Anda di halaman 1dari 22

Case Report Session

Penyakit Paru Obstruktif Kronis Kelas D


dengan Community-Acquired Pneumonia

Oleh:
Ilham Randa 1810311046
Muhammad Luthfi 1810312013
Nabila Aulia Salsabila 2140312188
Ulya Fatharani 1810311040
Puty Nurul Araliz 2140312008
Raina Maghri Jodie 2140312204

Preseptor :
dr. Oea Khairsyaf, Sp.P (K), FISR, FAPSR, MARS
dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P (K), FISR, FAPSR

DEPARTEMEN PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Case-Report Session dengan
judul “Penyakit Paru Obstruktif Kronis Kelas D dengan Community-
Acquired Pneumonia” ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Case Report Session ini ditulis untuk menambah
pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca mengenai PPOK dan
Pneumonia serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
di Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Oea
Khairsyaf, Sp.P (K), FISR, FAPSR, MARS dan dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P
(K), FISR, FAPSR sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu
dan memberikan saran, perbaikan serta bimbingan kepada kami.
Dengan demikian, kami berharap laporan kegiatan ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan serta meningkatkan pemahaman mengenai PPOK
dan Pneumonia.

Padang, September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL LUAR………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR......................................................................................II
DAFTAR ISI...................................................................................................III
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 LAPORAN KASUS...............................................................................3
2.1 Identitas Pasien..................................................................................................3
2.2 Anamnesis Pasien..............................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Umum...........................................................................................4
2.4 Pemeriksaan Laboratorium................................................................................7
2.5 Pemeriksaan Radiologi......................................................................................8
2.6 Diagnosis Kerja.................................................................................................9
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................9
2.8 Penatalaksanaan Pasien.....................................................................................9
2.9 Follow Up..........................................................................................................9
BAB 3 DISKUSI..............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit kronik
pada paru dengan karakteristik terhambatnya aliran udara pada saluran
napas yang bersifat progresif, reversibel parsial atau nonreversibel yang
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang berbahaya. Umumnya PPOK timbul pada usia pertengahan akibat
kebiasaan merokok dalam waktu yang lama. 1 Menurut WHO, PPOK telah
menyebabkan kematian sekitar 3.23 juta orang pada tahun 2019. Dari
seluruh kasus kematian akibat PPOK, 90% kasus terjadi di negara miskin-
berkembang, termasuk Indonesia.2
Secara epidemiologi, risiko PPOK pada pria lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita akibat kebiasaan merokok. 1 Selain akibat
asap rokok, PPOK juga disebabkan karena tingginya kadar polusi udara.
Sekitar 70-80% polusi udara luar ruangan berasal dari gas buang kendaraa
bermotor, sedangkan sisanya diakibatkan oleh aktivitas industri. 1 Polusi
udara setiap tahunnya diprediksi akan terus meningkat dikarenakan adanya
kemajuan di sektor ekonomi dan industri otomotif yang mengakibatkan
jumlah kendaraan bermotor selalu meningkat setiap tahunnya. Jika
seseorang menghirup udara tercemar secara terus menerus, diprediksi
jumlah penderita PPOK akan terus meningkat dan akan menurunkan usia
harapan hidup akibat perjalanan penyakit yang progresif dan kronis.1
Gejala umum dari PPOK terdiri dari sesak napas, batuk kronis
yang terkadang disertai dahak dan kelelahan. Seseorang yang telah
menderita PPOK merasa lebih sulit untuk beraktivitas secara normal akibat
sesak. Ketika eksaserbasi, penderita akan merasakan keluhan yang lebih
parah dan mungkin membutuhkan perawatan tambahan di rumah atau
perlu dibawa ke rumah sakit untuk kondisi gawat darurat karena
eksaserbasi yang parah dapat mengancam nyawa penderita.2
Pneumonia adalah infeksi akut yang terjadi pada parenkim paru
akibat mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur atau parasit (selain
Mycobacterium tuberculosis). Di Indonesia, penyakit ini termasuk

1
kedalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan crude fatality
rate (CFR) yang paling tinggi dibandingkan penyakit lainnya pada tahun
2012. Pada pasien PPOK yang mengalami infeksi (Pneumonia), kuman
yang menjadi etiologinya biasanya adalah Pseudomonas aeruginosa.
1.2 Rumusan Masalah
Case Report ini membahas tentang penyakit paru obstruksi kronis
kelas d dengan commuity acquired pneumonia.
1.3 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahua dan
pemahaman tentang PPOK kelas D dengan Community Acquired
Pneumonia.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa hasil
pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang
mengacu pada berbagai literatur, termasuk buku teks dan artikel ilmiah.

2
BAB 2
Laporan Kasus

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. ES
Usia : 53 th
Tanggal Lahir : 14 April 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Gurun Laweh No. 16, Lubuk Begalung
Pekerjaan : Wirausaha
No. RM : 01.14.52.29
Status Perkawinan : Kawin
Negeri Asal : Indonesia
Tanggal Masuk : 18 Agustus 2022

2.2 Anamnesis Pasien


Keluhan Utama
 Pasien merasa sesak napas yang meningkat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Sesak napas menciut dan meningkat dengan aktivitas. Pasien sudah
merasa sesak sejak 18 tahun yang lalu dan bersifat hilang timbul.
Pasien dirawat 2 kali dalam 3 bulan terakhir karena sesak. Sesak tidak
dipengaruhi oleh emosi, makanan, dan cuaca.
 Batuk ada dan meningkat sejak 1 hari SMRS dengan dahak sulit untuk
dikeluarkan. Batuk hilang timbul dalam 3 bulan ini. Batuk darah tidak
ada, namun ada riwayat batuk darah 19 tahun yang lalu.
 Demam (+) sejak 4 hari SMRS, tidak ada nyeri dada dan tidak ada
keringat malam. Nyeri kepala (+) sejak 3 hari ini, tidak ada mual dan
muntah, tidak ada penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat
badan.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien pernah mengonsumsi OAT pada tahun 1993 berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum, namun pasien tidak tuntas minum obat. Pasien
kembali memeriksakan sputum di puskesmas pada tahun 2003 dan
minum OAT kembali selama 6 bulan.
 Riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, pasien rutin mengonsumsi
amlodipin 10 mg dari dokter puskesmas. Sebelumnya pasien diberikan
captopril namun mengakibatkan batuk pada pasien.
 Riwayat DM disangkal.
 Riwayat asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat TB pada keluarga tidak ada
 Riwayat DM pada keluarga tidak ada
 Riwayat HT pada keluarga tidak ada
 Riwayat Asma pada keluarga tidak ada
Riwayat Pekerjaan, Sosial-Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan
 Pasien seorang pedagang kelontong di Kota Padang
 Pasien merokok pada usia 13 -19 tahun (6 tahun) sebanyak 40 batang/
hari (IB : Sedang)
 Rumah pasien semi permanen
 Ventilasi kurang, lantai semen, tidak ada sumur di dalam rumah
2.3 Pemeriksaan Umum
Vital Sign
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : CMC
 Tekanan Darah : 148/80
 Denyut Nadi : 100 x/menit
 Frekuensi Napas : 28 x/menit
 Suhu : 36,5 oC
 SpO2 : 94% (dengan NRM)
 Tinggi Badan : 165 cm

4
 Berat Badan : 70 kg

Status Generalis
 Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Leher
o JVP 5 – 2 cm H2O
o Deviasi Trakea tidak ada
o Pembesaran KGB tidak ada
 Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak, tidak terlihat massa dan
tanda jejas
o Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat di SIC V linea mid
clavicularis sinistra
o Perkusi : Batas jantung normal
 Kanan atas : SIC II parasternalis dekstra
 Kanan bawah : SIC IV parasternalis dekstra
 Kiri atas : SIC II parasternalis sinistra
 Kiri bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
o Auskultasi : Bunyi jantung I dan II dalam batas normal, reguler,
tidak terdengar bising dan gallop
 Paru depan (dada)
o Inspeksi
o Statis : Simetris, dada kanan sama dengan kiri
o Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan sama dengan kiri
o Palpasi : Fremitus dada kanan sama dengan dada kiri
o Perkusi : Dada kanan dan kiri sonor
o Auskultasi : Ekspirasi memanjang, wheezing (+/-)
 Paru belakang (punggung)
o Inspeksi
o Statis : Simetris, punggung kanan sama dengan kiri

5
o Dinamis : Pergerakan punggung kanan sama dengan kiri
o Palpasi : Fremitus punggung kanan sama dengan kiri
o Perkusi : Sonor / sonor
o Auskultasi : Ekspirasi memanjang, wheezing (+/-)
 Abdomen
o Inspeksi : Distensi (-)
o Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Genitalia : Tidak diperiksa
 Ekstremitas
o Atas : Edema (-/-), clubbing finger (-/-)
o Bawah : Edema (-/-), clubbing finger (-/-)
 Penilaian Grade PPOK
o mMRC
Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat
Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik tangga dengan
bergegas atau berjalan ke tanjakan
Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman
saya karena susah bernapas, atau saya harus
berhenti untuk mengambil napas ketika berjalan di
tangga
Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit di
v
tangga, saya harus berhenti untuk mengambil napas
Grade 4 Saya tidak bisa keluar dari rumah karena susah
bernapas atau tidak bisa mengganti baju karena
susah bernapas

6
o CAT

3
0

5
4

29

o Hasil penilaian mMRC dan CAT score didapatkan bahwa pasien


menderita PPOK grade D
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 18 Agustus 2022
Hb : 15,5 gr/dL Albumin : 3,5 g/dL
Leukosit : 7.060 /mm3 Globulin : 3,6 g/dL
Trombosit : 272.000/ mm3 Ureum : 13 mg/dL
Hitung Jenis : 0/1/81/9/9 % Kreatinin : 0,7 mg/dL
Ht : 49 % GDS : 146 mg/dL
PT : 10 detik Natrium : 142 mmol/L
D-Dimer : 448 ng/mL Kalium : 4,8 mmol/L
APTT : 23,4 detik Klorida : 100 mmol/L

7
Tanggal : 21 Agustus 2022
pH : 7,34
pCO2 : 79,4
pO2 : 185,1
HCO3- : 48 mmol/L
TCO3- : 50,4 mmol/ L

2.5 Pemeriksaan Radiologi

Gambar 2.1 Rontgen Thorax

 Rontgen thorax pasien laki-laki usia 53 tahun pada tanggal 18 Agustus


2022 di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
 Pada gambaran rontgen sentris, simetris dengan densitas cukup.
 Tampak gambaran fibroinfiltrat pada kedua lapangan paru
 Sinus kostofrenikus bilateral sulit dinilai
Kesan :

8
 Pneumonia
2.6 Diagnosis Kerja
 Susp. PPOK eksaserbasi akut populasi D
 Community Acquired Pneumonia
 Hipertensi Stage I
2.7 Diagnosis Banding
 Sindrom Obstruksi Pasca TB
2.8 Penatalaksanaan Pasien
 Oksigenasi NRM 15 lpm
 Pemeriksaan laboratorium lengkap
 Nebu Combivent
 Injeksi Dexametason (IV)
 Injeksi Ranitidin 1 amp (IV)
 Konsul Jantung
2.9 Follow Up
Tanggal S O A P
23/08/22  Sesak napas  KU : sedang  Susp. PPOK  IVFD NaCl
(+)  Kes : CMC eksaserbasi 0,9%
 Batuk (-)  TD : 148/80 akut dengan 500mg/125

 HR : 100x gagal napas ml

 RR : 26x tipe II  Nebu


populasi D Ventolin
 T : 36,5
 Community 4x1 resp
Acqured  Nebu
Pneumonic flumucyl
 Hipertensi 1x1 resp
stage I  Inj.
Metylpredni
solon
2x62,5 mg

 Drip

9
Aminofilin
sesuai BB
24/08/22  Sesak napas  KU :  Susp. PPOK  Follow up
(+) sedang eksaserbasi TCM, BTA
berkurang  Kes : CMC akut dengan  Titrasi ↓ O2
 Batuk (+)  TD : gagal napas  NaCl 0,9%
hilang 140/80 tipe II 500 ml/12
timbul  HR : 94x populasi D jam
 Demam (-)  RR : 20x  Community  Nebu
 T : 36 Acqured Ventolin
Pneumonic 3x1 resp
 SpO2 :
97% NK  Hipertensi  Nebu
5LPM stage I Fluimucyl
2x1 resp
Paru :  Levofloxaci
 Ekspirasi n 1x750 mg
memanjang  Cefixime
 Rh -/-, 2x200 mg

 Whz +/-  Inj.


Metylpredni
solon 2x125
mg
 Drip
Aminofilin
15 cc + 35
cc dalam
D5% (4,2
cc/jam)
 Paracetamol
3x500 mg
 Ranitidin

10
2x1
 Sucralfat
3x1

11
BAB 3
DISKUSI

Pasien laki-laki usia 53 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang


dengan keluhan utama sesak napas yang meningkat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak menciut dan meningkat dengan aktivitas. Sesak
sudah dirasakan sejak 18 tahun yang lalu dan bersifat hilang timbul. Pasien
sudah 2 kali dirawat akibat sesak dalam 3 bulan terakhir. Pasien juga
mengeluhkan batuk dan meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
dengan dahak sulit untuk dikeluarkan. Batuk hilang timbul dalam 3 bulan ini.
Pasien mengatakan tidak batuk darah, namun pernah batuk darah 19 tahun
yang lalu. Pasien demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, ada nyeri
kepala sejak 3 hari ini, tidak ada nyeri dada, tidak ada keringat malam, tidak
ada mual muntah, nafsu makan menurun namun tidak ada penurunan berat
badan.
Pasien sebelumnya pernah mengonsumsi OAT pada tahun 1993 namun
tidak tuntas, pasien mengonsumsi OAT kembali pada tahun 2003 yang
diberikan oleh dokter puskesmas. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1
tahun yang lalu dan rutin mengonsumsi amlodipin 10 mg dari dokter
puskesmas. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus dan asma. Keluarga
pasien tidak memiliki riwayat TB, dibetes melitus, hipertensi dan asma.
Pasien merupakan seorang pedagang kelontong. Dulu pasien merokok
sebanyak 40 batang/hari pada usia 13 – 19 tahun (6 tahun). Kondisi rumah
pasien semi-permanen dengan ventilasi kurang, lantai semen dan tidak ada
sumur di dalam rumah.
Dari keluhan diatas dapat dicurigai bahwa sesak napas pasien
diakibatkan oleh adanya hambatan aliran udara yang disebabkan oleh inflamasi
kronis pada saluran pernapasan bawah.3 Inflamasi ini dapat diakibatkan
paparan partikel ataupun gas berbahaya yang akhirnya menyebabkan otot polos
pada saluran napas bawah mengalami refleks konstriksi. 3 Paparan gas dan
partikel berbahaya yang berukuran sangat kecil ditangkap oleh mukus yang
terdapat pada dinding saluran napas, mukus ini nantinya akan dibuang keluar

12
dengan getaran pada silia dan akhirnya dibatukkan.3 Namun dalam kasus ini
karena paparan yang terjadi secara berulang – ulang dalam waktu yang lama
(pasien memiliki riwayat merokok) mengakibatkan endapan asap rokok
terbentuk di alveoli. Secara kronik, pada akhirnya tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasi paparan secara berlebihan sehingga terjadi jejas dan
pertumbuhan jaringan fibrosa pada alveolus.3
Hambatan udara pada saluran napas ini menyebabkan terjadinya
hiperinflasi pada paru. Hal ini mengakibatkan sesak napas menjadi progresif
disertai dengan timbulnya batuk kronik yang disebut Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK).1 Pasien mengaku batuk hilang timbul dalam 3 bulan ini
dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Gejala batuk hilang timbul dengan dahak
yang sulit dikeluarkan biasanya merupakan gejala klinis pertama yang disadari
oleh pasien. Pasien juga mengeluhkan demam yang mengindikasikan
kemungkinan telah terjadi infeksi yang dicurigai berlokasi pada saluran
pernapasan.4
Pada pasien dengan riwayat infeksi TB dapat dipikirkan kemungkinan
kelainan yang menyerupai PPOK yaitu SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberculosis) dengan gejala klinis batuk kronik berdahak, sesak napas, dan
kemampuan ekspansi rongga dada saat bernapas pun menurun.4
Pasien merupakan bekas perokok. Menurut PDPI, asap rokok
merupakan kausal terpenting pada perkembangan PPOK. Risiko mortalitas
pasien yang merokok lebih tinggi dibanding bukan perokok serta dipengaruhi
oleh dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah konsumsi rokok
per-tahun dan lama merokok. Risiko ini dapat dihitung menggunakan indeks
Brinkman.5 Dari perhitungan indeks Brinkman pasien ini didapatkan skor 240
dengan kategori sedang. Pada perokok, terjadi inflamasi berulang pada jaringan
interstisial paru yang mengakibatkan produksi berlebihan jaringa fibrosa dan
otot polos. Faktor ini berkontribusi dalam penyempitan saluran napas bawah
dan dapat berkembang menjadi emfisema.6
Faktor lainnya yang menjadi faktor risiko PPOK adalah polusi udara
dalam ruangan maupun luar ruangan, infeksi saluran napas yang berulang, stres
oksidatif, status sosial, serta kondisi tumbuh kembang paru pada bayi.1 Faktor

13
risiko yang terdapat pada pasien ini adalah perokok, riwayat infeksi TB yang
berulang, polusi udara dalam ruangan akibat kurangnya ventilasi udara serta
sosioekonomi pasien yang rendah.
Kondisi rumah pasien dengan ventilasi kurang, semi-permanen dengan
lantai semen juga menjadi faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernafasan
seperti pneumonia. Rumah yang memiliki ventilasi udara yang buruk dapat
mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam ruangan, hal ini erat kaitannya
dengan perkembangbiakan bakteri dan jamur penyebab pneumonia.7
Pada pneumonia, mikroorgannisme akan terperangkap di saluran napas
atas (orofaring) lalu teraspirasi ke paru. Risiko ini akan semakin tinggi pada
pasien yang kehilangan kesadaran atau pada peminum alkohol yang berlebihan.
Mikroba yang masuk ke paru akan ditangkap oleh lapisan mukus dan akan
didorong oleh silia yang ada di permukaan dinding saluran napas menuju
laring. Selain itu, mukus mengandung komponen antimikroba seperti lisozim
dan IgA. Namun pada perokok berat, pembersihan mukosiliar megalami
kerusakan dan saluran napas sulit untuk dibersihkan sehingga tubuh
membutuhkan usaha lebih keras untuk mengeluarkan patogen seperti batuk
dengan lebih keras.7
Mikroba kemudian melakukan kolonisasi pada parenkim paru sehingga
tubuh melakukan mekanisme pertahanan untuk membersihkan saluran napas
bawah dengan memproduksi lebih banyak mukus, sehingga akan muncul gejala
batuk produktif. Ketika produksi mukus ini berlebihan, akan terjadi restriksi
saluran napas yang menimbulkan gejala sesak napas. Penderita juga akan
mengeluhkan demam karena adanya pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1
dan TNF-alfa ketika mikroba menginfeksi parenkim paru.7
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 148/80,
frekuensi napas 28 x/menit, SpO2 94%. Pada pemeriksaan auskultasi ditemukan
ekspirasi memanjang dengan wheezing (+/-). Penilaian mMRC pasien adalah
grade 3, total CAT score adalah 29. Jika dikategorikan, grade mMRC pasien
≥2 dengan CAT score ≥20 serta pasien dirawat di HCU dan dikategorikan
sebagai PPOK kategori D. Pada pemeriksaan rontgen thorax terlihat gambaran
fibroinfiltrat pada kedua lapangan paru, perselubungan homogen pada

14
hemithorax bilateral dengan sisi lateral tampak lebih tinggi dengan kesan
pneumonia + suspek efusi pleura bilateral.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan kadar neutrofil
dan monosit pada pasien. Hal ini diakibatkan oleh inflamasi berulang yang
terjadi di parenkim paru yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel
inflamasi.6
Berdasarkan keluhan pasien yang didapatkan dari anamnesis serta hasil
pemeriksaan fisik, pasien terdiagnosis PPOK eksaserbasi akut populasi D
dengan CAP dan hipertensi stage 1 dengan diagnosis banding sindrom
obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT).
Karakteristik patologis dari PPOK dapat ditemukan pada saluran napas,
parenkim paru dan vaskular paru. Perubahan yang dapat dinilai adalah
peningkatan sel inflamasi yang spesifik di berbagai tempat pada baru dan
perubahan struktur anatomi paru akibat jejas dan perbaikan berulang.
Perubahan tersebut akan meningkat seiring bertambah parahnya gejala
terutama pada perokok. Inflamasi sistemik dapat terjadi dan dapat memainkan
peran yang penting pada pasien PPOK dengan komorbid yang banyak.6
Kelanjutan dari inflamasi berulang adalah limitasi aliran udara akibat
banyaknya eksudat dan fibrosis yang akan menurunkan VEP1 dan rasio
VEP1/KVP yang menjadi karakteristik PPOK. Hal ini akan mengkibatkan
udara terperangkap secara progresif saat ekspirasi yang mengakibatkan
hiperinflasi paru. Hiperinflasi berkembang lebih awal pada penyakit ini dan
menjadi mekanisme utama terjadinya dispnea saat beraktivitas. Penggunaan
bronkodilator dapat mengurangi udara yang terperangkap, mengurangi volume
paru dan mengembalikan kemampuan beraktivitas normal.6
Perubahan lainnya yang dapat terjadi adalah pertukaran gas yang
abnormal. Transfer O2 dan CO2 memburuk seiring progresivitas penyakit.
Penurunan ventilasi dapat pula terjadi akibat peningkatan dead space
ventilation. Hal ini dapat mengakibatkan retensi CO2 yang dikombinasikan
dengan penurunan ventilasi sehingga menyebabkan peningkatan usaha untuk
bernapas ormal akibat hambatan dan hiperinflasi yang mempengaruhi otot-otot
pernapasan.6 Hipersekresi mukus terjadi akibat iritasi saluran napas yang kronis

15
akibat paparan bahan iritan seperti asap rokok. Akibatnya, pasien akan
memiliki gejala batuk produktif, namun tidak semua pasien PPOK memiliki
gejala hiepsekresi mukus.6
Pada tahap akhir, dapat muncul gejala hipertensi pulmonal akibat
vasokonstriksi hipoksia pada arteri pulmonalis kecil karena
hipertrofi.hiperplasia otot polos. Bahkan pada PPOK ringan atau pada perokok
yang rentan menderita emfisema, terdapat abnormalitas yang signifikan pada
aliran darah mikrovaskular yang dapat memburuk seiring progresivitas
penyakit. Progresivitas penyakit ini pada pembuluh darah besar paru juga dapat
mengarahkan terjadinya hipertrofi ventrikel kanan sehingga pada akhirnya
terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan CT-Scan terhadap diameter arteri
pulmonalis menunjukkan hubungannya dengan risiko eksaserbasi. Hal ini
memperlihatkan bahwa gangguan vaskularisasi pulmonal berperan besar,
namun jarang terdeteksi sebagai pemicu PPOK.6
Eksaserbasi PPOK dapat terjadi karena dipicu oleh infeksi bakteri atau
virus (misal pneumonia), polutan, ataupun faktor yang tidak diketahui. Selama
eksaserbasi, terjadi peningkatan hiperinflasi dan udara yang terperagkap
dengan waktu ekspirasi memanjang. Saat terjadi eksaserbasi, didapatkan
temuan peningkatan inflamasi saluran napas. Kondisi lainnya seperti
pneumonia, ttromboemboli dan gagal jantung akit dapat menyerupai atau
memperparah eksaserbasi pada PPOK.6
Pasien diberikan tatalaksana awal oksigenasi NRM 15 lpm, cek
laboratorium lengkap, nebu combivent, injeksi dexamethasone (IV) dan injeksi
ranitidin 1 ampul. Terapi oksigen penting dilakukan untuk mencegah
kerusakan sel akibat hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan pada
penderita PPOK. Pemilihan terapi oksigen menggunakan sungkup NRM
diberikan bila terdapat kenaikan PCO2.1
Pada hari ke-6 rawatan, pasien masih merasakan sesak napas dan
berkurang dibandingkan pertama kali dibawa ke rumah sakit. Pasien masih
mengeluhkan batuk hilang timbul dan tidak ada demam. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tanda-tanda vital yang lebih baik dibandingkan sebelumnya,
pasien menggunakan oksigenasi NK 5 lpm. Pada pemeriksaan fisik masih

16
ditemukan suara napas ekspirasi memanjang tanpa ronkhi dan wheezing.
Pasien ditatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9% 500ml/12 jam, nebu
ventolin 3x1 resp, nebu fluimucil 2x1 resp dan diresepkan obat oral karena
sudah direncanakan untuk pulang.
Pada pasien dengan PPOK, tatalaksana bertujuan untuk megurangi
gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi serta menurunkan risiko kematian.1
Secara umum, tatalaksana PPOK meliputi edukasi, berhenti merokok, terapi
farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen dan nutrisi.1 Pada seluruh grup PPOK,
pasien harus menghindari faktor risiko dengan berhenti merokok dan
menghindari pajanan kerja.1 Bila perlu, pasien dapat diterapi dengan
bronkodilator kerja pendek atau panjang berdasarkan keparahan sesaknya.6
Pada PPOK grup B, pada terapi inisial harus menggunakan
bronkodilator kerja panjang yang akan digunakan bila perlu. Terapi bersifat
individual bergantung pada persepsi pasien dan perbaikan keluhan. Pada pasien
dengan sesak napas yang lebih berat, dapat dipertimbangkan pemberian dua
jenis bronkodilator.6 Selain itu pasien diduga memiliki komorbid yang dapat
mempengaruhi prognosis dan kemungkinan ini harus diperiksa. 6 Pada PPOK
grup C, terapi inisial harus mengguakan satu jenis bronkodilator kerja panjang.
Pemberian LAMA lebih baik dibandingkan LABA untuk pencegahan
eksaserbasi sehingga terapi inisial menggunakan LAMA lebih
direkomendasikan pada grup ini.6
Pada PPOK grup D, secara umum terapi bisa dimulai dengan LAMA
yang berefek terhadap sesak napas dan eksaserbasi. Bila pasien memiliki gejala
yang berat (CAT ≥20) dengan dispnea yang berat dan/atau keterbatasan
aktivitas, kombinasi terapi LAMA & LABA lebih baik digunakan
dibandingkan terapi tunggal.6 Pada sebagian pasien, terapi kombinasi LABA &
kortikosteroid inhalasi dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama. Terapi
ini berkemungkinan besar mengurangi eksaserbasi pada pasie dengan hasil
pemeriksaan hitung eosinofil ≥300 sell/μL. Selain itu, kombinasi ini juga dapat
diberikan sebagai pilihan pertama pada pasien PPOK dengan riwayat asma.

17
Namun, efek terapi dan efek samping pemberian kortikosteroid inhalasi harus
dipertimbangkan karena pasien yang menggunakan kortiksteroid inhalasi

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Antariksa B, Sitompul ANL., Ginting AK, et al., eds. PPOK (Penyakit


Paru Obstruktif Kronis). 1st ed. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;
2011.
2. WHO. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Published 2022.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-
pulmonary-disease-(copd)
3. Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 13th ed. Elsevier; 2016.
4. Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J
chest Crit Emerg Med \ vol 1, No 2 \ June - August 2014. 2014;1(2):83-
84.
5. A.Wisman B, Mardhiyah R, Tenda ED. Pendekatan Diagnostik dan
Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik GOLD D: Sebuah Laporan
Kasus. Indones J Chest. 2015;2 No.4:180-190.
6. Agusti AG, Vogelmeier C, Papl A, et al. Global Strategy for Diagnosis,
Management and Prevention of COPD 2022.; 2022.
doi:10.12114/j.issn.1007-9572.2022.01.302
7. Soepandi PZ, Burhan E, Nawas A, et al., eds. Pneumonia Komunitas.
2nd ed. Badan Penerbit FKUI; 2014.

19

Anda mungkin juga menyukai