Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PBL

BERCAK MERAH PADA KULIT

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Wardayani (11020170072)
2. Anisa Suryani (11020170074)
3. Rifka Yusraeni (11020170075)
4. A.Ayu Pratiwi NZ (11020170076)
5. Murni Aswiranti Putri (11020170077)
6. M. Avizena Ilhami.S (11020170078)
7. Andi Nurul Hikmah R (11020170079)
8. Nadya Nur Aqilah (11020170080)
9. Sri Ainun Zainal Siddiq (11020170081)
10. Pryantama Saputra Tuna (11020170082)

TUTOR : dr. Rasfayanah,M.kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat

dan hidayah-Nya sehingga laporan hasil tutorial ini dapat terselesaikan

dengan baik. Dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi

Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh

kebodohan ke alam yang penuh kepintaran. Kami juga mengucapkan

terima kasih kepada pihak yang telah membantu membuat laporan ini

serta kepada tutor yang telah membimbing kami selama proses tutorial

berlangsung. Semoga laporan hasil tutorial ini dapat bermanfaat bagi

setiap pihak yang telah membaca laporan ini dan khusunya bagi tim

penyusun sendiri. Semoga setelah membaca laporan ini dapat

memperluas pengetahuan pembaca mengenai BERCAK MERAH PADA

KULIT

Makassar, 15 November 2019

Kelompok 6
SKENARIO 3 :

Seorang perempuan datang ke puskesmas dengan keluhan gatal-

gatal di badan, di bawah lipatan payudara dan sekitar pantat sejak 1 bulan

lalu. Awalnya muncul sedikit-sedikit saja, disertai warna kemerahan,

bentuk seperti biang keringat, terasa agak basah. Karena merasa gatal

sangat mengganggu, karena sering menggaruk menjadi luka, terasa perih

dan warna menjadi kehitaman. Gatal terutama dirasakan waktu

berkeringat. Tidak ada riwayat alergi. Gatal-gatal ini sempat membaik

setelah diberi salep hidrocortisone, tapi dalam seminggu ini gatal dibagian

badan malah semakin meluas sampai perut dan punggung yang

warnanya semakin menghitam disertai rasa kasar di kulit tersebut.

A. KATA KUNCI

1. Seorang perempuan.

2. Gatal-gatal di badan di bawah lipatan payudara dan sekitar pantat

sejak 1 bulan lalu.

3. Awalnya muncul sedikit-sedikit saja, disertai warna kemerahan,

bentuk seperti biang keringat, terasa agak basah.

4. Sering menggaruk menjadi luka, terasa perih dan warna menjadi

kehitaman.

5. Gatal terutama dirasakan waktu berkeringat.

6. membaik diberi salep hidrocortisone, tapi dalam seminggu meluas

sampai perut dan punggung yang warnanya semakin menghitam.


B. PERTANYAAN

LO : Anatomi, histologi dan fisiologi pada skenario

1. Jelaskan patomekanisme gejala terkait skenario!

2. Jelaskan faktor risiko timbulnya gejala sesuai skenario!

3. Bagaimana pengaruh hidrokortison terhadap gejala pada skenario?

4. Jelaskan klasifikasi penyakit akibat jamur!

5. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario!

6. Apakah diagnosis banding pada skenario?

7. Bagaimana tindakan pencegahan pada skenario?

8. Apakah perspektif islam pada skenario ?


C. PEMBAHASAN

1. Bagaimana patomekanisme sesuai pada skenario?

HISTOLOGI

Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu epidermis,

dermis dan lemak subkutan.1

1. Epidermis

Epidermis terdiri atas 5 lapisan sel penghasil keratin (keratinosit)

yaitu:

a. Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel

kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina

basalis pada perbatasan epidermis-dermis.

b. Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng

dengan inti ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang

yang terisi berkas filamen.

c. Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng

yang sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar.

d. Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini

bersifat translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis

eosinofilik yang sangat gepeng.

e. Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng

berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi

skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin.


2. Dermis

Dermis terdiri atas 2 lapisan dengan batas yang tidak nyata,

stratum papilare di sebelah luar dan stratum retikular yang lebih

dalam.

a. Stratum papilar, terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas dan

sel jaringan ikat lainnya terdapat di stratum ini seperti sel mast

dan makrofag. Dari lapisan ini, serabut lapisan kolagen

khusus menyelip ke dalam lamina basalis dan meluas ke

dalam dermis. Serabut kolagen tersebut mengikat dermis

pada epidermis dan disebut serabut penambat.

b. Stratum retikular, terdiri atas jaringan ikat padat tak teratur

(terutama kolagen tipe I), dan oleh karena itu memiliki lebih

banyak serat dan lebih sedikit sel daripada stratum papilar.

Dermis kaya dengan jaring-jaring pembuluh darah dan limfa.

Di daerah kulit tertentu, darah dapat langsung mengalir dari arteri ke

dalam vena melaui anastomosis atau pirau arteriovenosa. Pirau ini

berperan sangat penting pada pengaturan suhu. Selain komponen

tersebut, dermis mengandung beberapa turunan epidermis, yaitu

folikel rambut kelenjar keringat dan kelenjar sebasea.


3. Fascia superficialis

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat

kulit secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang

memungkinkan kulit bergeser di atasnya. Hipodermis sering

mengandung sel-sel lemak yang jumlahnya bervariasi sesuai

daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status gizi

yang bersangkutan. Lapisan ini juga disebut sebagai jaringan

subkutan dan jika cukup tebal disebut panikulus adiposus.

FISIOLOGI

Sistem integumen  inte: menyeluruh, gumen: menutupi tubuh.

Dua komponen mayornya membran kutaneus/kulit dan struktur

aksesoris seperti rambut, kuku, dan kelenjar eksokrin multiseluler. 2

Fungsi umum sistem integumen

1. Proteksi  faktor yang berperan dalam fungsi ini yaitu keratin, lipid,

sebum, pH asam, sel Langerhans epidermis, dan makrofag dermis.


1) Keratin awalnya terbentuk dari keratinosit yang berada di

stratum spinosum. Dalam proses keratinisasi terjadi

peningkatan jumlah autofagosom dalam sitoplasma keratinosit

(yang mengandung lisosom) yang berakibat hilangnya struktur

sel. Disini keratinosit mengandung keratinosom, yaitu granula

bermembran yang nantinya bergerak ke tepi dan bisa keluar

berada diantara sel-sel, dan berfungsi sebagai barier terhadap

benda asing dan air.

2) Sel Langerhans merupakan sel APC yang akan berinteraksi

dengan beberapa limfosit T. APC kaya akan molekul antigen

MHC kelas II yang berfungsi untuk menyajikan antigen kepada

limfosit T.

2. Ekskresi dan absorpsi  ekskresi keringat, absorpsi substansi larut

air, materi larut lemak, obat dan gas tertentu (CO 2 dan O2).

Kelenjar keringat dipersarafi oleh serabut-serabut saraf

kolinergik (serabut yang menghasilkan asetilkolin). Rangsangan

pada area preoptik di bagian anterior hipotalamus akan

menyebabkan berkeringat. Kelenjar ini dapat juga dirangsang oleh

epinefrin atau norepinefrin yang bersirkulasi dalam darah, walaupun

kelenjar ini tidak memiliki persarafan adrenergik. Apabila kelenjar

keringat dirangsang sedikit, sekret primer dari gelungan kel.keringat

mengalir melalui duktus dengan lambat. Dalam hal ini ion Na dan Cl

akan direabsorbsi dan konsentrasi masing-masing ion akan turun


sehingga akan memekatkan sebagian besar kandungan unsur

lainnya. Sebaliknya, rangsangan kuat terhadap kelenjar keringat

akan terjadi peningkatan jumlah sekret primer dan duktus hanya

akan mereabsorbsi sedikit lebih dari setengahnya; konsentrasi ion

Na dan Cl kemudian biasanya meningkat. Lebih lanjut lagi, keringat

mengalir melalui tubulus kelenjar begitu cepatnya sehingga hanya

sedikit air yang direabsorbsi. Tingginya air ini akan membantu

proses evaporasi lebih cepat.

3. Sensasi rangsangan sentuh, tekan, nyeri, dan suhu  epidermis

dan dermis memiliki sebaran berbagai reseptor sensorik dan ujung

saraf.

4. Pengaturan suhu tubuh  reseptor suhu, produksi dan evaporasi

keringat, perubahan aliran darah kulit untuk menjaga atau

melepaskan panas (kontrol lokal dan saraf).

1) Vasodilatasi pembuluh kapiler akan meningkatkan aliran darah

ke permukaan kulit sehingga dapat melepas kalor lebih banyak.

Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit

berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan dari

pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan

vasokonstriksi.

2) Vasokonstriksi akan menurunkan aliran darah sehingga kalor

yang dibuang akan menurun. Hal ini disebabkan oleh

rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior.


5. Sintesis vitamin D3  dibantu oleh sinar UV. Hati dan ginjal

berperan dalam menghasilkan bentuk aktif dari vitamin D 3.

Vitamin D menghasilkan suatu hormon yang dikenal dengan

nama kalsitriol, yang mempunyai peran sentral pada metabolisme

kalsium dan fosfat. Ergosterol ditemukan pada tanaman dan 7-

dehidrokolesterol pada tubuh hewan. Sinar ultraviolet memutus

cincin B kedua senyawa. Ergokalsiferol (vitamin D 2) dapat dibuat

secara komersial dari tanaman melalui cara ini, sedangkan pada

hewan, 7-dehidrokolesterol akan membentuk kolekalsiferol (vitamin

D3) pada kulit yang terpajan. Vitamin D 2 dan D3 memiliki potensi

yang sama. Vitamin D3 ternyata dapat menghambat pertumbuhan

keratinosit dan menginduksi diferensiasi sel lebih awal-termasuk

murine dan keratinosit. Metabolit vitamin D dapat menghambat IL-2

dan síntesis imunoglobulin pada sel limfosit T dan B. 1,25-

dihidroksivitamin D3 dan analog vitamin D3 dapat mencegah

psoriasis. Berikut sintesis kolekalsiferol oleh UV light.

6. Penyimpanan lemak  diperankan oleh sel adiposit dermis dan

jaringan adiposa pada lapisan subkutan.


Berdasarkan histopatologi didapatkan bahwa spesimen

biopsi kulit dengan pewarna periodic acid-schiff (PAS)

menampakkan hifa tak bersepta. Hifa tak bersepta yang

menunjukkan kandidiasis kutaneus berbeda dengan tinea. 3

Gambar 6. PAS candadida.3

A. ETIOLOGI GATAL

Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi kulit yang iritatif dan

menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Pruritus (gatal)

merupakan gejala utama dari penyakit kulit yang menimbulkan

sensasi atau keinginan untuk menggaruk.3

Pruritus dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Faktor eksogen

Dermatitis kontak (pakaian, logam, benda asing), rangsangan


oleh ektoparasit (serangga, tungau, skabies, pedikulus, larva

migrans), atau faktor lingkungan yang dapat membuat kulit

lembab atau kering.

2. Faktor endogan

Rekasi obat atau penyakit. Sebagai contoh adalah diskriasia

darah, limfoma, keganasan alat dalam, kelainan hepar atau ginjal.

Namun sering karena penyebab klinis pada permulaan belum

diketahui.

B. PATOMEKANISME GATAL

Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik)

dapat memicu terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas

yang terletak didekat junction dermoepidermal bertanggung jawab

untuk sensasi ini. Sinaps terjadi diakar dorsal korda spinalis

(substansia grisea), bersinaps dengan neuron keduayang

menyebrang ke tengah, lalu menuju traktus spinotalamikus konlateral

hingga berakhir di thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron

ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke pusat persepsi di

korteks serebri. Saraf yang menghantarkan sensasi gatal merupakan

saraf yang sama seperti yang digunakan untuk menghantarkan

rangsang nyeri. Ini merupakan serabut saraf tipe C-taktermielinasi.

Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi gataldan

nyeri ketika dilakukan blockade terhadap penghantaran saraf nyeri

dalam prosedur anastesi. 80% serabut saraf tipe C adalah


nosireseptor polimodal (merespons stimulus mekanik, panas, dan

kimiawi); sedangkan 20% sisanyamerupakan nosireseptor mekano-

intensif, yang tidak dirangsang oleh stimulusmekanik namun oleh

stimulus kimiawi. Dari 20 % serabut saraf ini, 15% tidakmerangsang

gatal (disebut dengan histamine negative), sedangkan hanya 5 %yang

histamine positif dan merangsang gatal. Dengan demikian, histamine

adalah pruritogen yang paling banyak dipelajari saat ini.4

C. PATOMEKANISME BERCAK MERAH

Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi.

Proses inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh.

Secara garis besar imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu sistem imun

bawaan/nonspesifik dan sistem imun didapat/spesifik. Nonspesifik

akan menyerang semua antigen yang masuk, sedangkan spesifik

merupakan pertahanan selanjutnya yang memilih-milih antigen yang

masuk. Ketika antigen masuk kedalam tubuh, maka spesialis-

spesialis fagositik(makrofag dan neutrofil) akan memfagosit antigen

tersebut. Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan

histamin oleh sel mast di daerah jaringan yang rusak. Histamin yang

dilepaskan ini membuat pembuluh darah bervasodilatasi untuk

meningkatkan aliran darah pada daerah yang terinfeksi. Selain itu,

histamin juga membuat permeabilitas kapiler meningkat sehingga

protein plasma yang seharusnya tetap berada di dalam pembuluh


darah akan mudah keluar ke jaringan. Hal ini yang menyebabkan kulit

berwarna kemerahan akibat proses inflamasi. 5

2. Bagaimana faktor risiko timbulnya gejala sesuai skenario?

Faktor penting yang berperan dalam penyebaran dermatofita

adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan

yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau

lembab. Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko

tambahan oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk

melawan infeksi.6

Beberapa faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap

timbulnya kelainan di kulit adalah:6

a. Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur

antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing

jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas

terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya:

Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython

fluccosum paling sering menyerang liapt paha bagian dalam.

b. Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang

jamur.

c. Faktor suhu dan kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi

jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat

seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang

penyakit jamur. Iklim panas, dan kelembaban dapat menyebabkan

perspirasi meningkat.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur

dimana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan

ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan

ekonomi yang baik.

e. Faktor usia dan jenis kelamin.

Orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena

status imunologiknya tidak sempurna.

3. Bagaimana pengaruh hidrokortison terhadap gejala pada

skenario?

Hidrokortison adalah golongan kortikosteroid yang mempunyai

daya kerja antialergi dan antiradang. Kortikosteroid bekerja dengan

cara mencegah reaksi alergi, mengurangi peradangan, dan

menghambat sel epidermis. Krim Hidrokortison dapat mengurangi

radang rasa gatal, dan rasa sakit pada kulit. indikasi krim ini ,menekan

reaksi radang pada kulit yang bukan diseba kulit 2-3 kali sehari. 7
Menurut Barnez (2003), pemakaian steroid topikal pada kulit

akibat peradangan jamur pada awalnya dapat terjadi perbaikan atau

penurunan peradangan dikarenakan efek utama dari pemberian

steroid topikal pada dermatologi adalah efek anti inflamasi. Tetapi jika

pengobatan dihentikan dalam beberapa hari kemudian penyakit yang

diderita akan semakin bertambah parah dan gatal. Selain efek anti

inflamasi steroid topikal juga memiliki efek imunosupresi yang

menekan peradangan akibat jamur pada awal infeksi, tetapi jika

semakin sering dan banyak steroid topikal digunakan maka infeksi

jamur akan semakin bertambah karena organisme penginfeksi tidak

dibasmi, selain itu juga steroid topikal mengakibatkan keadaan berupa

pengaburan tanda klinis infeksi sehingga menjadi tidak jelas dan tidak

spesifik. infeksi jamur yang diberikan steroid topikal golongan kuat

akan membuat lesi menjadi kemerah-merahan dan semakin

memperluas infeksi secara perlahan-lahan. Sehingga

menimbulkan gambaran klinis yang tidak jelas dan aneh yaitu skuama

hampir tidak ditemukan, lesi eritematous dengan teleangiektasis yang

juga bisa terdapat papula, pustule dan hiperpigmentasi.8

4. Bagaimana klasifikasi penyakit akibat jamur?

Klasifikasi Penyakit Kulit Akibat Jamur

1) Mikosis Superficialis

Yaitu jamur-jamur yang menyerang lapisan luar pada kulit,

kuku, dan rambut. Dibagi dalam 2 bentuk, yaitu :


DERMATOFITOSIS, terdiri dari :9

a) Tinea Corporis

Menyerang kulit tubuh yang tidak berambut, disebabkan

oleh serangan jamur Trichophyton rubrum, Trichophyton

metagrophytes, Epidermophyton. floccosum. Hifa tumbuh aktif

ke arah pinggir cincin stratum korneum yan belum terserang.

Klinis : Sering menimbulkan lesi-lesi anuler kurap, dengan

bagian tengah bersisik dikelilingi oleh pingiran merah

meninggi sering mengandung volikel. Waktu hifa menjadi tua

dan memisahkan diri menjadi artrospora, sel-sel yang

mengandung artrosphora mengelupas, sehinga pada

beberapa kasus terdapat bagian tengah yang bersih pada lesi

kurap.

b) Tinea Capitis (kurap kulit kepala)

Infeksi microsporum terjadi pada masa kanak-kanak dan

biasanya akan sembuh pada saat memasuki masa puberitas.

Sedangkan jika infeksi disebabkan oleh Trichophyon yang

tidak diobati akan menetap sampai dewasa.

Klinis : infeksi dimulai pada kulit kepala, selanjutnya ermofita

tumbuh ke bawah mengikuti dinding keratin folikel rambut.

Infeksi pada rambut terjadi di atas akar rambut. Rambut

menjadi mudah patah dan meninggalkan potongannya yang


pendek. Pada bagian kulit kepala yang botak terlihat bentuk

kemerahan, edema, bersisik dan membentuk vesikel, pada

kasus yang lebih parah dapat menyebabkan peradangan dan

mengarah pada mikosis sistemik.

c) Tinea pedis (kaki atlet)

Infeksi menyerang jaringan antara jari-jari kaki dan

berkembang menjadi vesikel-vesikel kecil yang pecah dan

mengeluarkan cairan encer, disebabkan oleh Trichophyton

rubrum, T. Mentagrophytes, Epidemirmophyton floccosum.

Klinis : Kulit antara jari kaki mengalami pengelupasan dan kulit

pecah-pecah, dapat juga terjadi infeksi skunder.

d) Tinea Favosa

Infeksi pada kulit kepala, kulit badan yang tidak berambut

dan berkuku disebabkan oleh Trichopyton schoenleinii.

Klinis : Gejala awal berupa bintik-bintik putih pada kuli kepala

kemudian membesar membentuk kerak yang berwarna kuning

kotor, Kerak sangat lengket, bila diangkat akan meninggalkan

luka basah. Dapat menyebabkan kebotakan yang menetap.

NON-DERMATOFITOSIS, terdiri dari :10

a) Tinea Versicolor

Merupakan infeksi ringan yang nampak dan terjadi akibat

pertumbuhan Malassezia furfur yang tidak terkendali. Dalam

bahasa lokal dikenal sebagai panu.


Klinis : Muncul bercak putih kekuningan disertai rasa gatal

pada kulit dada, punggung, axila leher dan perut bagian atas.

Daerah yang terserang akan mengalami depigmentasi.

b) Piedra

Dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu White Piedra

disebabkan oleh Trichosporon Beigelli dan Black Piedra

diakibatkan oleh Piedraia hortae.

Klinis terbentuknya nodul hitam keras di sekitar rambut kepala

(Black piedra) terbentuk nodul yang lebih halus pada rambut

ketiak, kemaluan, janggut (White piedra)

c) Tinea nigra

Infeksi pada lapisan kulit (stratum korneum) akibat

serangan Exophiala weneckii.

Klinis : Muncul bercak-bercak (makula) berwarna coklat

kehitaman. Bercak tersebut terisi oleh hifa bercabang,

bersepta, dan sel-sel yang bertunas, akan tetapi tetap terlihat

datar menempel pada kulit (tidak membentuk bagian yang

menonjol, seperti sisik ataupun reaksi yang lain)

2) Mikosis Intermediat

Yaitu jamur-jamur yang menyerang kulit, mukosa, subkutis,

dan alat-alat dalam, terutama yang disebabkan oleh spesies

candida sehingga penyakitnya disebut kandidiasis oleh Candida

albicans.
3) Mikosis Profunda

SUBKUTIS

a) Sporotrichosis

Akibat infeksi Sporothrix schenckii, yang merupakan jamur

degan habitat pada tumbuh-tumbuhan atau kayu. Invasi

terjadi ke dalam kulit melalui trauma, kemudian menyebar

melalui aliran getah bening.

Klinis : Terbentuk abses atau tukak pada lokasi yang

terinfeksi, Getah bening menjadi tebal, Hampir tidak dijumpai

rasa sakit, terkadang penyebaran infeksi terjadi juga pada

persendian dan paru-paru. Akibat secara histologi adalah

terjadinya peradangan menahun, dan nekrosis.

b) Mycetoma (madura foot)

Infeksi pada jaringan subkutan yang disebabkan oleh

jamur Eumycotic mycetoma dan atau kuman

(mikroorganisme) mirip jamur yang disebut Actinomycotic

mycetoma.

Klinis : ditandai dengan pembengkakan seperti tumor dan

adanya sinus yang bernanah. Jamur masuk ke dalam jaringan

subkutan melalui trauma, terbentuk abses yang dapat meluas

sampai otot dan tulang. Jamur terlihat terlihat sebagai granula

padat dalam nanah. Jika tidak diobati maka lesi-lesi akan


menetap dan meluas ke dalam dan ke perifer sehingga

berakibat pada derormitas.

SISTEMIK

Adalah infeksi jamur yang mengenai organ internal dan

jaringan sebelah dalam. Seringkali tempat infeksi awal adalah

paru-paru, kemudian menyebar melalui darah. Masing-masing

jamur cenderung menyerang organ tertentu. Semua jamur bersifat

dimorfik, artinya mempunyai daya adaptasi morfologik yang unik

terhadap pertumbuhan dalam jaringan atau pertumbuhan pada

suhu 37°C

a) Blastomikosis

Infeksi yang terjadi melalui saluran pernafasan,

menyerang pada kulit, paru-paru, organ vicera tulang dan

sistem syaraf yang diakibatkan oleh jamur Blastomycetes

dermatitidis dan Blastomycetes brasieliensi.

Klinis : Kasusnya bervariasi dari ringan hinga berat, pada

kasus ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya.

Berbagai gejala umum akibat mikosis ini tidak dapat

dibedakan dengan infeksi pernafasan bawah akut lain

( demam, batuk, berkeringat malam). Jika terjadi penyebaran


maka dapat mengakibatkan timbulnya lesi-lesi pada kulit di

permukaan terbuka (leher,muka, lengan dan kaki).

b) Kokodiodomikosis

Disebabkan oleh Coccidiodes immitis yang hidup di tanah,

mikosis ini menyerang paru-paru.

Klinis : Infeksi dapat terjadi melalui inhalasi, gejala yang

umum timbul adalah demam, batuk, sakit kepala, kompleks

gejala tersebut dikenal sebagai demam valley atau desert

rheumatism, dan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya.

c) Hitoplasmosis

Disebabkan oleh Hitoplasma capsulatum, jamur ini hidup

pada tanah dengan kandungan nitrogen tinggi (tanah yang

terkontaminasi dengan kotoran unggas atau ternak)

Klinis : Infeksi terjadi melalui proses pernafasan. Konidia

yang terhirup diliputi oleh makrovag areolar akhir-nya

berkembang menjadi sel-sel bertunas. Meskipun infeksi dapat

menyebar secara cepat namun 99% infeksi bersifat

asimtomatik. Gejala yang timbul berupa sindroma flu yang

dapat sembuh dengan sendirinya. Pada kasus penderita

dengan defisiensi imun, hipoplasmosis dapat berakibat pada

terjadinya pembengkakan limpa dan hati, demam tinggi ,

anemia. Juga dapat terjadi tukak-tukak pada hidung, mulut

lidah, dan usus halus.


5. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario!

1. Anamnesis
1) Identitas pasien : seorang wanita
a. Umur : -
b. Alamat :-
c. Pekerjaan :-
2) Keluhan Utama : gatal pada badan dibawah lipatan payudara
dan disekitar daerah bokong
a. Sifat lesi : Awalnya warna kemerahan setelah seminggu
lesi makin meluas dan kasar
b. Onset : 1 bulan
c. Lokasi : lipatan payudara dan disekitar bokong
d. Kualitas : Gatal hebat hingga mengganggu
aktivitas
e. Kuantitas : gatal semakin meluas
f. Faktor memperberat : jika berkeringat
g. Faktor memperingan : di berikan salep hidrocortisone
3) Riwayat Penyakit Terdahulu
4) Riwayat Penyakit dalam Keluarga
5) Riwayat Sosial Ekonomi
2. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Umum
2) Keadaan umum pasien
3) Status gizi (IMT)
4) Pemeriksaan Tanda-tanda vital ( tekanan
darah,suhu,pernapasan,denyut nadi )
5) Inspeksi, palpasi
a. Perhatikan seluruh tubuh pasien dari ubun-ubun sampai
kaki.
b. Periksa ada tidaknya pembesaran hati , edema kaki, luka
pada kaki.
6) Pemeriksaan bercak kulit :
a. makula hiperpigmentasi batas tegas dengan tepi aktif dan
skuama tipis, dan ditemukan central healing pada bagian
tengah serta dikelilingi oleh satelit.
b. Lokasi : bagian bawah payudara, dan sekitar daerah
bokong.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan langsung
Pemeriksaan dengan kerokan kulit dengan penambahan KOH
10% akan memperlihatkan elemen candida berupa sel ragi,
balastospora , peudohifa atau hifa bersepta.
2) Pemeriksaan Biakan
Biakan merupakan pemeriksaan paling sensitive untuk
mendiagnosis infeksi Candida. Sabouraud Dextrose Agar
(SDA)merupakan media standar yang banyak digunakan
untuk pemeriksaan jamur. Penambahan antibiotika pada SDA
digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Biakan
diinkubasi pada suhu kamar yaitu 25-27 0 C dan diamati secara
berkala untuk melihat pertumbuhan koloni. Hasil biakan
dianggap negative bila tidak ditemukan pertumbuhan koloni
dalam waktu empat pekan.11

6. Apakah diagnosis banding pada skenario?

A. CANDIDIASIS INTERTRIGINOSA

Definisi

Kandidiasis merupakan suatu penyakit kulit akut atau subakut,

disebabkan jamur intermediat yang menyerang kulit, subkutan,

selaput lendir dan alat-alat dalam. 12


Etiologi

Penyebab tersering adalah Candida albicans yang dapat

diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang

normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidiasis adalah C.

parapsilosis dan penyebab kandidiasis sistemik ialah C. tropicalis.12

Epidemiologi

Kandidiasis terdapat di seluruh dunia dapat menyerang semua

umur baik laki-laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya

terdapat pada orang sehat sebagai saprofit. Gambaran klinisnya

bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data

penyebarannya dengan tepat.12

Penyakit ini dapat ditularkan secara langsung maupun tidak

langsung. Tidak jelas hubungan ras dengan penyakit ini namun

insiden diduga lebih tinggi di negara berkembang. Lebih banyak

pada daerah tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. 12

Patogenesis

Infeksi kandida dapat terjadi apabila ada faktor predisposisi

baik endogen maupun eksogen.12

1. Faktor endogen

Perubahan fisiologik

a. Kehamilan karena perubahan pH dalam vagina

b. Kegemukan, karena banyak keringat

c. Iatrogenik
d. Endokrinopati, gangguan gula darah kulit

e. Penyakit kronis: TBC, lupus eritematosus dengan keadaan

umum yang buruk.

f. Umur : orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi

karena status imunologiknya tidak sempurna.

g. Imunologik, penyakit genetik

2. Faktor eksogen

a. Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi

meningkat.

b. Kebersihan kulit.

c. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama

menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur.

d. Kontak dengan penderita, misalnya pada thrush,

balanopostitis

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis kandidiasis intertriginosa dapat berupa lesi

di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara,

antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus, berupa

bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi

tersebut dikelilingi oleh lesi satelit berupa vesikel/pustula,

papulopustular atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah

yang erosi dengan pinggiran yang kasar dan berkembang seperti

lesi primer. Pada keadaan kronik, daerah-daerah likenifikasi,


hiperpigmentasi,hiperkeratosis dan terkadang berfistula. Kelainan

pada kulit menimbulkan keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang

disertai rasa panas dan terbakar.12

Pembantu Diagnosis

 Pemeriksaan Langsung

Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan

larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram, terlihat sel ragi,

blastospora, atau pseudohifa.12

 Pemeriksaan Biakan

Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dektrosa

glukosa Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotik

(kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan

disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 0C, koloni tumbuh

setelah 24-48 jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida

albicans dilakukan dengan membiakan tumbuhan tersebut pada

corn meal agar.12

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi

klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 12

Diagnosis banding

Kandidiasis kutis lokalisata dengan:


1. Eritrasma : lesi dilipatan, lesi lebih merah, batas tegas,

kering tidak ada satelit, pemeriksaan dengan sinar Wood berwarna

merah bata.

2. Dermatofitosis (tinea)

Penatalaksanaan

1. Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.

2. Topikal:

 Larutan ungu gentian ½-1% untuk selaput lender, 1-2% untuk kulit,

dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari.

 Nistatin: berupa krim, salep, emulsi.

 Amfoterisin B

 Grup azol antara lain:

o Mikonazol 2 % berupa krim atau bedak

o Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan, dan krim

o Tiokonazol, bufonazol, isokonazol

o Siklopiroksolamin 1% larutan, krim

o Antimikotik yang lain yang berspektrum luas

3. Sistemik:

 Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran

cerna, obat ini tidak diserap oleh usus

 Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidiasis sistemik


 Untuk kandidiasis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500 mg per

vaginam dosis tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol

2x200mg selama 5 hari atau dengan itrakonazol 2x200mg dosis

tunggal atau dengan flukonazol 150mg dosis tunggal

 Itrakonazol: bila dipakai untuk kandidiasis vulvovaginalis dosis

untuk orang dewasa 2x100mg sehari, selama 3 hari

Pencegahan

• Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.

• Menjaga kebersihan.

• Gunakanlah pakaian dari bahan katun yang membuat kondisi tetap

kering dan sirkulasi udara berlangsung baik.12

Prognosis

Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor

predisposisi.12

B. Tinea Corporis

Definisi

Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut

(glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha.

Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur

dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton.


Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang

menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur

golongan dermatofita adalah tinea korporis.13

Epidemiologi

Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada

daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang

lain, kondisi hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini. Oleh

karena itu daerah tropis dan subtropics memiliki insiden yang tinggi

terhadap tinea korporis. Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa

didapatkan pada pekerja yang berhubungan dengan hewan – hewan.

Maserasi dan oklusi kulit lipaan menyebabkan peningkatan suhu dan

kelembaban kulit yang memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi

melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak

langsung melalui benda yang mengandung jamur, mialnya handuk, lantai

kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain – lain. 13

Pravelensi infeksi jamur superficial di seluruh dunia diperkirakan

menyerang 20 – 25 % populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk

infeksi kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat

menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur

superficial ini relative sering terkena pada negara tropis ( iklim panas dan

kelembaban yang tinggi ) dan sering terjadi eksaserbasi. 13

Etiologi dan Patofisiologi


Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan

dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin.

Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga

genus, yaitu Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton

spp. Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea korporis,

penyebab yang paling umum adalah Trichophyton Rubrum dan

Trichophyton Mentagrophytes. Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah

utama. Yang pertama perlekatan ke keratinosit, jamur superfisial harus

melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di

antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal

lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang

diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik. Yang kedua

penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi perlekatan spora

harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan

yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh

sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan

nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur

ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa

menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul

ketika m=begitu jamur mencapai lapisan terdalam epidermis. 13

Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi

dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi

hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT)


memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita. Pada

pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi

menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif.

Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh

peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen

dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan

oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan

bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat

ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi

permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur

hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh. 13

Gambaran Klinis

Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi

yang aktif dengan perkembangan kearah luar yang sering disebut dengan

central healing, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi

gambaran yang polisiklik,arsinar,dan sirsinar. Pada bagian pinggir

ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul

atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. 13

Tinea korporis yang menahun, tanda-tanda aktif menjadi hilang dan

selanjutnya hanya meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja. Gejala

subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang

terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Tinea korporis biasanya terjadi

setelah kontak dengan individu atau dengan binatang piaraan yang


terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau

tanah yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui

benda misalnya pakaian, perabot dan sebagainya. Kelainan ini dapat

terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersamaan timbul dengan kelainan

pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau

sebaliknya.13
Pemeriksaan Laboratorium

Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu

dengan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis,

kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi.

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat

langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%.

Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di

bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa

ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu

tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3μ.13


Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25-

30⁰C),kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan

jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa

dan bentuk spora Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang

menggunakan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar

ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami

infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi

dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang

memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan

T.schoenleinii.13

Diagnosa Banding

Ada beberapa diagnosis banding tinea korporis, antara lain eritema

anulare sentrifugum, eksema numular, granuloma anulare, psoriasis,

dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken planus dan dermatitis kontak. 13

Pengobatan

Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non

medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.13

Non Medikamentosa

Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan

non medikamentosa adalah sebagai berikut:


a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang

terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk

mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.

b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara

bergantian dengan orang yang terinfeksi.

c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas

untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.

d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk

menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.

e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang

dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan

sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.

f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu

dan bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.

g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi

jamur. Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet. 13

Medikamentosa

Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan

pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup

diberikan obat topikal. 13

1. Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat

topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan


asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat klasik, obat-obat

derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah

tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang

lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai

hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan

pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis

dengan maksud mengurangi kekambuhan. 13

2. Pengobatan Sistemik

Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang

dapat diberikan pada tinea korporis adalah:

 Griseofulvin

Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-

anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari

 Ketokonazol

Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten

terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari

selama 3 minggu.

 Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin

dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis. 13

Pencegahan

Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah

terjadi tinea korporis antara lain: mengurangi kelembaban tubuh penderita

dengan menghindari pakainan yang panas, menghindari sumber


penularan yaitu binatang, kuda, sapi kucing, anjing atau kontak dengan

penderita lain, menghilangkan fokal infeksi di tempat lain misalnya di kuku

atau di kaki, meningkatkan higienitas dan mengatasi faktor predisposisi

lain seperti diabetes mellitus, kelianan endokrin yang lain, leukimia harus

terkontrol dengan baik.13

Juga beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada

tinea korporis harus dihindari atau dihilangkan antara lain: temperatur

lingkungan yang tinggi, keringat berlebihan, pakaian dari bahan karet atau

nilon, kegiatan yang banyak berhubungan dengan air, misalnya berenang,

kegemukan, selain faktor kelembaban, gesekan kronis dan keringat yang

berlebihan disertai higienitas yang kurang, memudahkan timbulnya infeksi

jamur.13

Prognosis

Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya faktor

: usia, sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea

korporis merupakan salah satu penyakit kulit yang menular dan bisa

mengenai anggota keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan

penderita. Anak-anak dan remaja muda.13

C. TINEA KRURIS

DEFINISI

Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan

yang mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur

dermatofita pada daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus,


pubis) dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. 14 Berikut ini adalah gambar

predileksi terjadinya Tinea kruris.

Gambar 2.1. Predileksi Tinea Kruris


Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas

tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya.

Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder

(polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam

disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.
14

EPIDEMIOLOGI

Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh

dermatomikosis. Tinea kruris dan Tinea korporis merupakan

dermatofitosis terbanyak. Insidensi dermatomikosis di berbagai rumah

sakit pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka persentase

terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari 2,93% (Semarang)

yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi. Laki-laki pasca


pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia

18-25 tahun serta 50-65 tahun14

Paling banyak mengenai daerah tropis karena tingkat

kelembapannya yang tinggi dan dapat memicu pengeluaran keringat yang

banyak menjadikan faktor predisposisi penyakit ini. Higiene dan sanitasi

yang tidak dijaga dengan baik juga mempengaruhi pertumbuhan infeksi

jamur dermofita. Untuk faktor keturunan tidak ada hubungannya dengan

penyakit ini.

ETIOLOGI

Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.

Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita

termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu

Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Penyebab tinea kruris

terutama adalah Epidermophyton floccosum dan Trichophyton rubrum.

Selain itu juga dapat disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan

walaupun jarang dapat disebabkan oleh microsporum gallinae. Berikut

karakteristik dari dermatofita yang umum menyebabkan tinea kruris

secara morfologi koloni dan mikroskopis 14


PATOGENESIS

Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau

binatang yang terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda

misalnya pakaian, perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya

terjadi pada pria. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan

peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi,

selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh

lain,14.

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi

dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit,

penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.

a) Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai

rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV,

suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang

diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar

sebasea juga bersifat fungistatik.

b) Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus

berkembang dan menembus stratum korneum dengan kecepatan yang

lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh

sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan


nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur

ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan

terdalam epidermis.

c) Perkembangan respon tubuh. Derajat inflamasi di pengaruhi

oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi

hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT)

memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita.

Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi

primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi

menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh

peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa

antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di

presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan

proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang

jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal

menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi.

Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Faktor risiko adalah faktor yang dapat mempermudah timbulnya

suatu penyakit. Peran faktor risiko itu dapat dikelompokkan dalam dua

kelompok besar, yaitu 14

1) Yang menyuburkan pertumbuhan jamur :


- Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan menyebabkan

keseimbangan antara jamur dan bakteri terganggu.

- Adanya penyakit diabetes mellitus, dan kehamilan menimbulkan

suasana yang menyuburkan jamur.

2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya

tahan yang menurun :

- Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi

tertentu oleh cairan yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada

sela jari kaki, kencing pada pantat bayi, keringat pada daerah lipatan kulit,

atau akibat liur di sudut mulut orang lanjut usia.

- Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah,

keganasan, diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana

yang menyuburkan jamur.

Beberapa faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya

kelainan di kulit adalah:

a) Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur

antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur

berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia

maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang

menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang

liapt paha bagian dalam.

b) Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang

jamur.

c) Faktor suhu dan kelembapan

Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur,

tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti

pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit

jamur.

d) Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana

terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi

yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi

yang baik

e) Faktor umur dan jenis kelamin.

GEJALA KLINIS

Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas

tegas terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk

lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan

skuamasi menahun. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi

bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-

kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya

biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering

disebut dengan central healing (gambar 2.3) . Kadang-kadang terlihat

erosi dan krusta akibat garukan14.


DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya

kelainan kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada

tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang14.

ANAMNESIS

Dari anamnesis, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal dan

kemerahan di daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah

berat sewaktu berkeringat sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan

infeksi sekunder. Gatal di derah lipat paha, sekitar ano-genital, sering

bertambah berat sewaktu tidur sehingga digaruk kemudian timbul erosi

dan infeksi sekunder. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki

keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak

lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif

berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang

pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko

terkena dermatophytosis14.

PEMERIKSAAN FISIK

Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada sela paha

merupakan lesi berbatas tegas yang simetris pada lipat paha kiri dan

kanan, dapat bersifat akut atau menahun. Mula-mula sebagai bercak

eritematosa, gatal lama kelamaan meluas, dapat meliputi skrotum, pubis,

gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah. Tepi lesi aktif
(peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya), polisiklis,

ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak vasikel kecil-kecil.

Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam

disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.

Keluhan sering bertambah sewaktu tidur sehingga digaruk-garuk dan

timbul erosi dan infeksi sekunder. Pada infeksi akut, ruam biasanya basah

dan eksudatif. Pada infeksi kronik, permukaannya kering dengan tepi

papuler anular atau asiner14.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk

mendiagnosis. Namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang untuk

menyingkirkan Differential Diagnosis. Sebagai penunjang diagnosis dapat

dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari kerokan bagian tepi lesi

dengan KOH dan kultur. Kadang – kadang diperlukan pemeriksaan

dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan

gelombang 3650 Ao 15.

a. Pemeriksaan dengan sediaan basah

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian

tepi lesi dengan memakai scalpel , pinggir gelas, atau selotip → taruh di

obyek glass → tetesi KOH 10-20 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk

melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali,

akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang

lama atau sudah diobati, dan miselium.15

Gambar 2.4 Hifa dan spora pada pemeriksaan KOH

b. Pemeriksaan kultur jamur

Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik

namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas

yang rendah, harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya

pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik.

Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua

spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Metode

dengan kultur jamur menurut Summerbell dkk. di Belanda pada tahun

2005 bahwa kultur jamur untuk onikomikosis memiliki sensitivitas sebesar

74,6%. Garg dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan sensitivitas

kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan rambut sebesar

29,7% dengan spesifisitas 100%. Sangat penting bagi masing-masing

laboratorium untuk menggunakan media standar yakni tersedia beberapa


varian untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada suhu kamar 26°C

(78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan dibuang bila tidak ada

pertumbuhan15.

c. Punch biopsy

Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun

sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc

Acid–Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan

pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam 15.

d. Pemeriksaan lampu wood

Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan

adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non-

medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa dapat dimulai

berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit.

Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan spesies namun

umumnya semua spesies dermatofit diyakini memberikan respon yang

sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan topikal yang ada 15.

PENGOBATAN TOPIKAL

- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat berguna

terhadap kasus-kasus yang diragukan penyebabnya dermatofita atau

candida. Keduanya merupakan derivat azol broad-spectrum bekerja


menghambat sintesis ergosterol yang penting untuk pembentukan dinding

sel jamur.

- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam

bentuk salep, Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam

bentuk salep.

PENGOBATAN SISTEMIK

Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik.

Beberapa indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain:

a) Infeksi kulit yang luas.

b) Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.

c) Infeksi kulit kepala.

d) Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Medikamentosa sistemik pada tinea kruris, termasuk:

- Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya

dapat diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik.

Secara umum griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan

dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak-

anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan

bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan

imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak

residif Griseofulvin berikatan dengan sel prekursor keratin sehingga

secara bertahap diganti dengan jaringan yang tidak terinfeksi dan sangat

resisten terhadap invasi jamur/dermatofita8.


- Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten

terhadap griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol, dll.

Itrakonazol bersifat fungistik. Cara kerjanya adalah menghambat

pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sintetis ergosterol yang

tergantung sitokrom P450. ergosterol ini merupakan komponen vital dari

dinding sel jamur. Obat antifungi ini telah banyak digunakan dan

berdasarkan penelitian lebih efektif dibandingkan griseofulvin. Itrakonazol

dosis dewasa: 200 mg/hari, dosis anak-anak: 5 mg/kg BB/hari diberikan

selama 1 minggu.5,7 Dapat juga diberikan Ketokonasol 200 mg sehari

untuk dewasa atau 3-6 mg/kgBB sehari untuk anak-anak lebih dari 2

tahun8.

NON-MEDIKAMENTOSA

Dalam penatalaksanaan secara non medikamentosa, sangatlah

penting untuk mengedukasi pasien mengenai kebersihan diri dan

lingkungan untuk membantu mengatasi penyakit dan pencegahannya.

Berikut edukasi yang dapat diberikan kepada pasien 8.

a. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah yang terinfeksi

dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi serta

mencegah pemakaian peralatan mandi bersama-sama.

b. Memakai pakaian yang tipis, memakai pakaian yang

berbahan cotton.

c. Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk

mencegah kelembaban daerah sela paha.


d. Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah

sela paha setelah mandi,

e. Pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas

dianjurkan untuk menurunkan berat badan,

f. Memakai kaus kaki sebelum mengenakan celana untuk

meminimalkan kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela

paha (autoinokulasi).

g. Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan

pengeringan daerah sela paha, mungkin dapat membantu dalam

mencegah kambuhnya Tinea kruris4,8.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status

imunologis dan sosial budayanya, tetapi pada umumnya baik. Selain itu

faktor kelembapan dan kebersihan kulit juga berpengaruh pada

prognosis14.

7. Bagaimana penatalaksanaan awal dan tindakan pencegahan pada

skenario?

Jawab :

Penatalaksanaan awal:

Non-Farmakoterapi.4

1) Menjaga higiene badan

2) Menjaga agar kulit tetap kering


3) Menggunakan pakaian yang menyerap keringat, longgar dan

terbuat dari katun

4) Menghindari panas atau kelembaban yang berlebihan.

Farmakoterapi (terapi kausal)

1) Asam benzoat 6%, asam salisilat 3% (Salap Whitfield) untuk

mengatasi infeksi dan radang diaplikasikan pada daerah yang

terinfeksi.4

2) Antibiotik

Salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Demikian pula obat

anti jamur yang baru yang berspektrum luas.

Hanya pengobatan topikal memerlukan lebih ketekunan dan

kepatuhan penderita.4

Eritromisin merupakan obat pilihan utama. Satu gram sehari

(4x250mg) untuk 2-3 minggu. Eritromisin merupakan obat pilihan

untuk menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan

menghambat disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom, menyebabkan

sintesa protein menjadi terganggu. Pada anak-anak, berat badan

umur, dan tingkat keparahan infeksi menentukan dosis yang tepat.

Untuk infeksi yang lebih berat, dosis ganda.4

3) Antijamur

Mikonazol krim 2%, sesuai untuk digunakan di daerah

intertriginosa, dioles tipis untuk mencegah efek maserasi,

digunakan dalam 2 minggu.4
Pengobatan Awal

1) Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan

penderita.

2) Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder untuk

mencegah komplikasi.

3) Diet dengan gizi tinggi bertujuan untuk meningkatkan daya tahan

tubuh penderita.

4) Penderita harus beristirahat dengan cukup.

5) Pengobatan dilakukan dengan pemberian griseofulvin per oral

selama 1-4 minggu. Infeksi pada badan diobati dengan pemberian

salep mikonazol, salep undecylinik, larutan asam salisilat atau

asam benzoat atau selenium per oral.5

Tindakan pencegahan:

1) Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang

diberikan pada semua anak berumur diatas 9 bulan sangat

dianjurkan karena dapat melindunginya sampai jangka waktu 4-5

tahun.

2) Pemberian gamma globulin pada ibu hamil yang terinfeksi rubella

virus pada trimester pertama tidak dapat melindungi janin dari

infeksi virus ini.Vaksinasi menggunakan virus hidup yang

dilemahkan boleh digunakan pada penduduk, tetapi tidak boleh

diberikan pada ibu hamil muda.


3) Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan badan,

melakukan sterilisasi instrument kedokteran dengan minyak

panas, melakukan terapi yang tepat dan efektif, serta menghindari

kontak dengan bahan yang tercemar jamur. 5

8. Bagaimana perspektif islam berdasarkan skenario?

1) ”At-Tha’un (penyakit menular) adalah na’jis yang dikirimkan

kepada suatu golongan dari golongan orang israil dan kepada

orang-orang sebelummu. Maka apabila kamu mendengar penyakit

menular tersebut terjangkit disuatu tempat, janganlah kamu

memasuki daerah tersebut . dan apabila di suatu tempat

berjangkit penyakit menular tersebut sedang kamu sedang kamu

berada di dalamnya janganlah kamu keluar atau lari dari

padanya.”(HR. Bukhari dan Muslim).

2) ‫) َوالَّذِي‬80( ‫ِين‬ ِ ‫) َوالَّذِي ه َُو ي ُْط ِع ُمنِي َو َيسْ ق‬78( ‫ِين‬


ُ ْ‫) َوإِ َذا َم ِرض‬79( ‫ِين‬
ِ ‫ف‬i‫ت َفه َُو َي ْش‬ ِ ‫الَّذِي َخلَ َقنِي َفه َُو َي ْهد‬

ِ ‫) َوالَّذِي أَ ْط َم ُع أَنْ َي ْغف َِر لِي َخطِ ي َئتِي َي ْو َم ال ِّد‬81( ‫ين‬


)82( ‫ين‬ ِ ‫ُيمِي ُتنِي ُث َّم يُحْ ِي‬

(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang

menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan

minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang


menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian

akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan

akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.”(Q.S Asy-

Syu’ara ayat 79-82)


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

ketujuh.Jakarta : FKUI.

2. Bloom William, Don W. Fawcett. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 12.

Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta: EGC.

3. Khairunnisa Rahadatul ‘Aisy Sodikin. 2018. Candidiasis Kutis

Intertriginosa. Purwokerto : Smf Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin

Rsud Prof. Dr. Margono Soekardjo Fakultas Kedokteran Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto. Hal. 15.

4. Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S, A.Gilchrest B. Fitzpatrick's

Dermatology in General Medicine. Wolf K, Gilchrest BA, Paller AS,

J.Leffel D, editors. New York: Mc Graw; 2008.

5. Moschella SL. Hurley HJ. (editor). Dermatology: third edition.

Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2013. p.2042-7.)

6. William D,Timothy G, Dirk M, George C. 2006. Andrews' diseases of

the skin : clinical dermatology. 10th ed, New York: Mc Graw Hill.

7. Rifqi Afdila. 2013. Hidrocortison. Medan : Universitas Sumatra Utara.

Hal. 13-14

8. Hendri Saputra. 2010. Tinea Incognit. Hal. 6


9. Siregar. 2002. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta. Penerbit Buku

Kedokeran EGC. Hal. 3-8

10. Cahyanadi Uchi. 2013. Klasifikasi Klinis dari Mikosis. Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

11. Penuntun Keterampilan Klinik. Kedokteran Tropis. Fakultas

kedokteran Universitas Muslim Indonesia.2019

12. Jienshi Pantow; Everly Corputty; Thadea Tandi. 2014. Laporan

Kausus Kulit & Kelamin Kandidiasis Intertriginosa. Manado : Ilmu

Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

Hal. 1-5.

13. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Edisi 6 Volume . Jakarta: EGC. Hal 1450-1452

14. Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Cet.1 Suarabaya:

Universitas Airlangga. Halaman 281,294,332-33

15. Wirya Duarsa. Dkk. 2010. Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit

Kulit dan Kelamin. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

Anda mungkin juga menyukai