Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN TUTORIAL

SISTEM MUSKULOSKELETAL DAN INTEGUMEN

SKENARIO 1

Disusun oleh:

KELOMPOK 1

Tutor Pembimbing:

Meidyta Sinantryana Widyaswari, dr., Sp. KK.

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial berjudul “Skenario 1” telah melalui konsultasi dan disetujui oleh
Tutor Pembimbing

Surabaya, 19 September 2019

Tutor Pembimbing,

Meidyta Sinantryana Widyaswari, dr., Sp. KK.

i
PENYUSUN

Ketua : Noor Aulia Hatikhah (6130017042)

Sekretaris 1 : Mashlahatul Ummah (6130017027)

Sekretaris 2 : Muhamad Fachrul Ilyas (6130017012)

Anggota : Vira Angela Kurniawati (6130016006)

Muhammad Imamuddin Izzatul Islam (6130016028)

Sururoh Mujahadah (6130017002)

Meldama Canda Rangganatan (6130017007)

Shafira Nur Lailia (6130017017)

Evi Octavia Djamaludin (6130017022)

Muhammad Irfan Irwanto (6130017032)

Amri Pradipta Alfirdausi (6130017037)

Magda Budi Pramistyowati (6130017048)

Muhammad Rizal (6130017053)

ii
SKENARIO 1

Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan


bintil merah dan luka lecet di sela jari tangan, perut, dan kelamin sejak 1 minggu
yang lalu. Bintil merah terasa gatal terutama waktu malam hari. Riwayat pasien
sekolah di pondok sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat teman pasien dengan keluhan
yang sama.

STEP 1: KATA SULIT

1. Gatal : Suatu sensasi yang menimbulkan keinginan atau reflek


menggaruk.

STEP 2: KATA KUNCI

1. Laki-laki 9 tahun
2. Keluhan bintil merah
3. Gatal pada malam hari
4. Luka lecet di sela jari tangan, perut, dan kelamin
5. Riwayat teman dengan keluhan yang sama
6. Gatal sejak 1 minggu yang lalu
7. Pasien bersekolah di pondok pesantren

STEP 3: RUMUSAN MASALAH

1. Apa penyebab munculnya bintil merah dan luka lecet di sela jari tangan,
perut dan kelamin pasien?
2. Mengapa bintil merah terasa gatal terutama di malam hari?
3. Apa hubungan sekolah pasien dengan keluhan yang dirasakan?
4. Mengapa pasien dan teman pasien memiliki keluhan yang sama?
5. Mengapa keluhan pasien hanya muncul di sela jari tangan, perut, dan
kelamin?

1
STEP 4: MENJAWAB RUMUSAN MASALAH

1. Apa penyebab munculnya bintil merah dan luka lecet di sela jari tangan,
perut dan kelamin pasien?
Bintil merah bisa disebabkan karena adanya suatu reaksi alergi akibat
investasi dari parasite. Luka lecet bisa disebabkan akibat garukan kuku
sebagai respon pasien terhadap gatal.
2. Mengapa bintil merah terasa gatal terutama di malam hari?
Karena pada malam hari aktivitas tungau meningkat akibat suhu yang
lembab dan panas.
3. Apa hubungan sekolah pasien dengan keluhan yang dirasakan?
Karena pasien sekolah di pondok pesantren yang biasanya antar siswa
beraktivitas bersama-sama, seperti tidur pada satu bed, menggunakan
peralatan mandi yang sama bergantian, dimana hal tersebut kemungkinan
sebagai factor resiko dari penularan parasite.
4. Mengapa pasien dan teman pasien memiliki keluhan yang sama?
Adanya kemungkinan terdapat kontak antara pasien dan temannya yang
mengakibatkan pasien tertular penyakit yang sama.
5. Mengapa keluhan pasien hanya muncul di sela jari tangan, perut, dan
kelamin?
Karena pada bagian tubuh seperti daerah lipatan yang lembab dapat
memudahkan pertumbuhan tungau.

2
STEP 5: MIND MAPPING

Laki-laki 9 tahun

Teman dengan
Pondok pesantren riwayat keluhan
yang sama

Bintil merah

- Sela jari Aktivitas parasite


Respon gatal:
- Perut Menggaruk ↑ pada malam
hari
- kelamin
Lesi

DD Pemeriksaan
Diagnostik

Dx: Scabies

STEP 6: LEARNING OBJECTIVES

1. Mampu menjelaskan lapisan kulit manusia


2. Mampu menjelaskan mekanisme gatal
3. Mampu menjelaskan efloresensi scabies
4. Mampu menjelaskan diagnosis kerja dan DD
5. Mampu menjelaskan definisi scabies
6. Mampu menjelaskan epidemiologi scabies
7. Mampu menjelaskan faktor resiko scabies
8. Mampu menjelaskan etiopatogenesis scabies
9. Mampu menjelaskan gejala klinis scabies
10. Mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostic
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan scabies dan pencegahan scabies
12. Mampu menjelaskan pandangan islam tentang scabies

3
STEP 7: HASIL BELAJAR MANDIRI

1. Lapisan Kulit Manusia


Kulit berperan sebagai pembatas, melindungi tubuh dari
lingkungan luar dan mencegah hilangnya zat-zat tubuh yang penting,
terutama air (Weller et al, 2008).

Kulit memiliki 3 lapisan, yaitu:


1. Epidermis
Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh,
yang paling tebal berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki
dan telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter
terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut. Sel-sel epidermis
disebut keratinosit.
a. Stratum Korneum
Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak
memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak
berwarna, dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian
besar terdiri atas keratin, jenis protein yang tidak larut dalam air,
dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan
dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar.

4
Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan
melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum korneum
dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat
asam, disebut mantel asam kulit (Eroschenko, 2012).
b. Stratum Lucidum
Terletak tepat di bawah stratum korneum, merupakan
lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin. Antara stratum
lucidum dan stratum granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang
disebut rein's barrier (Szakall) yang tidak bisa ditembus
(Eroschenko, 2012).
c. Stratum Granulosum
Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal,
berbutir kasar, berinti mengkerut. Didalam butir keratohyalin
terdapat bahan logam, khususnya tembaga yang menjadi katalisator
proses pertandukan kulit (Eroschenko, 2012).
d. Stratum Spinosum
Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri.
Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang
terdiri atas serabut protein. Cairan limfe masih ditemukan
mengitari sel-sel dalam lapisan malphigi ini (Eroschenko, 2012).
e. Stratum Germinativum
Adalah lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum
germinativum juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang
tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk
pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit
melalui dendrit-dendritnya. Satu sel melanosit melayani sekitar 36
sel keratinosit. Kesatuan ini diberi nama unit melanin epidermal.
(Eroschenko, 2012).
2. Dermis
Terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan elastin yang berada di
dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin
mukopolisakarida. Serabut kolagen dapat mencapai 72% dari

5
keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam dermis
terdapat adneksa-adneksa kulit seperti folikel rambut, papila rambut,
kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak
rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut
lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Eroschenko,
2012).
3. Hipodermis atau Subkutis
Hipodermis atau lapisan subkutis (tela subcutanea) tersusun atas
jaringan ikat dan jaringan adiposa yang membentuk fasia superficial
yang tampak secara anatomis. Hipodermis ini terdiri dari sel-sel lemak,
ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening,
kemudian dari beberapa kandungan yang terdapat pada lapisan ini
sehingga lapisan hipodermis ini memiliki fungsi sebagai penahan
terhadap benturan ke organ tubuh bagian dalam, memberi bentuk pada
tubuh, mempertahankan suhu tubuh dan sebagai tempat penyimpan
cadangan makanan (Eroschenko, 2012).

2. Mekanisme Gatal
Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor
nyeri (nosiseptor). Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah
epidermis. Ujung saraf bebas terbagi menjadi dua jenis serabut saraf.
Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C
tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang
merupakan polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal
nosiseptor merupakan serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis
stimulus mekanik dan kimiawi. Sedangkan mekanoinsensitif tidak
merespon terhadap stimulus mekanik, namun memberi respon terhadap
stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari mekanoinsensitif ini merupakan
pruritoseptor yaitu reseptor yang menimbulkan rasa gatal, terutama
dipengaruhi oleh histamine (Djuanda, 2007).
Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan dan basofil. Pelepasannya
dirangsang oleh kompleks antigen-antibodi (IgE), alergi tipe I, pengaktifan

6
komplemen (C3a, C5a), luka bakar, inflamasi, dan beberapa obat.
Histamin melalui reseptor H1 dan peningkatan konsentrasi Ca2+ seluler di
endotel akan menyebabkan endotel melepaskan NO, yang merupakan
dilator arteri dan vena. Melalui reseptor H2 histamin juga menyebabkan
pelebaran pembuluh darah kecil yang tidak tergantung dengan NO
(Freddberg, 2003).
Ketika sel mast menghasilkan histamin, ia langsung dapat
mensensitisasi ujung serabut saraf C yang berada di bagian superfisialis
kulit. Saraf C termasuk saraf tak bermielin yang juga berfungsi sebagai
reseptor rasa geli. Setelah impuls diterima oleh saraf C, impuls diteruskan
ke serabut radiks dorsalis kemudian diteruskan menuju medulla spinalis.
Pada komisura anterior medulla spinalis impuls menyilang ke kolumna
alba anterolateral sisi berlawanan. Kemudian naik ke batang otak atau
talamus untuk diinterpretasikan sebagai sensasi gatal. Sensasi ini
kemudian merangsang refleks menggaruk untuk memberikan sensasi nyeri
yang cukup untuk kemudian menekan sinyal gatal pada medulla spinalis.
(Djuanda, 2007).

3. Efloresensi Scabies
Tempat predileksi sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak,
sekitar pusar, paha bagian dalam, genitalia pria, dan pantat.
Efloresensi/sifat dari lesi akibat skabies adalah wujud kelainan kulit pada

7
skabies dapat berupa papula dan vesikel miliar sampai lentikular disertai
ekskoriasi (scratch mark). Jika terjadi infeksi sekunder tampak pustula
lentikular. Lesi yang khas adalah terowongan (kanalikulus) miliar, tampak
berasal dari salah satu papula atau vesikel, panjang kira-kira 1 cm,
berwarna putih abu-abu. Akhir atau ujung kanalikuli adalah tempat
persembunyian dan bertelur Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina
bertelur 3-5 telur/hari. Sesudah 3-4 hari telur menetas menjadi larva,
dalam 3-5 hari menjadi nimfa, selanjutnya menjadi tungau dewasa.
Tungau dewasa jantan mati di atas permukaan kulit sesudah mengadakan
kopulasi, sedang yang betina membuat terowongan baru, bertelur dan mati
sesudah 2-3 minggu (Atina, 2014).

4. Diagnosis Kerja dan DD


1. Diagnosa Kerja
Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi
sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus skabies terinfeksi
sekunder oleh Streptococcus aureus atau Staphylococcus pyogenes
(Harahap M., 2000).Diagnosis ditegakkan atas dasar:
1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis
lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter
sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampak vesikula, papula, atau
pustula.
2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan
tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan,
areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah,
dan genitalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang terdapat
di muka dan kepala, kecuali pada penderita immunosupresif,
sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan
kulit.
3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal
yang efektif.

8
4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu
anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya
skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur
tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.

Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan kutu dewasa,


telur, larva dari dalam terowongan. Cara mendapatkannya adalah
dengan membuka terowongan dan mengambil parasit dengan
menggunakan pisau bedah atau jarum steril. Kutu betina akan tampak
sebagai bintik kecil gelap atau keabua n di bawah vesikula. Di bawah
mikroskop dapat terlihat bintik mengkilat dengan pinggiran hitam.
Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immersi pada lesi dan
epidermis di atasnya dikerok secara perlahan -lahan. Tangan dan
pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak ditemukan kutu,
kemudian berturut -turut siku, genital, akhirnya aksila (Harahap M.,
2000).

9
2. Diagnosa Banding
Diagnosis banding dari scabies terbagi atas 5 (Karthikeyan K,
2007)
Papular Atopic Lichen Dermatitis Infantile
Urtikaria Dermatitis Planus Herpetiformis Acropustulosis
Biasanya terjadi Terdapat gatal Ditandai Ditandai Penyakit ini
pada anak-anak dan erupsi dengan dengan gatal bisa dibedakan
berumurdiantara vesikopapular sebuah gatal yang kronis, dengan skabies
2-10 tahun. Yang yang di lengan simetris, dan dengan tidak
membedakannya predominan di bawah, kaki, erupsi adanya lesi
dari skabies fleksor. Yang dan vesikopapular pada jaringan
adalah membedakannya punggung. yang meliputi cutaneous di
ketidakhadiran dengan skabies Selain gatal, ekstremitas badan, dan juga
terowongan pada adalah adanya simetris dari atas dan tidak adanya
lesinya. Dan lagi terowongan dan lesi, dan ekstremitas gatal.
pada umumnya pembungkusan kejadian bawah. Gatal
tidak terdapat ruang jaringan. lesinya, bersifat
karakteristik gatal penyakit ini persisten dan
pada skabies tidak hadir terus
menyerupai setiap hari.
skabies. Penyakit ini
sering salah
didiagnosis
sebagai
skabies,
meskipun
jarang terjadi.

5. Definisi Scabies

10
Scabies merupakan suatu penyakit infeksi kulit yang disebabkan
oleh tungau ektoparasit Sarcoptes Scabiei var hominis, filum Arthropoda,
orde Akarina yang merupakan parasite obligat pada manusia yang
berukuran 300-400 mikron. Tungau tersebut menggali terowongan pada
stratum korneum dan melangsungkan siklus kehidupannya dalam
terowongan tersebut. Host meberikan respon berupa rasa gatal
dikarenakan adanya beberapa tungau (Dewi, M. K. dan Wathoni, N.,
2017).

6. Epidemiologi Scabies
Kejadian skabies sering di jumpai di daerah tropis terutam pada
anak-anak dari masyarakat yang tinggal di daerah dengan tingkat higiene,
sanitasi dan ekonomi yang relatif rendah. Skabies di Indonesia menduduki
urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering.
Kasus skabies cepat menular dari anak-anak hingga dewasa pada
zaman penjajahan Jepang yang diakibatkan karena kesulitan penduduk
untuk memperoleh makanan, pakaian dan sarana pembersih tubuh.
Perbandingan penderita skabies laki- laki lebih besar dibandingkan dengan
perempuan yakni 83,7%: 18,3%. (Wardhana, 2006)
Pada tahun 2003 prevalensi skabies di 12 pondok pesantren
Kabupaten Lamongan sebesar 48,8%. Pada tahun 2005 dilaporkan kasus
skabies dari keluarga miskin di sebuah desa di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Tahun 2008 prevalensi skabies di Pondok Pesantren An-Najach
sebesar 43%. Tahun 2011 dan 2012 di Pamekasan terdapat kasus rabies
sebnyak 567 orang dan 317 orang yang berumur 8-20 tahun, berdasarkan
sensus penduduk, di Puskesmas Magelang juga dilaporkan terjadi
peningkatan kasus skabies tahun 2012 sebesar 15% dari 13,8% dari jumlah
pengunjung pada tahun 2011.( Ma’ruf I, 2005)
Hasil penelitian Lestari di salah satu pondok pesantren di Sleman
Yogyakarta menemukan kejadian skabies sebesar 30,23%. Badan Pusat
Statistik di Propinsi Nusa Tenggara Timur penyakit kulit infeksi pada

11
tahun 2013 menduduki posisi keempat dari sepuluh besar penyakit dengan
jumlah kasus 136.035 kasus.( Titiek L, 2014)

7. Faktor Risiko Scabies


Menurut Kusumaningtyas (2015), Faktor resiko scabies dibagi menjadi
beberapa , diantaranya :
1. Sistemimuntubuh
Semakinrendahimunitasseseorangmaka,akansemakinbesarkemu
ngkinanorangtersebutuntukterjangkitatautertularpenyakitscabies.Na
mun,diperkirakanterjadikekebalansetelahinfeksi.Orangyangpernaht
erinfeksiakanlebihtahanterhadapinfeksiulangwalaupuntetapmasihbi
saterkenainfeksidibandingkanmereka(orang-
orang)yangsebelumnyabelumpernahterinfeksiscabies.
2. Lingkungan dengan hygiene sanitasi yang kurang
Lingkungan yang dimungkinkan sangant mudah terjangkiti
scabies adalah lingkungan yang lembab, terlalu padat, dan
dengansanitasi buruk.
3. Semua kelompok umur
Semua kelompok umur, baik itu anak-anak, remaja, dewasa,
dan tua mempunyai resiko untuk terjangkiti penyakit scabies.
4. Kemiskinan
5. Seksual promiskuitas (berganti-ganti pasangan)
6. Diagnosis yang salah
7. Demografi
8. Ekologi
9. Derajat sensitasi individual

8. Etiopatogenesis Scabies
1. Etiologi
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi
S.scabiei varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida,

12
subkelas acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain
varietas hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang namun varietas
itu hanya menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular, dan tidak
dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia. S.scabiei bersifat host
specific dan sifat itu terjadi karena perbedaan fisiologi tungau dan
variabel hospes seperti bau, diet, faktor-faktor fisik dan respons imun.
2. Patogenesis
S. Scabiei hidup di stratum korneum epidermis manusia dan
mamalia lainnya. Seluruh tahapan hidup tungau, yaitu larva,
protonimfa, tritonimfa dan tungau dewasa adalah parasit permanen
obligat yang membutuhkan cairan ekstraselular hospes yang merembes
ke dalam terowongan untuk bertahan hidup. (Sungkar, saleha. 2016)
Sel epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan sel
pertama yang menghadapi tungau skabies dan produknya. Respons
inflamasi bawaan dan didapat dari kulit hospes berperan sebagai
pertahanan lini pertama terhadap invasi, kelangsungan hidup dan
reproduksi tungau di dalam kulit. Tungau merangsang keratinosit dan
sel dendritik melalui molekul yang terdapat di dalam telur, feses,
ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti enzim dan hormon,
serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki
selama proses penggalian terowongan. Tubuh tungau mati yang
membusuk juga merangsang respons imun. (Sungkar, saleha. 2016)
S.scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk terowongan
dan merupakan sumber molekul yang dapat memodulasi inflamasi atau
respons imun hospes. Produk tungau yang menembus dermis
merangsang sel-sel seperti fibroblas, sel endotel mikrovaskular serta
sel imun seperti sel langerhans, makrofag, sel mast dan limfosit.
Diduga sel langerhans dan sel dendritik lain memproses antigen tungau
dan membawa antigen tersebut ke jaringan limfe regional yaitu tempat
respons imun didapat diinisiasi melalui aktivasi sel limfosit T dan
limfosit B. (Sungkar, saleha. 2016)

13
9. Gejala Klinis Scabies
1. Gatal, merupakan gejala klinis pada penyakit scabies. Rasa gatal pada
masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus
nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal disebabkan oleh
sensitisasi kulit terhadap ekskret dan secret tungau yang dikeluarkan
pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau
hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari (Hay RJ, 2012).
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.
Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,
pondok, sebagian besar tetangga yang berdekatan dengan penderita
scabies akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan
hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena. Walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita
ini bersifat sebagai pembawa (carrier) (Djuanda, 2009).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berarna putih atau keabuabuan, berbentuk garis lurus atau berkelok,
rata-rata panjang 1cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul
atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi
polimorf (pustule, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya
biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu :
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian
luar, lipat ketiak bagian depan, areola mame (wanita), umbilicus,
bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian baah. Pada bayi
dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic dapat
ditemukan satu atau lebh stadium hidup tungau ini. (Djuanda,
2009)Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda
kardinal diatas.
5. Gejala scabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustule, dan nodus;
anak menjadi gelisah dan nafsu makan berkurang. Gambaran klinis

14
scabies pada anak-anak sering sulit dibedakan karena lesi terowongan
jarang atau bahkan tidak ditemukan. (Hay RJ, 2012)

10. Pemeriksaan Diagnostik


Dari pemeriksaan fisik, diperoleh lokasi pada daerah biasanya pada
axilla, areola mammae, sekitar umbilikus, genital, bokong, pergelangan
tangan bagian volar, sela-sela jari tangan, siku, telapak tangan dan telapak
kaki. Skabies yang terjadi pada anak balita biasanya terdapat pada leher,
kepala, telapak tangan dan telapak kaki, berbentuk bulat, berbatas tegas,
penyebaran diskrit dan multipel. Lesi yang tampak kelainan kulit dapat
menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika, dan
lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan
infeksi sekunder. Eflorosensinya berupa papula atau vesikel dimana
puncaknya terdapat gambaran yang sebenarnya merupakan lorong-lorong
rumah sarcoptes yang biasanya disebut dengan istilah kunikulus.
Kunikulus ini pada pemeriksaan fisik tidak begitu nampak karena sudah
hilang akibat garukan kronis (Prasetyo, 2013).
Pemeriksaan laboraturium dapat dilakukan berbagai cara. Kerokan
kulit dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun baru. Hasil
kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan KOH 10%
kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop.
Diagnosis skabies positif apabila ditemukan tungau, nimpa, larva, telur
(Prasetyo, 2013).

BIT (Burrow Ink Test) atau tes tinta pada trowongan di dalam kulit
dilakukan dengan cara menggosok papula menggunakan ujung pena yang
berisi tinta. Papulyang telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua

15
puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap atau dihapus dengan
kapas yang dibasahi alcohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke
dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis berliku-
liku (Prasetyo, 2013).

11. Penatalaksanaan dan Pencegahan Scabies


Menurut Sudirman (2006), penatalaksanaan skabies dibagi menjadi
2bagian :
1. Penatalaksanaan secara umum
Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi
secarateratur setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang
telahdigunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu
direndamdengan air panas. Demikian pula dengan anggota keluarga
yangberesiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga
harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu
menghindariterjadinya kontak langsung. Secara umum meningkatkan
kebersihanlingkungan maupun perorangan dan meningkatkan status
gizinya.Beberapa syarat pengobatan yang harus diperhatikan:
1. Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus
diberipengobatan secara serentak.
2. Higiene perorangan : penderita harus mandi bersih, bila
perlumenggunakan sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi
pakaian yang akan dipakai harus disetrika.
3. Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa,
sprei,bantal, kasur, selimut harus dibersihkan dan dijemur
dibawah sinar matahari selama beberapa jam.
2. Penatalaksanaan secara khusus.
Dengan menggunakan obat-obatan (Djuanda, 2010), obat-obat
antiskabies yang tersedia dalam bentuk topikal antara lain:
1. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20%
dalambentuk salep atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan

16
mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.
Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua
stadium,diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit
diperoleh,sering memberi iritasi, dan kadang-kadang makin
gatal setelahdipakai.
3. Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane)
kadarnya1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan
karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan
jarang memberiiritasi. Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika
masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat
pilihan, mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti
gatal.Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.
5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang
toksikdibandingkan gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi
hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh
diulangi setelah seminggu. Tidak anjurkan pada bayi di bawah
umur 12 bulan.
3. Pencegahan Scabies
Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan
1. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
2. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya
secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu.
3. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.
4. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
5. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian
yang dicurigai terinfeksi tungau skabies.
6. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.
Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga
infestasiparasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari
kontaklangsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular

17
padakulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit
biasa,dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat
mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan
secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah
yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan
caramerendam di cairan antiseptik.
2. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan
gunakan seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau
dicuci kering.
3. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
4. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab
Beberapa cara pencegahan lain yaitu dengan dilakukan penyuluhan
kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara penularan,
diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang-orang
yang kontak dengan penderita skabies,meliputi :
1. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya.
Laporankepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan
resmi jarangdilakukan.
2. Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam
pondoksampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat
di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam setelah
dilakukan pengobatan yang efektif. Disinfeksi serentak yaitu
pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita dalam
48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan
menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan
pengeringan, hal ini dapat membunuh kutudan telur.

12. Pandangan Islam tentang Scabies


Rasulullah Saw. sudah mencontohkan tindakan preventif dan
kuratif untuk berbagai penyakit. Islam mengajarkan supaya manusia
menjaga kebersihan dirinya, baik tubuh, pakaian, tempat tinggal, dan

18
lingkungan sekitar sebagai salah satu contoh tindakan preventif terhadap
penyakit termasuk Scabies. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa
Rasulullah Saw. bersabda, “Lima perkara dari fitrah: berkhitan, mencukur
bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan menipiskan
kumis.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal-hal ini bertujuan untuk
menghindarkan seseorang dari penyakit terlebih penyakit kulit. Begitu
pentingnya kebersihan dalam Islam sehingga terdapat hadist yang
diriwayatkan dari Abu Malik Al-Haritsy bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
“Ath-thahuru syathrul iman” (HR. Muslim) yang artinya, “Kesucian itu
sebagian dari iman”. (Mediapro, 2019)

19
Kesimpulan

Berdasarkan dari tanda klinis dan pemeriksaan fisik pada pasien,


kalompok kami mendiagnosis pasien menderita Skabies. Skabies adalah penyakit
kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei varietas hominis. Kejadian skabies
sering di jumpai di daerah tropis terutam pada anak-anak dari masyarakat yang
tinggal di daerah dengan tingkat higiene, sanitasi dan ekonomi yang relatif
rendah. Skabies dapat didiagnosa dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium dengan metode kerokan kulit. Penatalaksanaan Skabies dibagi
menjadi 2 yaitu penatalaksanaan secara umum dan penatalaksanaan secara
khusus. Menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan sangat penting untuk
mencegah terjadinya skabies. Sama halnya dengan Islam yang mengajarkan
supaya manusia menjaga kebersihan dirinya, baik tubuh, pakaian, tempat tinggal,
dan lingkungan sekitar sebagai salah satu contoh tindakan preventif terhadap
penyakit terutama skabies.

20
DAFTAR PUSTAKA

Atina, Rizqa Mira Hamzah. 2014. Management Of Scabies Patient With


Secondary Infection In 7 Years Old Boys. Lampung: Universitas Lampung

Dewi, M. K. dan Wathoni, N.. 2017. Diagnosis dan Regimen Pengobatan Skabies.
Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran.

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi
kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:


FakultasKedokteran Universitas Indonesia

Eroschenko, V. P. (2012). Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC.

Freddberg IM, Elsen AZ, Wolff K, et al. 2003 Fitzpatrick’s Dermatology General
Medicine, 6th edition. New York: McGraw-Hill.

Kusumaningtyas, Restu. 2015. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Skabies Pada Anak Di Wilayah Puskesmas Banjarnegara.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

21
Ma’ruf I, Soedjajadi Keman, Hari Basuki Notobroto. Faktor Sanitasi Lingkungan
Yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Skabies (Studi pada Santri di
Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan) Jurnal Kesehatan Lingkungan.
2005 Vol. 2(1) : 11-18.

Mediapro, Jannah Firdaus. 2019. Sistem Pengobatan Kedokteran Islami Ajaran


Nabi Muhammad SAW Bersumberkan dari Al-Quran & Al-Hadist. Jakarta:
Xenohikari Dragon

Prasetyo, G.N.S. 2013. Skabies Beserta Penatalaksanaannya; Sebuah Laporan


Kasus. E-Jurnal Medika Udayana. 2(4): 623-637.
Sudirman, T. 2006. Skabies: Masalah Diagnosis dan Pengobatannya. Majalah
Kedokteran Damianus. Vol 5 No 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.

Sungkar, saleha. 2016. Scabies: Etiologi, pathogenesis, pengobatan,


pemberantasan, dan pencegahan. Jakarta: FK Universitas Indonesia.

Titiek L. Gambaran Faktor Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Skabies di Pondok


Pasantren Ash-Sholihah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Jurnal Penyakit
Bersumber Binatang Maret 2014 Vol 1 (2) : 85-94

Wardhana,A.H., Manurung, J., Iskandar,T. Skabies : Tantangan Penyakit


Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa 2006;16(1):40-52.

Weller, Richard, et al. 2008. Clinical Dermatology 4th Edition. Oxford: Blackwell
Publishing 4-5.

Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. 2012. Scabies in the Developing
World-Its Prevalence, Complications, and Management. Clin Microbiol
Infect. 18:313-23.

Djuanda, Adhi, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta. Balai
Penerbit FK UI.

22

Anda mungkin juga menyukai