TONSILITIS MEMBRANOSA
Pembimbing:
dr. NUNUN CHATRA KRISTINAE, Sp.THT-KL
Disusun oleh:
Muhamad Riduan, S.Ked
FAB 118 110
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
TONSILITIS MEMBRANOSA
REFERAT
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir di KSM Ilmu Telinga,
Hidung dan Tenggorok
1
Referat ini disahkan oleh:
Nama Tanggal Tanda Tangan
PERNYATAAN KEASLIAN
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, penyusunan referat yang berjudul “TONSILITIS MEMBRANOSA” dapat
diselesaikan dengan baik. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Penulis menyadari bahwa dalamproses penulisan referat ini banyak
mengalami kendala, namun berkat dan bantuan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai
pihak sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Nunun Chatra
Kristinae, Sp.THT-KL yang membimbing dan membantu saya dalam penyusunan referat ini,
serta kepada dr. Moelyadhi Oetomo, Sp.THT-KL dan dr. Nuch Sabunga, Sp.THT-KL selaku
pembimbing klinis saya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya referat ini dapat berguna dan
membantu generasi dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa (i) jurusan kesehatan
lain yang sedang dalam menempuh pendidikan.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. vi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………… 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………… 2
2.1. Embriologi Tonsil .........……………………………………... 2
2.2. Anatomi Tonsil …………………………….………………. 2
2.3. Fisiologi Tonsil .…………………….……………….. 6
3
2.4. Tonsilitis Membranosa…………………………..…………… 7
2.4.1. Tonsilitis Difteri ....…..……………………………….. 11
2.4.2. Tonsilitis Septik ....…..……………………………….. 16
2.4.3. Angina Plaut Vincant ....…..…………………………. 17
2.4.4. Penyakit Kelainan Darah ....…..……………………….. 19
BAB III KESIMPULAN ……….…….…………………………………….. 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 25
4
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Tonsil .......................................................…………… 3
Gambar 2.2 Vaskularisasi Tonsil ...........................…………………….…….. 4
Gambar 2.3 Tonsil Faringeal (adenoid) ...………………………………... 5
Gambar 2.4 Klasifikasi Pembesaran Tonsil .............................……………… 6
Gambar 2.5 Rongga Mulut ............................................................................. 7
Gambar 2.6 palatal mole petechiae ............................................…………….. 8
Gambar 2.7 Lidah Strawberry ……………………………………………… 8
Gambar 2.8 Skor Centor Dimodifikasi ...................……..………………….. 9
Gambar 2.9 Patogenesis Difteri..............................…………………………… 12
Gambar 2.10 Bull’s Neck ................…………………………………. 13
Gambar 2.11 Tonsilitis Difteri ..............................………………….. 14
Gambar 2.12 Tonsilitis Septik pada infeksi Streptococcus Haemolyticus ……. 15
Gambar 2.13 Vincent’s Angina Ulcer ................................……………………. 18
Gambar 2.14 Tonsilitis dan Faringitis pada Leukemia....................…..……….. 20
Gambar 2.15 Tonsilitis eritematous dengan eksudat pada infeksi EBV ……… 21
Gambar 2.16 Replikasi Adenovirus................…………………………………. 22
Gambar 2.17 Tonsilitis pada Infeksi Adenovirus ..................………………….. 23
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang ini
juga banyak sekali masalah kesehatan yang muncul di masyarakat. Dari hari kehari semakin
banyak muncul berbagai macam penyakit infeksi ataupun penyakit lainnya, salah satunya
adalah penyakit tonsilitis atau yang sering kita kenal dengan radang amandel. Tonsilitis
adalah inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya
yang utama meliputi Streptococcus atau Staphylococcus 1.
Tonsilitis adalah massa jaringan limfoid yang terletak di rongga faring. Tonsil
menyaring dan melindungi saluran pernafasan serta saluran pencernaan dari invasi organisme
patogen dan berperan dalam pembentukan antibodi. Meskipun ukuran tonsil bervariasi, anak-
anak umumnya memiliki tonsil yang lebih besar daripada remaja atau orang dewasa.
Perbedaan ini dianggap sebagai mekanisme perlindungan karena anak kecil rentan terutama
terhadap ISPA.1
Jika sering trinfeksi, tonsil dapat menjadi sumber infeksi. Dengan berulangnya
infeksi, jaringan limfoid dapat menjadi hipertrofi atau mengecil dan fibrotik. Karena itu tonsil
pada anak yang lebih tua dapat besar atau kecil. Dengan adanya tonsilitis berulang, seringkali
jaringan limfoid tonsil membesar. Kadang-kadang, meskipun jarang, pembesaran tonsil
menyebabkan obstruksi pada waktu bernapas, terutama malam hari. Kemudian terjadi
serangan apnea yang dapat berlanjut terus. Juga terjadi pembesaran adenoid. Pada keadaan
ini, aliran udara tersumbat dan anak kemudian bernapas dengan mulut. Juga, karena tuba
Eustasius tersumbat, dapat terjadi otitis media atau glue ear,menyebabkan tuli.1
Infeksi akut saluran nafas bagian atas pada anak-anak merupakan hal yang sering
dijumpai oleh dokter umum. banyak terdapat antara pengobatan dengan operasi dan
pengobatan medikamentosa pada penyakit-penyakit ini, karena baik pengobatan
medikamentosa ataupun pengobatan dengan operasi ditentukan oleh perubahan fisiologis
yang terjadi selama masa pertumbuhan anak. Sangat diketahui lebih dalam mengenai fisiologi
tonsil dan adenoid. Tonsil dan adenoid membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk
saluran nafas dan saluran pencernaan yang dikenal sebagai cincin waldeyer. Bagian-bagian
lain cincin ini dibentuk oleh tonsil lidah dan jaringan limfe di mulut tuba eustachii.
Kumpulan jaringan ini pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan, melindungi
anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Seperti halnya jaringan-jaringan limfe
6
yang lain, jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi pada masa anak-anak dan
menjadi atrofi pada masa pubertas. Karena kumpulan jaringan ini berfungsi sebagai
suatukesatuan, maka pada fase aktifnya, pengangkatan suatu bagian jaringan tersebut
menyebabkan hipertrofi sisa jaringan.2
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
- Inferior : Tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen, yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).3
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstrikor faring superior.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat
yang disebut kapsul. Kapsul adalah jaringan ikat putih yang mempunyai 4/5
bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengakatan tonsil.
Perdarahan
9
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang A.karotis eksterna, yaitu: 1)
A.maksilaris eksterna (A.Fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
palatina asenden, 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatine
desenden, 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal, 4) A. faringeal
asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh oleh
A. faringeal asenden dan A. palatine desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik
melalui pleksus vena disekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
10
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Pada tonsil terdapat sistem
imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite
dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik, juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
11
c. Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada
basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior dari
papilla sirkumvalata ke epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah lateral dan
ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot-otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa.
Jumlahnya bervariasi, antara 30-100 buah. Pada permukaannya terdapat kripta yang
dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi
disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan
cabang dari A. Karotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V.
Jugularis interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya
melalui cabang lingual N. IX.
12
infeksi. Tonsil bertindak sebagai filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke
tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi
antibody untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing
dan pathogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi
tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsillitis. Aktivasi
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun.3
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis
difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti
leukemia akut dan serta infeksi mononukleosis, (e) proses spesifik luas dan tuberkulosis, (f)
Infeksi jamur, (g) Infeksi virus seperti morbili, pertusis dan skarlatina. 4 Tonsillitis
pseudomembran juga bisa disebabkan infeksi bakteri dan infeksi virus.2
Epidemilogi
Kejadian difteri masih tinggi di seluruh dunia. Menurut WHO tahun 2012, kasus
difteri di Afrika terjadi sebanyak 50 kasus pada tahun 2010 dan terdapat 13 kasus pada tahun
2011. Kejadian di Amerika terjadi kasus sebanyak 41 kasus pada tahun 2010 dan sebanyak 8
kasus pada tahun 2011. Kejadian difteri di Eropa terjadi 32 kasus pada tahun 2011. Kejadian
di Mediterania Timur terdapat 154 kasus pada tahun 2010 dan 352 kasus pada tahun 2011.
Kasus di bagian Asia Tenggara (South East Asian Region) menurut WHO tahun 2012, India
menempati urutan pertama pada tahun 2011 dengan kasus sebanyak 3485. Pada urutan kedua
yaitu Indonesia dengan kasus sebanyak 806. Nepal berada pada posisi ketiga dengan kasus
sebanyak 94.
Tahun 2013 menurut data WHO terjadi kasus sebanyak 4680 di dunia, dengan South
East Asia menempati urutan pertama dengan 4080 kasus. Tahun 2014 tercatat sebanyak 7347
kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South
East Asian Region (SEAR). Data kasus difteri menurut WHO tahun 2016 berjumlah 7097
kasus. Kasus menurut benua, South East Asia menempati urutan pertama dengan laporan
kasus sebanyak 4016. Posisi kedua diikuti Africa dengan 2870 kasus. Posisi ketiga dengan 98
kasus yaitu Western Pasific. Kasus difteri menurut Kota tahun 2016, terjadi terbanyak di
India dengan 3380 kasus. Posisi kedua diikuti oleh Madagascar yaitu dengan 2865 kasus.
Jumlah kasus difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013
(19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun
2014 (6% dari total kasus SEAR). Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri sebanyak 296 kasus
dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16 orang dengan nilai CFR difteri sebesar 4,0%.
14
Dari 22 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi
Jawa Timur yaitu sebanyak 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus
tersebut, sebanyak 37% tidak mendapakan vaksin.
Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016).
Demikian pula jumlah kabupaten/kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota pada tahun 2015. Tahun 2015
sebanyak 89 kabupaten/kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 kabupaten/kota.8
Patofisiologi
Difteri diawali oleh masuknya C. diphtheriae ke dalam hidung atau mulut dan
terlokalisasi pada permukaan mukosa saluran pernapasan atas (mata dan genitalia juga dapat
menjadi tempat lokalisasi bakteri). Setelah periode inkubasi 2-4 hari, strain difteri yang
terinfeksi (mengalami lisogenisasi) dapat menghasilkan toksin. Toksin awalnya diserap ke
dalam membran sel target melalui ikatan reseptor pada permukaan sel dan mengalami
endositosis. Toksin ini terdiri atas 2 komponen, yaitu subunit A dan subunit B. Subunit B
berperan dalam pengikatan reseptor sedangkan subunit A merupakan komponen toksin yang
enzimatik aktif. Setelah mengalami endositosis, subunit A akan menghambat sintesis protein
sel. Selain itu, dengan adanya kalsium dan magnesium, toksin difteri dapat menyebabkan
fragmentasi DNA melalui mekanisme nuclease-like activity. Akibatnya, terjadi sitolisis.
15
Nekrosis luas terjadi pada jaringan tempat kolonisasi kuman difteri dan akan memicu
respons inflamasi lokal. Respons inflamasi bersama jaringan nekrosis membentuk eksudat
pseudomembran. Eksudat ini awalnya dapat diangkat, tetapi seiring berjalannya infeksi,
terjadi peningkatan produksi toksin sehingga terbentuk eksudat dengan komponen fibrin.
Pseudomembran awalnya berwarna putih, akan menjadi abu-abu gelap disertai bintik hijau
atau hitam yang menunjukkan area nekrosis. Perdarahan hebat dapat terjadi jika
pseudomembran berusaha diangkat. Jaringan edema dan pseudomembran difteri dapat
menutup saluran napas. Pseudomembran ini akan meluruh spontan selama masa
penyembuhan Toksin yang dihasilkan di lokasi pseudomembran akan didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui aliran darah dan limfatik. Distribusi dimulai saat faring dan tonsil
tertutup pseudomembran difteri. Organ dan jaringan di seluruh tubuh dapat mengalami
kerusakan akibat toksin ini. Lesi sistem saraf, jantung, serta ginjal merupakan komplikasi
berat; manifestasi klinis miokarditis tampak setelah periode laten 10-14 hari, sistem saraf,
misalnya neuritis perifer, terjadi pada 3-7 minggu. Strain non-toksigenik juga dapat
menyebabkan faringitis ringan hingga sedang, tetapi tidak terbentuk pseudomembran.
Jantung: Toksin Difteri sangat beracun ke miokardium. Pada tahap awal, terjadi edema
interstisial, pembengkakan berawan dari serat miokard, dan akumulasi butiran sitoplasma
denda lipid terlihat mikroskopis. Kemudian perubahan ini menjadi luas dan lebih berat. Serat
miokard akhirnya mengalami nekrosis, dan miokarditis interstisial fokus dengan eksudasi sel
mononuklear terjadi. Keterlibatan jantung, baik secara akut dalam bentuk kolaps
kardiovaskuler atau sebagai aritmia atau lebih kronis dalam bentuk gagal jantung kongestif,
adalah ancaman yang paling umum untuk kehidupan di difteri.
Ginjal: Sebuah nefritis, nonspesifik interstisial non supuratif adalah sering pada difteri dan
diyakini bertanggung jawab atas proteinuria sering diamati. Lesi ginjal biasanya sembuh
sepenuhnya pada pasien yang sembuh.
16
Hati: Hati yang khas diperbesar, hepatosit menunjukkan pembengkakan berawan dan
nekrosis kurang umum fokus.
Saraf: Toksin Diphtherial memiliki afinitas khusus untuk saraf perifer. Efek racun yang
diwujudkan dalam degenerasi atau bahkan kerusakan selubung mielin. Silinder Axis
mengalami nekrosis pembengkakan dan jarang. Efek lumpuh neuropati difteri sering tajam
terlokalisasi. Kelumpuhan otot-otot sukarela dari langit-langit mulut dapat menghasilkan
kualitas hidung yang aneh dari suara dan kecenderungan untuk memuntahkan cairan melalui
hidung.
Hipofaring: keterlibatan Hypopharyngeal dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
Mata: Keterlibatan otot luar mata dapat menghasilkan diplopia, dan keterlibatan dari badan
siliar dapat mengakibatkan cacat akomodasi visual.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala
akibat eksotoksin.4
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah dan nyeri menelan.4
b. Gejala lokal dalam 2-3 hari tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor keabu-
abuan/ kebiru-biruan yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring,
laring, trakea dan bronkus serta dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini
melekat pada dasarnya, sehingga apabila diangkat akan mudah berdarah. Membran
melebar melewati tonsil dan menutup dinding faring dan sekitarnya. Pada
perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull’s neck) atau disebut
juga Burgemeester’s hals. 4
c. Gejala akibat eksotoksin
Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensation cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
17
Gambar 10. Bull’s Neck
Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yaitu terlihat
membran warna putih keabu-abuan/kebiruan, dan pemeriksaan preparat langsung kuman
yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Diagnosis dapat dibuat lebih awal dan penanganan dapat
dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi endemik difteri. Diagnosis pasti dengan isolasi
C. diphteriae dengan pembiakan dilanjutkan dengan tes toksigenesitas secara vivo dan vitro.4
Isolasi dan karantina:
18
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:4
a. Biakan usap hidung atau tenggorok.4
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap difteri) . Sejumlah kecil
toksin difteri (ca. 0.8 ng dalam 0.2 ml) disuntikkan intradermal pada lengan (sisi test)
dan sejumlah toksoid difteri (0.0124 μg dalam 0.2 ml) di lengan lainnya (sisi kontrol).
Setelah 48-96 jam, hasil dapat dibaca. Dalam 96 jam, muncul reaksi eritematosa
dengan nekrosis pada sisi test menunjukkan bahwa ada insufisiensi imun antitoksin
untuk menetralisir toksin difteri yang telah disuntikkan (≤ 0.03 IU/ml). Jika timbul
inflamasi pada kedua lengan dalam 48 jam menunjukkan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen.4,8
c. Evaluasi gejala klinis setiap hari sampai masa kemungkinan terjadi komplikasi
terlewati.4
Tatalaksana
1. Tatalaksana Medikamentosa
a. Beri bantuan oksigen jika terjadi obstruksi saluran respiratorik. Tanda tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah merupakan indikasi dilakukan
trakeostomi (atau intubasi). Penggunaan nasal prongs atau kateter nasofaring dapat
membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi saluran respiratorik karena
terlepasnya membran. Perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi.3
b. Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera mungkin tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 40.000 unit yang dilarutkan dalam cairan normal saline diberikan
perlahan secara IM/IV untuk menurunkan mortalitas. Karena terdapat resiko alergi
terhadap serum kuda dalam ADS maka perlu dilakukan tes kulit untuk deteksi reaksi
hipersensitivitas dan harus tersedia pengobatan terhadap reaksi anafilaksis. Hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2
jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).3
c. Antiinflamasi Dexamethasone dengan dosis 0,08-0,3 mg/kgBB/hari dosis terbagi
setiap 12 jam untuk anak; sedangkan dewasa 0,5-10mg/hari dengan.15
19
d. Antibiotik Penisilin Prokain dengan dosis 50.000 unit/kgBB dosis tunggal secara IM
selama 7 hari atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.3
e. Antipiretik untuk simptomatik dapat berupa Paracetamol 500 mg atau Ibuprofen 200-
400 mg.3
2. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Kemudian dilakukan biakan ulang untuk evaluasi pasien. Sampel
spesimen yang diperlukan untuk evaluasi diambil dari swab tenggorok dan swab hidung.
Komplikasi4
20
2. Imunisasi Lanjutan:
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.
Selain cakupan yang harus diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak
pengiriman, penyimpanan sampai ke sasaran.
Vaksin difteri merupakan vaksin yang sensitif terhadap suhu beku sehingga
dalam pengiriman maupun penyimpanan harus tetap berada pada suhu 2 - 8°
C.
21
Patofisiologi
Proses infeksi oleh SBHGA sama seperti pada tonsilitis bakterial. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang
jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk
alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.5
Epidemiologi
Kejadian tonsillitis akibat Streptococcus haemoliticus dalam susu sapi sudah jarang
ditemukan. Terhitung hanya 1:1.000.000 kejadian tonsillitis dalam 10 tahun. Dan banyak
praktis kinis yang menegakan diagnosa tonsilitis septik sebagai tonsillitis bakterial.6
Manifestasi Klinis
Demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Mukosa faring
dan tonsil hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, dan mulut berbau.4
Tatalaksana15
1. Pilihan terapi antibiotik lini pertama adalah penisilin oral seperti ampicillin
dan amoxicillin selama 10 hari atau penicillin injeksi (Benzathine Penicillin G) jika tidak
patuh penicillin oral selama 10 hari atau memiliki risiko tinggi demam reumatik akut
seperti adanya riwayat penyakit jantung reumatik. Pilihan antibiotik lainnya, yakni
cephalosporin.
2. Antiinflamasi dengan kortikosteroid, yaitu dexamethasone dengan dosis dewasa 10 mg
atau anak sesuai dengan berat badan 0,6 mg/kgBB dengan dosis maksimum 10 mg.4
3. Paracetamol atau Ibuprofen sebagai antipiretik sekaligus analgetik.
22
2.4.3 Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
Etiologi
Angina Plaut Vincent disebabkan bakteri anaerob obligat yaitu bakteri sphirochaeta
(triponema) dan fusibacteria yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C.4
Epidemilogi
Infeksi tonsil akibat fusibacteria ditemukan 13% dari kasus tonsillitis dengan ulcer
stomatitis, dan 50% ditemukan fusibacteria disertai sphirochaeta.7
Patofisiologi
Angina Vincent mengacu pada infeksi ulseratif nekrotikans akut pada membran
mukosa mulut dengan manifestasi perdarahan, halitosis, dan tonsillitis. Penyakit ini dianggap
sebagai infeksi campuran anaerob dan organisme patogen yang merupakan flora normal
mulut yang karena alasan yang tidak diketahui dapat menyebabkan penyakit tersebut. 9 Baru-
baru ini, penelitian telah melaporkan beberapa kasus kematian dari Vincent's angina. Oleh
karena itu, tampaknya penting untuk menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit.10 Studi menunjukkan bahwa faktor seperti stres, merokok dan kebersihan
mulut yang buruk terlibat dalam penyakit ini.
Gejala
Demam sampai 39˚C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan pencernaan, nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.4
23
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan diatas tonsil, uvula,
dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar
submandibula membesar.4
Tatalaksana4
1. Antibiotik spectrum luas, seperti golongan cephalosporin : Cefixime 50-100 mg/hari.
2. Antiinflamasi nonsteroid sekaligus antipiretik : Ibuprofen 200-400 mg/hari.
3. Vitamin C dan vitamin B kompleks
4. Tonsilektomi jika terjadi pembesaran Tonsil, namun dalam keadaan pasien sudah
stabil dan perdarahan pada gusi sudah teratasi.
5. Perbaiki higiene mulut
2.4.4 Penyakit Kelainan Darah
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut dan infeksi mononukleosis timbul
di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang-kadang terdapat perdarahan di
selaput lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibula.4
a. Leukemia Akut
Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui. Meningkat risiko dikaitkan
dengan dosis besar radiasi pengion, tertentu bahan kimia (benzena), dan infeksi virus
tertentu (mis., Virus Epstein-Barr, virus limfotropik manusia. Merokok dan pajanan
terhadap medan elektromagnetik juga ada telah diusulkan sebagai penyebab.11
Patofisiologi
Leukemia adalah kelainan hematologis yang disebabkan oleh peningkatan
jumlah jaringan pembentuk sel darah putih yang ditandai dengan peningkatan sirkulasi
yang belum sempurna atau sel darah putih abnormal. Leukemia muncul dari sel induk
hematopoietik ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi yang tidak teratur pada sel-
sel neoplastik. Leukemia terjadi akibat proliferasi dari kloning sel hematopoietik
abnormal dengan gangguan diferensiasi, regulasi, dan apoptosis. Multiplikasi sel
leukemia pada saat pembuatan sel hematopoietik normal menyebabkan kegagalan
fungsi sumsum tulang, jumlah sel darah mengalami penurunan (sitopenia), dan
kematian sel akibat infeksi, perdarahan, atau keduanya.11
24
Dengan adanya proses patomekanisme leukemia tersebut dengan diperberat
oleh infeksi, maka terjadi peningkatan kerja dari tonsil untuk melawan infeksi disertai
dengan peningkatan produksi limfosit secara berlebihan. Proses ini lah yang
menyebabkan manifestasi klinis di oral pada pasien leukemia.
Epidemiologi
Manifestasi pertama dari leukemia akut adalah lesi oral dan rasa nyeri yang
hebat ditenggorok. Kelainan ini termasuk tonsil yang membesar dengan lesi ulseratif,
tonsil membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis. Kejadian tonsillitis
1:3 kasus leukemia, yaitu ±35% tonsillitis merupakan manifestasi klinis yang muncul
pada kasua leukemia.9
Manifestasi Klinis
Pembesaran tonsil bilateral dengan dilapisi membran, petekie dalam rongga
mulut, perdarahan gusi. Ulserasi gingiva dapat terjadi. Demam ringan dan adenopati
dan adenopati servikal dapat terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
aspirasi sumsum tulang dan pemeriksaan darah perifer.14
Tatalaksana15
1. Antibiotik spectrum luas, yaitu Cephalosporin : Ceftriaxone 1 gr , Cefixime 50mg
2. Antiinflamasi steroidal : Methylprednisolone 4 mg sampai maksimal 48 mg/hari.
3. Antipiretik disertai analgetik: Ibuprofen 200-400mg/hari.
b. Infeksi Mononukleosis
Etiologi
25
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral.
Membrane semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Contoh
penyebab infeksi mononucleosis yaitu Epstein Barr Virus (EBV). Infeksi EBV terjadi 2
juta kasus per-tahun di Indonesia dengan kejadian 19% kasus kelainan darah yang
mempengaruhi tonsil.14
Patofisiologi
EBV adalah salah satu virus yang banyak berperan dan menetap sebagai
infeksi laten seumur hidup pada manusia, dengan mengintegrasikan strukturnya ke dalam
siklus limfosit B yang sehat. Terdapat replikasi tingkat rendah yang persisten dan virus
dilepaskan secara intermiten ke dalam sekresi faring, terutama melalui transmisi air liur.13
Reaktivasi virus Epstein-Barr dapat terjadi pada pasien immunocompromised
dan jarang pada pasien immunocompetent, yang menghubungkan virus Epstein-Barr
dengan kondisi limfoproliferatif. Kondisi-kondisi ini adalah kelompok penyakit heterogen
yang seringkali perlu diobati dengan kemoterapi. Diagnosis tergantung pada penyakit
spesifik tetapi sering dikaitkan dengan peningkatan jumlah virus. Infeksi virus Epstein-
Barr aktif kronis adalah kondisi langka yang ditandai dengan gejala seperti infeksi
mononukleosis yang parah, kronis, atau berulang setelah infeksi primer yang menetap
dengan ditemukannya virus Epstein-Barr pada orang yang sebelumnya sehat. Infeksi
virus Epstein-Barr aktif kronis kadang-kadang dikaitkan dengan perkembangan
limfoma.13
Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul berupa demam, nyeri tenggorokan, edema periorbital
(Hoagland’s sign), petechiae pada palatum, tonsillitis erythematous atau exudative.13
Tampak membran yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa imbul perdarahan.
Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak, dan regioinguinal serta
hepatosplenomegaly. Gambaran pemeriksaan darah khas yaitu terdapat leukosit
mononukleus dalam jumlah besar.14
26
Gambar 15. Tonsilitis eritematosa dengan eksudat pada infeksi EBV.
Tatalaksana14
1. Antibiotik spectrum luas, yaitu Cephalosporin : Ceftriaxone 1 gr , Cefixime 50mg
2. Antiinflamasi steroidal : Methylprednisolone 4 mg sampai maksimal 48 mg/hari.
3. Antipiretik disertai analgetik: Ibuprofen 200-400mg/hari.
4. Antivirus berupa Acyclovir dan Ganciclovir efektif dan sensitif pada infeksi EBV.
27
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjer limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring / gerlach’s tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air-bond droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada
semua umur terutama pada anak.
Tonsilitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan membran
maupun mukosa atau pseudomembran pada permukaan tonsil yang dapat meluas hingga ke
sekitarnya. Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak terbentuk
membran yang bila dilepaskan tidak menimpulkan luka, sedangkan pseudomembran dapat
menimbulkan luka.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah, Tonsilitis
difteri, Tonsilitis septik, Angina Plaut Vincent, Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut
dan infeksi mono-nukleosis. Pada dasarnya tonsillitis membranosa memiliki gejala yang
hampir sama yaitu peradangan pada tonsil yang pada akhirnya membentuk suatu membran
atau pseudomembran. Untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan
diagnosis lain adalah dengan melakukan pemeriksaan langsung melalui kultur kuman yang
diambil dari membran tersebut, sementara menunggu hasil kultur yang cukup memakan
waktu, sebaiknya diberikan antiinflamasi, antibiotik spectrum luas, serta terapi simptomatik
28
dan dilakukan evaluasi respon terapi. Setelah hasil kultur keluar, maka terapi disesuaikan
dengan hasil kultur.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S. Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Difteri. Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. 2nd ed. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2010. h. 312-20.
2. American Journal of Medicine. Acute Exudative Tonsilitis. 2017.
http://amjmed.org/acuteexudativetonsillitis/ diakses pada 18 Juli 2019
3. Adams, G.L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamental of Otolaryngology). Edisi Keenam. Penerbit EGC:
Jakarta. 1997.
4. Soepardi E.A., et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
5. Beth, A & Choby, Md. 2009. Diagnosis and therapy of Streptococcal Pharyngitis.
American Family Physician. Volume 79. Number 5.
http://www.aafp.org/afp/2009/0301/p383.pdf .Diakses pada 19 Juli 2019.
6. Shah U. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. 2018. https://emedicine.
medscape.com/article/871977-overview#a5 .Diakses 23 Juli 2019
7. NCBI. Tonsillitis. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK401249/#top
.Diakses 22 Juli 2019.
8. Murphy J. R., & Baron S 1996. Corynebacterium Diphtheriae Medical Microbiology.
4th edition. Galveston (TX): University of Texas Medical Branch,
9. Atout RN, Todescan S. Managing patients with necrotizing ulcerative gingivitis. J
Can Dent Assoc. 2013;79:d46.
10. Herrera D, Alonso B, de Arriba L, Santa Cruz I, Serrano C, Sanz M. Acute
periodontal lesions. Periodontol 2000. 2014;65:149–77.
11. Franch AM, Esteve CG, Perez, GS. Oral manifestations and dental management of
patient with leukocyte alterations. J Clin Exp Dent. 2011; 3(1):e53-59.
12. Demirer S, Ozdemir H, Sencan M, Marakoglu I. Gingival Hyperplasia as an Early
Diagnostic Oral Manifestation in Acute Monocytic Leukemia: A Case Report. Eur J
Dent. 2007 Apr; (2):111–114.
13. Paul Lennon,Michael Crotty, John E Fenton. Infectious mononucleosis : BMJ
2015;350:h1825.
14. Baron S.Medical Microbiology. 4th edition. Chapter 67 : Adenoviruses. Galveston
(TX): University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996.
30
15. Badan POM Indonesia. Informatorium Obat Nasional Indonesia cetakan tahun 2017.
Jakarta: Sagung Seto. 2017.
31