Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PBL

MODUL KULIT

TUTOR : dr. Dian Amelia Abdi, M.Kes, Sp.KK

Disusun Oleh :
PRATIWI (11020160006)
INDRI MELIAWATI RADISU (11020160052)
DEWI PUTRI PRATIWI (11020160068)
ARMYN DWI PUTRA (11020160052)
MUH. RACHMAD SAMMULIA (11020160070)
ANDI KHALISHAH HIDAYATI (11020160071)
TAUFIK HIDAYAT NUR (11020160101)
AYU AZIZAH SYEN (11020160121)
A. ZIHNI AMALIA (11020160139)
DESY RIZKA WULANDAR (11020160171)
MARHAMAH (11020160177)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan hasil tutorial ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa
kami kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari alam yang penuh kebodohan ke alam yang penuh kepintaran.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu membuat
laporan ini serta kepada tutor yang telah membimbing kami selama proses tutorial
berlangsung. Semoga laporan hasil tutorial ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak
yang telah membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Semoga
setelah membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai
INDERA KHUSUS.

Makassar, 27 September 2018

Kelompok 7
SKENARIO 7
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun dibawa ibunya ke Puskesmas
dengan keluhan muncul bercak kemerahan yang bagian tengah berwarna hitam
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai gatal sedang dan kelopak mata agak
bengkak. Riwayat adik pasien muncul bintik merah diseluruh tubuh setelah minum
susu. Pasien minum obat influenza 1 hari yang lalu dan sudah diberi minum air
kelapa muda.

A. Klasifikasi dan Definisi Kata Sulit


Tidak ditemukan kata sulit pada skenario

B. Problem/Kata Kunci
1. Anak laki-laki 11 tahun
2. Keluhan muncul bercak kemerahan yang bagian tengah berwarna hitam
sejak 3 hari yang lalu
3. Disertai gatal sedang dan kelopak mata agak bengkak
4. Riwayat adik pasien muncul bintik merah diseluruh tubuh setelah
minum susu
5. Pasien minum obat influenza 1 hari yang lalu dan sudah diberi minum
air kelapa muda

C. Pertanyaan Penting
1. Jelaskan etiopatogenesis gejala dari skenario:
a. Bercak merah
b. Gatal
c. Mata bengkak
2. Bagaimana langkah-langkah diagnosis berdasarkan skenario?
3. Jelaskan diagnosis banding yang sesuai dengan skenario!
4. Jelaskan perspektif islam dari skenario tersebut!
D. Jawaban Pertanyaan
1. Jelaskan etiopatogenesis gejala dari skenario:
a. Bercak merah
b. Gatal
c. Mata bengkak
Jawaban:

PENDAHULUAN
Anatomi dan Histologi Kulit

Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar


karena posisinya yang terletak dibagian paling luar. Luas kulit
dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Lapisan kulit
pada dasarnya sama disemua bagian tubuh kecuali ditelapak tangan,
telapak kaki dan bibir. Tebalnya bervariasi dari 0,5 mm dikelopak
mata sampai 4mm di telapak tangan.

Jenis kulit :

a. Kulit yang elastis dan longgar : palpebra, bibir dan preputium


b. Kulit tebal dan tidak meregang : telapak tangan dan kaki orang
dewasa.

c. Kulit tipis : wajah

d. Kulit lembut : leher dan badan

e. Kulit kasar : kepala

Kulit tdd 3 lapisan, yaitu :

o Lapisan epidermis / kutikel (lapisan terluar kulit)

Lapisan epidermis terdiri


dari :

a. Stratum korneum
b. Stratum lucidum
c. Stratum granulosum
d. Stratum spinosum
e. Stratum basal

o Lapisan dermis / korium

Lapisan dermis terdiri dari :

 Pars papillari
Mengandung banyak
pembuluh darah dan
pembuluh limfe
 Pars retikulare
Menonjol ke subkutis, lebih tebal dan jaringan penyambung
o Lapisan subkutis (hipodermis)

1. Kelenjar kulit
1. Glandula sudorifera
Kelenjar ekrin dan apokrin
2. Glandula sebasea

b. Rambut

Terdiri dr akar rmbut dan batang rmbut

2 tipe rmbut yaitu :

1. Lanugo: rambut halus, tidak mengandung pigmen pada bayi


2. Terminal: rambut yg lbh kasar, bnyk pigmen, mempunyai
medula,pada orang dewasa.

Referensi:

Wibowo, Daniel S. Anatomi Tubuh Manusia. 2010. Penerbit


Grasindo Jakarta. Hal 13-29

FISIOLOGI KULIT
1. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara
sebagai berikut:
 Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan
zat kimia.
 Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan
kulit dan dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari
lingkungan luar tubuh melalui kulit.
 Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan
rambut dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang
berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit.
 Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang
berbahaya. Pada stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan
pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya. Pigmen ini bertugas
melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi
genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan
pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.
 Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang
protektif. Yang pertama adalah sel Langerhans, yang
merepresentasikan antigen terhadap mikroba. Kemudian ada sel
fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang masuk
melewati keratin dan sel Langerhans.

2. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-
lipid seperti vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen
dan karbon dioksida. Permeabilitas kulit terhadap oksigen,
karbondioksida dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil
bagian pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa material toksik
dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri. Beberapa obat
juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di
tempat peradangan. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh
tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis
vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antarsel
atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak yang
melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.

3. Fungsi ekskresi

Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua


kelenjar eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
 Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel
rambut dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju
lumen. Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili
berkontraksi menekan kelenjar sebasea sehingga sebum
dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit. Sebum
tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein,
dan elektrolit. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri,
melumasi dan memproteksi keratin.

 Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air
dapat keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap
hari. Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan
sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua
molekul organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea.

Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat


apokrin dan kelenjar keringat merokrin.
- Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan
pubis, serta aktif pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang
kental dan bau yang khas. Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika
ada sinyal dari sistem saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel
yang ada di sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan kelenjar
keringat apokrin. Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan
sekretnya ke folikel rambut lalu ke permukaan luar.

- Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak


tangan dan kaki. Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrien
organik, dan sampah metabolisme. Kadar pH-nya berkisar 4,0−6,8
dan fungsi dari kelenjar keringat merokrin adalah mengatur
temperatur permukaan, mengekskresikan air dan elektrolit serta
melindungi dari agen asing dengan cara mempersulit perlekatan
agen asing dan menghasilkan dermicidin, sebuah peptida kecil
dengan sifat antibiotik.

4. Fungsi persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan


subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-
badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan
oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil
Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,
demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis.
Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis.

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)


Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi) melalui dua cara: pengeluaran keringat dan
menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu
tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak
serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas
akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah,
tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit
pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi
pengeluaran panas oleh tubuh.

6. Fungsi pembentukan vitamin D


Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7
dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Enzim di
hati dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan
kalsitriol, bentuk vitamin D yang aktif. Calcitriol adalah hormon
yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus
gastrointestinal ke dalam pembuluh darah. Walaupun tubuh
mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum memenuhi
kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin
D sistemik masih tetap diperlukan.Pada manusia kulit dapat pula
mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar
keringat, dan otot-otot di bawah kulit.
Referensi :
1) Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2) Harien. 2010. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.Hal. 1-8.
3) Martini, F. 2006. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Edisi
Terjemahan Indonesia. Pearson Education Inc. Hal. 78 – 95.

Etiopatogenesis gejala berdasarkan skenario:

a. Bercak merah
Mekanisme kemerahan pada kulit adalah melalui proses Ig E pada
permukaan sel mast terpapar oleh antigen, sehingga akan
mengeluarkan mediator-mediator, sitokin, faktor kemotaktik
sehingga akan terjadi reaksi fase lambat yang ditandai dengan
timbulnya molekul adhesi pada endotel pembuluh darah. Proses ini
menyebabkan infiltrasi sel eosinofil, netrofil mononuclear ke
jaringan setempat. Infiltrasi sel eosinofil, netrofil menimbulkan
mediator reaksi radang IL-1 dan TNF. Mediator radang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler,
sehingga menimbulkan kemerahan dan dalam beberapa menit
kemudian akan terjadi pembengkakan pada area yang berbatas jelas.

Referensi:
Unandar, B., Djuanda, A., Hamzah, M. 2007. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
b. Gatal
1. Fase Sensitisasi
Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya
kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen
akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting Cells (APCs) di
dalam endosom. Kemudian APC akan mempresentasikan Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II kepada sel limfosit T
helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan
Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel Th menjadi Th2.
Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk
memproduksiImunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1
tidak cukup kuat menghasilkan interferon gamma (IFN-ɤ) untuk
mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif
memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi
antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor IgE
berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.

2. Fase reaksi
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan
mengalami degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke
lingkungan ekstrasel yang berupa histamin, prostaglandin, serta
sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala. Salah satunya yaitu rasa
gatal klinis.
Fase lambat dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan
puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi
sel imun seperti basofil, eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat
kontak dengan paparan alergen. Selsel tersebut akan mengeluarkan
substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun
berkepanjangan serta kerusakan jaringan.
Rasa gatal dapat disebabkan salah satunya karena reaksi dari antigen
terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa
dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti reaksi
terhadap obat, bakteri, dan toksik. Mata gatal merupakan reaksi
antibodi hurmonal terhadap alergen, biasanya dengan riwayat atopi.
Alergen Reaksi hipersensitivitas  respon berlebihan  reaksi
alergi. Dipicu overproduksi IgE; kompleks IgE-Ag mengaktifkan
sel mast mengalami degranulasi menghasilkan histamin  alergi
gatal.

Referensi:
Majmudar, P.A. (2010). Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-
St Luke’s Medical Center. Available from:
http://emedicine.medscape.com/ article/1191467-overview.
[Accessed: 18th March 2016].

c. Mata bengkak

Etiologi Edema Periorbital


- Bilateral
a. Tanda-tanda sistemik kelebihan air : Sindroma nefrotik
b. Perubahan penampilan mata. Sistemik, tanda-tanda aktif tiroid :
Hyperthyroid
c. Onset tiba-tiba, air mata berlebihan, tidak ada perubahan dalam
ketajaman visual : Reaksi alergi (angioedema, urtikaria)

- Unilateral
a. Tidak deman : gigitan serangga atau trauma mata
b. Demam : selulitis

Patomekanisme
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik
terhadap alergen tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu
sel mast.4,19 Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua
atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan
alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan
system nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP
terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa
ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast
diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemotactic factor
(NCF). Histamin memiliki peranan penting pada fase awal
setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung, dan
kulit). Histamin dapat menyebabkan hidung tersumbat, berair,
sesak napas, dan kulit gatal.
Histamin menyebabkan kontraksi otot polos bronkus
dan menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh
darah yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos.
Histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca
kapiler. Perubahan vaskular menyebabkan respons wheal-flare
(triple respons dari Lewis) dan jika terjadi secara sistemik dapat
menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema.

Referensi :
- Monique Jarrett, Dr. Melanie Lewis, and Dr. Catherine
Morgan. 2017. Approach to Pediatric Periorbital
Edema. PedsCases.com
- Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. 2008. Buku Ajar Alergi-
Imunologi Anak. Edisi 2. Jakarta : IDAI.
2. Bagaimana langkah-langkah diagnosis berdasarkan skenario?
Jawaban:
Langkah-langakah diagnosis Anamnesis umum
 Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
 Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter
(keluhan utama). Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien
dengan pengantar.
 Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai

muncul.
 Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan

tersebut, apakah hilang timbul atau menetap, bagaimana gambaran


lesi awalnya, dimana lokasi awalnya, bagaimana perkembangan
lesinya serta distribusi lesi selanjutnya.
 Tanyakanlah apakah disertai rasa panas pada lesi atau tidak, adakah
demam atau tidak
 Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
 Tanyakanlah apakah kelainan kulit ini ada hubungannya dengan
pekerjaan sebelumnya
 Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan oleh pasien.
Jika ada tanyakanlah:
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau
tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
 Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama
pada masa lalu.
 Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga
atau lingkungan sekitar tempat tinggal
 Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit
dengan gejala yang sama, riwayat kontak dengan serangga ataupun
tanaman.
 Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter
dan obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter

Berdasarkan skenario:
1. Identitas Pasien: Anak laki-laki, usia 11 tahun
2. Keluhan Utama: muncul bercak kemerahan yang bagian
tengah berwarna hitam
3. Kapan mulai muncul: sejak 3 hari yang lalu
4. Keluhan penyerta: gatal sedang dan kelopak mata agak
bengkak
5. Riwayat keluarga: adik pasien muncul bintik merah
diseluruh tubuh setelah minum susu
6. Riwayat pengobatan: minum obat influenza 1 hari yang lalu
dan sudah diberi minum air kelapa muda

PEMERIKSAAN FISIS
PEMERIKSAAN KULIT
1. Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan
seharusnya selalu memeriksa pasien mulai dari kepala hingga kaki.
Inspeksi dan palpasi lesi atau kelainan kulit yang ada (menggunakan
kaca pembesar). Hal-hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis
yang baik adalah:
Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa
sangat membantu : sebagai contoh, dermatitis seboroik mempunyai
tempat predileksi pada wajah, kepala, leher, dada, telinga, dan
suprapubis; pada anak, eksema cenderung terjadi di daerah fleksor;
akne terutama pada wajah dan tubuh bagian atas; karsinoma sel basal
biasanya lebih sering muncul di kepala dan leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
 Tipe Karakteristiklesi :
makula, papula, nodul, plak, vesikel, bulla, pustula, ulkus, urtikaria
 Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis,
Eskoriasi, Maserasi dan Likenifikasi

MAKULA PUSTUL VESIKEL

BULLA SKUAMA KRUSTA

URTIKA LIKENIFIKASI NODUL


KISTA EKSKORIASI ULKUS

 Ukuran, bentuk , garis tepi dan batas-batasnya. Ukuran sebaiknya diukur


dengan tepat, daripada hanya membandingkan dengan kacang polong,
jeruk atau koin. Lesi bisa mempunyai berbagai macam bentuk, misalnya
bulat, oval, anular, liniear atau “tidak beraturan”; tepi-tepi yang lurus
atau bersudut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
 Warna, selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang warna:
merah, ungu, cokelat, hitam pekat dan sebagainya
 Gambaran Permukaan. Telusuri apakah permukaan lesi halus atau kasar,
dan untuk membedakan krusta( serum yang mengering) dengan skuama
(hiperkeratosis); beberapa penelusuran pada skuama dapat membantu,
misalnya terdapat warna keperakan pada psoriasis. tekstur—dangkal?
dalam? Gunakan ujung jari Anda pada permukaan kulit; perkirakan
kedalaman dan letaknya apakah di dalam atau di bawah kulit; angkat
sisik atau krusta untuk melihat apa yang ada dibawahnya; usahakan
untuk membuat lesi memucat dengan tekanan.

3. Pemeriksaan lokasi-lokasi “sekunder” : Carilah kelainan-kelainan di


tempat lain yang dapat membantu diagnosis. Contoh yang baik antara
lain :

 Kuku ada psoriasis 



 Jari-jemari dan pergelangan tangan pada skabies 


 Daerah sela-sela jari kaki pada infeksi jamur

 Mulut pada liken planus 


4. Tehnik- tehnik pemeriksaan “khusus” : Diperlukan tehnik tehnik


khusus dalam melakukan pemeriksaan kulit seperti kerokan kulit
dengan Kalium Hidroksida untuk memeriksa adanya hifa dan spora
untuk pemeriksaan jamur pada kulit

Pemeriksaan tambahan
 Lampu Wood
 Pemeriksaan Pengambilan Kerokan Kulit
 Pemeriksaan Kerokan Kulit dengan Kalium Hidroksida 10%
+ Metilen Blue

Referensi :
 Cox N, Coulson IH. Diagnosis of Skin Diseases. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of
Dermatology. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004. p. 5.1
- 5.10.
 Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S,A.Gilchrest B.Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. Wolf K, Gilchrest BA, Paller

AS, J. Leffe lD, editors.NewYork:McGraw;2008. 


 Budimulja U. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Djuana


A,Hamzah M, Aisah S, editors. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2011. 



3. Jelaskan diagnosis banding yang sesuai dengan skenario!
Jawaban:
- Dermatitis Atopi

1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi
inflamasi yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema,
papula,
vesikel,
kusta,
skuama dan
pruritus
yang hebat.
Bila residif
biasanya
disertai
infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan
kimia atau iritan.
2. Epidemiologi
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada
anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3%
. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1 . Dermatitis atopik
sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset
dermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus dermatitis
atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan
pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85%
kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late
onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang
besar tidak ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh
IgE.
3. Etiopatogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA
belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA.
Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa
gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut
dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak
bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya
diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan
intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang
dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara
imunologik dan nonimunologik.

a) Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis
atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat
peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak
dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan
asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan
semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu
penyakit atopi.

b) Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA


antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering
(xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan
panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari
sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal
menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi
wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa
gatal.

c) Faktor-faktor pencetus

 Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food


Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA
sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan.
Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit
(skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai
macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap
suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut
alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan
tersebut untuk menentukan kepastiannya.

 Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak,


yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50%
penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat
pada alergi tungau debu rumah (TDR), dimana pada
pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita DA mengandung
IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42%
pada penderita asma di Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan
bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh alergen hirup lainnya
seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di
negara-negara dengan 4 musim.

 Infeksi kulit

Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai


infeksi kulit oleh kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus
dan jamur. Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi
penderita DA dan jumlah koloni bisa mencapai 107 koloni/cm2
pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman Stafilokokus
akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai
superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang
selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA
dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika
terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal.

4. Manifestasi klinis
Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk
infantil, bentuk anak, dan bentuk dewasa.
1) Bentuk infantil (2 bulan - 2 tahun)

Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan


predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor
ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun.
Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih
muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi
sel sudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe
ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang
menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal
merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah dan rewel
dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat
disertai infeksi bakteri maupun jamur.

2) Bentuk anak (3 - 11 tahun)

Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk


infantil, walaupun diantaranya terdapat suatu periode remisi.
Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih
bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti,
poplitea, tangan, kaki dan periorbita.

3) Bentuk remaja dan dewasa (12 - 30 tahun)

DA bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun.


Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan
bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis
kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi

5. Diagnosis
Hanifin dan Lobitz (1977) menyusun petunjuk yang
sekarang diterima sebagai dasar untuk menegakkan
diagnosis DA Mereka mengajukan berbagai macam kriteria
yang dibagi dalam kriteria mayor dan kriteria minor.
Dermatitis atopik dikenal sebagai gatal yang menimbulkan
kelainan kulit, bukan kelainan kulit yang menimbulkan
gatal. Tetapi belum ada kesepakatan pendapat mengenai hal
ini, karena pada pengamatan, lesi di muka dan punggung
bukan diakibatkan oleh garukan, selain itu dermatitis juga
terjadi pada bayi yang belum mempunyai mekanisme gatal-
garuk.

Kriteria mayor ( > 3)


- Pruritus dengan Morfologi dan distribusi khas :

- dewasa : likenifikasi fleksura

- bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor

- Dermatitis bersifat kronik residif

- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Kriteria minor ( > 3)


- Xerosis

- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)

- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki

- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris

- Pitiriasis alba

- Dermatitis di papila mame

- White dermatografism dan delayed blanched response


- Keilitis

- Lipatan infra orbital Dennie – Morgan

- Konjungtivitis berulang

- Keratokonus

- Katarak subkapsular anterior

- Orbita menjadi gelap

- Muka pucat dan eritema

- Gatal bila berkeringat

- Intolerans perifolikular

- Hipersensitif terhadap makanan

- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau


emosi

- Tes alergi kulit tipe dadakan positif

- Kadar IgE dalam serum meningkat

- awitan pada usia dini

untuk mendiagnosis dermatitis atopik harus ada 3 kriteria


mayor 3 kriteria minor.

Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Lobitz, 1977

Untuk bayi kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu :

Tiga kriteria mayor berupa:


 Riwayat atopi pada keluarga
 Dermatitits di muka atau ekstensor
 Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor:


 Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris
 Aksentuasi perifolikular
 Fisura belakang telinga
 Skuama di skalp kronis

Kriteria William untuk dermatitis atopik


I Harus ada:
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
II Ditambah 3 atau lebih tanda berikut
1. Riwayat perubahan kulit/ kering di fosa kubiti, fosa poplitea,
bagian anterior dorsum pedis atau seputar leher ( termasuk
kedua pipi pada anak < 10 tahun )
2. Riwayat asma atau hay fever pada anak ( riwayat atopi pada
anak < 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
4. Dermatitis di fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada
anak < 4 tahun )
5. Awitan dibawah umur 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak <
4 tahun )

6. Pemeriksaan penunjang
1. Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan
goresan terhadap kulit
2. Percobaan asetilkolin akan menimbulkan vasokonstriksi kulit yang
tampak sebagai garis pucat selama satu jam.
3. Uji kulit dan IgE-RAST
Pemeriksaan uji tusuk dapat memperlihatkan allergen mana yang
berperan, namun kepositifannya harus sejalan dengan derajat
kepositifan IgE RAST ( spesifik terhadap allergen tersebut).
Khususnya pada alergi makanan, anjuran diet sebaiknya
dipertimbangkan secara hati-hati setelah uji tusuk, IgE RAST dan
uji provokasi. Cara laim adalah dengan double blind placebo
contolled food challenges (DPCFC) yang dianggap sebagai baku
emas untuk diagnosis alergi makanan.
4. Peningkatan kadar IgE pada sel langerhans
Hasil penelitian danya IgE pada sel langerhans membuktikan
mekanisme respon imun tipe I pada dermatitis atopik, adanya
pajanan terhadap allergen luar dan peran IgE di kulit.
5. Jumlah eosinophil
Peningkatan jumlah eosinofil di perifer maupun di jaringan kulit
umumnya seirama dengan beratnya penyakit dan lebih banyak
ditemukan pada keadaan yang kronis.
6. Faktor imunogenik HLA
Walaupun belum secara bermakna HLA-A9 diduga berperan
sebagai factor predisposisi intrinsic pasien atopik. Pewarisan
genetiknya bersifat multifactor. Dugaan lain adalah kromosom
11q13 juga diduga ikut berperan pada timbulnya dermatitis atopik.
7. Kultur dan resistensi
Mengingat adanya kolonisasi Stapylococcus aureus pada kulit
pasien atopik terutama yang eksudatif (walaupun tidak tampak
infeksi sekunder), kultur dan resistensi perlu dilakukan pada
dermatitis atopik yang rekalsitran terutama di rumah sakit di kota
besar.

7. Diagnosis Banding
a. Dermatitis seboroik
Ditandai erupsi berskuama, salmon colored atau kuning
berminyak yang mengenai kulit kepala, pipi, badan, ekstremitas
dan diaper area.
b. Dermatitis kontak
Biasanya lesi sesuai dengan tempat kontaktan, lesi berupa
popular miliar dan erosif.
c. Dermatitis numularis
Penyakit yang ditandai lesi yang berbentuk koin. Ukuran
diameter 1 cm atau lebih, timbul pada kulit yang kering.
d. Psoriasis
Lesi psoriasis berwarna merah dan skuama seperti perak
micaceous (seperti mika). Predileksi psoriasis di permukaan
ekstensor, terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan daerah
genital
e. Skabies
Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat rasa gatal di
malam hari, distribusi lesi yang khas, dengan lesi primer yang
patognomonik berupa adanya burrow dan adanya kutu pada
pemeriksaan mikroskopik.
f. Penyakit Lettere-Siwe
Biasanya teejadi pada tahun pertama dari kehidupan. Pada
penyakit ini erupsi kulit biasanya mulai dengan skuama,
eritematosa, seborrhea-like pada kulit kepala, di belakang
telinga, dan pada daerah intertriginosa
g. Acrodermatitis enteropathica
Suatu penyakit herediter yang ditandai dengan lesi
vesikulobullous eczematoid di daerah akral dan periorifisial,
kegagalan pertumbuhan, diare, alopesia, kekurangan gizi dan
infeksi kandida.
h. Sindroma Wiskott-Aldrich
Penyakit X-linked resesif, ditemukan pada anak lelaki muda
ditandai dengan dermatitis eksematosa rekalsitrant, disfungsi
platelet, trombositopeni, Infeksi pyogenik rekuren dan otitis
media supuratifa.
i. Dermatitis herpetiformis
Penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik
terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik
serta disertai rasa sangat gatal.
j. Sindroma Sezary
Ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang
universial disertai skuama dan rasa sangat gatal.

8. Penatalaksanaan dermatitis atopik


A. Umum

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk


setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi
berbagai faktor tersebut.
- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen,
alkohol, astringen, pemutih, dll)

- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban


tinggi.

- Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak


keringat.

- Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat


mencetuskan DA.

- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen


infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan
berbulu.
- Menghindarkan stres emosi.

- Mengobati rasa gatal.

B. Khusus
1. Pengobatan topikal
a. Hidrasi kulit

Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi


lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih
impermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai
jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea
10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan
konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali
sehari, setelah mandi.

b. Kortikosteroid topical

Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi


harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak.
Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah
intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi
menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas
penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan
intermiten, umumnya dua kali seminggu.

c. Imunomodulator topikal

1) Takrolimus

Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk


salap 0,03% untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan
0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek
samping kecuali rasa terbakar setempat.
2) Pimekrolimus
Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator
golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan
takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada
anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.
3) Preparat ter

Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan
dalam bentuk salap hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat
detergent 5% - 10% atau crude coaltar 1% - 5%.
d. Antihistamin

Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi


kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin
5% dalam jangka pendek (1minggu) dapat mengurangi gatal tanpa
sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek
samping sedatif.

2. Pengobatan sistemik
o Kortikosteroid

Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut.


Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling.
Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan
menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul
rebound phenomen.
o Antihistamin

Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin


harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik,
aktifitas penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif
sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari
(seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-
75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan
blokade reseptor histamine.
H1 dan H2.
o Anti infeksi

Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan


koloni S.aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin,
asitromisin atau kaltromisin. Bila ada infeksi virus dapat diberi
asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk
10 hari.
o Interferon

IFN γ bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan


proliferasi sel TH1. Pengobatan IFN γ rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total
dalam sirkulasi.
o Siklosporin

Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan


terikat dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis
5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan
umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah
peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi
ginjal dan hipertensi.
o Terapi sinar (phototherapy)

Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet β atau


kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih
baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan
eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif
dengan cara memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin
keratinosit.
o Antimetabolit.
Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang
digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, telah
pula digunakan dalam terapi penyakit kulit inflamatori. Studi open
label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek, dan monoterapi
menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang resisten
terhadap obat lain (steroid oral dan topical, PUVA). Obat tersebut
ditoleransi baik (hanya 1 pasien mengalami retinitis herpes). Supresi
sumsum tulang (dose-related) pernah dilaporkan. Bila obat tidak
berhasil dalam 4-8 minggu, obat harus dihentikan.

o Allergen immutherapy.
Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam terapi
DA. Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada
dewasa dengan DA yang disensitasi dengan alergen dust mite
menunjukkan perbaikan pada SCORAD dan pengurangan pemakaian
steroid.

o Probiotik.
Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat
perinatal, menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko
selama 2 tahun pertama kehidupan. Ibu diberi placebo atau
lactobasilus GG perhari selama 4 minggu sebelum melahirkan dan
kemudian baik ibu (menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap hari
selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG
bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini
terutama didapat pada pasien dengan uji kulit positif dan IgE tinggi.

9. Prognosis
Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik,
adalah :
- DA yang luas pada anak.
- Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
- Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.
- Awitan (onset) DA pada usia muda.
- Anak tunggal.
- Kadar IgE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 – 35% penderita DA infantil akan
berkembang menjadi asma bronkiale atau hay fever. Penderita
DA mempunyai resiko tinggi untuk mendapat dermatitis
kontak iritan akibat kerja di tangan.

Referensi:
1. Djuanda, Adi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta, 1999.
2. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2.
EGC, Jakarta, 2004.

- Urtikaria

DEFINISI
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai.
Sinonim biasa untuk urtikaria adalah “hives","nettle rash”,
biduran dan kaligata. Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit
akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-
lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan
kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif
biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Secara umum,
urtikaria dibagi menjadi bentuk akut dan kronis, berdasarkan
durasi penyakit dan bukan dari bercak tunggal. Disebut akut
apabila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari, bila
melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik.
Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya
laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih
sering pada wanita usia pertengahan. Ada kecenderungan
urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.

EPIDEMIOLOGI
Umur, jenis kelamin, bangsa/ras, kebersihan, keturunan dan
lingkungan dapat menjadi agen predisposisi bagi urtikaria.
Berdasarkan data dari National Ambulatory Medical Care
Survey dari tahun 1990 sampai dengan 1997 di USA, wanita
terhitung 69% dari semua pasien urtikaria yang datang berobat
ke pusat kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah 0-9
tahun dan 30-40 tahun. Paling sering episode akut pada anak-
anak adalah karena reaksi atau efek samping dari makanan atau
karena penyakit-penyakit virus. Sedangkan untuk urtikaria
kronik adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan
karena autoimun. Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49%
urtikaria bersama-sama dengan angioedema dan 11%
angioedema saja. Kejadian urtikaria pada populasi umumnya
antara 1% sampai 5%.

ETIOLOGI
Pada penelitian ternyata hampir 80% tidak diketahui
penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, di
antaranya :
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik
secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik
(penisilin, sulfonamid, analgesik dan diuretik) menimbulkan
urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang
secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk
melepaskan histamin, misalnya kodein,opium dan zat kontras.

Gambar 1: Urtikaria akut dan berat yang disebabkan oleh allergi


penisilin.

2. Makanan
Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,
kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan
semangka. Terdapat dua macam zat makanan yang diketahui dapat
menyebabkan atau memprovokasi urtikaria yaitu tartrazine, yang
ditemukan dalam minuman dan permen berwarna kuning dan jingga,
dan natrium benzoat yang digunakan secara luas sebagai bahan
pengawet.

3. Gigitan dan sengatan serangga.


Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika
setempat, hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe
seluler (tipe IV).
Gambar 2 : Reaksi urtikaria masiv akibat sengatan serangga.

4. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga, spora jamur, debu, bulu
binatang dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe 1).
5. Kontaktan
Lesi terbentuk hanya di daerah asal kontak, misalnya di daerah
kontak dengan air liur anjing atau rambut, atau di bibir setelah
mencerna makanan berprotein terutama pada pasien atopik.

6. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas,
faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara
imunologik maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah
goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena
Darier.
Gambar 3: Dermographism
.
7. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria,
misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
8. Penyakit sistemik
Beberapa autoimun dan penyakit kolagen; misalnya retikulosis,
karsinoma, dan dysproteinemias.

PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler
yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang
mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara
klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow
reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh
sel mast dan atau basofil.
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu
merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator
tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP
(adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada
pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin
dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin,
dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik
misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang
mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel
mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas,
dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung
merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh
darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut
daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast
dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang
sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi
tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen
juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara
alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat
venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat
reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga
dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga
terjadi misalnya setelah pemakaian bahan pengusir serangga, bahan
kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara
genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
FAKTOR NON FAKTOR IMUNOLOGIK
IMUNOLOGIK

Bahan kimia Reaksi tipe I (IgE)


pelepas mediator (inhalan, obat,
(morfin,kodein)

Reaksi tipe IV
(kontaktan)
Faktor fisik
(panas, dingin, Pengaruh
trauma, komplemen
sinar X, cahaya)
Aktivasi komplemen
SEL klasik – alternatif
MAS
BASOFI

Efek kolinergik Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

Faktor genetik
(defisiensi C1

PELEPASAN
MEDIATOR
(histamin, SRSA,

Alkoh VASODILATASI
ol PERMEABILITAS
Emosi ↑

Idiopat URTIKARIA
ik?
Gambar 4 : Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang
Menimbulkan Urtikaria

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi


kulit berupa biduran yaitu kulit kemerahan dengan penonjolan atau elevasi
berbatas tegas dengan batas tepi yang pucat disertai dengan rasa gatal
(pruritus) sedang sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti
terbakar. Lesi dari urtikaria dapat tampak pada bagian tubuh manapun,
termasuk wajah, bibir, lidah, tenggorokan, dan telinga. Bentuknya dapat
papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat
lentikular, numular sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam
sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan, maka ia disebut
angioedema. Urtikaria dan angioedema dapat terjadi pada lokasi manapun
secara bersamaan atau sendirian. Angioedema umumnya mengenai wajah
atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai nyeri tetapi jarang pruritus, dan
dapat berlangsung sampai beberapa hari. Keterlibatan bibir, pipi, dan daerah
periorbita sering dijumpai, tetapi angioedema juga dapat mengenai lidah
dan faring. Lesi individual urtikaria timbul mendadak, jarang persisten
melebihi 24-48 jam, dan dapat berulang untuk periode yang tidak tentu.

Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik


klinis daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi
atau patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.

1 Ordinary urticaria Urtikaria akut dan kronis

2 Urtikaria fisik - Urtikaria adrenergik


- Urtikaria aquagenik
- Urtikaria kolinergik
- Urtikaria dingin
- Urtikaria tekanan tertunda
- Dermografisme
- Exercise-induced anaphylaxis
- Utikaria panas
- Urtikaria solar
- Angioedema getaran
3 Urtikaria kontak  Dipengaruhi oleh kontak secara
biologis atau bahan kimia
4 Vaskulitis urtikarial  Ditemukan pada biopsi kulit
5 Angioedema - Penyebabnya bisa idiopatik
(tanpa urtikaria)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan darah, urin, feses rutin.

Pemeriksaan darah, urin, feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglubulin dan cold
hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin. Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati
dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan
C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema
berulang tanpa urtikaria.

2) Tes Alergi

Pada prinsipnya tes kulit (prick test) dan RAST (radioallergosorbant tests),
hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas tipe I.
Untuk urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya
bila urtikaria muncul sebagai bagian dari reaksi anafilaksis.1,2, Untuk
mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri
(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang
cukup sederhana.

3) Tes Eliminasi Makanan


Tes ini dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.

4) Tes Foto Tempel

Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.

5) Injeksi mecholyl intradermal

Injeksi mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria


kolinergik

6) Tes fisik

Tes fisik lainnya bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.

B. Pemeriksaan Histopatologik

Perubahan histopatologik tidak terlalu nampak dan tidak selalu diperlukan


tetapi dapat membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa
pelebaran kapiler di papila dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat
kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi
selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama disekitar
pembuluh darah.
-

Gambar 7: Histologi dari wheal yang terjadi tiba-tiba menunjukkan pelebaran


dermis, pelebaran pembuluh darah dan sedikit infiltrasi sel perivaskular
olehlimfosit, neutrofil dan eosinofil.

Diagnosis
Mendiagnosis urtikaria dapat dilakukan dengan anamnesis yang teliti dan
terarah, melakukan pemeriksaan klinis secara seksama, melihat manifestasi
klinis yaitu berupa munculnya ruam atau lesi kulit berupa biduran yaitu kulit
kemerahan dengan penonjolan atau elevasi berbatas tegas dengan batas tepi
yang pucat disertai dengan rasa gatal (pruritus) sedang sampai berat, pedih,
dan atau sensasi panas seperti terbakar. Lesi dari urtikaria dapat tampak
pada bagian tubuh manapun, termasuk wajah, bibir, lidah, tenggorokan, dan
telinga.

Penatalaksanaan
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila
mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling
tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut, sedikit-dikitnya tidak
menggunakan dan tidak berkontak dengan penyebabnya.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin
pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat,
antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor
H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).
Nama golongan antihistamin :
Kelas Contoh Nama unsur Dosis
kimia
Klasik Chlorpheniramine Alkylamine 4 mg tid (up to 12
(efek mg at night)
sedasi) Hydroxyzine Piperazine 10–25 mg tid (up
to 75 mg at night)
Diphenhydramine Ethanolamine 10–25 mg pada
malam hari
Doxepin Tricyclic 10–50 mg pada
antidepressant malam hari
Generasi Acrivastine Alkylamine 8 mg tid
ke 2 Cetirizine Piperazine 10 mg dd
Loratadine Piperidine 10 mg dd
Mizolastine Piperidine 10 mg dd
Newer Desloratadine Piperidine 5 mg dd
second- Fexofenadine Piperidine 180 mg dd
generation Levocetirizine Piperazine 5 mg once dd
H2 Cimetidine 400 mg bid
antagonists Ranitidine 150 mg bid
Tabel 2 : Pengobatan lini 1 dengan menggunakan antihistamin
Beberapa obat lini kedua untuk urtikaria kronik dan urtikaria fisis
Nama Kelas Obat Route Dosis Indikasi
Generik spesial/
Penyakit
tertentu
Prednison Corticosteroid Oral 0.5 Severe
e mg/kg exacerbation
qd s (days only)
Epinephri Sympathomimetic sc, im (self- 300–500 Angioedema
ne administered mg of
) throat/anaph
ylaxis
Monteluk Leukotriene Oral 10 mg Urtikaria
ast receptor qd sensitive
antagonist aspirin
Thyroxine Thyroid hormone Oral 50–150 Penyakit
mg qd Autoimmnu
ne tiroid
Nifedipine Calcium Oral 10–40 Hipertensi
antagonist mg
modified
-release
qd
Colchicin Neutrophil Oral 0.6–1.8 Neutrophilic
e inhibitor mg qd infiltrates in
lesional
biopsy
specimens
Sulfasalaz Aminosalicylates Oral 2–4 g qd Delayed
ine pressure
urtikaria

Tabel 3 : Beberapa obat lini kedua untuk urtikaria kronik dan urtikaria fisis.

Sedangkan pengobatan lini ke 3 untuk pasien dengan urtikaria yang tidak


merespon pada pengobatan lini 1 dan 2. Umumnya melalui pengobatan
immunomodulatory agent antara lain Cyclosporine 3-5 mg/kg/day,
tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil dan
intravenous immunoglobulins. Sedangkan obat lain yang termasuk dalam
obat generasi lini ke 3 diluar immunomodulatory agent antara lain
plasmaharesis, colchicines, dapsone, albuterol(salbotamol), tranexamic
acid, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine dan warfarin.

Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.

Komplikasi
Lesi-lesi urtikaria bisa sembuh tanpa komplikasi. Namun pasien dengan
gatal yang hebat bisa menyebabkan purpura dan excoriasi yang bisa menjadi
infeksi sekunder. Penggunaan antihistamin bisa menyebabkan somnolens
dan bibir kering. Pasien dengan keadaan penyakit yang berat bisa
mempengaruhi kualitas hidup.

Referensi:
Aisah S. Urtikaria. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed. 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005. p. 169-175.
- Fixed Drug Erruption

DEFINISI

Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan
timbul pada tempat yang sama.

EPIDEMIOLOGI
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang
pernah dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999)
mendapatkan FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat
terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak, disusul dengan erupsi eksantematosa
(3%) dan urtikaria (12%). Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia,
hal tersebut mungkin disebabkan pajanan obat yang bertambah.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling


sering dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide,
tetrasiklin, antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.
Obat antibakteri Obat anti inflamasi non
1. Sulfonamid (co-trimoxazole) steroid
2. Tetrasiklin 1. Aspi
3. Penisilin rin
4. Ampisilin 2. Oxy
5. Amoksisilin phenbutazone
6. Eritomisin 3. Phe
7. Trimethoprim nazone
8. Nistatin 4. Meti
9. Griseofulvin mazole
10. Dapson 5. Para
11. Arsen cetamol
12. Garam Merkuri 6. Ibup
13. P amino salicylic acid rofen
14. Thiacetazone Phenolpthalein
15. Quinine Codein
16. Metronidazole Hydralazin
17. Clioquinol Oleoresin
Barbiturat dan tranquilizer lainnya Symphatomimeti
18. Derivat Barbiturat c Symaphatolitic
19. Opiat Parasymphatoliti
20. Chloral hidrat c
21. Benzodiazepine • H
22. Chlordiazepoxide yoscine
23. Anticonvulsan butylbro
24. Dextromethoephan mide
Magnesi
um
hydroxid
e
Magnesi
um
trisilicat
e
Anthralin Chlorthiazone
Chlorphenesin carbamate
Berbagai penambah
rasa/flavour makanan

Daftar obat-obat penyebab FDE

Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena
karena reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi
pada reaksi obat dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex
dependent drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated
reaction.

GAMBARAN KLINIS

FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat
secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berawarna merah atau
keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula,
mengalami deskuamasi atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai
dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tapi jika penderita
meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai
dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya
kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama
penyakit tersebut.

Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan,
tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital.
Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin.
Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, jarang dijumpai gejala
sistemik. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi
pada FDE jika menyembuh akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi post
inflamasi yang menetap dalam jangka waktu lama.

HISTOPATOLOGI

Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme (EM).


Seperti pada EM reaksi dapat terjadi di dermis atau epidermis atau keduanya.
Yang paling sering adalah yang melibatkan dermis dan epidermis.
Pada tahap awal pemeriksaan histopatologi menggambarkan adanya
bula subepidermal dengan degenerasi hidropik sel basal epidermis. Dapat
juga dijumpai diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma eosinofilik dan inti
yang piknotik di epidermis.
Pada tahap lanjut dapat dilihat melanin dan makrofag pada dermis
bagian atas dan terdapat peningkatan jumlah melanin pada lapisan basal
epidermis.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis


yang khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis,
macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat
sebelumnya penting untuk membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis:
 Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan
diagnosis banding.

 Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi


anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan
mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan.
Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam
prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel
selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan
pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-
kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.

Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang
agak berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol
70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan punggung
penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama, dan dianggap
positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan selama minimal
6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah
penempelan 24 jam.

Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi


obat dan hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan
menentukan penyebab meskipun peranannya masih kontroversi.
Metode uji tempel masih memerlukan banyak perbaikan, diantaranya
dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang sesuai untuk
setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat
di kulit.

 Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan


penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak.
Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih
ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat
penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi
biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang
mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah
pengawasan petugas medis yang terlatih.

DIAGNOSIS BANDING

 Mastositosis: biasanya timbul urtikaria disertai tanda Darier

 Herpes labialis atau herpes genitalis: biasanya berlangsung lebih cepat


dan tidak meninggalkan bercak hiperpigmentasi.
 Dermatitis Kontak Alergi: adanya riwayat kontak

PENATALAKSANAAN

1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab

2. Pengobatan Sistemik

Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan.Untuk


keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu
istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin
generasi lama yang mempunyai efek sedasi.
3. Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah


kering atau basah.
1. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya
adalah untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan
krusta serta memberikan efek menyejukkan. Pengompresan
dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai
menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering
bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2
sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih
antara lain larutan NaCl 0,9 atau dengan larutan antiseptik ringan
misalnya larutan Permanganas Kalikus 1:10.000 atau asam salisilat
1:1000.

2. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim


hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu
diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
kortikosteroid topikal pada bayi dan anak
1. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi
yang akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau
muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada
badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.
2. PIlihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan
kulit dalam waktu sesingkat mungkin. Sedapat mungkin
hindari penggunaan kortikosteroid yang sangat poten, terutama
untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.

3. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit,


misalnya salap untuk lesi kering dan tebal serta krim untuk
radang ringan atau lipatan.
4. Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup

5. Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang


sebanyak > 15g/minggu.
6. Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya
daerah popok atau aksila.
PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat


dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu
kecil yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat
ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat),
sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.

Referensi:
1. Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung
DYM, Greaves MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-
Basel. 2000:307-35.
2. Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. Eksantema Fikstum. Dalam:
Sularsito SA dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat
Alergik. Balai Penerbit FKUI, Jakarat, 1995:63-5 6

4. Jelaskan perspektif islam dari scenario tersebut!


Jawab:
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa' 4: Ayat 56

َّ‫اب ۗ اِن‬ َ ‫ارا ۗ ُكلَّ َما نَ ِض َجتْ ُجلُ ْو ُد ُه ْم بَ َّد ْل ٰن ُه ْم ُجلُ ْودًا‬
َ َ‫غي َْر َها ِليَذُ ْوقُوا ا ْلعَذ‬ ً َ‫ص ِلي ِْه ْم ن‬
ْ ُ‫ف ن‬ َ ‫اِنَّ الَّ ِذ ْينَ َكفَ ُر ْوا ِب ٰا ٰيتِ َنا‬
َ ‫س ْو‬
‫ّٰللاَ كَانَ ع َِزي ًْزا َح ِك ْي ًما‬
‫ه‬

Artinya:
"Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami
masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan
kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana."
Kandungan Ayat:
Secara umum ayat ini bercerita tentang siksaan yang dialami oleh "para
pengingkar ayat Allah", yakni dimasukkan ke dalam api neraka dengan
menanggung pedih yang silih berganti, tanpa henti. Setiap kali kulit mereka luluh,
selalu muncul kulit baru seperti semula, luluh lagi dan baru lagi, begitu seterusnya.
Siksaan demikian dikarenakan mereka telah "mengingkari ayat-ayat Allah",
baik ayat quraniyah (Al-Quran dan sebagainya yang berupa wahyu) maupun ayat
kawniyyah segala sesuatu di alam yang dapat membuktikan Keagungan dan
kekuasaan Allah Ta'ala. Pengingkaran terhadap ayat quraniyah mencakup semua
bentuk penolakan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ayat, seperti tidak
mempercayai isinya, menolaknya sebagai firman Allah, melalaikan
pengamalannya, apalagi sampai menentang atau melakukan tindakan yang bertolak
belakang dengan kandungan ayat.
Hal lain yang menarik dari ayat ini adalah bahwa ternyata "kulit" merupakan
pusat indera peraba yang terhubung melalui syaraf-syaraf sensorik menuju otak.
Sehingga rasa sakit, pedih, panas, dingin, dan sebagainya masuk melalui pintu yang
bernama kulit. Ia tersusun atas tiga bagian utama; epidermis sebagai permukaan
paling atas kulit, dermis sebagai lapisan tengah yang menjadi tempat pembuluh
darah, akar rambut, ujung syaraf dan kelenjar keringat, serta hipodermis (Sub Cutis)
sebagai bagian terdalam kulit yang banyak mengandung ujung-ujung pembuluh
darah dan syaraf.

Anda mungkin juga menyukai