Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

RHINITIS VASOMOTOR

Pembimbing:
dr. Dewi Puspitasari, Sp. THT-KL

Oleh:
FAIZAH ATTAMIMI NUHA (20360184)
IRA CANDRA WIJAYA (20360252)
RIZKI ARVIANANTA (20360259)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

kehendak dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang

berjudul ”Rhinitis Vasomotor”. Penyusunan tugas referat ini di maksudkan

untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik

Senior Bagian Ilmu THT-KL yang diberikan pembimbing.

Dalam penulisan referat, penulis telah banyak mendapatkan bantuan,

baik berupa petunjuk, bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada dr.

Dewi Puspitasari, Sp. THT-KL selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik

ilmu kedokteran THT-KL serta dalam penyusunan paper ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat

terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat segala

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Maka

dari ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat, khususnya bagi

penulis dan semua pihak yang membaca.

Medan, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

1.1 Latar Belakang ...........................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................

2.1 Anatomi .....................................................................................................

2.2 Fisiologi......................................................................................................

2.3 Definisi.......................................................................................................

2.4 Epidemiologi...............................................................................................

2.5 Etiologi dan Patofisiologi...........................................................................

2.6 Patogenesis.................................................................................................

2.7 Manifestasi Klinik......................................................................................

2.8 Diagnosa.....................................................................................................

2.9 Diagnosa Banding.......................................................................................

2.10 Penatalaksanaan........................................................................................

2.11 Komplikasi................................................................................................

2.12 Prognosis...................................................................................................

2.13 Pencegahan dan Edukasi...........................................................................

BAB III KESIMPULAN...............................................................................

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rhinitis merupakan suatu kondisi inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung, gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada hidung, hiper-
irratabilitas dan hipersekresi.1
Rhinitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya alergi
dan non-alergi. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi. Rhinitis non-alergi atau rhinitis vasomotor
merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan selain karena reaksi
alergi, seperti karena infeksi, medikamentosa, perubahan hormonal, maupun
disfungsi sistem otonom hidung.1
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, β-blocker,
aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan). Rhinitis
vasomotor merupakan suatu bentuk rhinitis yang tidak berhubungan dengan
reaksi alergi (rhinitis non alergi) tetapi memiliki gejala yang mirip dengan
rinitis alergi. Pada penderita dengan rhinitis vasomotor akan dikeluhkan
adanya sumbatan pada hidung yang dapat terjadi secara berulang disertai
dengan pengeluaran sekret yang encer dan bersin-bersin.1,2
Rhinitis alergi atau non-alergi, mempengaruhi sekitar 20% populasi
di negara-negara industri. Diperkirakan 20 hingga 40 juta orang terkena
rhinitis alergi. Diperkirakan 17 hingga 19 juta orang Amerika mengalami
rinitis non-alergi. Rhinitis non-alergi muncul di kemudian hari, dengan pasien
yang mengembangkan gejala paling sering antara usia 30 dan 60 tahun.
Wanita lebih banyak terkena rhinitis non-alergi daripada pria. 70% wanita
berusia 50 hingga 64 tahun mengalami beberapa bentuk rinitis non-alergi
pada tahun tertentu.2
Rhinitis vasomotor terjadi akibat gangguan vasomotor hidung yaitu
terdapat gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktifitas parasimpatis. 3
Patofisiologi yang mendasari rhinitis vasomotor yang pasti belum
diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan
patofisiologi rinitis vasomotor. Rinitis vasomotor merupakan suatu kelaian
neurovascular pembuluh-pembuluh darah pada mukosa hidumg, terutama
melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap
antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini
merupakan reflex hipersensitivitas mukosa hidung yang non-spesifik.3
Diagnosis rhinitis vasomotor dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
yang mempunyai gejala yang sama. Penatalaksanaan rinitis vasomotor dapat
berupa konservatif baik medis, non-medis ataupun tindakan pembedahan.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
2.11 Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai alat
pernapasan dan indera penciuman. Septum nasi membagi hidung menjadi
sisi kiri dan sisi sisi kanan rongga nasal. Terdapat lubang hidung sebagai
tempat masuk udara yaitu nares anterior (lubang hidung depan) dan nares
posterior (lubang hidung belakang).4
Sementara kulit luar dilapisi oleh epitel berlapis gepeng
bertanduk bersama dengan kelenjar keringat dan kelenjar sebasea.
Nasal di bagian eksternal berbentuk piramid dan tersusun dari
rangka hidung serta cuping hidung. Cuping hidung tersusun dari
jaringan ikat sedangkan rangka hidung terbagi lagi menjadi bagian
yang terdiri dari tulang keras dan bagian yang terdiri dari tulang
rawan.4
1. Bagian yang terdiri dari tulang keras yaitu:
a. os nasale,
b. processus frontalis os maxillaris
c. bagian nasal os frontalis
2. Bagian yang terdiri dari tulang rawan yaitu:
a. cartilago septal nasi yang memisahkan nares nasi dextra dan
sinistra,
b. cartilago nasi lateralis
c. cartilago ala nasi mayor dan minor

Selain tulang, hidung eksternal juga dibungkus oleh dua otot


yaitu M. nasalis dan M. depressor septi nasi. Untuk bagian
septum nasi, selain dibentuk oleh cartilago septal nasi, juga
dibentuk oleh os vomer dan lamina perpendicular ossis
ethmoidalis.4

Gambar 1. Anatomi Septum Nasi


3. Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu:
a. Kelompok dilator yaitu: M. Dilator nares (anterior dan posterior),
M. Proserus dan kaput angular M. Kuadratus labii superior
b. Kelompok konstriktor yaitu: M. Nasalis dan M. Depresor septi
4. Vaskularisasi
a. Arteri terdiri dari:
- A. lateral nasi cabang dari A. Facialis
- A. dorsalis nasi cabang dari A. Opthalmica
- A.Infraorbitalis cabang dari A. Maxillaris interna.
b. Vena terdiri dari:
- V. Facialis
- V. Opthalmica
5. Inervasi pada nasal dibagi menjadi:4
a. Motorik yang mengatur otot-otot hidung yaitu nervus VII
(nervus facialis)
b. Sensorik yang mengantarkan rangsangan dari sisi medial dan
lateral hidung. Bagian medial punggung hidung sampai
ujung hidung dipersarafi oleh N. infratrochlearis dan N.
nasalis externus cabang dari N. opthalmicus. Sedangkan sisi
lateral hidung dipersarafi oleh N. infraorbitalis cabang
dari N. maxillaris.
2.12 Rongga Hidung
Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur:
vestibulum di luar dan rongga hidung (fossa nasalis) di dalam.
Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling lebar di
setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki nares yang
berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, dan vibrissae yang menyaring partikel-partikel
besar dari udara inspirasi. Di dalam vesibulum, epitelnya tidak
berlapis tanduk lagi dan akan beralih menjadi epitel respiratorik
sebelum memasuki fossa nasalis. Rongga hidung berada di dalam
tengkorak yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa.1
Dari setiap dinding lateral, terdapat tiga tonjolan
bertulang disebut conchae. Conchae terdiri atas conchae nasalis
superior, medius, inferior dimana meatus nasi superior, medius,
inferior merupakan jalan udara rongga nasal yang terletak
dibawah conchae. Di dalam lamina propia conchae terdapat
pleksus venosus yang dikenal sebagai badan pengembang
(swell bodies) yang berperan untuk menghangatkan udara,
juga terdapat glandula nasalis yang sekretnya berfungsi untuk
melembabkan udara.1
1. Atap rongga hidung dibagi menjadi 3 regio yaitu:
a. Regio sphenoidalis yang membatasi rongga hidung
dengan fossa pterygoplaatina melalui foramen
pterygopalatum
b. Regio ethmoidalis yang membatasi rongga hidung
dengan fossa cranialis anterior melalui lamina cribosa
c. Regio fronto nasale yang membatasi rongga hidung
dengan orbita melalui foramen ethmoidalis anterior dan
posterior serta ductus nasolacrimalis

2. Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh:


a. Processus palatinus ossis maxilla
b. Lamina horizontalis ossis palatum
3. Vaskularisasi
Arteri terdiri dari:
a. A. Ethmoidalis anterior dan posterior
b. Cabang dari A. sphenopalatina, yaitu A. maxillaris
interna, A. palatinus mayor, dan A. labialis superior.

Gambar 2. Vaskularisasi Rongga Hidung


Vena:
Berawal dari plexus cavernosis lalu ke V. sphenopalatina, V.
facialis, dan V. ethmoidalis anterior yang kemudian berujung
pada V. Opthalmica
4. Inervasi terdiri dari : N. olfaktorius, N. trigeminus, N.
ethmoidalis anterior, N. infraorbitalis dan N. canalis pterygoideus
(n. vidianus)
5. Dinding lateral rongga hidung terdapat 3 elevasi yaitu: konka
nasalis superior, konka nasalis medius dan konka nasalis inferior
6. Terdapat 3 lekukan yaitu meatus nasi superior, medius dan
inferior
Pada masing-masing konka terdapat suatu struktur bangunan
yang merupakan muara dari sinus-sinus paranasalis. Sinus paranasalis
terdiri dari sinus frontalis, maxillaris, ethmoidalis, dan sphenotidalis.
Fungsi dari sinus paranasalis adalah untuk meringankan tulang
tengkorak, menambah resonansi suara, dan mengubah ukuran serta
bentuk wajah.1
a. Sinus frontalis bermuara pada anterior meatus nasi medius. Sinus
frontalis ini diperdarahi oleh A. supra orbitalis dan A.
ethmoidalis anterior serta dipersarafi oleh N. supra orbitalis.
b. Sinus ethmoidalis, dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok
anterior bermuara di duktus frontonasalis, kelompok medius
bermuara di meatus nasi medius, dan kelompok posterior bermuara
di meatus nasi superior. Sinus ethmoidalis diperdarahi oleh A.
Ethmoidalis anterior dan posterior dan A. sphenopalatina serta
dipersarafi oleh N. ethmoidalis anterior dan posterior dan cabang
orbital ganglion pterygopalatinum.
c. Sinus sphenoidalis, bermuara ke dalam recessus spheno-
ethmoidalis. Sinus ini diperdarahi oleh A. ethmoidalis posterior dan
cabang faringeal A. maxillaris interna serta dipersarafi oleh N.
ethmoidalis posterior dan cabang orbital
ganglion pterygopalatinum.
d. Sinus maxillaris yang bermuara di bagian terendah hiatus
semilunaris. Daerah ini diperdarahi oleh A. facialis, A. palatina
mayor, A. infraorbitalis, dan A. alveolaris superior anterior dan
posterior serta dipersarafi oleh N. infraorbitalis dan N. Alveolaris
superior anterior, medius, dan posterior.
Gambar 3. Sinus Paranasal

2.2 FISIOLOGI
Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:1
a. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal.
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi
melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Udara yang
dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar
37 derajat Celcius. Fungsi pengatur suhu dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: rambut pada vestibulum nasi silia, palut lendir.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin.
b. Fungsi penghidu
Membran mukosa olfaktorius mengandung sel-sel yang
berasal dari serabut saraf olfaktorius yang dilapisi neuroepitelium.
Bagian basal sel ini tipis dan berjalan ke atas untuk membentuk
pleksus, serabut saraf tidak bermielin yang mangandung lebih
kurang 20 serabut saraf. Serabut saraf ini menembus lamina
kribiformis dan menuju ke bulbus olfaktorius pada setiap sisi
simpel galli. Stimulus penghidu akan diterima oleh mukosa
olfaktorius dan reservoir udara.
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan
pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam
bahan.
c. Fungsi fonetik
Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Hidung membantu proses
pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan
palatum mole.
d. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
e. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan
pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks
bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar air liur, lambung dan pankreas.
f. Proses Bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk
oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal
(m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara

2.3 DEFINISI RHINITIS VASOMOTOR


Rhinitis merupakan suatu peradangan dari mukosa hidung
dan ditandai dengan gejala seperti; hidung tersumbat, keluar
cairan dari hidung (rhinorrhea), bersin-bersing, dan rasa gatal
pada hidung. Rhintis dapat disebabkan karena alergi, infeksi dan
non-alergi.1
Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang
disebabkan antara interaksi antibodi dengan antigen atau substansi
di lingkungan yang menyebabkan peningkatan kepekaan. Rhinitis
infeksi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan
oleh infeksi bakteri atau virus.1
Rhinitis vasomotor (rhinitis non- alergi) merupakan suatu
keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan hipertiroid), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin
klopromazin dan obat topical hidung dekongestan).1
Rhinitis vasomotor merupakan rhinitis non-alergi jika tidak
terdapat alergi spesifik yang dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan alergi yang sesuai seperti tes cukit kulit, kadar
antibody IgE spesifik serum. Rhinitis vasomotor juga disebut :
vasomotor catarrj, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability atau non allergic perennial rhinitis.1

2.4 EPIDEMIOLOGI RHINITIS VASOMOTOR


Data epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa rhinitis, termasuk
rhinitis vasomotor, menyebabkan morbiditas yang signifikan.  The National
Rhinitis Classification Task Force Amerika Serikat melaporkan setidaknya
17 juta orang memiliki rhinitis nonalergi, termasuk rhinitis vasomotor.5
Epidemiologi rhinitis, baik rhinitis alergi maupun non alergi, terjadi
pada sekitar 20% populasi di negara industri dan lebih dari 200 juta orang di
dunia. Sebanyak 34% pasien rhinitis kronis didapatkan mengalami rhinitis
campuran alergi dan nonalergi. Di Amerika Serikat, sebanyak 1/4 kasus
rhinitis merupakan rhinitis nonalergi. Diperkirakan 17 hingga 19 juta orang
Amerika mengalami rinitis nonalergi. Sedangkan di Indonesia belum ada
data nasional mengenai prevalensi rhinitis vasomotor.2
Rhinitis vasomotor dilaporkan cenderung terjadi pada pasien usia 30-
60 tahun tanpa riwayat alergi dalam keluarga. Perempuan lebih banyak
mengalami rhinitis nonalergi dibandingkan dengan laki-laki. 70% wanita
berusia 50 hingga 64 tahun mengalami beberapa bentuk rinitis nonalergi
pada tahun tertentu.2
Rhinitis vasomotor jarang menyebabkan mortalitas, namun
menurunkan kualitas hidup penderita akibat gejala yang berulang dan
seringnya kunjungan ke dokter. Konsumsi obat rhinitis juga dapat
menimbulkan efek samping seperti gangguan tidur dan penurunan
produktivitas kerja.2

2.5 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI RHINITIS VASOMOTOR


Etiologi dan patofisiologi rhinitis vasomotor belum diketahui
secara pasti. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk
menerangkan etiologi & patofisiologi rhinitis vasomotor, yaitu:1
a. Neurogenik (disfungsi sistem otonom).
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis
segmen Th 1-2, menginervasi pembuluh darah mukosa dan
sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter
noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan
vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini
berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahapan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4
jam. Keadaan ini disebut sebagai ‘siklus nasi’. Serabut saraf
parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n.vidianus, kemudian
menginervasi pembuluh darah dan kelenjar eksokrin. Pada
rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter asetilkolin.
dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan
sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
b. Neuropeptida.
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang
diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf
sensori serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal
saraf sensoris ini diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gen-related
protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler
dan sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya
peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.
c. Nitrit oksida.
Kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di
lapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non- spesifik
berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi
peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks
vaskuler dan kelenjar mukosa hidung.
d. Trauma.
Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi
jangka panjang dari trauma hidung melalui mekanisme
neurogenik dan/atau neuropeptida.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor


yaitu:1
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf
simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi
dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas,
pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
2.6 PATOGENESIS RHINITIS VASOMOTOR
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa
hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh
darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan
parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor
terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf
simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem
parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi
arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler,
yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan
kongesti.6
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide
vasoaktif dari sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara
peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin,
polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan
kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem
saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan
rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E
(non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. Adanya reseptor zat
iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak
kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik.
Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan
udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosi atau
fisik).6

2.7 MANIFESTASI KLINIK RHINITIS VASOMOTOR


Gejala rhinitis vasomotor sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non- spesifik, seperti asap/rokok, bau yang
menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara
dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban,
perubahan suhu luar, kelelahan, dan stress/emosi.6
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis
alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat,
bergantian kanan dan kiri, tergantung pada posisi pasien. Selain itu
terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Gejala dapat memburuk
dipagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
dibedakan dalam 3 golongan, yaitu 1) golongan bersin (sneezers),
gejala biasanya member respon baik terhadap antihistamin dan
glukokortikosteroid topikal; 2) golongan rinore (runners),
gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal; 3)
golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokonstriktor.6

2.8 DIAGNOSIS RHINITIS VASOMOTOR


Diagnosis ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal,
dan akibat obat. Anamnesis dilakukan untuk mencari faktor yang
mempengaruhi timbulnya gejala.1
A. Anamnesis
Anamnesis juga mencari faktor yang mempengaruhi
keseimbangan vasomotor dan menyingkirkan kemungkinan
rhinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat
alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia
dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai
respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak
mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan sering mengungkapkan purulensi di
daerah meatus tengah dengan hiperemis, edema, atau pengerasan
kulit di sepanjang turbinate tengah. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan adalah pemeriksaan rinoskopi anterior dan
posterior.
1. Rhinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, tampak gambaran
yang khas berupa edema mukosa hidung, konka
berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula
pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rhinitis alergi.
Permukaan konka lebih licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi). Sekret mukoid yang sedikit dapat ditemukan di
dalam rongga hidung. Pada golongan rinore sekret yang
ditemukan adalah serosa dan banyak jumlahnya.
2. Rhinoskopi posterior
Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Pemeriksaan untuk
rinitis vasomotor harus mencakup tes kulit dan atau antibodi IgE
spesifik serum. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian
pula test RAST (Radioallergosorbent Test), serta kadar IgE
total dalam batas normal. Kadang-kadang ditemukan juga
eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang
sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya
sel neutrofil dalam sekret.1
Pemeriksaan radiologi sinus memperlihatkan mukosa
yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam
sinus apabila sinus telah terlibat. Sitologi hidung juga dapat
memberikan informasi tentang jenis sel yang menyusun mukosa dan
membantu mengidentifikasi adanya penanda inflamasi. Kerokan dari
turbinat inferior, bilas hidung, atau peniupan hidung dapat
menyediakan sel epitel untuk analisis. Kehadiran 5 sampai 25
eosinofil di bidang bertenaga tinggi kompatibel dengan diagnosis
rinitis nonalergi dengan sindrom eosinofilia (NARES), subset dari
rinitis nonalergi.2
Brandt dan Bernstein mengembangkan kuesioner yang
divalidasi untuk membantu diagnosis rinitis vasomotor melalui
serangkaian pertanyaan. Hasil mereka mengungkapkan bahwa pasien
dengan timbulnya gejala setelah usia 35 tahun, riwayat keluarga
negatif alergi atau atopi, tidak ada gejala di luar ruangan atau terkait
kucing, dan gejala yang terkait dengan paparan parfum dan
wewangian memiliki kemungkinan 96% mengalami vasomotor.
rinitis.2
Tes provokasi hidung telah menjadi standar melalui produk
yang tersedia secara komersial. Pengujian provokasi melibatkan
pemaparan pasien terhadap alergen masing-masing, menilai respons
klinis, dan mengumpulkan data objektif dengan rinomanometri dan
rinometri akustik. Pemindaian tomografi terkomputasi dari dari sinus
paranasal adalah pilihan diagnostik untuk pasien dengan dugaan
penyakit sinus, dan pencitraan resonansi magnetik dapat membantu
dengan dugaan lesi massa di kepala dan leher. Namun, dalam kasus
rinitis vasomotor, pencitraan jarang mengungkapkan patologi dan
tidak terlalu berguna.2

2.9 DIAGNOSA BANDING RHINITIS VASOMOTOR


Diagnosis banding rhinitis vasomotor yaitu:6
a Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan
oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika anterior. Pemeriksaan rhinoskopi anterior
akan tampak mukosa edem, basah, warna pucat atau livid disertai
adanya sekret terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Rhinitis alergi menurut ARIA 2011 adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin- bersin, rinore encer, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.

Tabel 1. Perbedaan Rhinitis Alergi dengan Rhinitis Vasomotor


b. Rhinitis Virus
Rhinitis virus (rhinitis simplek) merupakan penyakit virus
yang paling sering ditemukan pada manusia. Sering disebut juga
sebagai selesma, flu atau common cold. Penyebabnya ialah
beberapa jenis virus dan yang paling penting adalah rhinovirus,
yang lainnya adalah myxovirus, coxsackie dan virus ECHO.
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai
akibat tidak adanya kekebalan, atau menurunnya daya tahan
tubuh. Pada stadium prodormal yang berlangsung beberapa jam,
didapatkan rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat
dan ingus encer, yang biasanya disertai demam dan nyeri kepala.
Mukosa hidung tampak merah dan membengkak dan bila
terjadi infeksi sekunder sekret menjadi mukopurulen.
c. Rhinitis Hipertrofi
Rhinitis hipertrofi didapatkan perubahan mukosa hidung
pada konka inferior. Konka inferior mengalami hipertrofi
karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri primer atau sekunder. Konka inferior dapat juga
mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakteri, seperti pada
keadaan lanjutan dari rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor.
d. Rinitis akibat kerja (Occupational Rhinitis)
Rhinitis akibat kerja adalah iritasi dan peradangan hidung yang
terjadi akibat pajanan di tempat kerja. Penyebab rinitis di tempat kerja
dapat diklasifikasikan sebagai alergi, iritasi, atau kombinasi. Penyebab
rinitis kerja sering dibagi lagi menjadi senyawa dengan berat molekul
tinggi seperti protein yang berasal dari tumbuhan atau hewan dan
senyawa dengan berat molekul rendah, yang sering dikaitkan dengan
hapten. Pekerjaan tertentu berisiko tinggi: tukang roti, peternak,
pekerja industri, dokter hewan, dll. Diagnosis OR memerlukan
dokumentasi rinitis dan penyebab yang berhubungan dengan pajanan
di tempat kerja. Antibodi spesifik IgE sering terlihat pada paparan
senyawa dengan berat molekul tinggi tetapi kurang sensitif pada
senyawa dengan berat molekul rendah. Reproduksi gejala hidung dari
tes tantangan provokasi hidung tetap menjadi standar perawatan
dalam mendiagnosis rinitis akibat kerja.7

2.10 PENATALAKSANAAN RHINITIS VASOMOTOR


Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Penatalaksanaan rhinitis
vasomotor terdiri dari:1
a. Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy )
b. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) :
- Nasal dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan
untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya:
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung).
- Anti histamin : untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung
tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon
inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.
Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2
minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh
steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau
Beclomethasone Anti kolinergik juga efektif pada
pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh
: Ipratropium bromide (nasal spray).
c. Terapi operatif (bila pengobatan konservatif gagal):
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau tiklorasetat pekat (chemical cautery)
maupun secara elektrik (lectrical cautery).
- Diatermi submukosa konka inferior (submucosal
diathermy of the inferior turbinate)
- Bedah beku konka inferior (cryosurgery)
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total
turbinate resection) - Turbinektomi dengan laser (laser
turbinectomy)
- Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu
dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila
dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore
yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan
berbagai komplikasi.
2.11 KOMPLIKASI RHINITIS VASOMOTOR
Gejala rinitis vasomotor kronis sering mengganggu kinerja dan dapat
hilangnya produktivitas. Dalam survei pasien rinitis, 25% mendukung
pembatasan pilihan pekerjaan atau tempat tinggal mereka untuk mengurangi
gejala rinitis. Selain itu, perawatan medis untuk mengontrol gejala dapat
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hidung kering,
jantung berdebar, epistaksis, dan kantuk. Efek samping ini memperparah
dampak negatif rinitis nonalergi pada pasien. Rinitis non-alergi kronis
sering dikaitkan dengan kondisi lain seperti sakit kepala, disfungsi tuba
eustachius, polip hidung, apnea tidur obstruktif, dan batuk kronis. Gejala-
gejala ini secara signifikan dapat mempersulit manajemen dan mengganggu
kualitas hidup.2
Komplikasi yang lebih mungkin terjadi adalah dari terapi
neurektomi, yang dapat menimbulkan sinusitis, diplopia, buta,
gangguan lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita dan
palatum.2

2.12 PROGNOSIS RHINITIS VASOMOTOR


Rinitis non-alergi adalah kondisi persisten yang biasanya muncul
seumur hidup. Satu studi oleh Rondon dan rekan, memeriksa ulang 180
pasien dengan rinitis nonalergi 3 sampai 7 tahun setelah diagnosis awal.
Sebanyak 52% pasien mengalami penyakit yang memburuk, dengan
peningkatan persistensi 12%, dan peningkatan keparahan gejala hidung
sebesar 9%. Selain itu, pasien dengan rinitis nonalergi berkembang menjadi
penyakit penyerta baru, dengan yang paling umum adalah asma.
Perkembangan sinusitis kronis juga meningkat.2
Prognosis pengobatan rinitis vasomotor golongan obstruksi
lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore
sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
Secara umum prognosis baik karena tidak menimbulkan kelainan
yang berbahaya, hanya membuat rasa tidak nyaman, namun
tanpa tindakan pembedahan, penyakit ini tidak dapat benar-benar
hilang/sembuh.1

2.13 PENCEGAHAN DAN EDUKASI RHINITIS VASOMOTOR


Edukasi pasien sangat penting dalam mengelola rinitis vasomotor.
Pasien dengan pemicu lingkungan, non-imunologi, dan iritan yang diketahui
harus diingatkan untuk menghindari paparan agen penyebab ini.
Menghindari rangsangan yang mengiritasi adalah andalan pengobatan.
Tindakan pencegahan dan terapi medis seringkali cukup untuk mengurangi
sebagian besar gejala dan penyakit mukosa yang terkait dengan rinitis
nonalergi. Jika rangsangan tidak dapat dihindari, mendidik pasien tentang
pra-perawatan dengan steroid hidung topikal atau histamin dapat membatasi
gejala.2

BAB III
KESIMPULAN

Rhinitis merupakan suatu peradangan dari mukosa hidung dan


ditandai dengan gejala seperti hidung tersumbat, keluar cairan dari
hidung (rhinorrhea), bersin-bersin, dan rasa gatal pada hidung. Rhintis
dapat disebabkan karena alergi, infeksi dan non-alergi.
Rhinitis vasomotor merupakan rhinitis non-alergi jika tidak terdapat
alergi spesifik yang dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan alergi yang
sesuai seperti tes cukit kulit, kadar antibody IgE spesifik serum. Rhinitis
vasomotor juga disebut sebagai vasomotor catarrj, vasomotor rinorhea,
nasal vasomotor instability atau non allergic perennial rhinitis.
Etiologi dan patofisiologi rhinitis vasomotor belum diketahui secara
pasti. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan
kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun
sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi
arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang
akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan, yaitu 1) golongan bersin (sneezers), gejala biasanya member
respon baik terhadap antihistamin dan glukokortikosteroid topikal; 2)
golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian
anti kolinergik topikal; 3) golongan tersumbat (blockers), kongesti
umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor. Pemeriksaan fisik akan
sering mengungkapkan purulensi di daerah meatus tengah dengan hiperemis,
edema, atau pengerasan kulit di sepanjang turbinate tengah.
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Penatalaksanaan rhinitis vasomotor
yaitu menghindari penyebab, pengobatan konservatif (farmakoterapi) dan
tindakan operatif yang dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang
hebat.
Prognosis pengobatan rinitis vasomotor golongan obstruksi lebih
baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip
dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti
untuk memastikan diagnosisnya. Secara umum prognosis baik karena
tidak menimbulkan kelainan yang berbahaya, hanya membuat rasa
tidak nyaman, namun tanpa tindakan pembedahan, penyakit ini
tidak dapat benar-benar hilang/sembuh.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Sumbatan hidung, dalam: Buku


Ajar Imu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
BadanPenerbit FKUI; 2014.h.100
2. Leader P, Geiger Z. Rhinitis Vasomotor. , Stat Pearls Publishing LLC, Pulau
Harta Karun (FL); 2021 Jan-. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
NBK547704)
3. Herawati S, Rukmini S. Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta:
EGC; 2005. h.36.
4. Putz, R &R.Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 21.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003.
5. Wheeler PW, Wheeler SF. Vasomotor Rhinitis. Am Fam Phys, 2005 Sep 15;
72(6): 1057-1062. (https://www.aafp.org/afp/2005/0915/p1057.html)
6. Rambe, AYM, Rinitis Vasomotor. Sumatera Utara: Universitas Sumatera
Utara; 2003.h.1-10. (https://library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina.pdf)
7. Jerry Tobbing. Rhinitis Akibat Kerja, Universitas Methodist Indonesia,
Medan: jurnal IKRAI TH-HUMANIORA Vol 06 (1) maret 2022

Anda mungkin juga menyukai