Oleh:
Ilham Randa 1810311046
Muhammad Luthfi 1810312013
Nabila Aulia Salsabila 2140312188
Ulya Fatharani 1810311040
Puty Nurul Araliz 2140312008
Raina Maghri Jodie 2140312204
Preseptor :
dr. Oea Khairsyaf, Sp.P (K), FISR, FAPSR, MARS
dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P (K), FISR, FAPSR
DEPARTEMEN PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Case-Report Session dengan
judul “Penyakit Paru Obstruktif Kronis Kelas D dengan Community-
Acquired Pneumonia” ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Case Report Session ini ditulis untuk menambah
pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca mengenai PPOK dan
Pneumonia serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
di Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Oea
Khairsyaf, Sp.P (K), FISR, FAPSR, MARS dan dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P
(K), FISR, FAPSR sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu
dan memberikan saran, perbaikan serta bimbingan kepada kami.
Dengan demikian, kami berharap laporan kegiatan ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan serta meningkatkan pemahaman mengenai PPOK
dan Pneumonia.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL LUAR………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR......................................................................................II
DAFTAR ISI...................................................................................................III
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 LAPORAN KASUS...............................................................................3
2.1 Identitas Pasien..................................................................................................3
2.2 Anamnesis Pasien..............................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Umum...........................................................................................4
2.4 Pemeriksaan Laboratorium................................................................................7
2.5 Pemeriksaan Radiologi......................................................................................8
2.6 Diagnosis Kerja.................................................................................................9
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................9
2.8 Penatalaksanaan Pasien.....................................................................................9
2.9 Follow Up..........................................................................................................9
BAB 3 DISKUSI..............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit kronik
pada paru dengan karakteristik terhambatnya aliran udara pada saluran
napas yang bersifat progresif, reversibel parsial atau nonreversibel yang
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang berbahaya. Umumnya PPOK timbul pada usia pertengahan akibat
kebiasaan merokok dalam waktu yang lama. 1 Menurut WHO, PPOK telah
menyebabkan kematian sekitar 3.23 juta orang pada tahun 2019. Dari
seluruh kasus kematian akibat PPOK, 90% kasus terjadi di negara miskin-
berkembang, termasuk Indonesia.2
Secara epidemiologi, risiko PPOK pada pria lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita akibat kebiasaan merokok. 1 Selain akibat
asap rokok, PPOK juga disebabkan karena tingginya kadar polusi udara.
Sekitar 70-80% polusi udara luar ruangan berasal dari gas buang kendaraa
bermotor, sedangkan sisanya diakibatkan oleh aktivitas industri. 1 Polusi
udara setiap tahunnya diprediksi akan terus meningkat dikarenakan adanya
kemajuan di sektor ekonomi dan industri otomotif yang mengakibatkan
jumlah kendaraan bermotor selalu meningkat setiap tahunnya. Jika
seseorang menghirup udara tercemar secara terus menerus, diprediksi
jumlah penderita PPOK akan terus meningkat dan akan menurunkan usia
harapan hidup akibat perjalanan penyakit yang progresif dan kronis.1
Gejala umum dari PPOK terdiri dari sesak napas, batuk kronis
yang terkadang disertai dahak dan kelelahan. Seseorang yang telah
menderita PPOK merasa lebih sulit untuk beraktivitas secara normal akibat
sesak. Ketika eksaserbasi, penderita akan merasakan keluhan yang lebih
parah dan mungkin membutuhkan perawatan tambahan di rumah atau
perlu dibawa ke rumah sakit untuk kondisi gawat darurat karena
eksaserbasi yang parah dapat mengancam nyawa penderita.2
Pneumonia adalah infeksi akut yang terjadi pada parenkim paru
akibat mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur atau parasit (selain
Mycobacterium tuberculosis). Di Indonesia, penyakit ini termasuk
1
kedalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan crude fatality
rate (CFR) yang paling tinggi dibandingkan penyakit lainnya pada tahun
2012. Pada pasien PPOK yang mengalami infeksi (Pneumonia), kuman
yang menjadi etiologinya biasanya adalah Pseudomonas aeruginosa.
1.2 Rumusan Masalah
Case Report ini membahas tentang penyakit paru obstruksi kronis
kelas d dengan commuity acquired pneumonia.
1.3 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahua dan
pemahaman tentang PPOK kelas D dengan Community Acquired
Pneumonia.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa hasil
pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang
mengacu pada berbagai literatur, termasuk buku teks dan artikel ilmiah.
2
BAB 2
Laporan Kasus
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengonsumsi OAT pada tahun 1993 berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum, namun pasien tidak tuntas minum obat. Pasien
kembali memeriksakan sputum di puskesmas pada tahun 2003 dan
minum OAT kembali selama 6 bulan.
Riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, pasien rutin mengonsumsi
amlodipin 10 mg dari dokter puskesmas. Sebelumnya pasien diberikan
captopril namun mengakibatkan batuk pada pasien.
Riwayat DM disangkal.
Riwayat asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat TB pada keluarga tidak ada
Riwayat DM pada keluarga tidak ada
Riwayat HT pada keluarga tidak ada
Riwayat Asma pada keluarga tidak ada
Riwayat Pekerjaan, Sosial-Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan
Pasien seorang pedagang kelontong di Kota Padang
Pasien merokok pada usia 13 -19 tahun (6 tahun) sebanyak 40 batang/
hari (IB : Sedang)
Rumah pasien semi permanen
Ventilasi kurang, lantai semen, tidak ada sumur di dalam rumah
2.3 Pemeriksaan Umum
Vital Sign
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 148/80
Denyut Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Napas : 28 x/menit
Suhu : 36,5 oC
SpO2 : 94% (dengan NRM)
Tinggi Badan : 165 cm
4
Berat Badan : 70 kg
Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
o JVP 5 – 2 cm H2O
o Deviasi Trakea tidak ada
o Pembesaran KGB tidak ada
Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak, tidak terlihat massa dan
tanda jejas
o Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat di SIC V linea mid
clavicularis sinistra
o Perkusi : Batas jantung normal
Kanan atas : SIC II parasternalis dekstra
Kanan bawah : SIC IV parasternalis dekstra
Kiri atas : SIC II parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
o Auskultasi : Bunyi jantung I dan II dalam batas normal, reguler,
tidak terdengar bising dan gallop
Paru depan (dada)
o Inspeksi
o Statis : Simetris, dada kanan sama dengan kiri
o Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan sama dengan kiri
o Palpasi : Fremitus dada kanan sama dengan dada kiri
o Perkusi : Dada kanan dan kiri sonor
o Auskultasi : Ekspirasi memanjang, wheezing (+/-)
Paru belakang (punggung)
o Inspeksi
o Statis : Simetris, punggung kanan sama dengan kiri
5
o Dinamis : Pergerakan punggung kanan sama dengan kiri
o Palpasi : Fremitus punggung kanan sama dengan kiri
o Perkusi : Sonor / sonor
o Auskultasi : Ekspirasi memanjang, wheezing (+/-)
Abdomen
o Inspeksi : Distensi (-)
o Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas
o Atas : Edema (-/-), clubbing finger (-/-)
o Bawah : Edema (-/-), clubbing finger (-/-)
Penilaian Grade PPOK
o mMRC
Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat
Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik tangga dengan
bergegas atau berjalan ke tanjakan
Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman
saya karena susah bernapas, atau saya harus
berhenti untuk mengambil napas ketika berjalan di
tangga
Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit di
v
tangga, saya harus berhenti untuk mengambil napas
Grade 4 Saya tidak bisa keluar dari rumah karena susah
bernapas atau tidak bisa mengganti baju karena
susah bernapas
6
o CAT
3
0
5
4
29
7
Tanggal : 21 Agustus 2022
pH : 7,34
pCO2 : 79,4
pO2 : 185,1
HCO3- : 48 mmol/L
TCO3- : 50,4 mmol/ L
8
Pneumonia
2.6 Diagnosis Kerja
Susp. PPOK eksaserbasi akut populasi D
Community Acquired Pneumonia
Hipertensi Stage I
2.7 Diagnosis Banding
Sindrom Obstruksi Pasca TB
2.8 Penatalaksanaan Pasien
Oksigenasi NRM 15 lpm
Pemeriksaan laboratorium lengkap
Nebu Combivent
Injeksi Dexametason (IV)
Injeksi Ranitidin 1 amp (IV)
Konsul Jantung
2.9 Follow Up
Tanggal S O A P
23/08/22 Sesak napas KU : sedang Susp. PPOK IVFD NaCl
(+) Kes : CMC eksaserbasi 0,9%
Batuk (-) TD : 148/80 akut dengan 500mg/125
Drip
9
Aminofilin
sesuai BB
24/08/22 Sesak napas KU : Susp. PPOK Follow up
(+) sedang eksaserbasi TCM, BTA
berkurang Kes : CMC akut dengan Titrasi ↓ O2
Batuk (+) TD : gagal napas NaCl 0,9%
hilang 140/80 tipe II 500 ml/12
timbul HR : 94x populasi D jam
Demam (-) RR : 20x Community Nebu
T : 36 Acqured Ventolin
Pneumonic 3x1 resp
SpO2 :
97% NK Hipertensi Nebu
5LPM stage I Fluimucyl
2x1 resp
Paru : Levofloxaci
Ekspirasi n 1x750 mg
memanjang Cefixime
Rh -/-, 2x200 mg
10
2x1
Sucralfat
3x1
11
BAB 3
DISKUSI
12
dengan getaran pada silia dan akhirnya dibatukkan.3 Namun dalam kasus ini
karena paparan yang terjadi secara berulang – ulang dalam waktu yang lama
(pasien memiliki riwayat merokok) mengakibatkan endapan asap rokok
terbentuk di alveoli. Secara kronik, pada akhirnya tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasi paparan secara berlebihan sehingga terjadi jejas dan
pertumbuhan jaringan fibrosa pada alveolus.3
Hambatan udara pada saluran napas ini menyebabkan terjadinya
hiperinflasi pada paru. Hal ini mengakibatkan sesak napas menjadi progresif
disertai dengan timbulnya batuk kronik yang disebut Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK).1 Pasien mengaku batuk hilang timbul dalam 3 bulan ini
dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Gejala batuk hilang timbul dengan dahak
yang sulit dikeluarkan biasanya merupakan gejala klinis pertama yang disadari
oleh pasien. Pasien juga mengeluhkan demam yang mengindikasikan
kemungkinan telah terjadi infeksi yang dicurigai berlokasi pada saluran
pernapasan.4
Pada pasien dengan riwayat infeksi TB dapat dipikirkan kemungkinan
kelainan yang menyerupai PPOK yaitu SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberculosis) dengan gejala klinis batuk kronik berdahak, sesak napas, dan
kemampuan ekspansi rongga dada saat bernapas pun menurun.4
Pasien merupakan bekas perokok. Menurut PDPI, asap rokok
merupakan kausal terpenting pada perkembangan PPOK. Risiko mortalitas
pasien yang merokok lebih tinggi dibanding bukan perokok serta dipengaruhi
oleh dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah konsumsi rokok
per-tahun dan lama merokok. Risiko ini dapat dihitung menggunakan indeks
Brinkman.5 Dari perhitungan indeks Brinkman pasien ini didapatkan skor 240
dengan kategori sedang. Pada perokok, terjadi inflamasi berulang pada jaringan
interstisial paru yang mengakibatkan produksi berlebihan jaringa fibrosa dan
otot polos. Faktor ini berkontribusi dalam penyempitan saluran napas bawah
dan dapat berkembang menjadi emfisema.6
Faktor lainnya yang menjadi faktor risiko PPOK adalah polusi udara
dalam ruangan maupun luar ruangan, infeksi saluran napas yang berulang, stres
oksidatif, status sosial, serta kondisi tumbuh kembang paru pada bayi.1 Faktor
13
risiko yang terdapat pada pasien ini adalah perokok, riwayat infeksi TB yang
berulang, polusi udara dalam ruangan akibat kurangnya ventilasi udara serta
sosioekonomi pasien yang rendah.
Kondisi rumah pasien dengan ventilasi kurang, semi-permanen dengan
lantai semen juga menjadi faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernafasan
seperti pneumonia. Rumah yang memiliki ventilasi udara yang buruk dapat
mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam ruangan, hal ini erat kaitannya
dengan perkembangbiakan bakteri dan jamur penyebab pneumonia.7
Pada pneumonia, mikroorgannisme akan terperangkap di saluran napas
atas (orofaring) lalu teraspirasi ke paru. Risiko ini akan semakin tinggi pada
pasien yang kehilangan kesadaran atau pada peminum alkohol yang berlebihan.
Mikroba yang masuk ke paru akan ditangkap oleh lapisan mukus dan akan
didorong oleh silia yang ada di permukaan dinding saluran napas menuju
laring. Selain itu, mukus mengandung komponen antimikroba seperti lisozim
dan IgA. Namun pada perokok berat, pembersihan mukosiliar megalami
kerusakan dan saluran napas sulit untuk dibersihkan sehingga tubuh
membutuhkan usaha lebih keras untuk mengeluarkan patogen seperti batuk
dengan lebih keras.7
Mikroba kemudian melakukan kolonisasi pada parenkim paru sehingga
tubuh melakukan mekanisme pertahanan untuk membersihkan saluran napas
bawah dengan memproduksi lebih banyak mukus, sehingga akan muncul gejala
batuk produktif. Ketika produksi mukus ini berlebihan, akan terjadi restriksi
saluran napas yang menimbulkan gejala sesak napas. Penderita juga akan
mengeluhkan demam karena adanya pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1
dan TNF-alfa ketika mikroba menginfeksi parenkim paru.7
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 148/80,
frekuensi napas 28 x/menit, SpO2 94%. Pada pemeriksaan auskultasi ditemukan
ekspirasi memanjang dengan wheezing (+/-). Penilaian mMRC pasien adalah
grade 3, total CAT score adalah 29. Jika dikategorikan, grade mMRC pasien
≥2 dengan CAT score ≥20 serta pasien dirawat di HCU dan dikategorikan
sebagai PPOK kategori D. Pada pemeriksaan rontgen thorax terlihat gambaran
fibroinfiltrat pada kedua lapangan paru, perselubungan homogen pada
14
hemithorax bilateral dengan sisi lateral tampak lebih tinggi dengan kesan
pneumonia + suspek efusi pleura bilateral.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan kadar neutrofil
dan monosit pada pasien. Hal ini diakibatkan oleh inflamasi berulang yang
terjadi di parenkim paru yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel
inflamasi.6
Berdasarkan keluhan pasien yang didapatkan dari anamnesis serta hasil
pemeriksaan fisik, pasien terdiagnosis PPOK eksaserbasi akut populasi D
dengan CAP dan hipertensi stage 1 dengan diagnosis banding sindrom
obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT).
Karakteristik patologis dari PPOK dapat ditemukan pada saluran napas,
parenkim paru dan vaskular paru. Perubahan yang dapat dinilai adalah
peningkatan sel inflamasi yang spesifik di berbagai tempat pada baru dan
perubahan struktur anatomi paru akibat jejas dan perbaikan berulang.
Perubahan tersebut akan meningkat seiring bertambah parahnya gejala
terutama pada perokok. Inflamasi sistemik dapat terjadi dan dapat memainkan
peran yang penting pada pasien PPOK dengan komorbid yang banyak.6
Kelanjutan dari inflamasi berulang adalah limitasi aliran udara akibat
banyaknya eksudat dan fibrosis yang akan menurunkan VEP1 dan rasio
VEP1/KVP yang menjadi karakteristik PPOK. Hal ini akan mengkibatkan
udara terperangkap secara progresif saat ekspirasi yang mengakibatkan
hiperinflasi paru. Hiperinflasi berkembang lebih awal pada penyakit ini dan
menjadi mekanisme utama terjadinya dispnea saat beraktivitas. Penggunaan
bronkodilator dapat mengurangi udara yang terperangkap, mengurangi volume
paru dan mengembalikan kemampuan beraktivitas normal.6
Perubahan lainnya yang dapat terjadi adalah pertukaran gas yang
abnormal. Transfer O2 dan CO2 memburuk seiring progresivitas penyakit.
Penurunan ventilasi dapat pula terjadi akibat peningkatan dead space
ventilation. Hal ini dapat mengakibatkan retensi CO2 yang dikombinasikan
dengan penurunan ventilasi sehingga menyebabkan peningkatan usaha untuk
bernapas ormal akibat hambatan dan hiperinflasi yang mempengaruhi otot-otot
pernapasan.6 Hipersekresi mukus terjadi akibat iritasi saluran napas yang kronis
15
akibat paparan bahan iritan seperti asap rokok. Akibatnya, pasien akan
memiliki gejala batuk produktif, namun tidak semua pasien PPOK memiliki
gejala hiepsekresi mukus.6
Pada tahap akhir, dapat muncul gejala hipertensi pulmonal akibat
vasokonstriksi hipoksia pada arteri pulmonalis kecil karena
hipertrofi.hiperplasia otot polos. Bahkan pada PPOK ringan atau pada perokok
yang rentan menderita emfisema, terdapat abnormalitas yang signifikan pada
aliran darah mikrovaskular yang dapat memburuk seiring progresivitas
penyakit. Progresivitas penyakit ini pada pembuluh darah besar paru juga dapat
mengarahkan terjadinya hipertrofi ventrikel kanan sehingga pada akhirnya
terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan CT-Scan terhadap diameter arteri
pulmonalis menunjukkan hubungannya dengan risiko eksaserbasi. Hal ini
memperlihatkan bahwa gangguan vaskularisasi pulmonal berperan besar,
namun jarang terdeteksi sebagai pemicu PPOK.6
Eksaserbasi PPOK dapat terjadi karena dipicu oleh infeksi bakteri atau
virus (misal pneumonia), polutan, ataupun faktor yang tidak diketahui. Selama
eksaserbasi, terjadi peningkatan hiperinflasi dan udara yang terperagkap
dengan waktu ekspirasi memanjang. Saat terjadi eksaserbasi, didapatkan
temuan peningkatan inflamasi saluran napas. Kondisi lainnya seperti
pneumonia, ttromboemboli dan gagal jantung akit dapat menyerupai atau
memperparah eksaserbasi pada PPOK.6
Pasien diberikan tatalaksana awal oksigenasi NRM 15 lpm, cek
laboratorium lengkap, nebu combivent, injeksi dexamethasone (IV) dan injeksi
ranitidin 1 ampul. Terapi oksigen penting dilakukan untuk mencegah
kerusakan sel akibat hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan pada
penderita PPOK. Pemilihan terapi oksigen menggunakan sungkup NRM
diberikan bila terdapat kenaikan PCO2.1
Pada hari ke-6 rawatan, pasien masih merasakan sesak napas dan
berkurang dibandingkan pertama kali dibawa ke rumah sakit. Pasien masih
mengeluhkan batuk hilang timbul dan tidak ada demam. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tanda-tanda vital yang lebih baik dibandingkan sebelumnya,
pasien menggunakan oksigenasi NK 5 lpm. Pada pemeriksaan fisik masih
16
ditemukan suara napas ekspirasi memanjang tanpa ronkhi dan wheezing.
Pasien ditatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9% 500ml/12 jam, nebu
ventolin 3x1 resp, nebu fluimucil 2x1 resp dan diresepkan obat oral karena
sudah direncanakan untuk pulang.
Pada pasien dengan PPOK, tatalaksana bertujuan untuk megurangi
gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi serta menurunkan risiko kematian.1
Secara umum, tatalaksana PPOK meliputi edukasi, berhenti merokok, terapi
farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen dan nutrisi.1 Pada seluruh grup PPOK,
pasien harus menghindari faktor risiko dengan berhenti merokok dan
menghindari pajanan kerja.1 Bila perlu, pasien dapat diterapi dengan
bronkodilator kerja pendek atau panjang berdasarkan keparahan sesaknya.6
Pada PPOK grup B, pada terapi inisial harus menggunakan
bronkodilator kerja panjang yang akan digunakan bila perlu. Terapi bersifat
individual bergantung pada persepsi pasien dan perbaikan keluhan. Pada pasien
dengan sesak napas yang lebih berat, dapat dipertimbangkan pemberian dua
jenis bronkodilator.6 Selain itu pasien diduga memiliki komorbid yang dapat
mempengaruhi prognosis dan kemungkinan ini harus diperiksa. 6 Pada PPOK
grup C, terapi inisial harus mengguakan satu jenis bronkodilator kerja panjang.
Pemberian LAMA lebih baik dibandingkan LABA untuk pencegahan
eksaserbasi sehingga terapi inisial menggunakan LAMA lebih
direkomendasikan pada grup ini.6
Pada PPOK grup D, secara umum terapi bisa dimulai dengan LAMA
yang berefek terhadap sesak napas dan eksaserbasi. Bila pasien memiliki gejala
yang berat (CAT ≥20) dengan dispnea yang berat dan/atau keterbatasan
aktivitas, kombinasi terapi LAMA & LABA lebih baik digunakan
dibandingkan terapi tunggal.6 Pada sebagian pasien, terapi kombinasi LABA &
kortikosteroid inhalasi dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama. Terapi
ini berkemungkinan besar mengurangi eksaserbasi pada pasie dengan hasil
pemeriksaan hitung eosinofil ≥300 sell/μL. Selain itu, kombinasi ini juga dapat
diberikan sebagai pilihan pertama pada pasien PPOK dengan riwayat asma.
17
Namun, efek terapi dan efek samping pemberian kortikosteroid inhalasi harus
dipertimbangkan karena pasien yang menggunakan kortiksteroid inhalasi
18
DAFTAR PUSTAKA
19