.
Gejala klinis:
- Dijumpai pada umur 3-16 tahun (30-40%).
- Wanita dan pria sama banyak.
- Lesi berbentuk bulat, oval, atau plakat yang tidak teratur. Warna merah
muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema
menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus.
Pada stadium ini baru penderita datang berobat terutama pada kulit
berwarna.
11
- Biasanya lokasi kelainan pada muka, paling sering disekitar mulut dagu,
pipi dan dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat
semetris pada bokong, punggung dan ekstensor langan.
- Bercak multipel 4-20 diameter ½-2cm.
Histopatologi:
- Perubahan akantosis ringan, spongiosis dengan hiperkeratosis sedang dan
parakeratosis setempat.
- Tidak adanya pigmen yang disebabkan karena afek penyinaran sinar oleh
stratum korneum yang menebal atau oleh kemampuan sel epidermal
mengangkut granular pigmen melanin berkurang.
- Pemeriksaan mikroskop elektron terjadi penurunan jumlah dan
berkurangnya ukuran melanosom.
Laboratorium: Dengan pengujian menggunakan hidroksida kalium (KOH) adalah
dilakukan untuk mengesampingkan tinea versicolor, tinea faciei, atau tinea
corporis.
Diagnosis banding:
1. Tinea versicolor.
Dapat dibedakan dengan pemeriksaan KOH pada bercak. Pada tinea versicolor,
dapat dilihat adanya bagian dari jamur, sedang pada pitiriasis alba tidak ada.
2. Vitiligo
Dapat dibedakan dengan melihat batas dari bercak, dimana batas dari vitiligo
sangat jelas dengan garis jelas antara kulit normal dan tidak.
Prognosis: Baik, penyakit dapat sembuh spontan setelah beberapa bulan sampai
beberapa tahun.
BAHAN BACAAN & SUMBER INFORMASI SELAIN BAHAN KULIAH DANM HAND
OUT
1. Baron, JD; Peterson, LR; Finegold, SM: Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology, 9th edition,
Mosby, Sydney, 1994.
2. Brooks, GF; Butel, JS; Morse, SA: Jawezt, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology, 23rd
Edition, International Edition, McGraw-Hill, Kuala Lumpur, 2004.
3. Cohen, J., et all: Infectious Diseases, Volume 1, 2nd Edition, Mosby, Sydney, 2004.
4. Ryan, KJ; Ray CG: Sherris Medical Microbiology, an Introduction to Infectious Diseases, 4th
Edition, McGraw-Hill, Singapore, 2004.
5. Joklik, WK; Willett, HP; Amos, DB; Wilfret, CM: Zinsser Microbiology, 20th Edition, Appleton &
Lange, Connecticut, 1992.
6. Virella, G.: Microbiology and Infectious Diseases, 3rd Edition, Wlliams & Wilkins, Tokyo, 1997.
7. Mc Graw Hill. Current Medical, Diagnosis and Treatment, 40th ed, Tierney LM (Eds), 2001
(ISBN 0-07-116332-8)
8. Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th Ed, New York, 2001 (ISBN 0-07-
116244-5)
9. Klenk AS, Martin AG, Hefferman MP. Yeast Infection: Candidiasis, Pityriasis (Tinea)
Versicolor. Dermatology in general Medicine, 5th ed. London, Mc Graw Hill, 2003 : 2014-6.
10. Hasting RC. Leprosy. 2nd ed. Tokyo : Churchill Livingstone. 1994.
11. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002.
12. Ilmu Penyakit Kulit. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, 2003.
12
13. Kusta. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, 2004.
14. Goodmen and Gilman. The Pharmacologal. 9th ed, New York, Mc Grow, 1996.
15. Farmacology & Therapy. edisi 4, 1995.
16. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 5th ed. New York: McGraw-Hill 1999.
17. Baker FJ and Breach MR. Medical Microbiology Techniques. Butterworth, London, 1980.
18. Davis BD, et al. Microbiology, 3rd edition. Harper and Row, Maryland, 1980.
19. Virella G. Microbiology and Infectious Diseases. 3rd Edition, Williams and Williams, Tokyo,
1997.
20. Nasri NN. Epidemiology Dasar. Pt Rineke Cipta, Jakarta. 1997.
21. WHO. International statistical classification of diseases and related health problems. 10th ed,
vol 1, WHO, Geneva, 1992
22. Rubin & Farber. Pathology. J.B.Lippincott company, 1988
23. Robbins. Pathologic Basis of Disease. 5th Ed, WB Saunders Company, 1994.
13
MODUL IV
Skenario :
Seorang Pria berusia 35 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan bercak kemerahan
yang bertambah luas pada daerah bokong dialami sejak 2 minggu lalu, riwayat pekerjaan
sebagai sopir
angkutan. Kata Kunci :
Problem Tree
14
Anamnesis: Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan Penunjang;
- Morfologi, lamanya - Inspeksi: lokasi,
- Mikrobiologi/parasitologi
- Gejala lain yang ukuran, bentuk,
efloresensi - Radiologi
menyertai
- Palpasi - Patologi klinik
- Perkusi - Patologi Anatomi
- Auskultasi
- Suhu badan
Diagnosis banding:
1) Tinea korporis
Patomekanisme:
2) Kandidiasis
1. Fisiologi 3) Varicella
2. Anatomi 4) Leprosy
3. Mikrobiologi 5) Herpes zoster
4. Parasitologi 6) Morbili BERCAK MERAH
5. Patologi 7) DHF PADA KULIT
Anatomi 8) Anthrax
9) Cutaneus larva
migran
10) Skabies
11) Pedikulosis
12) DHF
13) Eritrasma
14) P.rosea DIAGNOSIS
1. Penyakit (gangguan) apa saja yang bisa bergejala seperti tersebut diatas.
• Tinea korporis
• Kandidiasis
• Varicella
• Leprosy
• Herpes zoster
• Morbili
• DHF
• Anthrax
• Cutaneus larva migran
• Skabies
• Pedikulosis • DHF
15
− Kusta : melalui permukaan kulit atau membran mukosa yang rusak kuman
M.leprae masuk dalam tubuh. Pada tingkat pertahanan alamiah (innate
immunity) kuman difagosit oleh monosit, kemudian masuk kedalam aliran
darah. Selama di dalam monosit M.leprae yang bersifat obligat intrasel tidak
mati, bahkan mampu berkembang biak. Kuman didalam makrofag menjadi
semakin banyak, hingga suatu saat makrofag mati dan pecah, kuman
keluar, menyebar dan mencapai perineum saraf tepi kemudian masuk
kedalam ruang endoneur I. Saraf tepi merupakan tempat predileksi
M.leprae.
− Tinea korporis : dapat disebabkan oleh berbagai spesies Trichophyton,
Microsporum dan Epidermophyton. Biasanya terjadi setelah kontak dengan
individu atau binatang peliharaan yang terinfeksi. Penyebaran juga dapat
terjadi melalui benda, misalnya pakaian, perabot dan sebagainya. Infeksi
spesies antropofilik seperti E.floccosum, atau T.rubrum sering menyertai
autoinokulasi dari bagian tubuh lain yang terinfeksi, misalnya kaki. Berbagai
keadaan yang menyebabkan suhu panas dan kelembaban merupakan
faktor predisposisi.
− Kandidiasis : manifestasi klinik kandidiasis merupakan hasil interaksi antara
patogenesis kandida dengan mekanisme pertanahan tuan rumah yang
berkaitan dengan faktor predisposisi. Patogenesis penyakit dan bagaimana
mekanisme pertahanan tuan rumah terhadap kandida belum sepenuhnya
dimengerti, namun pada dasarnya terdapat 2 mekanisme patogenesis yaitu
mekanisme non imun yang meliputi interaksi flora normal kulit / mukosa dan
faktor pertanahan stratum korneum, serta mekanisme imun seluler dan
humoral.
3. Pemeriksaan apa saja yang dibutuhkan untuk menyingkirkan kausa lain
dengan gejala bercak kemerahan :
a) Anamnesis : Riwayat keluhan yang lain
b) Pemeriksaan fisis : morfologi lesi dan predileksi.
c) Pemeriksaan rutin : KOH.
d) Pemeriksaan penunjang : mikrobiologik/parasitologik, histopatologik, BTA.
4. Bagaimana penanganan penyakit dengan bercak kemerahan :
a) Edukasi.
b) Medikamentosa − Topikal.
− Sistemik.
Tinea corporis
Tinea korporis adalah infeksi dermatofit pada kulit glabrosa kecuali telapak tangan,
telapak kaki dan sela paha.
Sinonim : ringworm of the body, tinea circinata.
16
Gambaran klinis : Didapatkan lesi bulat, berbatas tegas, pada tepi lesi tampak
tanda radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi yang
berdekatan dapat bergabung membentuk pola polisiklinik. Derajat inflamasi
bervariasi, dengan morfologi dari eritem sampai dengan vesikel dan pustul.
Diagnosis berdasarkan:
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan klinis.
3. Pemeriksaan penunjang : KOH, kultur, histopatologik.
Penatalaksanaan:
1. Menghilangkan faktor predisposisi.
2. Medikamentosa :
a) Topikal : preparat imidazol dan allilamin.
b) Sistemik :
− Griseofulvin : 500-1000 mg/hari selama 2-6 minggu.
− Ketokonazol : 200 mg/hari selama kira-kira 4 minggu.
− Itrakonazol : 100 mg/hari selama 2 minggu atau 200 mg/hari selama
1 minggu. − Terbinafin : 250 mg/hari selama 1-2 minggu.
Candidiasis cutaneus
Definisi: Penyakit jamur yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies
Candidia, biasanya oleh spesies Candidia albicans. Dapat mengenai mulut,
vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, dan kadang-kadang dapat menyebabkan
septikemia, endokarditis atau meningitis. Spesies Candidia merupakan sebagian
daripada flora normal tubuh dan kandidiasis merupakan penyakit infeksi jamur
(mikosis) yang paling sering ditemukan.
Penyebab: Yang tersering sebagai penyebab ialah Candidia albicans yang dapat
disolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina dan feses orang normal.Berbentuk
oval dengan saiz bervariasi, 2 - 6 µm hingga kepada 3-9 µm. Sebagai flora normal
berbentuk ragi (yeast), tetapi akan membentuk hifa apabila invasif.
Patogenesis dan imunologi: Infeksi oleh Candidia bisa terjadi pada mana-mana
bagian tubuh yang panas,lembab dan tertutup . Oleh itu, infeksi kandidia dapat
terjadi apabila adanya faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen. Faktor
endogen adalah perubahan fisiologik seperti kegemukan (kerana banyak
keringat), endokrinopati (kerana terjadi gangguan gula darah kulit) dan adanya
penyakit kronis seperti tuberkulosis, SLE dan AIDS (keadaan umum yang buruk
dan sistem imun menurun). Oleh itu, selalu ditemukan penyakit kandidiasis pada
penderita-penderita diabetes dan mereka yang obesitas. Selain itu, orang tua dan
bayi lebih mudah terkena infeksi kerana status imunologiknya tidak sempurna.
Faktor eksogen pula adalah iklim panas,dan kelembapan menyebabkan perspirasi
meningkat.
Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan
memudahkan masuknya jamur.Kebersihan kulit juga memainkan peran, dimana
higenis yang buruk meningkatkan faktor resiko infeksi. Oleh demikian, selalu
ditemukan infeksi kandidiasis ini pada orang yang menderita diabetes dan mereka
yang obesitas. Penggunaan antibiotik spektrum luas dan oral kontraseptif juga
meningkatkan resiko terjadinya kandidiasis kutaneus ini.
Gejala Klinis : Lesi ditemukan di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal,
bawah lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilikus. Lesi
17
ini berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritomatosa. Lesi
tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau
bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir yang kasar
dan berkembang seperti lesi primer. Pruritus juga bisa terjadi. Kulit juga kelihatan
merah dan edematous.
Pada pemeriksaan biakan, bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar
Sabouraud.Dapat pula dibubuhi antibiotic untuk mencegah pertumbuhan
bakteri.Biakan disimpan dalam suhu kamar dan koloni (yeast like) akan tumbuh
setelah 24-48 jam. Identifikasi Candidia albicans dilakukan dengan
membiakkannya pada corn meal agar.
Referensi:
1. Prof Dr. Adhi Djuanda : Ilmu penyakit kulit dan kelamin ; edisi ke-3,
(Fakultas kedokteran Universitas Indonesia 1999)
2. A. Kerdel, Jimenez-Acosta : Dermatology Just the Facts ; International
edition,(Mc Graw Hill Publications 2003)
3. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/00880.htm
Herpes zoster
Definisi: Herpes Zoster adalah infeksi akut dermatomal yang berasosiasi dengan
reaktivasi varicella-zoster virus (VZV) dan diandai oleh nyeri unilateral dan vesikel
18
atau erupsi bulla yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh gangglion
sensoris.(1) Zoster (shingles) juga merupakan suatu penyakit sporadic, yang
melemahkan orang dewasa (jarang pada anak-anak), ditandai oleh reaksi
peradangan radix posterior saraf dan ganglia, diikuti oleh kelompokan vesikel
(seperti varisela) di atas kulit yang dipersarafi oleh saraf-saraf sensoris yang
terkena. (2) Pada umumnya morbiditas adalah postherprtic neuralgia. (1)
Sinonim:Shingles
Insidens: Berdasarkan usia, labih dari 66% terjadi pada usia lebih dari 50 tahun;
5% kasus pada anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun.(1)
Pada umumnya faktor utama kurangnya kekebalan terhadap virus varicella zoster
adalah bertambahnya usia, terutama terjadi pada usia ≥ 55 tahun. Kehamilan,
immunosupresi, terutama yang berasal dari gangguan lymphoproliferative dan
kemoterapi. Radioterapi dan infeksi HIV mempunyai kemungkinan insidens ganda
untuk terserang herpes zoster.(1)
Biologi: Virus Varisela Zoster secara morfologi identik dengan virus herpes
simplex. Virus berbiak dalam biakan jaringan embrional manusia dan
menimbulkan badan-badan inklusi khas intranuklir. Cairan yang terletak diatas
biakan yang terkena infeksi seperti ini mengandung antigen ikatan komplemen
tetapi tidak mengandung virus infektif. Virus tidak berbiak dalam binatang
laboratorium. Virus dapat diisolasi dari cairan vesikuler penderita zoster dan dari
cairan serebrospinal pada kasus-kasus meningitis aseptik zoster.(2)
Anak-anak yang telah sembuh dari infeksi yang diakibatkan virus zoster resisten
terhadap varisela, dan anak-anak yang pernah menderita varisela tidak lagi peka
terhadap virus zoster primer.(2) Antibodi terhadap virus varisela zoster dapat diukur
dengan tes ikatan komplemen, presipitasi gel, netralisasi, atau imunofluoresensi
tidak langsung terhadap antigen selaput yang diakibatkan virus.(2)
Virus mempunyai efek seperti kokhisin pada sel-sel manusia. Sering terlihat
penghentian pada metaphase, kromosom yang berkontraksi berlabihan,
pematahan kromosom, dan pembentukan mikronuklei.(2)
Transmisi: Virus infektif mudah dipindahkan oleh sel-sel yang terkena infeksi. (2)
Patogenesis dan Imunologi: Selain lesi-lesi kulit secara histologik identik dengan
lesi-lesi varisela, terdapat reaksi radang radix dorsal saraf dan ganglia sensorik.
Sering kali hanya satu ganglion yang terserang. Sebagai patokan, penyebaran
lesi-lesi pada kulit sangat sesuai dengan daerahdaerah persarafan tiap-tiap
ganglion radix dorsal. Terdapat infiltrasi sel, nekrosa sel-sel saraf, dan peradangan
selubung ganglion. (2)
Virus varisela tampaknya mampu masuk dan tinggal dalam ganglia radix
dorsal untuk waktu yang lama. Bertahun-tahun kemudian, berbagai rangsangan
(misalnya tekanan pada suatu saraf) dapat menyebabkan gejolak virus sepanjang
19
serabut-serabut radix posterior, kemudian timbul vesikel-vesikel zoster. Jadi, virus
varisela-zoster dan virus herpes simplex kemampuannya sama untuk
menimbulkan infeksi laten dengan rekurensi klinik penyakit pada manusia. Akan
tetapi, zoster jarang terjadi lebih dari sekali. (2)
Gambaran Klinis: Masa inkubasi tidak diketahui.(2) Manifestasi klinis herpes zoster
dapat dibagi dalam 3 fase yaitu(3)
1. Fase pre-eruptif / fase prodromal:
-
Fase ini ditandai dengan hilangnya sensasi kulit atau nyeri dengan
dermatome yang menimbulkan onset lesi dalam 48-72 jam. (3)
-
Selama fase ini, penderita akan mengalami perasaan tidak enak badan,
malaise, myalgia, sakit kepala (3) dan demam yang segera diikuti oleh rasa
sakit hebat pada daerah kulit atau selaput lendir yang dipersarafi oleh satu
kelompok saraf dan ganglion sensoris atau
lebih.(2)
2. Fase eruptif:
−
Fase ini ditandai oleh erupsi vesicular. Ini terjadi beberapa hari setelah fase
pre-eruptif(3), yaitu tampak kelompokan vesikel-vesikel timbul pada kulit
yang dipersarafi oleh saraf-saraf yang terangsang.(2) Selain itu, penderita
juga mengeluh mengalami gajala seperti fase pre-
eruptif.(3)
− Lesi dimulai dengan makula eritematosa dan papul yang cepat berkembang
menjadi vesikel. Lesi baru timbul dalam 3-5 hari, kadang-kadang berbentuk
bulla.(3)
− Setelah bentuk vesikel, lesi progresifitas selanjutnya menjadi ruptur,
melepaskan kandungan yang ada di dalamnya, ulserasi, dan akhirnya
krustanya gugur dan menjadi kering. (3)
−
Gejala dan lesi berlangsung selama 10-15 hari. Namun penyembuhannya
dapat berlangsung hingga beberapa bulan, dan berasosiasi dengan nyeri
kronik (3)
- Penderita tetap infeksius hingga lesinya kering. (3)
3. Fase kronik (postherpetic neuralgia)
- Ini merupakan nyeri persisten atau rekurens setalah infeksi akut 30 hari
atau lebih, atau setelah semua lesinya menjadi krusta.
- Pada umumnya penderita mengeluh nyeri dalam dan terbakar, paresthesia,
dysesthesia, hyperesthesua, atau nyeri seperti sengatan listrik. Resolusi
nyeri dapat berlangsung berbulan bahkan tahunan (3)
Erupsi biasanya unilateral; badan, kepala, dan leher paling sering terkena. Dapat
pula terjadi pleositosa limfositik pada cairan serebrospinal. (2)
Distribusi: unilateral, dermatomal. Biasanya meliputi dua atau lebih dermatomal.(1)
20
(Gambar 1: dermatomes area, dikutip dari www.medline-herpeszoster-
2004.com) Predileksi: thoracic (> 50%),
Pada membrana mukosa, vesikel dan erosi terjadi pada mulut, vagina, dan vesica
urinaria, tergantung dari penyebaran dermatomenya.(1)
Pada penderita dengan zoster lokal dan tidak ada penyakit yang mendasari, kadar
interferon vesikel mencapai puncaknya pada permulaan infeksi (menjelang hari
keenam), sedangkan kadar pada penderita dengan infeksi menyebar mencapai
puncaknya kemudian. Puncak kadar interferon diikuti oleh perbaikan klinik dalam
48 jam. Vesikel-vesikel mengalami pernanahan dan krusta.(2)
Pemeriksaan Fisis:
Dapat ditemukan:
- lymphadenopathy; karena nodus regional yang mempersarafi daerah itu
membesar.
- Perubahan saraf sensoris dan motoris; dapat dideteksi dengan pemeriksaan
neurologik. Dapat ditemukan defek sensoris (suhu, nyeri, dan perabaan) dan
kelainan ringan motor paralysis seperti cerebral palsy.
- Pada mata dapat ditemukan ophtalmik zoster yang dapat berkomplikasi seperti
uveitis, keratitis, conjungtivitis, retinitis, neuritis optik, glaukoma, proptosis. (1)
Diagnosis:
1. Berdasarkan gambaran klinis:
- Pada fase pre-eruptif: suspek Herpes Zoster pada penderita yang usia
lanjut atau yang immunocomprimised dengan nyeri unilateral.
- Pada saat vesikulasi aktif; terdapat lesi pada kulit yang gatal namun tidak
nyeri; gunakan pemeriksaan klinis yang adekuat, dapat pula dikonfirmasi
dengan tes Tzank dan DFA atau kltur virus, atau padat pula mengikuti
prosedur pemeriksaan HSV.
- Pada Postherpetic neuralgia, berdasarkan perjalanan penyakit dan
pemeriksaan klinis.(1)
2. Diagnosis laboratorium:
Pada pemeriksaan mikroskopik kerokan atau usapan dasar lesi-lesi vesikuler,
terlihat sel-sel raksasa multinuklir dengan menggunakan pewarnaan
hematoksilin-eosin. Pada sediaan yang sama, antigen virus intrasel dapat
diperlihatkan dengan pewarnaan imunofluoresensi.(2) Virus dapat diisolasi
21
dalam biakan sel manusia, kera, atau sel-sel epitel kelinci atau deretan sel-sel
yang diinokulasikan dengan bahan yang diperoleh dengan aspirasi vesikel-
vesikel atau usapan dari lesi-lesi yang mengelupas. Herpes zoster tumbuh
terutama pada sel-sel fibroblastik dalam 3-5 hari. Virus tersebut dapat
diidentifikasi melalui bentuk morfologik perubahan-perubahan sel dan melalui
pewarnaan efloresensi. Identitas isolat dapat dipastikan selanjutnya dengan
tes-tes netralisasi dengan antiserum spesifik.(2)
Penatalaksanaan:
Pada penderita kanker, pengobatan zoster dini dengan interferon membantu
mencegah penyebaran dan perluasan zoster ke tempat-tempat yang jauh. Bila
terjadi penyakit yang menyebar, globulin imun zoster sedikit manfaatnya pada
penderita yang mempunyai gangguan kekebalan.(2)
Idoksuridin dan sitarabin menghambat replikasi virus-virus in vitro tetapi bukan
merupakan pengobatan yang efektif untuk penderita. Sebaliknya, obat ini dapat
menghambat penyembuhan
pada disfungsi imunologik dengan menekan respon tuan rumah lebih lanjut.(2)
Adenin arabinosida (vidarabin, Ara-A) mungkin bermanfaat pada orang dewasa
dengan pneumonia varisela berat, anak-anak dengan kelainan respon imun yang
menderita varisela, dan orang dewasa dengan zoster yang menyebar.(2)
Pencegahan: Imunisasi dengan vaksin VZV dapat menambah imunitas seluler dan
humoral, dan menurunkan insidens zoster pada populasi. (1)
Globulin gama dengan titer antibodi spesifik tinggi dari plasma yang dikumpulkan
dari penderitapenderita konvalesen penyakit herpes zoster (globulin imun zoster)
dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit pada anak-anak dengan
kelainan respon imun, yang telah berhubungan dengan varisela. Serum globulin
imun standar tidak berguna karena titer antibodi varisela yang rendah.(2)
Referensi:
22
1. Thomas B. Fitzpatrick, Richard Allen Johnson, Klaus Wolff. Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. Common & Serious Diseases. Fourth
edition 2001: 805-811
2. E. Jawetz, J.L Melnick, E. A. Adelberg. Review of Medical Microbiology. 14th
edition 2003:
3. www.emedicine-herpeszoster.com
4. Adhi Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga 2002: 109.
5. Lee Goldman, J. Calaude Bennett. Cecil Textbook of Medicine. 21st edition
2003:1807
6. www.medline-herpeszoster.com
Varisela
Sinonim: Cacar air, ‘chicken pox’
Definisi: Infeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan
mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf terutama berlokasi
di bagian sentral tubuh.
Epidemiologi: Tranmisi penyakit ini adalah secara aerogen (udara) dan masa
penularannya lebih kurang 7 hari dihitung dari timbulnya gejala kulit. Varisela lebih
sering menyerang anak-anak tapi dapat juga mengenai orang dewasa. Cacar air
ini dapat mengenai seluruh permukaan tubuh.
Transmisi virus melalui udara akan memasuki traktus respirasi bagian atas dan di
sini akan berlaku replikasi virus. Virus – virus ini akan mula menular ke dalam
saluran darah dan ini dikenali sebagai viremia. Di sini akan bermula gejala
prodomal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi. Masa inkubasi penyakit ini
berlansung 14 sampai 21 hari.
Gejala Klinis :dimulai dengan gejala prodromal dimana terdapatnya demam yang
tidak terlalu tinggi, malaise, nyeri kepala dan anoreksia. Ini akan berlanjutan
dengan stadium erupsi. Timbulnya erupsi kulit berupa papul reitematosa yang
dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel yang berbentuk ‘tear drops’.
Vesikel akan berubah menjadi pustule dan kemudian menjadi krusta. Sementara
proses ini berlansung, timbul lagi vesikel – vesikel yang baru sehingga
menimbulkan gambaran polimorf.
Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ekstremitas serat dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder akan terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional. Gejala lain adalah gatal.
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan
kelainan congenital, sedangkan infeksi yang terjadi beberapa hari menjelang
kelahiran dapat menyebabkan varisela congenital pada neonatus.
Komplikasi: Jarang terjadi pada anak – anak. Umumnya dapat terjadi pada orang
dewasa berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonefritis, karditis, hepatitis,
keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah.
23
laboratorium. Percobaan Tzanck dapat dilakukan dengan membuat sediaan hapus
yang diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar
vesikel dan akan didapati sel datia yang berinti banyak.
Pencegahan: Vaksin varisela yang diberikan secara subkutan, 0,5ml pada yang
berusia 12 bulan sampai 12 tahun dapat mencegah berlakunya cacar air ini. Pada
usia di atas 12 tahun juga diberikan 0,5ml, setelah 4 hingga 8 miggu diulangi
dengan dosis yang sama. Antibody yang cukup sudah timbul antara 3 hingga 6
hari setelah vaksinasi. Lama proteksi belum diketahui pasti
Insidens: Penyakit ini dapat menyerang semua ras tanpa memandang jenis
kelamin atapun usia. Namun yang paling beresiko terkena adalah orang-orang
yang sering kontak dengan tanah misalnya tukang kebun, tukang pasang pipa,
anak-anak yang suka bermain dengan tanah, peternak, orang yang tidak memakai
alas kaki, orang yang sering berbaring
Penyebab:
24
8. Srongyloides westeri (parasit dari kuda)(2)
Penyakit ini umumnya bersifat zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia.
Nematodanematoda tersebut sebenarnya hanya menginfeksi hewan sebagai
host definitifnya, namun dia menginfeksi manusia sebagai host accidental akibat
terpapar oleh manusia misalnya menginjak tanah yang sudah tercemar oleh tinja
hewan yang menderita penyakit tersebut. Sehingga apabila tidak memakai alas
kaki larva nematoda tersebut dapat masuk menembus kulit. Namun dapat pula
menembus bagian-bagian lain tubuh selain kaki yang kontak dengan tanah.(1)
Namun apabila larva nematoda yang ditransmisikan secara zoonosis itu masuk
menembus kulit manusia, siklusnya hanya sampai di situ saja. Nematoda-
nematoda tersebut yang bersifat zoonosis tidak akan bertahan di dalam tubuh
manusia. Karena manusia tidak merupakan host definitif dari nematoda tersebut,
maka perkembangan larva terhenti dan larva akan mati. Daur hidupnya baru akan
sempurna seperti yang di atas apabila menemukan hewan yang sesuai, setelah
hewan yang sesuai tersebut terinfeksi penularannya kemudian terjadi lewat
kontaminasi tinja dari hewan tersebut.
Patogenesis dan Imunologi: Siklus hidup parasit dimulai ketika telur dikeluarkan
melalui feses hewan ke tanah yang hangat dan lembab tempat di mana larva
menetas. Larva tersebut pada mulanya mendapatkan makanan dari bakteri tanah
kemudian bertumbuh dua kali menjadi larva stadium tiga yang infektif. Dengan
menggunakan protease, larva melakukan penetrasi ke folikel, fissura, atau kulit
yang tidak intak dari host baru mereka. Setelah larva melakukan penetrasi
terhadap stratum corneum, larva melepaskan lapisan kutikula. Biasanya larva
mulai melakukan migrasi dalam beberapa hari.(2)
Pada hewan yang merupakan host alami mereka, larva sanggup melakukan
penetrasi ke dermis dan mengikuti aliran limfatik dan pembuluh darah vena ke
paru-paru. Larva tersebut terbawa ke alveoli dan migrasi ke trakea, akibat tertelan.
Pada usus halus larva mengalami kematangan seksual, dan siklus kembali dimulai
ketika telur yang baru diekskresikan melalui feses.(2)
Respon imun yang terjadi berupa peningkatan eosinofil perifer dan kadar IgE.(2)
Gejala klinis:
25
• Lesi yang berkelok-kelok, papul / vesikel(1)
• Edema dan penebalan lokal kulit.(1)
- Perawatan hewan ternak dan hewan peliharaan dengan baik, jangan biarkan
kotoran hewan berada di sembarang tempat
- Membiasakan diri memakai alas kaki.
- Hindari kontak dengan tanah, namun apabila itu merupakan tuntutan
pekerjaan gunakanlah alat pelindung diri.(1)
Daftar pustaka:
Eritrasma
Etiologi: Eritrasma adalah salah satu penyakit bakteri yang selama lebih dari 100
tahun lamanya dianggap sebagai penyakit jamur. Burchard melukiskan
melukiskan penyakit ini sebagai penyakit kulit yang disebabkan oleh
Actinomycetes, Nocardia minitussima berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan sediaan langsung dengan ditemukan susunan struktur semacam hifa
halus pada tahun 1859. baru pada tahun 1962 Sarkani dkk. menemukan
Corynebacterium minitussismum sebagai etiologi berdasarkan penelitian dan
biakan.
Gejala klinik: Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi
eritroskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklat-
coklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita.
Tempat predileksi di daerah ketiak dan lipat paha. Kadang-kadang berlokasi di
daerah intertrigenosa yang lain terutama pada penderita yang gemuk.
26
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak
menimbul dan tidak terlihat vesikulisasi. Skuama kering yang halus menutupi lesi
dan pada perabaan terasa berlemak.
Beberapa penulis beranggapan ada hubungan erat antara eritrasma dan diabetes
mellitus. Penyakit ini terutama menyerang pria dewasa dan dianggap tidak begitu
menular, berdasarkan observasi pada pasangan suami-istri yang biasanya tidak
terserang penyakit tersebut secara bersama-sama. Eritrasma tidak menimbulkan
keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh karena penderita
berkeringat banyak atau terjadi maserasi kulit.
Defenisi suatu infeksi kulit dangkal kronik yang biasanya menyerang daerah-
daerah yang banyak keringat
Daerah : Corynebecterium minutissimun
Umur : Dewasa muda
Jenis kelamin : Frekuensinya sama pada para non wanita
Bangsa ras : Orang-orang yang banyak keringat, kemudian, peminum
alkoho dan debilitas lebih sering terkena penyakit ini
Dareh/Musim : Daerah beriklim panas lebih sering dari pada daerah
dingin Kebersihan/hygiene :Higiene buruk berperan penting dalam
menimbulkan penyakit
Lingkungan :Panas dan lembab mempermudah timbulnya penyakit
Gejala klinis : Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi
eritoskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merak kecoklat-
coklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan wanita kulit penderita
Tempat predilaksi di daerah ketiak dan didaerah lipatan paha. Kadang-kadang
berlokasi di daerah inertriginosa lain terutama pada penderita gem uk
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak
menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Skuama kering yang halus menutupi lesi
dan pada perbedaan terasa berlemak
Beberapa penulis beranggapan ada hubungan erat antara eritrasma dan diabetes
melitus. Penyakit ini terutama menyerang pria dewasa dan dianggap tidak begitu
meular berdasarkan servasi pada pasangan suami-istri yang biasanya tidak
terserang penyakit tersebut secara bersama-sama.erittrasama tidak menimbulkan
keluhan subyektif, kecuali bila terdjaddi ekzemalitas oleh karena penderita
berkeringat banyak atau terjadi maserasi kulit. Lokalisasi : Lipatan paha bagian
dalam samapai skrutu, aksila dan intergluteal
Sifat-sifat eritema luas beratas tegas, dengan skuama Hiperkeratosi, akantosis,
serta pelebaran,
ujung-ujung pembuluh dara dan sebelah sel-sel plinoklear gbr histopatologi
Pemeriksaan pembantu/laboratoria
- Sediakan langsung kerokan kulit denganpewarnaan garam tampa batang gram
positif - Sinar wood, flioresensi merah bata
Diagnosis banding:
- Tinea krusis : biasanya gatal dengan papel-pael eritematosa
- Kondidiasis : Eritema dengan lesi satelit erosif dan gatal
Penatalaksanaan
- Mencegah agarjangan banyak keringat, serta menghilangkan faktor-faktor
pencetos
27
- Sistemik : Eritromisin 1,5 mg/kg BB,4 kali sehari selama 5-10 hqari tetra siklin
dengan dosis yang sama memberi hasil yang baik
P. Rosea
Defenisi: suatu penyakit ringan yang menyebabkan peradangan pada kulit disertai
pembentukan sebuah lesi inisial berbentuk eritema berskuama halus kemudian
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil namun penyakit ini tidaklah spesifik.
Prevalensi dan Insidensi: Pada Pitiriasis Rosea ,tidak ada batasan antara laka-laki
ataupun perempuan yang beresiko tinggi mendapatkan penyakit ini.Biasanya
penyakit ini menjangkit pada anak-anak,remaja dan dewasa muda.Lebih dari 75
% penderita penyakit ini berumur 10-35 tahun .pada umumnya penderita
mendapatkan penyakit ini dimusim semi dan musim dingin.penyakit ini tidak
menular.
Etiologi: Penyebab dari pitiriasis rosea ini belum juga diketahui sampai saat ini,
namun para ahli telah melakukan berbagai penelitian dan didapatkan bahwa
penyakit ini bukanlah suatu reaksi alergi,jamur ataupun bakteri tetapi mereka lebih
menyakini bahwa penyebab penyakit ini adalah virus,meskipun tidak seperti sifat
virus yang menyebar dari orang ke orang.Namun sampai saat inipun belum
diketahui jenis dari virus tersebut.
Gejala Klinik: umumnya gejala awal berupa satu bercak besar berwarna pink
sampai merah kecoklatan yang berskuama halus berbentuk oval dan berukuran 2
– 10 cm yang berada pada punggung dan dada yang disebut Mother Patch atau
Herald Patch.Kemudian setelah 4 -10 hari muncul bercak-bercak didaerah sekitar
Herald Patch yang mirip namun ukurannya lebih kecil yaitu berukuran 1-2 cm dan
biasanya berada pada leher lengan dada tangan punggung,utamanya pada
daerah tulang belakang dan mengikuti costae dan biasanya membentuk pola
“chrismax tree“ pada punggung .pada muka sangatlah jarang bercak ini terdapat.
Pada keadaan suhu panas daerah tempat bercak ini terdapat akan terasa gatal-
gatal.Gejala pada setiap orang sangatlah bervariasi ,pada orang tertentu dapat
terjadi gejala tang menyertai yaitu sakit kepala ,fatique,dan pegal-pegal.Bahkan
pada sebagian orang sebelum terdapar Herald Patch ,penderi merasa capek
,flu,sakit kepala, bahkan sampai kehilangan nafsu makan sehingga mereka
tampak lebih kurus dari sebelumnya.
Meskipun begitu penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam 4-8 minggu atau ada
juga sampai mencapai 12 minggu atau lebih tanpa meninggalkan bekas.
Measles
Measles remains a leading cause of death among young children, despite the
availability of a safe and effective vaccine for the past 40 years. More than half a
million people, the majority of them children, died from measles in 2003 (the last
year for which figures are available).
Measles is one of the most contagious diseases known. Almost all non-immune
children contract measles if exposed to the virus. Measles is an acute viral illness
28
caused by a virus in the paramyxovirus family. As a respiratory disease, measles
virus normally grows in the cells that line the back of the throat and in the cells that
line the lungs. Measles is a human disease with no known animal reservoir.
Signs and symptoms: The first sign of infection is usually high fever which begins
approximately 10 to 12 days after exposure and lasts one to seven days. During
this initial stage, the patient may develop coryza (runny nose), cough, red and
watery eyes and small white spots inside the cheeks. After several days, a rash
develops, usually on the face and upper neck. Over a period of about three days,
the rash proceeds downward, eventually reaching the hands and feet. The rash
lasts for five to six days, then fades. The rash occurs, on average, at day 14 after
exposure to the virus, with a range of 7 to 18 days
Children usually do not die directly of measles, but from its complications.
Complications are more common in children under the age of five or adults over
the age of 20.
The virus remains active and contagious in the air or on infected surfaces for up to
two hours. It can be transmitted by an infected individual from four days prior to the
onset of the rash to four days after the onset. If one person has the disease, a high
proportion of their susceptible close contacts will also become infected with the
measles virus.
29
Treatment: Severe complications from measles can be avoided through proper
clinical management. General nutritional support and the treatment of dehydration
with oral rehydration solution are necessary. Antibiotics should be prescribed for
treating eye and ear infections and pneumonia. To improve survival, it is important
that children with measles receive adequate nutrition and fluids.
All children in developing countries diagnosed with measles should receive two
doses of vitamin A supplements given 24 hours apart. Giving vitamin A at the time
of diagnosis can help prevent eye damage and blindness. Moreover, vitamin A
supplementation has been shown to reduce the number of deaths from measles
by 50%.
Disease and mortality burden: While measles is now rare in many industrialized
countries, it remains a common illness in many developing countries. More than
30 million people are affected each year by measles. In 2003, it was estimated that
there were 530 000 measles deaths globally: this translates to more than 1400
deaths every day; 60 people die every hour from measles. The overwhelming
majority (> 95%) of measles deaths occur in countries with per capita Gross
National Income of less than US $1000. In countries where measles has been
largely eliminated, cases imported from other countries remain an important source
of infection.
Scabies
Causal Agent: Sarcoptes scabei, human itch or mange mites, are in the arthropod
class Arachnida, subclass Acari, family Sarcoptidae. The mites burrow into the
skin but never below the stratum corneum. The burrows appear as raised
serpentine lines up to several centimeters long. Other races of scabies may cause
infestations in other mammals such as domestic cats, dogs, pigs, and horses. It
should be noted that races of mites found on other animals may establish
infestations in humans. They may cause temporary itching due to dermatitis but
they do not multiply on the human host.
Clinical Features: When a person is infested with scabies mites for the first time,
there is usually little evidence of infestation for the first month (range 2 to 6 weeks).
After this time and in subsequent infestations, people usually become sensitized
to mites and symptoms generally occur within 1 to 4 days. Mites burrowing under
the skin cause a rash, which is most frequently found on the hands, particularly the
webbing between the fingers; the folds of the wrist, elbow or knee; the penis; the
breast; or the shoulder blades. Burrows and mites may be few in number and
difficult to find in some cases. A papular "scabies rash" may be seen in skin areas
where female mites are absent, usually on the buttocks, scapular region and
abdomen; this may be a result of sensitization from a previous infection. Most
commonly there is severe itching, especially at night and frequently over much of
the body, including areas where mites are undetectable. A more severe form of
scabies that is more common among immunocompromised persons is called
Norwegian scabies, characterized by vesicles and formation of thick crusts over
the skin, accompanied by abundant mites but only slight itching. Complications
due to infestation are usually caused by secondary bacterial infections from
scratching.
Life Cycle: Sarcoptes scabei undergoes four stages in its life cycle; egg, larva,
nymph and adult. Females deposit eggs at 2 to 3 day intervals as they burrow
30
through the skin. Eggs are oval and 0.1 to 0.15 mm in length and incubation time
is 3 to 8 days. After the eggs hatch, the larvae migrate to the skin surface and
burrow into the intact stratum corneum to construct almost invisible, short burrows
called molting pouches. The larval stage, which emerges from the eggs, has only
3 pairs of legs, and this form lasts 2 to 3 days. After larvae molt, the resulting
nymphs have 4 pairs of legs. This form molts into slightly larger nymphs before
molting into adults. Larvae and nymphs may often be found in molting pouches or
in hair follicles and look similar to adults, only smaller. Adults are round, sac-like
eyeless mites. Females are 0.3 to 0.4 mm long and 0.25 to 0.35 mm wide, and
males are slightly more than half that size. Mating occurs after the nomadic male
penetrates the molting pouch of the adult female. Impregnated females extend
their molting pouches into the characteristic serpentine burrows, laying eggs in the
process. The impregnated females burrow into the skin and spend the remaining
2 months of their lives in tunnels under the surface of the skin. Males are rarely
seen. They make a temporary gallery in the skin before mating.
Transmission occurs by the transfer of ovigerous females during personal contact.
Mode of transmission is primarily person to person contact, but transmission may
also occur via fomites (e.g., bedding or clothing). Mites are found predominantly
between the fingers and on the wrists. The mites hold onto the skin using suckers
attached to the two most anterior pairs of legs.
Laboratory Diagnosis: Most diagnoses of scabies infestation are made based upon
the appearance and distribution of the rash and the presence of burrows.
Whenever possible scabies should be confirmed by isolating the mites, ova or
feces in a skin scraping. Scrapings should be made at the burrows, especially on
the hands between the fingers and the folds of the wrist. Alternatively, mites can
be extracted from a burrow by gently pricking open the burrow with a needle and
working it toward the end where the mite is living.
Treatment: Several lotions are available to treat scabies. The treatment of choice
is the topical use of permethrin (5%). Crotamiton and ivermectin* are alternative
drugs. Ivermectin* is taken orally and is effective for treating crusted scabies in
immunocompromised persons. If a topical preparation is used, a second treatment
with the same product may be necessary 7-10 days later. All clothes, bedding,
and towels used by the infested person during the 2 days before treatment should
be washed in hot water, and dried in a hot dryer. For additional information, see
the recommendations in The Medical Letter (Drugs for Parasitic Infections).
Pediculosis
Causal Agent: Pediculus humanus corporis, the body louse, is an insect of the
order Anoplura and is an ectoparasite whose only host are humans. The louse
feeds on blood several times daily and resides close to the skin to maintain its body
temperature.
Life Cycle: The life cycle of the body skin louse has three stages: egg, nymph, and
adult. Eggs: Nits are body skin lice eggs. They are hard to see and are often
confused for dandruff or hair spray droplets. Nits are laid by the adult female and
are cemented at the base of the hair shaft nearest the scalp. They are 0.8 mm by
0.3 mm, oval and usually yellow to white. Nits take about 1 week to hatch (range
6 to 9 days). Viable eggs are usually located within 6 mm of the scalp. Nymphs:
The egg hatches to release a nymph. The nit shell then becomes a more visible
dull yellow and remains attached to the hair shaft. The nymph looks like an adult
body skin louse, but is about the size of a pinhead. Nymphs mature after three
molts, and become adults about 7 days after hatching.
31
Adults: The adult louse is about the size of a sesame seed, has 6 legs (each with
claws), and is tan to grayish-white. In persons with dark hair, the adult louse will
appear darker. Females are usually larger than males and can lay up to 8 nits per
day. Adult lice can live up to 30 days on a person’s body skin. To live, adult lice
need to feed on blood several times daily. Without blood meals, the louse will die
within 1 to 2 days off the host.
Less commonly, transmission via fomites may occur. Wearing clothing, such as
hats, scarves, coats, sports uniforms, or hair ribbons worn by an infested person;
using infested combs, brushes or towels; or lying on a bed, couch, pillow, carpet,
or stuffed animal that has recently been in contact with an infested person may
result in transmission. Of note, both nymph and adult lice forms need to feed on
blood to live. If an adult louse does not have a blood meal, it can die in 2 days.
BAHAN BACAAN & SUMBER INFORMASI SELAIN BAHAN KULIAH DAN HAND OUT
1. Mc Graw Hill. Current Medical, Diagnosis and Treatment, 40th ed, Tierney LM (Eds), 2001
(ISBN 0-07116332-8)
2. Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th Ed, New York, 2001 (ISBN 0-
07-116244-5)
3. Nainggolan L, Widodo D: Demam: Patofisiologu dan Penatalaksanaan, Bunga Rampai
Penyakit Infeksi, Wododo, Pohan (eds),Divisi Peny. Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta. 111, 2004.
4. Darmansyah I dan Suherman SK: Penatalaksanaan demam, Bagian Farmakologi dan IDI
Cabang Jakarta, Jakarta
32
5. Brown HW. Basic Clinical Parasitology. Meredith Corporation, 1st edition since 1969,
Appleton-CenturyCroft. Educational Division, Meredith Corporation, New York.
6. Zaman V. and LOH AK. Handbook of Medical Parasitology. ADIS Health Science Press,
New York, Tokyo, Mexico, Sydney, Auckland, Hong Kong, 1982.
7. WHO. Basic Laboratory Methods in Medical Parasitology. WHO Library Catalog in
Publication Data. Geneva, 1991 (ISBN 92-4-154410-4)
8. Jeffrey HC and Leach RM. Atlas of Medical Helminthology and Protozoology. Churchill
Livingstone, Edinburg, 1983.
9. Goodmen and Gilman. The Pharmacologal. 9th ed, New York, Mc Grow, 1996.
10. Farmacology & Therapy. edisi 4, 1995.
11. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 5th ed. New York: McGraw-Hill 1999.
12. Baker FJ and Breach MR. Medical Microbiology Techniques. Butterworth, London, 1980.
13. Davis BD, et al. Microbiology, 3rd edition. Harper and Row, Maryland, 1980.
14. Virella G. Microbiology and Infectious Diseases. 3rd Edition, Williams and Williams, Tokyo,
1997.
15. Behrman RE, Kliegman RM and Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics, 16th ed. WB
Saunders Co. Philadelphia, 2000.
16. Feigin RD and Cherry JD. Textbook of pediatric infectious diseases, 2nd ed. WB Saunders
Co. Philadelphia, 1987.
17. Krugman S, Katz SL, Gershon AA and Wilfert CM. Infectious diseases of children, 8th ed.
18. Mahan LK, Arlin M and Krauses. Food nutrition & diet therapy. Philadelphia, WB Saunders
Company, 8th, 1990.
19. Goodhartm RSME. Modern nutrition in health and disease. Lee Ferbeger, Philadelphia,
2000.
20. Nasri NN. Epidemiology Dasar. Pt Rineke Cipta, Jakarta. 1997.
21. WHO. International statistical classification of diseases and related health problems. 10th
ed, vol 1, WHO, Geneva, 1992
33